Shima menoleh terkejut saat melihat adiknya Kun, Jun Hongli, sudah berada dibelakangnya.
Apa yang dikatakannya tadi?
“Kau sudah pulang?” Basa-basi Shima hanya untuk mengalihkan pertanyaan Jun yang sepertinya aneh. Dia ingat bahwa pria ini tinggal bersama kakaknya. Jadi tidak aneh melihatnya berkeliaran di rumah Kun.
“Aku ada di rumah sejak tadi.” Jun tersenyum, lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Shima. “Tawaranku masih berlaku. Kau tidak mau menerimanya?”
Shima menjauhkan diri dari bisikan Jun, walau menggunakan cara yang halus.
Perlahan, dia sudah berada sedikit berjarak dari tempat Jun berdiri saat ini.
Tidak begitu terlihat. Hanya sekilas pandang, Shima mengenal Jun di pesta pernikahannya dengan Kun.
Pria itu datang terlambat, karena baru saja kembali dari luar negeri.
Kun bahkan tidak sempat memperkenalkan Shima pada Jun. Shima tahu bahwa Jun itu adiknya Kun, dari pemberitahuan ibu mertuanya.
“Dia putra kedua sekaligus anak bungsu di keluarga kami. Mungkin dia terlihat sedikit menyebalkan, tapi kepeduliannya terhadap keluarga patut dibanggakan.”
Hanya itu dan cuma itu perkenalan Shima dengan si adik ipar. Ibu mertua juga tidak sempat memberitahu apa pun lagi padanya, karena tamu terus berdatangan untuk mengucapkan selamat dan rasa heran.
“Tawaran apa?” Shima tidak pura-pura bodoh. Dia memang tidak yakin dengan apa yang tadi ditawarkan oleh Jun padanya. Mungkin itu hanya candaan selamat datang untuk anggota keluarga baru.
Jun tersenyum lebar. Senyum yang menyiratkan banyak makna. Apa yang menjadi milik Kun, akan selalu menjadi miliknya juga, bukan?
Dari dulu seperti itu. Hanya saja, Jun tidak tertarik pada milik Kun yang sebelumnya. Elia Eve. Gadis yatim piatu yang tidak menarik minatnya sama sekali.
Bukan karena statusnya, tapi memang tidak tertarik. Itu saja.
Jadi, dia tidak akan mengganggu wanita itu, sampai kapan pun. Kecuali, yang satu ini. Dilihat dari sisi mana pun, Jun menginginkannya jauh lebih besar daripada para wanita yang biasa merangkak ke tempat tidurnya.
Alasannya? Karena Shima terlihat tidak tertarik padanya. Satu-satunya hal yang membuatnya semakin tertantang. Memastikan bahwa kakak iparnya itu tidak tertarik padanya atau hanya berpura-pura tidak tertarik. Dia bertekad tidak akan berhenti sebelum menemukan jawabannya.
Karena biasanya, siapa pun wanita yang melihat wajahnya, pasti tidak akan memalingkan pandangan darinya. Bahkan pada pertemuan pertama sekali pun. Tapi itu tidak berlaku untuk seorang Shima Naomi yang ketika pertama kali melihatnya, cuma sekedar melihat, lalu memalingkan wajah ke arah lain. Seolah pria setampan dan semenarik Jun Hongli hanya pajangan tua yang tidak menarik sama sekali di mata Shima.
“Kau tidak akan mendapatkan malam pertamamu dari Kun, bukan?”
Jantung Shima berdetak lebih keras saat mendengar ucapan Jun yang di luar dugaannya. Itu fakta. Benar adanya.
Tapi, dari mana Jun tahu tentang hal itu? Padahal, Kun sampai sengaja mengharuskan mereka berdua tidur sekamar karena berniat merahasiakan hal ini dari adiknya.
“Kau juga takut pernikahan palsu kalian ini diketahui oleh ayahmu, bukan?”
Lagi. Lagi-lagi benar.
“Apa Kun yang memberitahumu?”
Jun menggeleng dengan senyum manis berisi racun dari dewa iblis. “Tidak. Dia bahkan tidak tahu jika aku sudah mengetahui rahasia kalian.”
Tercengang, Shima mulai merasakan hawa tidak menyenangkan. Seakan sesuatu bisa terjadi karena pengaruh mulut pria di depannya ini. Keringat dingin merambat lambat di punggungnya. Dia tidak tahu harus bersikap bagaimana, sebab sejauh ini dia merasa yakin semua akan berjalan baik-baik saja.
“Aku akan bersikap pura-pura tidak tahu, jika kau bersedia menghabiskan malam pertamamu bersamaku. Bagaimana? Tawaran ini menarik sekali. Coba lah.” Bagai setan penggoda dengan rupa yang menawan, Jun menaikturunkan alisnya.
“Kau bercanda?” Shima nyaris darah tinggi. Dia berusaha menahan diri andai bisa jika Jun menarik ucapannya. Bersikap hanya sekedar bermain-main atau mengujinya sebagai kakak ipar. Istri dari Kun.
“Tidak. Lihat aku, Shima Naomi. Di mana dari diriku yang kau lihat bercanda?” Jun maju. Membuat jarak di antara mereka lenyap dalam sekejap, ketika wajah mereka saling tatap.
Shima tidak bisa mundur. Dibelakangnya itu pintu kamar yang tertutup rapat. Punggungnya berakhir bersandar di sana.
“Jangan banyak berpikir. Kun tidak akan pernah menyentuhmu, Shima. Terlepas itu ada dalam perjanjian kalian atau tidak, hati dan tubuh kakakku hanya untuk Elia Eve seorang. Dia akan terus mengecewakanmu seperti malam ini.”
Jun membuka pintu kamar kakaknya, beruntung Shima tidak terjatuh karena sedang bersandar di sana. Lalu masuk tanpa menunggu. “Ayo, cepat masuk. Biar kutunjukkan padamu bagaimana malam pertama yang luar biasa untukmu. Jangan khawatir. Kun tidak akan kembali sebelum pagi.”
Dorongan kebencian terhadap Jun, tidak melebihi rasa kecewanya terhadap Kun.
Kecewa? Ya. Shima teramat kecewa. Seharusnya, jika tidak mendapatkan nafkah batin bahkan melewati malam pertama yang sudah seharusnya, setidaknya, Kun tidak meninggalkannya begitu saja demi wanita lain.
Memang tidak harus. Tapi itu sikap untuk saling menghargai satu sama lain, bukan? Shima merasa sangat tidak adil. Keberadaan dirinya sebagai seorang istri sangat tidak dihargai.
Menimang, memilih dan memutuskan. Shima butuh hampir dua puluh menit untuk menyatakan suara hatinya pada Jun.
Menghabiskan malam pertama Shima bersama Jun. Shima menyetujuinya.
*****
Shima berusaha tidak canggung, saat harus berada di satu meja makan bersama Jun dan Kun suatu pagi.
Ini sudah beberapa hari berlalu. Shima baru kembali bertemu Jun pagi ini, setelah tiga hari tidak melihat pria itu di rumah. Dan selama tiga hari itu juga, Kun tidur di ruang kerjanya. Karena hanya ada mereka berdua di rumah, tidak ada rahasia yang perlu dijaga.
“Aku akan terlambat pulang hari ini.” Kun membuka percakapan. Bertingkah seolah dirinya memang suami yang baik, yang terbiasa memberitahu jadwal kegiatannya pada sang istri.
“Ada pekerjaan yang harus kukerjakan sampai selesai,” tambahnya lagi.
Hal pertama yang dilakukan Shima adalah melirik Jun. Penasaran pada reaksi adik iparnya akan pemberitahuan dari Kun.
Tenang. Seolah tidak mendengar, Jun sibuk memotong sandwich-nya menggunakan pisau. Tidak ada tanda-tanda bahwa pria itu akan peduli.
“Shima?” panggil Kun. Dia merasa Shima sedang melamun dan tidak mendengar perkataannya.
“Ya?”
“Kau baik-baik saja? Ada masalah?”
“Oh, Tidak. Aku hanya sedang memikirkan rencana untuk berkunjung ke rumah ayah setelah pulang kerja.” Karena bisa bahaya jika hanya ada Shima dan Jun di rumah. Shima tersenyum pada Kun, sementara pria itu ikut tersenyum lembut padanya.
“Andai dia jatuh cinta padaku, ah tidak. Jatuh cinta itu terlalu jauh. Maksudku, andai dia bisa sedikit saja tertarik padaku, pasti aku tidak akan menghabiskan malam pertamaku dengan adiknya.” Berandai-andai dalam hati, Shima terus menatap Kun yang kini sibuk dengan semangkuk serealnya.
Pria tampan, sopan, sempurna. Tidak ada harapan yang bisa membangkitkan semangat Shima untuk tetap bertahan. Namun lucu sekali rasanya, jika mengingat bahkan ini baru beberapa hari setelah upacara pernikahan mereka.
“Kau pikir, boleh kau bersikap seperti itu di depanku?” cegat Jun di depan pintu depan, saat Shima akan keluar rumah. Sementara Kun sudah berangkat kerja lebih dulu.
“Bersikap seperti apa?” Shima menepis lengan Jun yang terentang dari sisi pintu ke sisi lainnya. Pria itu jadi penguasa pintu.
“Menatapku diam-diam di depan kakakku. Itu tatapan menginginkan, Shima. Pandangan yang mengundang gairah.” Jun tersenyum. Mengikuti Shima hingga keluar pagar rumah. “Biar kuantar kau sampai ke kantor.”
“Tidak perlu.”
“Aku memaksa.”
Betapa pun ingin marah, Shima tahu bahwa saat ini saja dia sudah terlambat lima belas menit. Shima memutuskan untuk ikut, karena Kun tidak menawarinya tumpangan ketika pria itu meninggalkan meja makan.
Selama dalam perjalanan, Shima merasa lega karena Jun tidak mengajaknya bicara atau menatapnya dengan mata seolah lapar.
Tiba di depan kantor kecilnya yang mulai sepi, karena semua karyawannya sudah masuk ke dalam, Jun menahan lengan Shima.
“Cium aku dulu.” Setengah tubuh dan wajah Jun sudah mendekat ke arah Shima yang belum beranjak dari sana. “Ayo, cepat. Selagi tidak ada orang di sini.”
Shima menelan kecemasan. Dia tidak yakin bisa menolak, karena sebelumnya, untuk hal yang lebih besar dari sekedar ciuman saja, dia tidak kuasa membantah.
“Oke, tapi hanya satu kali.”
Kepala Jun mengangguk.
Shima merasa sedikit lega karena itu artinya, dia cukup mengecup pipi adik iparnya sekilas saja. “Pejamkan matamu kalau begitu.”
“Apa kau tidak lelah denganku, Jun?”Bukan lelah, malah Jun merasa tidak boleh mengenal apa itu lelah saat bersama Cosi. Hal itu justru menjadikannya seperti sekarang ini. Bahkan tanggungjawabnya terasa makin ringan dijalankan.“Jika aku lelah, aku yang memulai pasti akan mengakhiri. Tidak perlu alasan lain selain aku ingin menyerah. Namun tidak kulakukan. Itu artinya kau bisa menyimpulkan sendiri apa aku lelah denganmu atau tidak.” Jun berkata sambil menarik selimut untuk menutupi mereka bersama, tapi Cosi menahan tangannya.“Kau rindu padanya?”Jun terdiam sejenak, sampai akhirnya balik bertanya. “Sebelum kujawab. Aku ingin tahu, dari mana kau tahu bahwa aku sudah mengetahui tentang kunjunganmu ke rumah Sid?”Cosi menggenggam erat tangan Jun tanpa berani menatap mata pria itu, sebab dia takut jika nanti sampai melihat ekspresi Jun yang sedang membicarakan Sid. Raut wajah penuh kerinduan, tersiksa karena tidak bisa berjumpa.“Karena kau terlihat semakin kosong, Jun.”“Kau menebak?”Co
Cosi berhasil mengguncang Sid, sampai ke tulang-tulangnya. Wanita muda itu jatuh sakit keesokan harinya. Dalam keadaan hamil muda yang diketahui Matrix, dia dirawat di rumah sakit terdekat nyaris sepekan.Selama itu Sid terus mempertimbangkan banyak hal, segalanya. Meski Cosi datang dengan kabar yang sangat mengejutkan dirinya, apa dia berhak untuk merusak kebahagiaan pria yang dicintainya? Apa ini salah Jun? Tidak. Bahkan Jun tidak tahu menahu tentang benih di pertemuan terakhir yang ditanamkan telah menjadi calon bayi.Lalu, bagaimana dengan Cosi? Wanita itu menjadi tidak tenang setiap malam menjelang Jun masuk ke kamarnya. Dia cemas andai suami keduanya itu tahu tentang semua perbuatannya pada Sid.Namun dibalik rasa takutnya itu Cosi yakin, bahwa Sid tidak memiliki keberanian apa pun. Dia sudah mengancam akan mengupayakan segala cara jika Sid sampai berani bertindak untuk semua hal. Apa saja. Apa pun yang menyangkut tentang Jun adalah urusannya. Dia tidak ragu-ragu saat bertindak.
Sid suka berkebun di belakang rumah, setelah Matrix setiap pagi pergi berolahraga lari keluar masuk hutan.Dia sedang mual dan muntah saat Cosi muncul dengan raut wajah murung. Melihat Sid benar seperti foto yang dilihatnya dari Fla.Sid merasa tidak asing dengan wajah wanita dihadapannya. Namun tidak ingat pernah melihat, apalagi berinteraksi di mana dan kapan.Cepat-cepat membersihkan mulut dan mencuci wajahnya dari air yang mengalir di keran, Sid segera menegakkan tubuhnya untuk menghampiri Cosi dan menyapa dengan ramah.“Halo, Anda mencari—”Satu tamparan untuk Sid. Mendarat cepat dan kuat, hingga membuat wajah wanita itu sepenuhnya terlempar ke sisi arah samping.Telinga Sid yang berdenging seketika mengingatkannya pada siapa wanita yang rasanya tidak asing itu. Istrinya Kun Yongli. Kakak ipar dari pria yang dicintainya dan dicintainya.Tapi, kenapa?“Ternyata tidak rugi jauh-jauh aku datang ke sini.” Cosi mengepalkan tangan kanan yang tadi digunakan untuk menampar Sid. Meski gem
Sejak kapan ponsel Jun ada pada Cosi? Dan sejak kapan juga mereka boleh ikut campur sejauh itu antara satu sama lain?Sampai pada titik ini, sekalipun Jun belum pernah melanggar. Justru dia berusaha untuk menjauhi hal-hal yang bisa membuat kesepakatan jadi tidak bermakna lagi, jika salah satu dari mereka ada yang curang.Cosi menjadi satu-satunya pihak yang bermain curang, tidak aman.Jun membaca pesan balasan dari Sid. Sekilas, dari notifikasi.Sid: Hari-hariku tidak menyenangkan tanpa Anda, Pak Jun. Sejauh ini Ayah masih baik-baik saja. Aku rindu padamu.Menyimpan ponsel di sisi kanan yang bukan berarti aman, tapi tidak akan dijangkau Cosi lagi, Jun sekarang menghela napas nyaris teramat pelan.“Saatnya tidur, Cosi.”Ajaib. Cosi menurut. Namun tetap dalam posisi memunggungi Jun. Wanita hamil itu merajuk. Tentu saja.Kehilangan minat untuk membalas pesan dari Cosi, Jun memilih memejamkan mata. Ada alasan kenapa belakangan ini dia mulai memburu semua pekerjaan, bahkan siap menyelesaik
Dan setelah sekian lama rasanya, walau mungkin tidak selama dugaan mereka, Jun dan Kun berpelukan. Tidak berkata-kata. Hanya berpelukan dengan bergantian menepuk-nepuk punggung sebagai ciri khas para pria saat saling ingin memberikan dukungan satu sama lain.***Sid menangis keras dalam pelukan Jun. Harus berpisah. Dia dan ayahnya akan berangkat ke ujung dunia, besok. Negara yang jauh, desa terpencil.Dan rupanya Matrix tidak cuma sekedar memenuhi janjinya pada Kun, tapi memberitahu rahasia besar pada putrinya, pagi ini sebelum Sid pergi menemui Jun.“Karena aku adalah seorang peneliti, bukan hal yang mengejutkan bahwa aku tanpa sengaja terminum racun.Dan racun itu memicu kanker yang selama ini cukup pasif di dalam tubuhku, karena sebelumnya, aku bisa menanggulanginya berkat ilmu yang kupunya.Namun yang kali ini terlambat kusadari. Kankernya sudah menyebar ke seluruh tubuhku. Sulit kujelaskan padamu, sebab kau tidak turun ke duniaku. Yang ingin kuberitahukan adalah tentang hidupku y
Tidak ada kata menolak bagi Jun. Juga tidak perlu berpikir. Ini seperti sebuah keharusan. Tanggungjawab.Namun penting baginya untuk tidak melukai perasaan Kun.Lakukan cepat. Sebelum kakaknya kembali.Bibir dan pelukan mereka baru terlepas, ketika Kun masuk dengan terburu-buru. Terkesan menyimpan emosi.“Apa-apaan ini?” Kun meletakkan lembaran hasil tes ke pangkuan Cosi. “Bisa kalian jelaskan padaku?”Jun coba meraih kertas itu lebih dulu, tapi Cosi lebih cepat.“Ini salahku.”Kun dan Jun bersamaan menatap Cosi. Di benak mereka yang berbeda, pemikiran tertuju pada hal yang sama. Cosi melanggar kesepakatan.“Aku melarang Jun menggunakan pengaman. Biasanya, aku selalu minum pil pencegah kehamilan setelah melakukan hubungan. Namun beberapa waktu lalu, aku melupakannya.”Bukan lupa, tapi sengaja. Jun yakin itu. Namun dia akan diam saja sampai Kun mengambil keputusan. Kehamilan Cosi baru berusia satu minggu. Berarti artinya tidak lama setelah wanita itu mengungkapkan keinginan untuk memil