Share

2. Pulang Cepat

Penulis: Yuli F. Riyadi
last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-26 07:28:38

Raline : [ Ra, ternyata mantan Mas Asta masuk ke divisi marketing. Gue baru tau kabar ini. ] 

Aku mengerutkan kening membaca pesan dari Ralin. Mantan Asta yang aku tahu itu cuma satu nama. Tania. Mereka pernah pacaran lumayan lama sebelum Asta menikah denganku. Aku mengedikkan balasan cepat. 

Aku : [ Maksud lo Tania? ] 

Ralin : [ Siapa lagi? ]

Mendadak perasaanku nggak enak. Apa gara-gara itu Asta nggak selera padaku lagi? Tanpa sadar aku menggigit bibir. Semalam servis Asta sangat memuaskan. Tapi, itu pun karena aku yang memulai duluan. Kalau tidak mana mungkin dia mau menjamahku seperti tadi malam. 

Ralin : [ mending lo tanya langsung sama dia. Siapa tau gara-gara itu dia berubah sama kamu. Mungkin kamu bisa memintanya untuk memindahkan Tania ke divisi lain. Bila perlu depak sekalian. Biar aman. Mantan itu lumayan bahaya loh.] 

Aku kembali membaca pesan Ralin. Ternyata dia punya pemikiran yang sama denganku. Aku jadi semakin yakin penyebab perubahan Asta akhir-akhir ini karena kehadiran sang mantan. 

Tania itu pernah menjadi model sebelum memutuskan menjadi pekerja kantoran. Penyebabnya aku kurang tahu. Yang aku tahu dia wanita yang sangat cantik dan peduli dengan penampilan. Aku makin gusar. Mengingat dengan wanita itulah Asta paling banyak menciptakan kenangan. 

Alarm pintu terbuka membuatku berjengit. Mataku secara otomatis menengok jam di atas buffet. Pukul lima sore. Tumben sekali Asta pulang sore. Aku bergegas bangkit dari sofa dan melihat apakah benar yang datang Asta. 

Mataku sontak berbinar melihatnya berjalan dari arah ruang tamu. Aku segera menyambutnya. 

"Kok Mas nggak bilang kalau mau pulang cepat? Aku kan bisa masak makan malam lebih awal," tanyaku sembari meraih tas kerjanya. 

"Nggak perlu masak. Kita makan di luar aja. Sekalian belanja keperluan bulanan," sahutnya seraya mengendurkan dasi. 

"Kita makan malam di luar, Mas? Di mana?" tanyaku antusias. 

"Nggak perlu jauh-jauh. Di kafe dekat  kita biasa berbelanja aja." Asta menaiki anak tangga menuju lantai dua. Aku di sampingnya mengiringi. 

"Oke. Jadi, di kantor udah nggak sibuk ya, Mas?" tanyaku, siapa tahu kan besok dia mengajakku healing. 

"Masih sibuk sih. Cuma hari ini aku pengin pulang cepat aja. Kenapa? enggak suka aku pulang cepat?" 

"Ih malah suka banget. Kalau bisa mah tiap hari pulang cepat. Jadi, aku di rumah ada yang nemenin," sahutku bergelayut manja pada lengannya. 

Asta tersenyum. "Aku usahakan ya. Tapi nggak janji." 

Biar pun begitu aku seperti mendapat hawa segar saat Asta mengucapkan itu. Aku segera  mengenyahkan segala pikiran buruk tentang suamiku itu. Mungkin saja dia memang sedang sibuk di kantor.  

"Kamu mau langsung mandi, Mas?" tanyaku ketika Asta tampak membuka kancing kemejanya. 

"Iya. Udah lengket banget nih badan. Kamu udah mandi belum?" tanya Asta seraya membuka kemejanya. Sehingga dadanya yang bidang serta bahunya yang lebar bisa aku lihat secara langsung. Entahlah, selama dua tahun hidup bersamanya aku nggak pernah bosan menikmati bentuk tubuhnya yang terbilang seksi itu. 

"Aku udah mandi sih," ucapku menggigit bibir sesaat. Mataku turun memperhatikan Asta yang tengah melepas ikat pinggangnya. "Tapi, kalau diajak mandi lagi nggak keberatan kok," imbuhku tersenyum simpul seraya menatap Asta. 

Asta tampak terdiam sesaat. Dia yang akan membuka pengait celananya pun mendadak urung. Apa ucapanku tadi salah? 

Namun, tak lama dia mengangguk. Tentu saja itu membuatku senang bukan main. Serta merta aku menubruk tubuhnya. 

"Rasanya udah lama banget kita nggak mandi bareng, Mas." 

"Apa iya? Pantes aja kamu antusias," ujar Asta terkekeh. 

Aku melepas pelukanku dan menarik tangan Asta agar segera memasuki kamar mandi. Tanpa pikir panjang aku segera melucuti seluruh pakaian. Padahal baru tiga puluh menit lalu aku mandi. Bahkan rambutku masih belum sepenuhnya kering. Tapi, aku juga nggak mau melewatkan kesempatan ini. Sudah sangat jarang kami melakukan ritual mandi bersama. 

Kami masuk ke dalam box shower bersama. Dan yang kami lakukan tentu saja bukan langsung menyirami tubuh kami dengan air. Ada hal yang lebih menyenangkan daripada itu. Seolah tahu apa yang aku ingin, Asta mendorongku hingga tubuhku memepet ke dinding kamar mandi. Dia menunduk dan mencium bibirku dengan gemas. Aku menyambutnya  suka rela. Bahkan aku menarik pinggangnya agar kulitnya bisa menyentuh kulitku. Seperti apa yang dia lakukan semalaman, Asta kembali membuatku melayang, memberi kenikmatan demi kenikmatan tak terhingga.

***

Beberapa kali aku melihat Asta menengok jam tangannya. Aku sampai mengernyit heran. Saat ini kami sedang berada di salah satu swalayan untuk membeli beberapa kebutuhan pokok bulanan. Aku sedang berada di rak-rak minuman ketika Asta menerima sebuah telepon. 

"Ra, aku terima telepon dulu ya, kamu jangan ke mana-mana," ucapnya tampak bergegas. 

Aku belum sempat menjawab ketika dia berlalu meninggalkan aku dan troli belanjaannya. Aku mengikuti arah perginya dengan mataku. Asta mencari tempat yang nggak bising kurasa. Mungkin itu telepon dari kerjaannya. Aku mengedikkan bahu dan kembali memilih minuman kemasan yang tersedia dalam berbagai merk. 

Setelah beberapa menit lamanya, dia kembali. Wajah cemasnya beberapa menit lalu, hilang. 

"Belanjanya udah, Ra?" tanya Asta sembari mengambil kendali troli belanjaan kami. 

"Tinggal ke rak buah aja sih. Kamu udah lapar ya?" tanyaku menyeringai. 

Asta tersenyum kecil dan mengangguk. 

Aku terkekeh dan bergerak menuju rak-rak buah. "Sebentar ya, nggak lama kok. Kamu ngantri di kassa dulu aja biar cepet, nanti aku nyusul."

Asta ada di jejeran kassa nomor tiga ketika aku menyusul seraya menenteng tiga kantong jenis buah. Aku membeli anggur, pear, dan pepaya. Semua adalah buah kesukaanku dan Asta. 

Petugas kassa sedang menghitung belanjaan kami ketika aku  menghampirinya. "Udah selesai?" tanyaku mendekat padanya. 

"Sedikit lagi. Mana buahnya?" 

Aku meletakkan tiga kantong buah ke meja kasir dan membiarkan buah-buah itu berjalan sendiri di atas conveyor. 

"Kita jadinya makan malam di mana?" tanyaku saat kami sudah selesai dengan urusan berbelanja. Asta tengah memasukkan kantong belanjaan kami yang segambreng di bagasi belakang mobil. 

"Di kafe yang di ujung jalan itu aja."  

"Oke." 

Mood-ku hari ini benar-benar sangat baik. Asta kembali ke mode ketika kami pertama kali menikah. Saat itu kami merasa tidak perlu lama-lama lagi menunda pernikahan. Setelah lima bulan masa penjajakan, Asta dan orang tuanya datang melamarku. Dan, bulan depannya kami sah menjadi suami istri. Ya, secepat itu kami akhirnya bisa bersama. Sampai akhirnya aku memutuskan berhenti bekerja satu tahun lalu. 

Sama seperti Asta aku juga orang marketing di perusahaanku dulu. Sering kali aku harus bekerja lembur, bahkan di weekend untuk urusan promosi. Asta sempat protes, dan setelah melalui diskusi yang pelik akhirnya aku mengalah dan berhenti bekerja.

Kafe yang Asta dan aku datangi memiliki tema summary. Kafe dengan  kolam renang di tengah-tengahnya itu sedikit berbeda dari kebanyakan kafe lainnya. Aku menduga kolam renang itu nggak difungsikan sebagai mana mestinya. Karena di sekitar kolam tersebut dikelilingi pasir putih yang lumayan tebal. 

Bangku-bangku kayu berjejeran di atas pasir putih tersebut. Dan, di sana lah kami memilih tempat duduk. Lantaran ini suasananya malam, lampu-lampu kecil yang menggantung mendominasi kafe ini sehingga kesan romantisnya dapat.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Tergoda Cinta Teman Satu Kantor   23. Perhatian Kecil

    Aku terjebak di salah satu mal bersama Andeas. Ini tidak sesuai ekspektasi. Ingin menghindari lelaki itu malah jalan berdua tanpa tujuan begini. Sekarang aku bingung mau mencari apa di mal sebesar ini. Karena sebenernya memang aku tidak memerlukan apa pun. Sudah setengah jam kami keluar masuk toko, tapi nggak ada satu barang pun yang aku beli. "Jadi, kamu mau beli apa? Kok kelihatannya bingung banget," tanya Andeas saat kami keluar dari toko ke enam yang aku datangi. Wajah bingung dan cengiran yang aku tunjukkan pasti membuat lelaki itu heran. "Kalau kita makan dulu aja gimana? Capek juga ya keliling mal." Dia terkekeh pelan. Lah, siapa suruh mau ngantar aku? Tiba-tiba saja Andeas menggandeng tanganku lalu melangkah menuju salah satu restoran yang berada di ujung lantai ini. Jujur, aku terkejut. Mataku tidak lepas dari tangannya yang terus menggenggam tanganku tanpa risih. Sementara jantung di dalam rusukku sedang jumpalitan karena kelakuan Andeas. "Deas? Wah, tumben sekali ini

  • Tergoda Cinta Teman Satu Kantor   22. Rencana Outing

    Tidak ada siapa pun saat aku bangun tidur. Semalam aku menunggu Asta sampai larut dan memutuskan tidur dengan harapan keesokan lagi menemukan lelaki itu di sampingku. Namun, ternyata nihil. Sosoknya belum ada. Apa Asta nggak pulang? Aku mengusap wajah dan bergerak menyingkap selimut. Agak sedikit kesal karena ... Astaga, bagiku ini sepele kenapa sih dia harus nggak pulang? Langkahku yang hendak menuju kamar mandi tertahan ketika kepalaku memikirkan sesuatu. "Kalau semalaman nggak pulang, dia nginep di mana dong?" Mendadak aku gusar. Pikiran-pikiran negatif mulai hinggap. Aku memutar langkah dan bergerak meraih ponsel dari atas nakas. Mencoba menghubungi Asta. Terhubung, dan dahiku kontan mengernyit ketika mendengar bunyi nada dering ponsel milik Asta. Sontak kepalaku menoleh ke arah pintu, dan bergegas keluar kamar. Saat pintu terbuka, mataku langsung menubruk sosok Asta yang tengah tidur di sofa. Ada napas lega yang berembus begitu menemukan lelaki itu. "Aku pikir dia nggak pu

  • Tergoda Cinta Teman Satu Kantor   21. Kesal

    Aku menyipitkan mata. Melihat Asta bermuram durja setelah pulang dari membuat cola membuatku heran. Apa ban mobil bocor membuatnya sesedih itu? Aku menghampirinya dan mengambil alih es batu yang dia keluarkan dari freezer. "Kamu melamun?" tanyaku menatapnya sebentar, lalu beralih ke rak atas dapur mengambil tiga buah gelas panjang. "Kok tiga?" tanya Asta saat aku meletakkan gelas-gelas itu ke atas meja dapur. "Iya, Ralin katanya mau ke sini?" "Ralin? Dia mau ke sini? Tumben."Aku mengangguk lalu mulai memasukkan kotak-kotak es batu ke dalam gelas. "Katanya dia habis ke rumah tantenya. Nggak tau tante yang mana." Aku juga baru dengar Ralin punya tante di kawasan ini. "Kamu masih berteman sama dia?" Pertanyaan Asta membuatku terkekeh. "Ya masihlah. Pertanyaanmu aneh." Aku menggeleng lalu memutar badan menghampiri microwave, mengambil pizza yang sudah aku hangatkan. "Meski ini menu nggak sehat, tapi kalau dimakan rame-rame asyik. By the way, kita udah berapa lama nggak makan baren

  • Tergoda Cinta Teman Satu Kantor   20. Debat

    "Kasih aku waktu kamu sepenuhnya buat aku, baru aku akan jauhi Andeas."Itu cuma gertakan sambal. Sumpah, aku nggak ada hubungan apa pun dengan lelaki itu. Minat pun enggak. Tapi melihat Asta kebakaran jenggot seperti ini terasa menyenangkan. "Kamu kan tau kalau aku kerja. Kamu paham enggak sih makin tinggi jabatan seseorang itu akan makin besar pula tanggung jawabnya. Aku bukan makin leyeh-leyeh. Kamu pikir aku ngapain coba?" Aku mengeretakkan gigi di dalam mulut. Apa dia pikir aku tidak tahu. Tapi ya ampun, kesibukannya itu ngalahin presiden? Bahkan weekend pun kadang dia berangkat di saat para stafnya libur. Apa menjadi direktur se-hectic itu? "Kalian mah enak, job desk monoton dan bisa fokus. Kalau aku tetap harus mikir bagaimana cara agar omset terus naik tiap bulannya. Kalau penjualan kurang target siapa yang akan disalahkan? Aku, Ra. Sebagai pemimpinnya. Jadi, jangan kamu pikir pekerjaanku main-main." Asta terus mengomel. Padahal aku cuma minta waktunya. Buat apa dia jungki

  • Tergoda Cinta Teman Satu Kantor   19. Semanis Gula

    Aku lumayan syok saat Andeas ternyata mengajakku ke Bakery & Cafe Lula. Reaksi Lula melihat kami berdua masuk ke kafenya sudah bisa aku duga. Dia menyambut kami dengan senyum lebar, tapi matanya tidak berhenti menatapku dengan pandangan bertanya. "Ada yang mau traktir gue makan es krim katanya," ujar Andeas, tidak peduli dengan tatapan curiga Lula. Dia bergerak mencari meja mendahuluiku. Aku yang nggak ingin Lula bertanya macam-macam pun segera beranjak menyusul lelaki yang berprofesi sebagai manajer merketing itu. Namun, aku ternyata kalah cepat dengan tangan Lula yang tahu-tahu sudah menyambar lenganku. "Kok lo ke sini sama Deas nggak sama laki lo?" tanya Lula dengan suara pelan, kedua alisnya bahkan saling tertaut. "Kan lo yang jorogin gue kemarin pulang bareng dia," Aku mendelik sebal. Lula mengangkat kedua alisnya. "Berlanjut?" "Gue nggak tanggung jawab kalau sepupu lo naksir gue."Kini mata Lula melebar. "Serius lo? ada tanda-tanda?" "Gue ada di sini sama dia apa nggak te

  • Tergoda Cinta Teman Satu Kantor   18. Es Krim

    Aku nggak suka melihat wajahnya yang pura-pura polos itu. Dia spontan mengusap lehernya sendiri. Dengan raut bingung, entah itu hanya dibuat-buat atau bingung beneran. Tapi, justru makin membuatku kesal. "Tanda apa sih, Ra?" tanya dia mengerutkan dahi. Kenapa sih dia mesti pura-pura? Aku nggak bodoh! "Tanya aja sama selingkuhan kamu!" Asta menyipitkan mata. "Selingkuhan apa? Kamu jangan ngadi-ngadi ya, Ra." "Kamu tau pas aku mual pagi-pagi? itu karena aku jijik melihat tanda merah di leher kamu." "Tanda merah apa sih, Ra?" Ternyata Asta menyangkal. Padahal jelas-jelas aku melihat buktinya. Entah itu tanda yang dibuat sadar atau enggak, yang pasti itu tampak dengan jelas di mataku. Dan aku nggak bodoh buat mengsalah-artikan tanda apa itu. Aku menggeram dan tidak ingin membuang waktu berdebat dengan Asta soal pribadi di kantor. Segera aku mengayunkan kaki menuju pintu keluar. "Ra... Raya..." Aku terus melangkah, mengabaikan panggilannya. Kubanting pintu ruangan Asta dengan ke

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status