Share

2. Pulang Cepat

Raline : [ Ra, ternyata mantan Mas Asta masuk ke divisi marketing. Gue baru tau kabar ini. ] 

Aku mengerutkan kening membaca pesan dari Ralin. Mantan Asta yang aku tahu itu cuma satu nama. Tania. Mereka pernah pacaran lumayan lama sebelum Asta menikah denganku. Aku mengedikkan balasan cepat. 

Aku : [ Maksud lo Tania? ] 

Ralin : [ Siapa lagi? ]

Mendadak perasaanku nggak enak. Apa gara-gara itu Asta nggak selera padaku lagi? Tanpa sadar aku menggigit bibir. Semalam servis Asta sangat memuaskan. Tapi, itu pun karena aku yang memulai duluan. Kalau tidak mana mungkin dia mau menjamahku seperti tadi malam. 

Ralin : [ mending lo tanya langsung sama dia. Siapa tau gara-gara itu dia berubah sama kamu. Mungkin kamu bisa memintanya untuk memindahkan Tania ke divisi lain. Bila perlu depak sekalian. Biar aman. Mantan itu lumayan bahaya loh.] 

Aku kembali membaca pesan Ralin. Ternyata dia punya pemikiran yang sama denganku. Aku jadi semakin yakin penyebab perubahan Asta akhir-akhir ini karena kehadiran sang mantan. 

Tania itu pernah menjadi model sebelum memutuskan menjadi pekerja kantoran. Penyebabnya aku kurang tahu. Yang aku tahu dia wanita yang sangat cantik dan peduli dengan penampilan. Aku makin gusar. Mengingat dengan wanita itulah Asta paling banyak menciptakan kenangan. 

Alarm pintu terbuka membuatku berjengit. Mataku secara otomatis menengok jam di atas buffet. Pukul lima sore. Tumben sekali Asta pulang sore. Aku bergegas bangkit dari sofa dan melihat apakah benar yang datang Asta. 

Mataku sontak berbinar melihatnya berjalan dari arah ruang tamu. Aku segera menyambutnya. 

"Kok Mas nggak bilang kalau mau pulang cepat? Aku kan bisa masak makan malam lebih awal," tanyaku sembari meraih tas kerjanya. 

"Nggak perlu masak. Kita makan di luar aja. Sekalian belanja keperluan bulanan," sahutnya seraya mengendurkan dasi. 

"Kita makan malam di luar, Mas? Di mana?" tanyaku antusias. 

"Nggak perlu jauh-jauh. Di kafe dekat  kita biasa berbelanja aja." Asta menaiki anak tangga menuju lantai dua. Aku di sampingnya mengiringi. 

"Oke. Jadi, di kantor udah nggak sibuk ya, Mas?" tanyaku, siapa tahu kan besok dia mengajakku healing. 

"Masih sibuk sih. Cuma hari ini aku pengin pulang cepat aja. Kenapa? enggak suka aku pulang cepat?" 

"Ih malah suka banget. Kalau bisa mah tiap hari pulang cepat. Jadi, aku di rumah ada yang nemenin," sahutku bergelayut manja pada lengannya. 

Asta tersenyum. "Aku usahakan ya. Tapi nggak janji." 

Biar pun begitu aku seperti mendapat hawa segar saat Asta mengucapkan itu. Aku segera  mengenyahkan segala pikiran buruk tentang suamiku itu. Mungkin saja dia memang sedang sibuk di kantor.  

"Kamu mau langsung mandi, Mas?" tanyaku ketika Asta tampak membuka kancing kemejanya. 

"Iya. Udah lengket banget nih badan. Kamu udah mandi belum?" tanya Asta seraya membuka kemejanya. Sehingga dadanya yang bidang serta bahunya yang lebar bisa aku lihat secara langsung. Entahlah, selama dua tahun hidup bersamanya aku nggak pernah bosan menikmati bentuk tubuhnya yang terbilang seksi itu. 

"Aku udah mandi sih," ucapku menggigit bibir sesaat. Mataku turun memperhatikan Asta yang tengah melepas ikat pinggangnya. "Tapi, kalau diajak mandi lagi nggak keberatan kok," imbuhku tersenyum simpul seraya menatap Asta. 

Asta tampak terdiam sesaat. Dia yang akan membuka pengait celananya pun mendadak urung. Apa ucapanku tadi salah? 

Namun, tak lama dia mengangguk. Tentu saja itu membuatku senang bukan main. Serta merta aku menubruk tubuhnya. 

"Rasanya udah lama banget kita nggak mandi bareng, Mas." 

"Apa iya? Pantes aja kamu antusias," ujar Asta terkekeh. 

Aku melepas pelukanku dan menarik tangan Asta agar segera memasuki kamar mandi. Tanpa pikir panjang aku segera melucuti seluruh pakaian. Padahal baru tiga puluh menit lalu aku mandi. Bahkan rambutku masih belum sepenuhnya kering. Tapi, aku juga nggak mau melewatkan kesempatan ini. Sudah sangat jarang kami melakukan ritual mandi bersama. 

Kami masuk ke dalam box shower bersama. Dan yang kami lakukan tentu saja bukan langsung menyirami tubuh kami dengan air. Ada hal yang lebih menyenangkan daripada itu. Seolah tahu apa yang aku ingin, Asta mendorongku hingga tubuhku memepet ke dinding kamar mandi. Dia menunduk dan mencium bibirku dengan gemas. Aku menyambutnya  suka rela. Bahkan aku menarik pinggangnya agar kulitnya bisa menyentuh kulitku. Seperti apa yang dia lakukan semalaman, Asta kembali membuatku melayang, memberi kenikmatan demi kenikmatan tak terhingga.

***

Beberapa kali aku melihat Asta menengok jam tangannya. Aku sampai mengernyit heran. Saat ini kami sedang berada di salah satu swalayan untuk membeli beberapa kebutuhan pokok bulanan. Aku sedang berada di rak-rak minuman ketika Asta menerima sebuah telepon. 

"Ra, aku terima telepon dulu ya, kamu jangan ke mana-mana," ucapnya tampak bergegas. 

Aku belum sempat menjawab ketika dia berlalu meninggalkan aku dan troli belanjaannya. Aku mengikuti arah perginya dengan mataku. Asta mencari tempat yang nggak bising kurasa. Mungkin itu telepon dari kerjaannya. Aku mengedikkan bahu dan kembali memilih minuman kemasan yang tersedia dalam berbagai merk. 

Setelah beberapa menit lamanya, dia kembali. Wajah cemasnya beberapa menit lalu, hilang. 

"Belanjanya udah, Ra?" tanya Asta sembari mengambil kendali troli belanjaan kami. 

"Tinggal ke rak buah aja sih. Kamu udah lapar ya?" tanyaku menyeringai. 

Asta tersenyum kecil dan mengangguk. 

Aku terkekeh dan bergerak menuju rak-rak buah. "Sebentar ya, nggak lama kok. Kamu ngantri di kassa dulu aja biar cepet, nanti aku nyusul."

Asta ada di jejeran kassa nomor tiga ketika aku menyusul seraya menenteng tiga kantong jenis buah. Aku membeli anggur, pear, dan pepaya. Semua adalah buah kesukaanku dan Asta. 

Petugas kassa sedang menghitung belanjaan kami ketika aku  menghampirinya. "Udah selesai?" tanyaku mendekat padanya. 

"Sedikit lagi. Mana buahnya?" 

Aku meletakkan tiga kantong buah ke meja kasir dan membiarkan buah-buah itu berjalan sendiri di atas conveyor. 

"Kita jadinya makan malam di mana?" tanyaku saat kami sudah selesai dengan urusan berbelanja. Asta tengah memasukkan kantong belanjaan kami yang segambreng di bagasi belakang mobil. 

"Di kafe yang di ujung jalan itu aja."  

"Oke." 

Mood-ku hari ini benar-benar sangat baik. Asta kembali ke mode ketika kami pertama kali menikah. Saat itu kami merasa tidak perlu lama-lama lagi menunda pernikahan. Setelah lima bulan masa penjajakan, Asta dan orang tuanya datang melamarku. Dan, bulan depannya kami sah menjadi suami istri. Ya, secepat itu kami akhirnya bisa bersama. Sampai akhirnya aku memutuskan berhenti bekerja satu tahun lalu. 

Sama seperti Asta aku juga orang marketing di perusahaanku dulu. Sering kali aku harus bekerja lembur, bahkan di weekend untuk urusan promosi. Asta sempat protes, dan setelah melalui diskusi yang pelik akhirnya aku mengalah dan berhenti bekerja.

Kafe yang Asta dan aku datangi memiliki tema summary. Kafe dengan  kolam renang di tengah-tengahnya itu sedikit berbeda dari kebanyakan kafe lainnya. Aku menduga kolam renang itu nggak difungsikan sebagai mana mestinya. Karena di sekitar kolam tersebut dikelilingi pasir putih yang lumayan tebal. 

Bangku-bangku kayu berjejeran di atas pasir putih tersebut. Dan, di sana lah kami memilih tempat duduk. Lantaran ini suasananya malam, lampu-lampu kecil yang menggantung mendominasi kafe ini sehingga kesan romantisnya dapat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status