Share

3. Gara-gara Privasi

Aku memilih tempat duduk dengan lantai pasir dekat kolam renang. Pendar cahaya dari lampu di dasar kolam terlihat cantik. Sudah aku duga sih kolam renang itu memang sengaja tidak difungsikan sebagaimana mestinya. Aku tergiur untuk melepas wedges yang aku kenakan, membiarkan telapak kaki menginjak pasir putih. Sudah lama sekali aku tidak bermain pasir di bibir pantai. Terakhir ketika aku dan Asta bulan madu ke Labuan Bajo. Sudah hampir dua tahun lalu. 

"Mas, kapan-kapan kita ke pantai lagi yuk," ajakku seraya melukis pasir dengan kakiku yang terbuka. 

Asta menutup buku menu, dia baru saja memesan makan malam kami. Dan waiter yang mencatat pesanan kami pun sudah pergi. 

"Anggap aja ini sekarang lagi di pantai, Ra." 

Aku mencebik dan melihat sekitar. Di seberang kananku, sisi lain kolam, terdapat bangunan ala-ala Yunani. Bangunan itu digunakan sebagain play ground. . Di belakang kami, di sisi kolam renang lain, terdapat gazebo panjang beratap jerami, dindingnya berwarna nude. Tidak menyilaukan mata. Kafe ini benar-benar sudah dirombak habis. Sangat berbeda dari terakhir aku ke sini.

Mataku memicing ketika menemukan seseorang yang sepertinya aku kenal. Aku memastikan lagi, untuk meyakinkan penglihatanku. 

"Mas." Aku mencolek lengan Asta yang dari tadi bermain ponsel. "Itu Ralin bukan sih?" 

Asta mendongak dan mengikuti arah pandangku. "Mana?" tanya Asta dengan kening berkerut. 

"Itu loh, Mas. Di belakang itu. Dia lagi sama cowok. Apa cowok itu pacarnya? Kok Ralin nggak pernah cerita? Kamu kenal cowoknya enggak?" Aku malah memberondong Asta dengan pertanyaan. 

"Mana aku tau, Ra. Aku aja baru liat." 

Bukan tanpa alasan aku bertanya tentang cowok itu. Siapa tahu kan dia satu kantor dengan Asta sama seperti Ralin. 

"Kirain satu kantor sama kamu juga, Mas." 

"Bukan. Orang luar kayaknya." 

Aku mengepalkan tangan. "Awas ya dia, punya pacar tapi enggak pernah cerita." 

"Mungkin dia malu." 

"Perlu aku samperin enggak, Mas?" tanyaku menyeringai. 

"Jangan. Nanti kita gangguin dia. Biarin aja. Kalau dia yang nyapa kita baru deh nggak apa-apa." 

Aku mencebik. Padahal aku penasaran banget. Ingin tahu lebih dekat wajah cowok itu. Hingga pesanan kami datang, aku terus mengawasi Ralin. 

.

"Ra, makan dulu," tegur Asta pelan. 

"Gila, aku beneran nggak sabar. Pengin nguyel-nguyel anak itu.

"Udah, makan dulu. Itu makanan jangan terlalu lama dianggurin."  

Aku mengangguk lalu menuruti perintah Asta. Aku sempat minta tukar posisi duduk dengan Asta agar aku bisa mengawasi Ralin. Karena dari tempat duduk Asta lebih mudah untuk memperhatikan Ralin, tidak perlu harus menengok ke belakang. Namun, Asta tidak memberikan. Aku harus cukup puas hanya menengok sesekali ke arah meja Ralin. Tapi begitu makananku tandas dan aku memalingkan wajahku kembali ke meja Ralin, dia dan cowok itu sudah raib dari mejanya. 

"Loh mereka ke mana, Mas?" tanyaku celingukan. 

"Udah pulang beberapa menit lalu," sahut Asta santai. 

"I-ih, kok kamu enggak bilang sih?" ujarku sebal. Padahal aku ada niat menghampiri mejanya saat sudah selesai makan. 

"Buat apa? Emang itu penting? Jangan terlalu kepo sama urusan orang lain, Ra."

"Ralin bukan orang lain, Mas. Dia sahabatku." 

Asta mengangguk. "Ya aku tau itu, tapi kalau sahabatmu itu enggak cerita, jangan lantas memaksanya cerita. Kamu harus bisa menghargai privasi orang meskipun dia sahabat kamu."

Mendadak aku kesal dengan perkataan Asta. "Termasuk privasi ponsel suamiku sendiri. Begitu kan?"

"Ya. Itu juga."

Aku berdecak. "Aku nggak tau apa yang ada di ponselmu sampai harus melarangku mengutak-atiknya hanya karena kata privasi. Aku ini istri kamu, Mas. Apa suami istri itu ada batasan privasi?"

"Demi kebaikan semuanya, iya." 

Aku tersenyum miring. "Kebaikan untuk kamu kali."

Mendadak aku mengingat mantan Asta. Apa mungkin di ponsel Asta tersimpan chat pribadinya dengan perempuan itu? Kecurigaannya yang sempat pergi kembali muncul. Serius, aku makin penasaran apa yang Asta lakukan beberapa bulan belakangan. 

Sepanjang perjalanan pulang aku memilih diam. Masih kesal dengan pembahasan tentang privasi tadi di kafe. Begitu sampai rumah pun aku segera beranjak menuju kamar meninggalkan Asta yang kerepotan mengeluarkan belanjaan kami. 

Aku baru akan menghubungi Ralin ketika ponselku tiba-tiba berbunyi dan menampilkan caller ID tak dikenal. Ini sudah malam, kenapa masih saja ada orang iseng yang menghubungiku? Aku yakin ini telepon penipuan. Aku menekan tombol riject, sebelum menggulir ke aplikasi chatting. Namun, lagi-lagi caller ID yang tak dikenal menelepon. 

Penipu sekarang memang gigih. Sebelum berhasil bicara dengan target, mereka akan terus saja mengganggu. Tapi, aku enggak punya banyak waktu untuk melayani keusilan mereka. Aku kembali me-riject panggilan itu. Tapi, tidak lama setelah aku me-riject nomor itu mengirim pesan. 

+628134xxx : Angkat telepon gue, Ra. Gue Lula.

Lula? Aku mengerutkan kening. Tidak banyak nama Lula yang aku kenal. Bukan tidak banyak lagi, melainkan memang cuma satu orang yang aku kenal bernama Lula, yaitu sahabatku sendiri. Yang beberapa tahun belakangan tinggal di luar negeri. Jadi, seandainya memang itu benar-benar dia, berarti Lula ada di Indonesia dong!

Aku melebarkan mata dan kembali membaca pesan itu. Aku hendak mengetikkan pesan balasan ketika ponselku berbunyi lagi. Kali ini tanpa pikir panjang lagi aku mengangkatnya. 

"Halo?"

"Astaga, Ra! Sombong amat lo!" semprot orang yang mengaku Lula di ujung sana. 

"Ini beneran Lula temen gue?" tanyaku memastikan. 

"Ya iyalah, emang siapa lagi?" 

"Bentar-bentar. Gue tes dulu." 

"Kampret lo ya." 

"Soalnya setau gue Lula teman gue itu lagi di Itali. Lah ini masa nelpon gue pake nomer 62." 

"Gue udah balik, Raya Andara." 

Dia tahu namaku. Apa benar dia Lula teman gue? 

"Kok lo tau nama gue." 

Terdengar suara menggeram di sana. "Sumpah ya, kalau lo ada di depan gue, pasti udah gue uyel-uyel lo, Ra!" 

Aku terkikik. "Iya, iya. Santai dong. Gitu aja sewot." 

"Whatever. Besok pagi kita meet up ya. Pukul sepuluh di restoran nyokap. Lo masih inget kan?" 

"Wait! Ini beneran lo, La?" 

Embusan napas lelah terdengar lagi. "Udah, pokoknya gue nggak mau tau. Lo kudu datang. Kalau enggak persahabatan kita putus." 

Dan panggilan putus begitu saja. Aku memandang layar ponsel sesaat heran. Dari dulu kelakuan tuh anak enggak ada yang berubah. 

"Telepon dari siapa?" 

Aku mendongak saat suara Asta terdengar. Lelaki itu baru masuk ke kamar. Mungkin dia baru selesai membereskan barang belanjaan. 

"Bukan urusan kamu, Mas

 Ini privasi aku," jawabku sekaligus menyindirnya yang mengagung-agungkan kata privasi. 

Asta tampak menggeleng dan tidak menghiraukan aku yang memutuskan beranjak ke kamar mandi. Setidaknya di tengah rasa kesalku gara-gara privasi, ada kabar yang bikin aku lumayan hepi. Apa lagi kalau bukan kepulangan Lula, sahabatku paling bengal sejagat Indonesia. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status