Share

3. Gara-gara Privasi

last update Last Updated: 2021-07-29 20:44:56

Aku memilih tempat duduk dengan lantai pasir dekat kolam renang. Pendar cahaya dari lampu di dasar kolam terlihat cantik. Sudah aku duga sih kolam renang itu memang sengaja tidak difungsikan sebagaimana mestinya. Aku tergiur untuk melepas wedges yang aku kenakan, membiarkan telapak kaki menginjak pasir putih. Sudah lama sekali aku tidak bermain pasir di bibir pantai. Terakhir ketika aku dan Asta bulan madu ke Labuan Bajo. Sudah hampir dua tahun lalu. 

"Mas, kapan-kapan kita ke pantai lagi yuk," ajakku seraya melukis pasir dengan kakiku yang terbuka. 

Asta menutup buku menu, dia baru saja memesan makan malam kami. Dan waiter yang mencatat pesanan kami pun sudah pergi. 

"Anggap aja ini sekarang lagi di pantai, Ra." 

Aku mencebik dan melihat sekitar. Di seberang kananku, sisi lain kolam, terdapat bangunan ala-ala Yunani. Bangunan itu digunakan sebagain play ground. . Di belakang kami, di sisi kolam renang lain, terdapat gazebo panjang beratap jerami, dindingnya berwarna nude. Tidak menyilaukan mata. Kafe ini benar-benar sudah dirombak habis. Sangat berbeda dari terakhir aku ke sini.

Mataku memicing ketika menemukan seseorang yang sepertinya aku kenal. Aku memastikan lagi, untuk meyakinkan penglihatanku. 

"Mas." Aku mencolek lengan Asta yang dari tadi bermain ponsel. "Itu Ralin bukan sih?" 

Asta mendongak dan mengikuti arah pandangku. "Mana?" tanya Asta dengan kening berkerut. 

"Itu loh, Mas. Di belakang itu. Dia lagi sama cowok. Apa cowok itu pacarnya? Kok Ralin nggak pernah cerita? Kamu kenal cowoknya enggak?" Aku malah memberondong Asta dengan pertanyaan. 

"Mana aku tau, Ra. Aku aja baru liat." 

Bukan tanpa alasan aku bertanya tentang cowok itu. Siapa tahu kan dia satu kantor dengan Asta sama seperti Ralin. 

"Kirain satu kantor sama kamu juga, Mas." 

"Bukan. Orang luar kayaknya." 

Aku mengepalkan tangan. "Awas ya dia, punya pacar tapi enggak pernah cerita." 

"Mungkin dia malu." 

"Perlu aku samperin enggak, Mas?" tanyaku menyeringai. 

"Jangan. Nanti kita gangguin dia. Biarin aja. Kalau dia yang nyapa kita baru deh nggak apa-apa." 

Aku mencebik. Padahal aku penasaran banget. Ingin tahu lebih dekat wajah cowok itu. Hingga pesanan kami datang, aku terus mengawasi Ralin. 

.

"Ra, makan dulu," tegur Asta pelan. 

"Gila, aku beneran nggak sabar. Pengin nguyel-nguyel anak itu.

"Udah, makan dulu. Itu makanan jangan terlalu lama dianggurin."  

Aku mengangguk lalu menuruti perintah Asta. Aku sempat minta tukar posisi duduk dengan Asta agar aku bisa mengawasi Ralin. Karena dari tempat duduk Asta lebih mudah untuk memperhatikan Ralin, tidak perlu harus menengok ke belakang. Namun, Asta tidak memberikan. Aku harus cukup puas hanya menengok sesekali ke arah meja Ralin. Tapi begitu makananku tandas dan aku memalingkan wajahku kembali ke meja Ralin, dia dan cowok itu sudah raib dari mejanya. 

"Loh mereka ke mana, Mas?" tanyaku celingukan. 

"Udah pulang beberapa menit lalu," sahut Asta santai. 

"I-ih, kok kamu enggak bilang sih?" ujarku sebal. Padahal aku ada niat menghampiri mejanya saat sudah selesai makan. 

"Buat apa? Emang itu penting? Jangan terlalu kepo sama urusan orang lain, Ra."

"Ralin bukan orang lain, Mas. Dia sahabatku." 

Asta mengangguk. "Ya aku tau itu, tapi kalau sahabatmu itu enggak cerita, jangan lantas memaksanya cerita. Kamu harus bisa menghargai privasi orang meskipun dia sahabat kamu."

Mendadak aku kesal dengan perkataan Asta. "Termasuk privasi ponsel suamiku sendiri. Begitu kan?"

"Ya. Itu juga."

Aku berdecak. "Aku nggak tau apa yang ada di ponselmu sampai harus melarangku mengutak-atiknya hanya karena kata privasi. Aku ini istri kamu, Mas. Apa suami istri itu ada batasan privasi?"

"Demi kebaikan semuanya, iya." 

Aku tersenyum miring. "Kebaikan untuk kamu kali."

Mendadak aku mengingat mantan Asta. Apa mungkin di ponsel Asta tersimpan chat pribadinya dengan perempuan itu? Kecurigaannya yang sempat pergi kembali muncul. Serius, aku makin penasaran apa yang Asta lakukan beberapa bulan belakangan. 

Sepanjang perjalanan pulang aku memilih diam. Masih kesal dengan pembahasan tentang privasi tadi di kafe. Begitu sampai rumah pun aku segera beranjak menuju kamar meninggalkan Asta yang kerepotan mengeluarkan belanjaan kami. 

Aku baru akan menghubungi Ralin ketika ponselku tiba-tiba berbunyi dan menampilkan caller ID tak dikenal. Ini sudah malam, kenapa masih saja ada orang iseng yang menghubungiku? Aku yakin ini telepon penipuan. Aku menekan tombol riject, sebelum menggulir ke aplikasi chatting. Namun, lagi-lagi caller ID yang tak dikenal menelepon. 

Penipu sekarang memang gigih. Sebelum berhasil bicara dengan target, mereka akan terus saja mengganggu. Tapi, aku enggak punya banyak waktu untuk melayani keusilan mereka. Aku kembali me-riject panggilan itu. Tapi, tidak lama setelah aku me-riject nomor itu mengirim pesan. 

+628134xxx : Angkat telepon gue, Ra. Gue Lula.

Lula? Aku mengerutkan kening. Tidak banyak nama Lula yang aku kenal. Bukan tidak banyak lagi, melainkan memang cuma satu orang yang aku kenal bernama Lula, yaitu sahabatku sendiri. Yang beberapa tahun belakangan tinggal di luar negeri. Jadi, seandainya memang itu benar-benar dia, berarti Lula ada di Indonesia dong!

Aku melebarkan mata dan kembali membaca pesan itu. Aku hendak mengetikkan pesan balasan ketika ponselku berbunyi lagi. Kali ini tanpa pikir panjang lagi aku mengangkatnya. 

"Halo?"

"Astaga, Ra! Sombong amat lo!" semprot orang yang mengaku Lula di ujung sana. 

"Ini beneran Lula temen gue?" tanyaku memastikan. 

"Ya iyalah, emang siapa lagi?" 

"Bentar-bentar. Gue tes dulu." 

"Kampret lo ya." 

"Soalnya setau gue Lula teman gue itu lagi di Itali. Lah ini masa nelpon gue pake nomer 62." 

"Gue udah balik, Raya Andara." 

Dia tahu namaku. Apa benar dia Lula teman gue? 

"Kok lo tau nama gue." 

Terdengar suara menggeram di sana. "Sumpah ya, kalau lo ada di depan gue, pasti udah gue uyel-uyel lo, Ra!" 

Aku terkikik. "Iya, iya. Santai dong. Gitu aja sewot." 

"Whatever. Besok pagi kita meet up ya. Pukul sepuluh di restoran nyokap. Lo masih inget kan?" 

"Wait! Ini beneran lo, La?" 

Embusan napas lelah terdengar lagi. "Udah, pokoknya gue nggak mau tau. Lo kudu datang. Kalau enggak persahabatan kita putus." 

Dan panggilan putus begitu saja. Aku memandang layar ponsel sesaat heran. Dari dulu kelakuan tuh anak enggak ada yang berubah. 

"Telepon dari siapa?" 

Aku mendongak saat suara Asta terdengar. Lelaki itu baru masuk ke kamar. Mungkin dia baru selesai membereskan barang belanjaan. 

"Bukan urusan kamu, Mas

 Ini privasi aku," jawabku sekaligus menyindirnya yang mengagung-agungkan kata privasi. 

Asta tampak menggeleng dan tidak menghiraukan aku yang memutuskan beranjak ke kamar mandi. Setidaknya di tengah rasa kesalku gara-gara privasi, ada kabar yang bikin aku lumayan hepi. Apa lagi kalau bukan kepulangan Lula, sahabatku paling bengal sejagat Indonesia. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tergoda Cinta Teman Satu Kantor   23. Perhatian Kecil

    Aku terjebak di salah satu mal bersama Andeas. Ini tidak sesuai ekspektasi. Ingin menghindari lelaki itu malah jalan berdua tanpa tujuan begini. Sekarang aku bingung mau mencari apa di mal sebesar ini. Karena sebenernya memang aku tidak memerlukan apa pun. Sudah setengah jam kami keluar masuk toko, tapi nggak ada satu barang pun yang aku beli. "Jadi, kamu mau beli apa? Kok kelihatannya bingung banget," tanya Andeas saat kami keluar dari toko ke enam yang aku datangi. Wajah bingung dan cengiran yang aku tunjukkan pasti membuat lelaki itu heran. "Kalau kita makan dulu aja gimana? Capek juga ya keliling mal." Dia terkekeh pelan. Lah, siapa suruh mau ngantar aku? Tiba-tiba saja Andeas menggandeng tanganku lalu melangkah menuju salah satu restoran yang berada di ujung lantai ini. Jujur, aku terkejut. Mataku tidak lepas dari tangannya yang terus menggenggam tanganku tanpa risih. Sementara jantung di dalam rusukku sedang jumpalitan karena kelakuan Andeas. "Deas? Wah, tumben sekali ini

  • Tergoda Cinta Teman Satu Kantor   22. Rencana Outing

    Tidak ada siapa pun saat aku bangun tidur. Semalam aku menunggu Asta sampai larut dan memutuskan tidur dengan harapan keesokan lagi menemukan lelaki itu di sampingku. Namun, ternyata nihil. Sosoknya belum ada. Apa Asta nggak pulang? Aku mengusap wajah dan bergerak menyingkap selimut. Agak sedikit kesal karena ... Astaga, bagiku ini sepele kenapa sih dia harus nggak pulang? Langkahku yang hendak menuju kamar mandi tertahan ketika kepalaku memikirkan sesuatu. "Kalau semalaman nggak pulang, dia nginep di mana dong?" Mendadak aku gusar. Pikiran-pikiran negatif mulai hinggap. Aku memutar langkah dan bergerak meraih ponsel dari atas nakas. Mencoba menghubungi Asta. Terhubung, dan dahiku kontan mengernyit ketika mendengar bunyi nada dering ponsel milik Asta. Sontak kepalaku menoleh ke arah pintu, dan bergegas keluar kamar. Saat pintu terbuka, mataku langsung menubruk sosok Asta yang tengah tidur di sofa. Ada napas lega yang berembus begitu menemukan lelaki itu. "Aku pikir dia nggak pu

  • Tergoda Cinta Teman Satu Kantor   21. Kesal

    Aku menyipitkan mata. Melihat Asta bermuram durja setelah pulang dari membuat cola membuatku heran. Apa ban mobil bocor membuatnya sesedih itu? Aku menghampirinya dan mengambil alih es batu yang dia keluarkan dari freezer. "Kamu melamun?" tanyaku menatapnya sebentar, lalu beralih ke rak atas dapur mengambil tiga buah gelas panjang. "Kok tiga?" tanya Asta saat aku meletakkan gelas-gelas itu ke atas meja dapur. "Iya, Ralin katanya mau ke sini?" "Ralin? Dia mau ke sini? Tumben."Aku mengangguk lalu mulai memasukkan kotak-kotak es batu ke dalam gelas. "Katanya dia habis ke rumah tantenya. Nggak tau tante yang mana." Aku juga baru dengar Ralin punya tante di kawasan ini. "Kamu masih berteman sama dia?" Pertanyaan Asta membuatku terkekeh. "Ya masihlah. Pertanyaanmu aneh." Aku menggeleng lalu memutar badan menghampiri microwave, mengambil pizza yang sudah aku hangatkan. "Meski ini menu nggak sehat, tapi kalau dimakan rame-rame asyik. By the way, kita udah berapa lama nggak makan baren

  • Tergoda Cinta Teman Satu Kantor   20. Debat

    "Kasih aku waktu kamu sepenuhnya buat aku, baru aku akan jauhi Andeas."Itu cuma gertakan sambal. Sumpah, aku nggak ada hubungan apa pun dengan lelaki itu. Minat pun enggak. Tapi melihat Asta kebakaran jenggot seperti ini terasa menyenangkan. "Kamu kan tau kalau aku kerja. Kamu paham enggak sih makin tinggi jabatan seseorang itu akan makin besar pula tanggung jawabnya. Aku bukan makin leyeh-leyeh. Kamu pikir aku ngapain coba?" Aku mengeretakkan gigi di dalam mulut. Apa dia pikir aku tidak tahu. Tapi ya ampun, kesibukannya itu ngalahin presiden? Bahkan weekend pun kadang dia berangkat di saat para stafnya libur. Apa menjadi direktur se-hectic itu? "Kalian mah enak, job desk monoton dan bisa fokus. Kalau aku tetap harus mikir bagaimana cara agar omset terus naik tiap bulannya. Kalau penjualan kurang target siapa yang akan disalahkan? Aku, Ra. Sebagai pemimpinnya. Jadi, jangan kamu pikir pekerjaanku main-main." Asta terus mengomel. Padahal aku cuma minta waktunya. Buat apa dia jungki

  • Tergoda Cinta Teman Satu Kantor   19. Semanis Gula

    Aku lumayan syok saat Andeas ternyata mengajakku ke Bakery & Cafe Lula. Reaksi Lula melihat kami berdua masuk ke kafenya sudah bisa aku duga. Dia menyambut kami dengan senyum lebar, tapi matanya tidak berhenti menatapku dengan pandangan bertanya. "Ada yang mau traktir gue makan es krim katanya," ujar Andeas, tidak peduli dengan tatapan curiga Lula. Dia bergerak mencari meja mendahuluiku. Aku yang nggak ingin Lula bertanya macam-macam pun segera beranjak menyusul lelaki yang berprofesi sebagai manajer merketing itu. Namun, aku ternyata kalah cepat dengan tangan Lula yang tahu-tahu sudah menyambar lenganku. "Kok lo ke sini sama Deas nggak sama laki lo?" tanya Lula dengan suara pelan, kedua alisnya bahkan saling tertaut. "Kan lo yang jorogin gue kemarin pulang bareng dia," Aku mendelik sebal. Lula mengangkat kedua alisnya. "Berlanjut?" "Gue nggak tanggung jawab kalau sepupu lo naksir gue."Kini mata Lula melebar. "Serius lo? ada tanda-tanda?" "Gue ada di sini sama dia apa nggak te

  • Tergoda Cinta Teman Satu Kantor   18. Es Krim

    Aku nggak suka melihat wajahnya yang pura-pura polos itu. Dia spontan mengusap lehernya sendiri. Dengan raut bingung, entah itu hanya dibuat-buat atau bingung beneran. Tapi, justru makin membuatku kesal. "Tanda apa sih, Ra?" tanya dia mengerutkan dahi. Kenapa sih dia mesti pura-pura? Aku nggak bodoh! "Tanya aja sama selingkuhan kamu!" Asta menyipitkan mata. "Selingkuhan apa? Kamu jangan ngadi-ngadi ya, Ra." "Kamu tau pas aku mual pagi-pagi? itu karena aku jijik melihat tanda merah di leher kamu." "Tanda merah apa sih, Ra?" Ternyata Asta menyangkal. Padahal jelas-jelas aku melihat buktinya. Entah itu tanda yang dibuat sadar atau enggak, yang pasti itu tampak dengan jelas di mataku. Dan aku nggak bodoh buat mengsalah-artikan tanda apa itu. Aku menggeram dan tidak ingin membuang waktu berdebat dengan Asta soal pribadi di kantor. Segera aku mengayunkan kaki menuju pintu keluar. "Ra... Raya..." Aku terus melangkah, mengabaikan panggilannya. Kubanting pintu ruangan Asta dengan ke

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status