Share

Tergoda Cinta Teman Satu Kantor
Tergoda Cinta Teman Satu Kantor
Penulis: Yuli F. Riyadi

1. Aku Temani Kamu Tidur

"Kamu tidur aja dulu. Aku masih harus menyelesaikan pekerjaanku." 

Aku lagi-lagi harus menelan kecewa saat Asta mengatakan kalimat yang sama persis seperti malam kemarin. Belum juga aku mengganti pakaian dengan piyama tidur, bahkan membuka lemari saja belum. Tapi, Asta sudah memberi kalimat yang mana bisa juga aku artikan : Aku nggak mau diganggu malam ini. 

Aku membuang napas kasar ketika Asta keluar dari kamar. Lelaki itu sudah pasti akan menuju ruang kerjanya, menjauh dari gangguan yang bisa saja sewaktu-waktu aku lakukan. 

Sudah dari empat bulan lalu, Asta sedikit berubah sikap. Jadi, lebih dingin. Penyebabnya aku sendiri kurang tahu. Selama ini aku berusaha menjadi istri yang baik dan menyenangkan. Bahkan aku memutuskan resign dari kantor hanya agar bisa lebih fokus mengurus Asta. 

"Mas, kamu baik-baik aja, kan?" tanyaku suatu kali saat suamiku itu baru beranjak rebah ke tempat tidur.

"Kamu belum tidur?" Asta melirik jam dinding. "Ini udah hampir pukul dua belas malam. Dari tadi kamu ngapain aja?" tanya Asta melihat mata bulatku yang masih terbuka lebar. 

"Nungguin kamu. Kamu sibuk banget akhir-akhir ini," sahutku manja seraya bergelayut pada lengannya yang kekar.

Asta menghela napas. "Kamu sebaiknya langsung tidur kalau aku lama. Jangan ikut begadang. Perusahaan akan me-launching produk baru jadi kerjaanku menumpuk. Maaf, ya," ucapnya lalu mengusap lembut rambutku yang tergerai. 

Dan, hanya berakhir dengan kecupan singkat lantas Asta memilih memejamkan mata daripada menggauliku. Padahal aku sengaja menunggunya berjam-jam. 

Malam ini pun sama, Asta kembali menyuruhku tidur cepat. Aku menghela napas dan meraih ponsel. Kebiasaanku kalau sedang badmood gara-gara Asta, aku akan curhat sepanjang malam dengan Ralin—sahabatku dari jaman kuliah.

"Ada apa lagi sih, Ra?" tanya Ralin di sana terdengar bosan. Beberapa kali aku mendengar dia menguap.

"Mas Asta, Lin," rengekku seperti biasa. Selain sahabat, Ralin juga sudah seperti kakakku sendiri. Bersama wanita itu aku bisa bermanja-manja. Mengeluarkan semua keluh kesah tanpa malu atau pun ragu. Sebab Ralin akan selalu memberikan saran atau kadang solusi yang tepat pada setiap masalah yang aku hadapi. 

"Kenapa dengan Asta? Lembur lagi?" Ralin di sana menebak. Dia pasti bosan karena akhir-akhir ini sering curhat tentang Asta.

"Iya, gue harus tidur sendiri lagi. Gue udah tiga minggu loh nggak disentuh."

Terdengar helaan napas lelah dari sana. "Ya udah main solo dulu gih." 

"Mana enak!" 

"Mainnya sambil pantengin poto laki lo dong." 

Aku mendesis. "Enggak. Apaan. Saran lo kali ini sesat," ucapku bersungut. Ralin di ujung telepon terbahak. 

"Ya terus gimana lagi? Udah dua bulan ini lo ngeluhin hal yang sama. Coba dong ajak laki lo ngobrol. Kali aja nemu solusi." 

"Percuma, Lin. Dia malah bilang gue gila seks. Kan nyebelin. Umur pernikahan kami baru dua tahun. Wajar dong kalau gue mau dielus terus. Dia kali yang nggak normal. Udah nggak tertarik sama body gue yang aduhai."

Lagi-lagi Ralin tergelak. Sialan. Bicaraku yang ceplas-ceplos sering membuatnya tertawa. Aku merasa nggak perlu menyembunyikan apa pun darinya. Bahkan urusan ranjang aku berani membeberkan. Saking percaya dan nyamannya aku padanya.

"Sesekali lo datangi ruang kerjanya pake baju haram, plus heels merah merona. Dijamin dia klepek-klepek." 

"Gue ada niatan gitu sih. Tapi, takutnya dia marah kalau gue gituin." 

"Enggak bakal. Gue jadi kasihan lo tiga minggu nggak dipake. Ntar rapet lagi susah jebolnya," ujar Ralin tergelak. 

"Biarin makin rapet makin enak, kan?" 

"Ya udah lo coba saran gue aja. Kali aja berhasil," ujarnya cekikikan.

"Kalau nggak berhasil gue jorogin lo dari lantai sepuluh nanti." 

Memakai baju haram dengan heels? Hal gila yang nggak pernah aku lakuin sebelumnya. Dan sekarang? Lihat! Aku melakukannya. Hanya demi mengalihkan fokus Asta dari pekerjaannya. Aku sudah seperti istri kedua jika dia sudah berhadapan dengan pekerjaannya. 

Beruntunglah aku tinggal di rumah sendiri. Bukan dengan orang tua atau pun mertua. Jadi, saat aku mengenakan baju ala kadarnya seperti ini bisa sesuka hati berkeliaran di dalam rumah. 

Heels lima senti yang kukenakan terantuk membentur lantai granit rumahku yang berkilau. Aku berjalan pelan menuju ruang kerja Asta. Pintunya yang berukir asli Jepara melambai, seolah menyuruhku untuk cepat mendekat dan membukanya. 

Dengan pelan aku tekan gagang pintu itu. Aku menyeringai tipis saat terdengar bunyi 'klik' karena itu artinya pintunya nggak terkunci. Aku nggak langsung masuk dan memutuskan melongokkan kepala sebentar. Ingin tahu apa yang sedang suamiku lakukan. 

Dari sini aku bisa melihat Asta duduk di depan laptop dengan wajah serius. Sesekali membuka sebuah fail yang ada di tangannya. Lalu mengetikkan sesuatu di layar 14 inci di hadapannya. 

"Ada apa, Ra? Aku masih sibuk." 

Aku cukup kaget. Ternyata dia menyadari kedatanganku. Padahal sebisa mungkin aku nggak menimbulkan suara saat membuka pintu. 

Asta sama sekali nggak melirikku bahkan ketika aku bergerak mendekatinya. Dia belum sadar dengan penampilanku yang aneh malam ini. Aku mengitari meja kerjanya. Lalu berdiri bersandar pada tepian meja tepat di sebelah kanannya. Sangat dekat, tapi tetap saja Asta sama sekali nggak tertarik melirikku barang sejenak. Menyebalkan. Kehadiranku nggak bisa menggoyangkan konsentrasinya. 

"Mas, lihat aku sebentar dong," ucapku dengan suara yang mendayu. 

"Iya, sebentar," sahutnya sembari mengetik sesuatu pada tuts laptop. Kacamata yang bertengger di hidung bangirnya sedikit melorot. Aku berusaha sabar untuk beberapa menit lamanya.

"Mas," lirihku lagi. 

"Oke, ada apa?" tanya seraya mengalihkan atensinya padaku. 

Yes! Kali ini berhasil.

Tapi, bersamaan dengan itu dia terlonjak kaget. "Astaga, Raya! Apa-apaan kamu?!" pekiknya seperti tengah melihat hantu. 

Aku nggak mengharapkan reaksinya yang seperti itu. Harusnya dia senang atau sekadar menyeringai jail saat melihatku berbusana transparan yang memamerkan bentuk sintal tubuhku. Tapi, apa? Dia malah seperti orang kena serangan jantung dadakan. 

"Kamu dapat dari mana baju itu? Memangnya nggak dingin?" tanya Asta meneliti lingerie yang aku kenakan. 

Bibirku maju satu senti. "Nggak penting aku dapat baju ini dari mana. Yang penting itu Mas suka enggak?" tanyaku tersenyum seduktif.

Asta meringis lalu menggeleng. "Kamu aneh." 

Apa? Gimana aku nggak menyangka kalau dia sudah nggak selera padaku? Dia sama sekali nggak tergoda dengan penampilanku. Apa suamiku sudah nggak normal?! Ya Tuhan! Aku mengerang frustrasi dan itu makin membuat Asta heran menatapku. 

"Are you okay?" 

Sejujurnya aku sudah sangat emosi menghadapi sikap datar Asta belakangan. Puncaknya mungkin sekarang. 

"Mas, bisa enggak sih kamu berhenti sebentar ngurusin kerjaan? Emang nggak capek, udah seharian kerja malamnya harus lembur lagi?" tanyaku sebal. Alisku sudah keriting dibuatnya, tapi dia masih saja nggak tahu kalau aku butuh dibelai. 

"Raya, ini kerjaan urgent. Kalau enggak, buat apa aku ngoyo-ngoyo kerja begini? Semua juga demi kamu." 

Jawabannya membuatku makin meradang. Aku melepas heels dan melemparnya sembarang. Biar dia tahu aku nggak selamanya bisa bersabar. 

"Kalau gitu jangan salahkan aku kalau aku pulang ke rumah Mama karena suamiku sudah malas menemaniku tidur," tandasku lantas bergerak menjauhi Asta. 

"Raya!" 

Aku nggak peduli dan terus bergegas keluar dari ruang kerjanya. Kita lihat, apa setelah ini dia akan menolakku? 

Tungkai panjangku baru akan menaiki anak tangga, ketika dari belakang sebuah tangan mendekapku erat. Bukan hanya itu, bahkan aku merasakan sebuah kecupan mendarat di bahuku yang terbuka.

"Aku minta maaf. Oke, aku temani kamu tidur sekarang," bisiknya, yang lantas sanggup membentuk seulas senyum pada bibirku yang kemerahan.

________________

Jangan lupa dukung terus cerita ini ya....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status