LOGINBrak!
Klara terlonjak kaget. Suara pintu yang terbuka keras membuat jantungnya hampir meloncat dari dada. Dia refleks menoleh dan tubuhnya langsung melemas saat melihat siapa yang datang.
Adrian.
Wajah pria itu tampak tegang, matanya liar menelusuri ruangan sampai akhirnya bertemu dengan sosok Klara. Napasnya memburu seolah dia baru saja berlari dari parkiran sampai ke lantai atas tanpa berhenti.
“Ada apa, Klara?” Adrian langsung menghampiri dengan langkah besar dan tergesa, jas hitam yang dia kenakan bahkan belum sempat dia lepaskan.
“Apa yang terjadi padamu? Kau baik-baik saja, kan? Kenapa kau ke rumah sakit? Aku melihatnya di gps yang kusambungkan ke ponselku, kau baru saja pulang dari rumah sakit.”
Nada paniknya tidak bisa disamarkan. Mata gelapnya penuh kecemasan dan ketakutan yang tidak pernah Klara lihat sebelumnya.
Klara tersenyum tipis. Senyum kecil yang ingin menenangkan, meskipun hatinya sendiri juga
Dua minggu setelah babymoon mereka berakhir, mobil Adrian melaju perlahan memasuki kawasan perumahan elite yang tenang dan tertata rapi.Pohon-pohon tinggi berjajar di kiri kanan jalan, memberi kesan teduh dan eksklusif. Klara duduk di kursi penumpang dengan perasaan ringan, liburan itu memberinya ketenangan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.Dia sempat mengira mereka akan langsung pulang ke apartemen seperti biasa.Namun, mobil justru melambat dan akhirnya berhenti tepat di depan sebuah rumah megah tiga lantai.Klara mengerjap, menoleh ke luar jendela. Rumah itu berdiri anggun dengan desain modern minimalis: dominasi kaca besar, garis-garis tegas berwarna abu dan putih, serta taman depan yang tertata sempurna.Lampu-lampu eksterior menyala lembut, mempertegas keindahan fasadnya. Rumah itu persis seperti rumah impian yang sering Klara lihat di majalah arsitektur.Mobil dimatikan. Hening.Klara masih terpaku. “Adrian,” ucapnya perlahan, nyaris tak berkedip. “Rumah siapa ini?”Ad
Waktu telah menunjuk angka sebelas malam ketika villa itu kembali sunyi.Di luar, danau memantulkan cahaya bulan dengan tenang, sementara angin malam menyusup lewat celah jendela, membawa aroma tanah basah dan dedaunan.Lampu-lampu di dalam kamar dibuat redup, menciptakan suasana hangat dan intim yang terasa berbeda dari malam-malam sebelumnya.Adrian baru saja keluar dari kamar mandi ketika langkahnya terhenti.Pandangannya tertarik pada sosok Klara yang berdiri di dekat jendela.Ia mengenakan lingerie transparan berwarna lembut yang mengikuti lekuk tubuhnya dengan anggun, tidak berlebihan, namun cukup untuk membuat napas Adrian tertahan sejenak.Rambut Klara tergerai, kulitnya tampak berkilau diterpa cahaya lampu, dan senyum kecil di bibirnya seolah mengundang.“Hm. Istriku cantik sekali,” ucap Adrian pelan, nyaris seperti bisikan.Klara menoleh dan pipinya langsung menghangat menerima tatapan suaminya itu. “Kau menatapku seolah baru pertama kali melihatku,” katanya lembut.“Setiap
Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam dan di malam itu, suasana villa terasa lebih tenang dari biasanya.Lampu-lampu temaram menerangi ruang makan yang menghadap langsung ke danau.Di luar, air berkilau memantulkan cahaya bulan, sementara angin malam pegunungan berembus lembut, membawa udara dingin yang menenangkan.Meja makan telah tertata rapi dengan hidangan hangat. Klara duduk berhadapan dengan Adrian, menikmati makan malam sederhana yang terasa istimewa karena keheningan dan kebersamaan di antara mereka.Klara memotong makanannya perlahan, lalu mendongak menatap Adrian dengan sorot mata penuh rasa ingin tahu.Sejak sore, pikirannya dipenuhi oleh kejadian yang menimpa keluarga Adrian. Ada banyak hal yang belum ia pahami terutama tentang masa lalu orang tua suaminya.“Adrian,” panggil Klara dengan pelan. “Boleh aku tanya sesuatu?” tanyanya kemudian.Adrian mengangkat wajahnya. “Tentu.”“Kau tidak pernah banyak bercerita tentang Papa dan Mama,” ujar Klara hati-hati.“Tentang bagaim
Telepon itu datang ketika senja mulai turun, saat Adrian baru saja kembali ke villa setelah berjalan singkat bersama Klara di tepi danau.Udara masih sejuk, langit berwarna jingga keemasan. Adrian berdiri di teras, memandangi air danau yang tenang, ketika ponselnya bergetar di saku jaketnya. Nama Alex muncul di layar.Entah kenapa, dadanya mendadak terasa tidak nyaman.“Alex,” jawab Adrian setelah mengangkat panggilan. “Ada apa?”Suara Alex terdengar lebih serius dari biasanya. “Ada yang ingin aku beritahumu karena ini sangat penting. Patryk sudah ditahan polisi.”Adrian mengernyit. “Ditahan? Di mana dia ditemukan sampai polisi berhasil membekuknya?” tanyanya kemudian.“Karena kebodohannya sendiri,” jawab Alex singkat. “Dia nekat masuk ke rumah orang tuamu, Adrian.”Tubuh Adrian menegang. Tangannya refleks mencengkeram ponsel lebih erat. “Masuk ke rumah orang tuaku?” ulangnya pelan. “Apa yang dia lakukan di sana?”Alex menarik napas di seberang sana. “Dari yang aku dengar, kelihatanny
Rumah besar keluarga Wijck pagi itu terasa jauh lebih sunyi dari biasanya. Tidak ada tawa, tidak ada kesibukan khas rumah yang selalu hidup.Patryk tahu alasannya karena Adrian masih bulan madu bersama Klara, entah di sudut dunia mana. Kesempatan itu cukup baginya untuk datang tanpa harus berhadapan langsung dengan pria yang paling dia waspadai.Langkah Patryk terdengar mantap saat memasuki ruang tengah. Aroma teh hangat dan bunga segar memenuhi ruangan.Helena sedang duduk di sofa, membaca sesuatu di tabletnya. Begitu mendengar suara langkah, ia mengangkat kepala dan seketika wajahnya mengeras.Helena berdiri. “Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya dingin, nyaris tanpa basa-basi. Tatapannya menusuk.“Kau sudah menipu kami. Jadi jangan harap aku akan menyambutmu seperti saat aku belum tahu bahwa kau bukan anak William.”Patryk tersenyum miring. Senyum yang tidak pernah benar-benar mencapai matanya. “Tenang saja,” katanya ringan. “Aku tidak datang ke sini untuk disambut sebagai cucu.
Di ruang kerja yang redup dan dipenuhi aroma alkohol serta asap rokok, James berdiri menghadap layar televisi yang masih menampilkan potongan berita pagi.Foto Adrian dan Klara terpampang jelas tengah tersenyum, saling menggenggam tangan, dengan judul besar tentang pernikahan yang kini menjadi perbincangan media dan publik.Jari-jari James mengepal dan rahangnya mengeras. Dalam satu gerakan kasar, ia meraih gelas di meja dan membantingnya ke dinding. Kaca pecah berhamburan, tapi amarahnya belum juga surut.“Brengsek,” desisnya. “Semua ini benar-benar brengsek.”Patryk, yang sejak tadi duduk di kursi kulit di sudut ruangan, menatap James dengan wajah datar.Ia sudah hafal ledakan emosi semacam ini. “Tenang,” katanya akhirnya, suaranya rendah namun tegas. “Marah-marah tidak akan mengubah apa pun.”James berbalik cepat. “Kau tidak mengerti!” bentaknya. “Dengan pernikahan ini, semuanya berakhir. Aku tidak akan mendapatkan sepeser pun dari harta keluarga Wijck. Tidak satu pun!”Patryk meng







