“Tidak mungkin aku tidur dengan Paman!” Klara nyaris berteriak saking kagetnya.
“Paman adalah ayahnya Patryk, tidak mungkin,” ulangnya lagi seperti orang linglung. Adrian duduk di kursi kerjanya dan menatap Klara dengan sorot mata yang tenang. Tidak ada sedikit pun keraguan atau penyangkalan. Namun, senyum tipisnya justru membuat Klara semakin panik. “Akulah yang bersamamu semalam, Klara,” tegas Adrian lagi. “Apa perlu kita ulangi agar kau ingat?” Seketika, tubuh Klara meremang tak karuan. Pangkal pahanya pun berdenyut, membayangkan hubungan tabu yang mereka lakukan semalam. “I-ini salah, Paman.” Klara menggelengkan kepalanya. Matanya sudah mengembun, karena didera panik. “Maafkan aku. Aku mabuk berat semalam. Aku tidak bermaksud menggoda Paman Adrian. Bisakah kita lupakan saja kejadian semalam?” “Melupakannya?” ulang Adrian. Wajahnya mengeras. Ia tampak tidak setuju. “Bagaimana kalau kau hamil? Kau tahu … kita tidak hanya melakukannya sekali, dan aku tidak menggunakan pengaman apa pun selama hubungan itu terjadi.” Tubuh Klara semakin bergetar. Ia langsung membayangkan kejadian buruk yang mungkin terjadi–seperti kata Adrian barusan. Namun, akal sehatnya masih menolak. Putus dari anaknya, berakhir ke pangkuan papanya? Klara benar-benar tidak habis pikir dengan nasibnya. “Tidak, Paman. Usia kita jauh berbeda. Lagipula, Paman adalah ayahnya Patryk. Bagaimana mungkin aku menjalin hubungan denganmu?” tolak Klara lagi. Perlahan, Adrian membuka laci kerjanya. Ia mengempaskan beberapa foto di atas meja. “Patryk sudah lama mengkhianatimu. Mereka berdua sering check in tanpa sepengetahuanmu.” Mulut Klara terbuka lebar. Ia kemudian memperhatikan satu per satu foto itu dengan tatapan mata yang semakin terluka. Sungguh, dia kira perselingkuhan Patryk dengan Claudia baru terjadi semalam. Namun dari semua bukti-bukti ini, hubungan terlarang dua orang itu telah berlangsung lebih lama dari yang Klara bayangkan. “Dari mana Paman dapat ini?” tanya Klara. Meski hatinya terluka, dia tidak lantas percaya. Apalagi, Adrian adalah ayah Patryk. Bukankah seharusnya Adrian membela putranya sendiri? “Itu hal yang sangat mudah, Klara.” Adrian berdiri. Kini, mereka berhadapan dengan meja sebagai pemisahnya. “Sekarang, apa yang akan kau lakukan? Kau masih mau diam, atau kau punya rencana lain?” pancing Adrian. “Tentu saja. Aku ingin balas dendam, Paman. Aku ingin membuat Patryk menyesal karena sudah selingkuh!" ucapnya dengan mata memerah penuh dengan amarah. Bayangan saat Patryk mencium bibir Claudia begitu brutal dan liar, membuat ulu hati Klara kembali nyeri. Tidak bisa! Klara tidak bisa diam saja setelah apa yang dilakukan oleh mereka padanya! “Balas dendam seperti apa yang ingin kau lakukan, hm?” tanya Adrian dengan suara beratnya. Klara menelan ludahnya mendengarnya. Bagaimana mungkin dia memberitahu Adrian tentang balas dendam yang akan dia lakukan pada anaknya itu. “Selama ini dia hanya memanfaatkanku. Claudia bilang, aku tidak menarik bahkan tidak pantas dibawa ke tempat resmi seperti pesta dan lainnya,” ucap Klara dengan napas yang tertahan menahan gejolak emosi yang menggebu. “Sial! Selama ini aku telah ditipu oleh anakmu, Paman!” geram Klara. “Aku ingin membuatnya menyesal apa pun itu caranya!” Adrian menatap datar wajah Klara. “Aku bisa membantumu.” Dia memancing kembali agar Klara mau bicara. “Membantuku?” Klara menaikan alisnya. “Ya. Jadilah sugarbaby-ku. Tunjukkan pada Patryk dan sepupumu kalau kau lebih bahagia denganku,” ujar Adrian lantang. Wajah Klara berubah pias. Darah terasa mengalir cepat ke kakinya, membuatnya terlihat pucat. “Apa Paman gila?!” reflek Klara frustrasi. Kesalahan mereka yang semalam saja sudah membuat Klara frustrasi. Sekarang, ditambah lagi ajakan Adrian yang sangat tidak masuk akal … membuat Klara seolah ingin gila saja! “Tidak. Aku justru ingin menyelamatkanmu.” Dengan tenang, pria itu berujar. “Kau bisa balas dendam, sementara aku bisa bertanggung jawab atas ‘kesalahan’ kita semalam.” Adrian menekankan kata ‘kesalahan’ di akhir kalimatnya. Namun meski begitu, Klara tidak melihat Adrian benar-benar merasa bersalah. Alih-alih bersalah, pria itu justru terlihat ingin melanjutkan hubungan semalam mereka menjadi hubungan yang lebih jauh. Detik ini, Klara benar-benar dibuat bingung. Sakit hatinya dikhianati sepupu sendiri membuat dia ingin mengambil tawaran itu. Namun di sisi lain, dia takut akan konsekuensi di balik keputusannya. “Bagaimana, Klara?” tanya Adrian lagi, sebab Klara terlihat terlalu lama menimbang. Pria itu bangkit dan menghampiri Klara. Tatapan tajam Adrian seolah menelanjangi Klara yang terlihat rapuh, tapi menggemaskan itu. Pria itu memangkas jarak, membelai lembut pipi Klara dan berkata dengan suara yang begitu lembut, “Jadilah sugarbaby-ku, aku akan berikan apa pun yang kau mau.” “P-paman, aku ….”Pagi itu, kantor pusat Wojcik Group tampak seperti biasa: sibuk, penuh karyawan yang berlalu-lalang dengan tumpukan berkas, suara langkah sepatu, dan bunyi pintu lift yang terus berdenting.Klara berjalan dengan cepat menuju meja kerjanya sembari mencoba menata diri. Malam sebelumnya masih membekas di kepalanya, bagaimana Adrian hampir saja mencium bibirnya, lalu diselamatkan oleh dering telepon.Wajahnya merona setiap kali bayangan itu kembali. Ia menggeleng, berusaha mengusir rasa kacau yang mengganggu konsentrasinya.“Ah, sial! Aku tidak bisa melupakan malam itu lagi,” gerutunya pada dirinya sendiri.Belum sempat dia duduk, suasana kantor mendadak tegang. Beberapa staf saling melirik dan berbisik-bisik. Klara mengikuti arah pandangan mereka—Patryk.Pria itu berdiri tegak di lobby kantor mengenakan setelan jasnya rapi, tapi sorot matanya penuh amarah.Ia berjalan cepat seolah siap menerobos ke ruangan CEO. Dan benar saja, tanpa basa-basi, Patryk langsung menuju pintu ruangan Adrian,
“Ak-aku ….” Klara menelan ludahnya mendengar bisikan Adrian yang berhasil membuat degup jantungnya semakin kencang. Klara tak sanggup berkata lagi karena tubuhnya sudah lebih dulu tegang. “Kenapa wajahmu tegang sekali?” suara baritonnya pecah dalam keheningan sehingga terdengar begitu rendah dan menggetarkan. Klara kembali menelan ludahnya dengan susah payah. “Jangan bicara tentang malam itu lagi, Paman—”“Just call me Adrian. Kita sudah resmi jadi sepasang kekasih, bukan? Kenapa kau masih memanggilku dengan embel-embel itu?” bisiknya dengan wajah yang begitu dekat menatap Klara. Klara menghela napasnya lalu mengangguk pasrah. “Baiklah, Adrian. Jangan bahas soal malam itu lagi.”Bukannya merespon, Adrian justru menggeser tubuhnya dan mendekat hingga jarak mereka hanya tinggal helaan napas. Aroma parfumnya yang maskulin menyergap indera Klara hingga membuatnya sulit bernapas. Tangan Adrian nyaris menyentuh punggung tangannya, namun Klara dengan cepat menarik diri.“Aku hanya ingin
Ruangan VIP itu jauh dari hiruk pikuk pesta. Lampu redup, aroma kayu manis dari lilin aromaterapi memenuhi udara, menenangkan sekaligus memancing detak jantung yang tak menentu.Musik lembut dari grand piano di sudut ruangan terdengar samar, seakan menjadi saksi bisu bagi gejolak yang sebentar lagi meledak.Klara duduk di sofa kulit berwarna marun, tubuhnya masih tegang. Gaun putihnya yang anggun kini terasa terlalu sesak di dada.Tangannya meremas ujung roknya, matanya menatap kosong pada permukaan meja kaca di depannya.Adrian menuangkan minuman ke dua gelas kristal. Cairan amber berkilau terkena pantulan cahaya lampu. Gerakan pria itu tenang, elegan, dan menghipnotis.“Minumlah.” Adrian menyodorkan satu gelas pada Klara. Suara baritonnya lembut, tapi penuh perintah.Klara menoleh dan menatap gelas itu sebentar, lalu menerimanya.Ia meneguknya perlahan, membiarkan rasa hangat alkohol merambat ke tenggorokannya. “Aku … masih tidak percaya, Paman,” ucapnya lirih.Adrian mengangkat ali
Suasana pesta yang semula riuh dengan musik jazz dan tawa ringan para tamu mendadak menjadi tegang. Beberapa kepala mulai menoleh ke arah mereka.Tatapan mata para undangan yang semula hanya mengagumi penampilan Adrian dan Klara kini berubah penuh rasa ingin tahu.Ada yang berbisik, ada yang saling menyikut, bahkan ada yang diam-diam mengangkat ponsel untuk merekam.Klara merasakan degup jantungnya menggema di telinga. Ia tidak pernah menyangka akan ada drama seperti ini di depan publik.Tangannya yang tadi sempat digenggam kasar oleh Patryk masih terasa berdenyut.Namun genggaman protektif Adrian yang kokoh membuatnya seolah berada di benteng yang tak tergoyahkan.“Lepaskan dia, Son!” suara Adrian meninggi, begitu tajam hingga membuat beberapa pelayan tertegun di tempat.Tatapan matanya dingin, menusuk, penuh ancaman.Patryk, dengan wajah merah padam, tidak juga melepaskan Klara. “Dad, kau sudah gila! Dia itu mantan kekasihku! Bagaimana bisa kau–kau—” suaranya tercekat, nyaris patah
“Aku bersedia, Paman.”Katakan Adrian adalah pria gila dan nekad. Akan tetapi, Klara yang berakhir bersedia menjadi sugar baby sang ayah mantan itu sudah sama gilanya.Tatapan mata, sentuhan lembut, dan bahkan suara Adrian membuat Klara seolah tersihir hingga ia dengan mudah menyetujui penawaran itu. Senyum di bibir Adrian seketika merekah mendengar jawaban Klara, “Good girl,” ucap Adrian. Setelahnya, pria itu mengecup bibir Klara dengan cepat.“Bersiaplah, nanti malam ada acara ulang tahun perusahaan. Temani aku, dan jadilah gadis manis yang memesona. Tunjukkan pada Patryk bahwa kau pantas hadir di acara pesta itu.”Sekujur tubuh Klara meremang bukan main. Namun anehnya, ia tidak bisa marah ketika Adrian tadi mencuri kecupan dari bibirnya.Dan puncaknya adalah … ia menuruti Adrian untuk menjelma menjadi gadis yang memesona malam ini.Dengan sebuah backless dress putih yang mengikuti lekuk tubuhnya, Klara tampak sederhana, tetapi anggun.Potongan one-shoulder yang dipadukan dengan ke
“Tidak mungkin aku tidur dengan Paman!” Klara nyaris berteriak saking kagetnya.“Paman adalah ayahnya Patryk, tidak mungkin,” ulangnya lagi seperti orang linglung.Adrian duduk di kursi kerjanya dan menatap Klara dengan sorot mata yang tenang.Tidak ada sedikit pun keraguan atau penyangkalan. Namun, senyum tipisnya justru membuat Klara semakin panik.“Akulah yang bersamamu semalam, Klara,” tegas Adrian lagi. “Apa perlu kita ulangi agar kau ingat?”Seketika, tubuh Klara meremang tak karuan. Pangkal pahanya pun berdenyut, membayangkan hubungan tabu yang mereka lakukan semalam.“I-ini salah, Paman.” Klara menggelengkan kepalanya. Matanya sudah mengembun, karena didera panik.“Maafkan aku. Aku mabuk berat semalam. Aku tidak bermaksud menggoda Paman Adrian. Bisakah kita lupakan saja kejadian semalam?”“Melupakannya?” ulang Adrian. Wajahnya mengeras. Ia tampak tidak setuju.“Bagaimana kalau kau hamil? Kau tahu … kita tidak hanya melakukannya sekali, dan aku tidak menggunakan pengaman apa pu