Sebetulnya Fajrin dan Indriani tidak mendapatkan surat peringatan. Wirya hanya meminta keduanya cuti untuk merenungi perbuatan mereka yang telah meloloskan Zaara pergi tanpa pengawasan.
Seharusnya kedua pengawal tersebut tetap kukuh untuk ikut ke Singapura, atau mereka bisa melaporkan hal itu pada Yusuf, pengawas pasukan pengawal Latief, yang akan segera mengambil tindakan darurat.
Akan tetapi, karena takut diomeli Zaara, akhirnya Fajrin dan Indriani mengalah untuk tutup mulut tentang keberadaan sang nona, yang akhirnya mengakibatkan kericuhan di keluarga Latief.
"Lain kali, jangan bertindak semaunya, Ra. Akibatnya begini, banyak orang jadi terseret," tutur Wirya, setelah Zaara menghentikan penjelasannya.
"Ya, Bang. Sekarang aku nyesal. Ayah sakit, Ibu ngambek, Mas Ivan marah-marah. Belum lagi kedua pengawal kena imbasnya. Dan yang paling memalukan, aku sampai merepotkan Kang Ian," cicit Zaara sambil mengusap matanya dengan tisu.
"Mas Ivan marah karena cemas. Dia juga kalut ayahmu syok dan terkena serangan jantung. Nanti juga dia bakal balik baik lagi. Begitu juga dengan Ibu."
"Hu um."
"Kamu udah makan malam?"
"Belum."
"Mau pecel lele atau ayam goreng?"
"Dua-duanya. Pakai nasi uduk."
"Kita langsung berangkat aja biar nggak kelamaan nunggu."
"Sama Cici Lien?"
"Enggak. Berdua aja. Kita kencan."
Zaara mengulum senyuman. Dia menyukai sifat humoris Wirya. Keduanya berdiri dan jalan keluar ruang tamu. Wirya memanggil istrinya yang berada di rumah Zulfi di sebelah kanan. Kemudian mereka menaiki kendaraan.
Tidak berselang lama, Zaara, Wirya, Delany dan anaknya, Bayazid, telah berada di mobil Shurafa yang dikemudikan Listu, ketua regu pengawal keluarga Latief.
Wirya mengarahkan Listu ke rumah makan terdekat. Kemudian dia menelepon Zulfi agar menyusul ke tempat itu.
Sementara itu di tempat berbeda, Alvaro yang sedang berbincang dengan Yanuar, ditelepon Hadrian. Pria berparas luar negeri mendengarkan penuturan sahabatnya yang masih berada di Singapura, hingga Hadrian usai berbicara.
"Besok, setelah dari kantor polisi, mending langsung pulang, Kang," tukas Alvaro, setelah Hadrian menuntaskan percakapan.
"Ya, aku memang berencana begitu. Di sini bawaannya emosi," cakap Hadrian.
"Kemaren sempat bengep-bengep nggak si lemot itu?"
"Leroy? Kayaknya begitu. Aku nggak tahu bentuk mukanya kayak gimana setelah kuhantamkan kepalanya ke kaca mobil. Aku langsung sibuk mindahin Zaara ke mobilku, sampai nggak ngeh kalau tas Zaara ketinggalan."
"Akang panik."
"Hu um. Karena kupikir Zaara pingsan karena obat nggak jelas."
"Dia nuangin apa, sih?"
"Enggak tahu. Botol kecil, bening."
"Mesti nanya ke Mas Ben."
"Nanti aku search dulu gambarnya, biar Mas Ben bisa ngira-ngira isinya apa."
"Oke, kutunggu besok malam."
"Di mana?"
"Unit Akang aja. Sudah lama kita nggak bikin rusuh di sana."
"Boleh, tapi bawa suguhan sendiri. Kulkasku kosong."
"Tuan rumah yang aneh."
"Sekali-sekali tamu yang bawa sendiri makanannya. Biar aku bisa ngirit."
"Yaelah. Balik lagi dia jadi Hadrian pelit," sela Yanuar yang turut mendengarkan percakapan tersebut melalui pengeras suara.
"Aku butuh tambahan duit, biar bisa bayar detektif buat nyelidikin si lemot, Yan. Mahal, euy, di sini," jelas Hadrian.
"Enggak perlu kayaknya."
"Terus, kumaha? Dia berani ngelaporin aku ke polisi dan aku mau balas dendam."
"Nanti setelah rapat, kita datangi Mas Elkaar. Temannya yang dulu bantuin kasus Delany sama Hao-ran, masih dinas di Singapura," ungkap Alvaro.
"Siplah kalau gitu," lontar Hadrian.
"Kalau sudah di pesawat, telepon aku, Kang. Kujemput aja," celetuk Alvaro.
"Thanks, Var."
"Sami-sami."
"Aku tutup dulu, ya. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Hadrian masih memandangi ponselnya selama beberapa saat. Pria berkaus merah memutar-mutar benda itu sembari membayangkan reaksi Leroy saat dirinya membalas melaporkan pria tersebut.
Sebelum menghubungi Alvaro, Hadrian telah menelepon Margus dan menjelaskan rencananya pada pengacara keluarga Dirk yang cukup terpandang di Singapura. Pria tua tersebut menyanggupi untuk mendampingi sekaligus menjadi kuasa hukum Hadrian.
"Man, bereskan barang-barangmu," ucap Hadrian saat ajudannya muncul dari pintu depan.
"Kita mau langsung pulang, Kang?" tanya Kirman.
"Ya. Aku pesan tiket yang sore."
"Oke."
"Nyampe Jakarta, kamu boleh pulang ke Karawang. Libur seminggu."
"Akang nanti dikawal siapa? Syaiful dan Rudi lagi ngawal Mas Daru sama ayahnya ke Sulawesi."
"Aku nggak dikawal juga nggak apa-apa. Atau nanti aku langsung minta cadangan aja ke Varo. Dia yang jemput kita di bandara."
"Aku pulang, boleh pinjam mobil kantor? Malu pake travel, mukaku kuning-kuning gini."
"Ya. Kamu telepon Aprilia. Minta sopir kantor ngantar itu mobil ke apartemen. Kuncinya titip aja ke PAM lobi."
"Oke."
"Jangan lupa isi bensin, full."
"Urang kasbon atuh."
Hadrian berdecih. "Gajimu ke mana, Man? Asa sering kasbon wae."
"Ibu minta tambah biaya kuliah nu bungsu. Teu enak mau nolak."
"Sisihkan sedikit buat pribadimu. Jangan semua dikorbankan buat keluarga. Kamu juga harus punya tabungan buat ngelamar anak orang."
"Akang duluan aja. Urang nanti-nanti nggak apa-apa."
"Jangan ngikutin jejakku. Kalau sudah pengen nikah, segerakan. Kasihan pacarmu nungguin bertahun-tahun. Dia perempuan. Lewat dari umur dua puluh tujuh, bakal digosipin orang sebagai perawan tua."
"Dia baru dua puluh lima, Kang. Masih dua tahun lagi."
"Tahu-tahu dia bosan nungguin kamu dan nerima lamaran pemilik kedai bakso tea."
"Sok aja kalau berani. Urang cincang eta lalaki biar jadi bakso urat!"
*** Wajah Hadrian merah padam seusai dicecar penyidik polisi yang menangani kasusnya. Pria berkemeja hijau pas badan benar-benar emosi karena posisinya terjepit.Pihak kuasa hukum Leroy menyertakan visum komplet yang menampilkan kondisi kliennya yang babak belur, setelah dihajar Hadrian. Selain itu mereka juga melampirkan foto-foto mobil Leroy yang dalam kondisi baret-baret setelah ditabrak Hadrian dari samping kiri.
Margus menenangkan kliennya yang berulang kali mengepalkan kedua tangan. Seperti halnya pihak Leroy, Margus juga kukuh dengan bukti-bukti yang dimiliki Hadrian.
Tommy, Sophia dan Kirman telah memberikan kesaksian. Begitu pula dengan beberapa karyawan restoran dan sejumlah orang yang kebetulan bertemu dengan Leroy, saat pria itu memaksa Zaara memasuki mobilnya di tempat parkir.
Rekaman CCTV di area itu juga memperkuat bukti pihak Hadrian. Demikian pula dengan kondisi Kirman yang dikeroyok orang-orang suruhan Leroy yang masih menyembunyikan diri.
Margus juga berusaha untuk menekan pihak polisi agar memaksa pihak restoran menyerahkan rekaman CCTV di area dalam. Dengan begitu kemungkinan besar akan terlihat perilaku Leroy yang mencampurkan cairan ke gelas Zaara.
"Kamu harus tetap tenang, Hadrian," tukas Margus, sesaat setelah mobil yang dikemudikan Kirman melaju keluar dari tempat parkir kantor polisi.
"Apa aku akan ditangkap, Om?" tanya Hadrian yang dibalas gelengan sang pengacara.
"Polisi nggak bisa melakukan itu, karena pihak kita juga akan bersikeras agar mereka menangkap Leroy."
"Kalau tahu akan begini, mending kubunuh aja dia sekalian waktu itu, dan mayatnya dibuang."
Margus mengulaskan senyuman. "Itu ide yang bagus. Jika lain kali dia mencoba menggertakmu, boleh dijalankan rencana itu."
Sudut bibir Hadrian berkedut, kemudian dia terkekeh karena merasa lucu dengan ucapannya. Margus menepuk pundak pria muda yang sudah dikenalnya sejak masih menjadi direktur operasional di perusahaan milik Larry, beberapa tahun silam.
Pria tua tersebut memahami kegeraman Hadrian akibat laporan berlapis pihak Leroy. Margus mengingat-ingat untuk menghubungi rekannya yang kemungkinan bisa membantu, buat memukul balik serangan Leroy dengan telak.
60Jalinan masa terus bergulir. Kehidupan rumah tangga Hadrian dan Zaara kian harmonis. Setiap minggu pertama dan kedua, mereka akan menetap di Bandung.Bila Hadrian bekerja di restorannya ataupun melakukan rapat dengan teman-teman PG dan PC yang bermukim di Kota Bandung, maka Zaara juga menyibukkan diri dengan belajar memasak pada Ana.Seperti pagi itu, seusai sarapan, Zaara berpamitan pada asisten rumah tangga. Dia mengajak Indriani untuk bergegas ke kediaman sang mertua.Setibanya di tempat tujuan, ternyata di sana sedang ramai ibu-ibu sekitar yang dikaryakan Ana, bila kebetulan tengah mendapatkan orderan katering besar."Bu, siapa yang mesan katering?" tanya Zaara, seusai menyalami mertuanya dengan takzim."Mamanya Reinar. Nanti sore, ada pengajian di rumahnya," jelas Ana sembari melanjutkan memotong bolu ketan hitam.Zaara tertegun sesaat, kemudian dia menggeleng pelan. "Aku lupa acara itu. Padahal Karen sudah ngundang di grup.""Kita berangkat sama-sama. Ibu sekalian mau ketemu m
59Mobil-mobil lainnya muncul dari belakang. Wirya meneriaki Kirman agar menambah kecepatan mobil. Hal serupa juga dilakukan keempat sopir lainnya. Gibson dan Cedric yang berada di mobil paling belakang, menarik senapan laras panjang dari bawah. Mereka mengintip dari pintu kanan dan kiri, yang kacanya telah terbuka sepenuhnya. Rentetan tembakan diarahkan Gibson dan Cedric ke deretan mobil-mobil di belakang. Fabian yang menjadi sopir, melakukan manuver zig-zag yang sering dilstihnya bersama teman-teman pengawal lainnya. Banim yang berada di samping kiri sopir, mendengarkan penjelasan Wirya melalui sambungan telepon jarak jauh. Banim manggut-manggut, sebelum memutuskan panggilan. "Bang, dirut minta kita maju," tukas Banim. "Ke mana?" tanya Fabian. "Paling depan. Bang Kirman mundur, karena Pak Tio mau jadi koboi." Fabian mengulum senyuman. Sebagai salah satu pengawal lama, dia mengetahui jika Tio sangat ingin bisa mempraktikkan ilmu menembaknya secara maksimal. Fabian menambah ke
58Pagi menjelang siang, kelompok pimpinan Kirman tiba di rumah sakit swasta terkenal di Singapura. Syuja, Gibson dan Dimas tetap berada di mobil. Sementara Loko, Michael dan Cedric menunggu di lobi, bersama lima anak buah Jeremy Cheng. Di ruang perawatan VVIP, Hadrian berbincang dengan Stefan dan Gerald Cheng. Sebab Leroy masih kesulitan untuk berbicara panjang, dia meminta kedua saudaranya untuk menyampaikan maksudnya pada sang tamu. Hadrian membaca surat permohonan izin yang telah dibuat tim kuasa hukum keluarga Cheng. Hadrian mendiskusikan hal itu dengan Tio, Dante dan Baskara, sebelum menandatangi surat itu. "Terima kasih atas bantuannya," tutur Stefan, sesaat setelah Hadrian memberikan lembaran asli surat itu padanya. Sementara salinannya dititipkan pada Tio. "Kembali kasih," jawab Hadrian. Dia memandangi pria bermata sipit yang sedang duduk menyandar di ranjang. "Cepat pulih, Leroy. Tuntaskan hukumanmu. Baru lanjutkan bisnis dengan cara yang lebih baik," ungkapnya. Leroy m
57*Grup Pasukan Penjaga Wirya*Zulfi : Astagfirullah. Grup naon deui, iyeuh?Haryono : Aku ada di mana?Yoga : Kaget aku. Logonya foto Wirya.Andri : Kayak masih muda di foto itu.Yanuar : Memang masih culun dia. Baru lulus diklat satpam.Alvaro : @Kang Ian, nemu di mana itu foto?Hadrian : Aku nyomot dari IG-nya Wirya, @Varo.Wirya : Loh, kok, ada fotoku di situ?Hadrian : Sesuai nama grup, @Wirya.Tio : Aku sampai bolak-balik ngecek. Kirain salah grup.Dante : Aku ngakak baca nama grupnya.Baskara : Tapi, memang benar, sih. Wirya harus punya pasukan bodyguard khusus.Linggha : Saya sampai bingung. Tiba-tiba ada di grup ini.Bryan : Orang Indonesia. Bisa nggak, grup chatnya off dulu? Di sini sudah jam 1 malam.Hadrian : Belum tidur, @Mas Bryan?Bryan : Aku baru nyampe rumah. Capek banget.Benigno : Habis dari mana, @Mas Bryan?Bryan : Chairns. Bareng Jourell.Alvaro : Jourell dan Mas Keven invited juga ke sini. Mereka bodyguardnya Wirya kalau lagi dinas di Australia sama New Zealan
56Alunan musik instrumental terdengar di dalam kamar bernuansa putih dan abu-abu. Dari keremangan cahaya lampu sudut, terlihat sepasang insan yang sedang dimabuk kepayang. Lenguhan terdengar bergantian dari mulut mereka, mengiringi gerakan konstan yang dilakukan bersama. Tanpa memedulikan keringat yang keluar dari pori-pori kulit, keduanya melanjutkan percintaan dengan semangat. Berbagai gaya mereka lakukan untuk mendapatkan sensasi berbeda. Sekali-sekali bibir mereka menyatu dan saling mengisap. Pagutan kian dalam saat sudah hampir tiba di ujung pendakian. Pekikan perempuan berambut panjang menjadikan lelakinya menambah kecepatan. Kemudian mereka saling mendekap dan mengeluarkan seluruh cinta, sembari menjerit tertahan. Selama beberapa saat keduanya masih berada dalam posisi yang sama. Kala Hadrian menarik diri, Zaara mengusap dahi suaminya yang berpeluh tanpa rasa jijik sedikit pun. Hadrian menunduk untuk mengecup bibir sang istri. Namun, Zaara justru menarik leher lelakinya
55Langit biru Kota Jakarta, siang itu terlihat cerah. Udara kian menghangat seiring dengan bertambahnya waktu. Menjadikan banyak orang memutuskan untuk tetap berada di dalam ruangan, daripada beraktivitas di luar. Hadrian masih terdiam di kursinya. Tatapan lurus diarahkan lelaki berkemeja biru muda, pada pigura besar di dinding yang menampilkan foto pernikahannya dengan Zaara. Pria berhidung bangir baru saja usai dihubungi Margus melalui sambungan telepon jarak jauh. Sang pengacara menerangkan keinginan keluarga Cheng, agar Hadrian dan Zaara bersedia datang mengunjungi Leroy. Kondisi musuhnya itu menimbulkan keprihatinan Hadrian. Namun dia masih meragukan niat baik Leroy untuk berdamai. Bisa saja itu hanya akal-akalan pihak lawan, demi memuluskan jalan Leroy berangkat ke Amerika untuk berobat. Hadrian akhirnya menelepon sahabatnya dan menerangkan semua cerita Margus. Hadrian meminta pendapat pria tersebut, yang langsung mengajaknya bertemu. Puluhan menit terlewati, Hadrian yang