LOGINTak ingin berlama-lama di rumah Andrew, Bricia memutuskan pulang. Awalnya ia berniat memesan taksi, tapi Andrew langsung menolak.
“Aku antar,” katanya tanpa memberi ruang untuk berdebat. Akhirnya, Andrew benar-benar mengantar Bricia sampai depan gerbang rumahnya. “Thanks, Om. Lain kali aku traktir kopi,” ujar Bricia sebelum turun. Nada suaranya dibuat santai, meski hatinya masih terasa kacau. Entah kacau karena lukanya, atau justru tatapan Andrew yang selalu menguncinya. Andrew menyandarkan tangan di kemudi. “Boleh. Aku tunggu.” Tak lama setelah itu, mobil Andrew melesat pergi, meninggalkan Bricia berdiri sendiri di depan gerbang. Tak ada pembicaraan lanjutan tentang luka di lehernya. Andrew tidak memaksa. Dan Bricia memilih membiarkannya begitu. Biarlah luka itu jadi rahasianya sendiri, untuk sekarang. Begitu melangkah masuk ke pintu utama, aroma masakan langsung menerobos hidungnya. Ia menghela napas panjang. Tentu saja ia tahu siapa yang berkutat di dapur di jam-jam seperti ini. Telapak kaki Bricia menyeret malas ke ruang makan, lalu ia melihat Louisa berdiri sambil memotong sesuatu. “Bri?” Louisa menoleh, wajahnya langsung berbinar. “Kamu baru pulang?” Bricia hanya mengangguk kecil, mencoba tersenyum. Ia duduk di stoolbar dapur, menatap setiap gerakan Louisa yang cekatan memotong sayur dan mengaduk wajan. Beberapa detik hening. Hanya suara minyak yang berdesis terdengar di telinga Bricia. “Kenapa kamu nggak minta dinikahi Papa?” tanya Bricia tiba-tiba, suaranya datar tapi jelas. “Apa yang kamu inginkan dari hubungan tanpa status ini?” Gerakan tangan Louisa langsung terhenti. Sesaat ia hanya berdiri diam dengan punggungnya yang sedikit menegang. “Sedang bicara apa kamu, Bri?” Louisa akhirnya menjawab tanpa menoleh. Suaranya lembut tapi jelas terdengar menghindar. Bricia menyandarkan siku di meja, dagunya bertumpu di punggung tangan. “Aku cuma tanya. Kamu sudah di sini bertahun-tahun. Masak buat Papa. Urus rumah. Kamu peduli sama dia. Tapi… tetap aja hubungan kalian nggak jelas.” Louisa memejamkan mata sejenak sebelum berbalik menghadap Bricia. Wajahnya tetap tersenyum, tapi senyum yang lemah seperti ditahan. “Hubungan orang dewasa itu… kadang tidak sesederhana itu, Bri.” “Sesederhana apa?” Bricia menatap balik, nada suaranya sedikit sinis. “Papa takut komitmen? Atau kamu yang nggak mau?” Louisa menelan ludah. Ada sesuatu yang mirip luka di mata wanita itu. “Papa kamu… masih belum selesai dengan masa lalunya, Bri. Dan aku nggak mau memaksanya.” Bricia mengerutkan kening. “Masa lalunya? Mama?” Louisa tersenyum kecil dan pahit. “Iya. Termasuk itu.” Bricia menahan diri untuk tidak menembuskan napas keras. “Kalau kamu capek dengan hubungan ini, tinggal bilang kalau kamu mau pergi. Jangan bertahan di hubungan yang menggantung seperti ini… Papa nggak punya hak buat taruh kamu di posisi kayak gini.” Louisa mendekat, menepuk kepala Bricia pelan. “Kamu manis sekali, tahu? Terima kasih sudah perhatian padaku." “Aku bukan manis,” bantah Bricia cepat. “Aku realistis.” Louisa tertawa tipis. “Percayalah… ada hal yang nggak perlu kamu tahu. Dan aku nggak apa-apa. Selama Papa kamu butuh seseorang, aku di sini.” Hela napas kasar keluar dari mulut Bricia. “Padahal kamu pantas dapat yang lebih jelas daripada ini. Lagian, Papa sudah tua, harusnya kamu lepasin aja. Cari yang lebih muda." Louisa tertawa pelan. "Boleh juga. Tapi kadang hati kita memilih bukan yang paling tepat, Bri, tapi yang paling kita sayang.” Kata-kata itu membuat dada Bricia terasa berat. Entah kenapa, bayangan wajah Leo tiba-tiba melintas. Lihatlah, mulutnya begitu mudah memberi nasihat pada Louisa, tapi bahkan ia sendiri tak bisa lepas dari bayang-bayang Leo selama ini. "Bagaimana pendapatmu kalau aku tinggalkan Eric dan beralih pada Andrew?" tiba-tiba Louisa terlihat seperti meracau. Tapi wajahnya berbinar cerah. "Hah? Siapa tadi?" Wajah Bricia bengong. “Andrew Darwis,” ulang Louisa sambil menunjuk Bricia dengan sendok kayu. “Lelaki tampan yang datang kemarin itu.” Mata Louisa mengerling genit. Kini justru mata Bricia langsung melebar. “Nggak! Kalau itu nggak boleh!” Louisa mengangkat alis. “Eh? Kenapa nggak boleh?” “Pokoknya nggak boleh!” Bricia sudah mengambil tasnya dan berdiri dengan terburu-buru. Louisa berkedip bingung. “Lho, kok heboh sekali? Baru kutanya saja—” “Sudah, sudah… aku ke kamar!” potong Bricia cepat, ia lari terbirit-birit menuju kamarnya. Ia lebih memilih kabur daripada memberi Louisa waktu untuk mengamati ekspresi wajahnya dan membaca apa pun yang mungkin tersirat di sana. Karena jika ada satu orang yang bisa menebak perasaannya dengan mudah, itu Louisa. Begitu pintu kamarnya tertutup, Bricia bersandar pada dinding, ia menekan dadanya yang berdebar cepat. “Kenapa sih tadi harus panik gitu…” gumamnya kesal pada diri sendiri. Tapi bayangan Andrew justru tampak di pelupuk matanya. Tatapan lelaki itu, suaranya yang pelan tapi dominan, cara laki-laki itu menyentuh lehernya dengan hati-hati, semua muncul tanpa izin. Dan membuat jantung Bricia berdegup kencang. Namun, getaran ponsel di dalam tas membuat Bricia menoleh. Ia mengambilnya dan membuka pesan yang baru masuk. Dari Andrew. [Gelangmu jatuh di mobilku. Apa itu artinya kita harus segera bertemu lagi?] Sudut bibir Bricia langsung terangkat. Tubuhnya sedikit menunduk dengan pipi yang terasa panas. "Tentu. Kita memang harus bertemu lagi," gumamnya kecil. Dan senyumnya tak hilang bahkan setelah layar ponsel itu mati.Mobil hitam milik Eric memasuki halaman rumah. Senja hampir menelan langit, dan seperti biasa, ia pulang dengan tubuh lelah dan kepala penuh pikiran akan pekerjaan. Begitu mesin dimatikan, ia menghembuskan napas berat lalu keluar dari mobil. Tangan Eric langsung terarah pada dasi yang sejak pagi terasa mencekik. Ia longgarkan dengan gerakan cepat, seolah ingin segera bebas dari hari yang panjang. Saat ia menginjak anak tangga pertama di teras, pintu utama sudah terbuka. Louisa muncul dengan senyum tipis yang selalu tersemat manis di bibirnya. Ia mengulurkan tangan mengambil tas kerja Eric, lalu melepaskan jas dari pundak pria itu. Semua dilakukan dengan gerakan yang begitu halus dan tenang, seperti rutinitas yang sudah dihafal selama bertahun-tahun. “Mau minum teh dulu atau langsung mandi?” tanyanya lembut. “Mandi," Jawaban Eric pendek, tanpa menatap ke arah Louisa. Louisa hanya mengangguk. Ia mengikuti langkah Eric menuju kamar, langkah yang penuh dengan keheningan. Set
Bricia mematut dirinya di depan cermin. Ini sudah baju ketiga yang ia coba, tapi tetap saja, rasanya ada yang kurang. Padahal ia hanya mau bertemu Andrew untuk mengambil gelang. Hanya itu. Tapi tingkahnya sekarang mirip ABG yang justru hendak bertemu dengan gebetan. “Begini… norak nggak, ya?” gumamnya. Ia memiringkan tubuh, melihat pantulan dirinya dari samping. Floral dress dengan aksen bunga pink itu memang membuatnya terlihat lebih manis, lebih lembut dan hal itu justru membuatnya makin bingung. “Kenapa aku harus mikirin Om Andrew suka atau nggak…” ia merapikan rambutnya, “…kan cuma ambil gelang, selesai, dan pulang. Pakai baju apa aja juga kayaknya nggak ngaruh!" Namun kalimat itu tidak membuatnya berhenti memperhatikan detail kecil di gaunnya. Pinggang yang kurang pas, atau apakah warna pink ini terlalu mencolok untuk siang hari. Dan tanpa ia sadari, senyum kecil muncul di ujung bibirnya. “…tapi kalau Om Andrew lihat aku kelihatan cantik, ya nggak apa-apa juga sih,"
Di sela rasa haru itu, suara pintu utama tiba-tiba terbuka. Disusul suara seorang wanita yang langsung mengomel tanpa jeda. Annette hanya berdecak, bahkan tak menoleh atau berusaha mencari tahu. “Itu pasti dia,” gumamnya. Dan benar saja, seorang wanita berambut sebahu muncul sambil menenteng tas jinjing, wajah kesal dan nada suaranya tinggi. “Mom sudah bilang berkali-kali, Leo! Kamu itu sudah dewasa. Sudah waktunya mikirin pekerjaan. Daddy bahkan sudah siapin posisi buat kamu, tapi kamu malah tetap mikirin main-main!” Andrew mengangkat kedua alis, menatap Annette seperti bertanya siapa yang datang dengan suara berisik begitu. “Selena,” jelas Annette sambil memutar bola matanya. “Sepupumu.” Selena akhirnya tiba di halaman belakang dan baru sadar ada Andrew di situ. Ia langsung berhenti mengomel, matanya membesar, dan senyum lebarnya terbit begitu saja. “Oh. Kamu pulang rupanya,” ujarnya, nada marahnya hilang total berganti antusias. Andrew tersenyum tipis. “Halo, Sel. Iya, suda
Di bawah lampu merah, Andrew menatap gelang kecil di tangannya dengan raut geli. Ia menemukannya di bawah kursi penumpang—entah terjatuh saat pertama kali ia menolong Bricia atau baru saja ketika mengantarnya pulang. Ia tidak peduli. Yang ia tahu, ini seperti isyarat kecil yang memaksa mereka bertemu lagi. “Menarik sekali kamu, Bri,” gumamnya pelan. Lampu berubah hijau. Andrew kembali menggenggam setir, memasukkan gelang itu ke saku kemejanya, dan menarik gas mobil. Ia melaju menuju rumah yang memang sejak awal ingin ia kunjungi. Rumah tempat seseorang menunggunya. Hampir lima belas menit setelahnya, mobil Andrew masuk ke dalam pagar tinggi yang baru saja terbuka. Begitu mobil terparkir, ia langsung turun dan menuju pintu utama. Tanpa mengetuk, ia membuka pintu dan masuk. Dari arah taman belakang, ia melihat seorang wanita paruh baya sedang duduk santai sambil menyeruput teh. "Hallo, Mom," sapa Andrew sambil mencondongkan badan dan mencium kepala wanita itu. Wanita itu
Tak ingin berlama-lama di rumah Andrew, Bricia memutuskan pulang. Awalnya ia berniat memesan taksi, tapi Andrew langsung menolak. “Aku antar,” katanya tanpa memberi ruang untuk berdebat. Akhirnya, Andrew benar-benar mengantar Bricia sampai depan gerbang rumahnya. “Thanks, Om. Lain kali aku traktir kopi,” ujar Bricia sebelum turun. Nada suaranya dibuat santai, meski hatinya masih terasa kacau. Entah kacau karena lukanya, atau justru tatapan Andrew yang selalu menguncinya. Andrew menyandarkan tangan di kemudi. “Boleh. Aku tunggu.” Tak lama setelah itu, mobil Andrew melesat pergi, meninggalkan Bricia berdiri sendiri di depan gerbang. Tak ada pembicaraan lanjutan tentang luka di lehernya. Andrew tidak memaksa. Dan Bricia memilih membiarkannya begitu. Biarlah luka itu jadi rahasianya sendiri, untuk sekarang. Begitu melangkah masuk ke pintu utama, aroma masakan langsung menerobos hidungnya. Ia menghela napas panjang. Tentu saja ia tahu siapa yang berkutat di dapur di jam-jam seperti
“Ini… kenapa, Bri?” Bricia langsung menahan tangan Andrew dan menariknya menjauh. Tanpa menoleh, ia buru-buru merapikan rambutnya untuk menutupi leher. “Om, sebaiknya kita jalan dulu.” Nada tak sukanya terdengar jelas. “Ah… ya. Aku akan mengantarmu pulang ke rumah." "Jangan! Ke mana pun, asal jangan ke rumah. Aku nggak mau Louisa lihat keadaanku seperti ini."Andrew mengembuskan napas berat. "Baiklah, ke rumahku saja." Mobil akhirnya melaju meninggalkan area basement. Bricia memejamkan mata, kepalanya bersandar pada kursi. Ia menghela napas berkali-kali, berusaha menetralkan degup jantungnya yang kacau. Tak ada percakapan menyusul. Hening mendominasi. Andrew hanya fokus pada jalan, sesekali melirik cepat ke arah Bricia. Ia tahu Bricia sedang tidak baik-baik saja, maka tanpa banyak bertanya, ia memutuskan untuk membawanya pulang ke rumahnya. Begitu tiba di depan gerbang rumahnya, Andrew mengambil remot di dashboard dan menekannya. Gerbang perlahan terbuka, mobil melaju masuk, l







