LOGINDi bawah lampu merah, Andrew menatap gelang kecil di tangannya dengan raut geli. Ia menemukannya di bawah kursi penumpang—entah terjatuh saat pertama kali ia menolong Bricia atau baru saja ketika mengantarnya pulang.
Ia tidak peduli. Yang ia tahu, ini seperti isyarat kecil yang memaksa mereka bertemu lagi. “Menarik sekali kamu, Bri,” gumamnya pelan. Lampu berubah hijau. Andrew kembali menggenggam setir, memasukkan gelang itu ke saku kemejanya, dan menarik gas mobil. Ia melaju menuju rumah yang memang sejak awal ingin ia kunjungi. Rumah tempat seseorang menunggunya. Hampir lima belas menit setelahnya, mobil Andrew masuk ke dalam pagar tinggi yang baru saja terbuka. Begitu mobil terparkir, ia langsung turun dan menuju pintu utama. Tanpa mengetuk, ia membuka pintu dan masuk. Dari arah taman belakang, ia melihat seorang wanita paruh baya sedang duduk santai sambil menyeruput teh. "Hallo, Mom," sapa Andrew sambil mencondongkan badan dan mencium kepala wanita itu. Wanita itu terkekeh, lalu menepuk tempat di sebelahnya dan menyuruh Andrew duduk di dekatnya. "Akhirnya kamu datang juga, anak nakal." Andrew tertawa kecil. "Aku baru tiba di Indonesia kemarin lusa. Kamu tahu aku lagi buka club baru, jadi sibuk urus ini-itu." Selama hampir sepuluh tahun, Andrew menetap di Australia. Baru beberapa hari ini ia kembali ke Indonesia. "Alasan saja, Drew. Dari dulu kamu paling jago ngeles." Andrew mengangkat kedua tangan seolah menyerah. “Tapi kali ini benar.” “Hmm… begitu?” Annette Marshall mengerling curiga. “Atau jangan-jangan kamu sibuk urus perempuan?” Annette Marshall adalah adik dari ibunya. Satu-satunya dari keluarga ibu Andrew yang masih hidup. Sedang kedua orang tuanya sudah meninggal beberapa tahun silam. Andrew hanya tersenyum samar. Senyum yang membuat Annette langsung menyipitkan matanya. “Andrew Darwis?"tanyanya pelan, “kau sedang dekat dengan seseorang?” Andrew menggeleng, meski rautnya sendiri tak sepenuhnya yakin. “Nggak ada, Mom. I’m single now.” Ekspresi Annette langsung meredup. Ia mengangkat tangannya, menyentuh pipi Andrew dengan lembut, gerakannya penuh kasih sayang seorang tante yang sudah seperti ibu sendiri. “Carilah wanita lagi, Drew. Kamu nggak bisa selamanya begini.” Suara Annette melembut. “Laura sudah tenang di atas sana.” Andrew terdiam. Rahangnya mengeras sesaat, lalu ia mengalihkan tatapan ke taman untuk menyembunyikan sorot matanya yang berubah. Laura Mirella bukan gadis yang lahir dengan luka. Ia dan Andrew bahkan saling kenal sejak sekolah dasar. Laura kecil adalah gadis ceria yang mudah tertawa, yang membuat Andrew selalu senang berada di dekatnya. Namun segalanya berubah ketika ibunya menikah lagi. Sejak remaja, Laura hidup bersama seorang ayah tiri yang diam-diam sering menyentuhnya, mengancamnya, dan memaksanya dalam diam. Laura tak pernah berani bercerita. Semua ia simpan, sampai tubuh dan pikirannya tak sanggup lagi menahannya. Luka itu menumpuk selama bertahun-tahun. Trauma itu kemudian berkembang menjadi gangguan mental yang membuat Laura sering melukai dirinya sendiri. Bukan karena ia ingin mati, tetapi karena itu satu-satunya cara ia merasa bisa mengendalikan rasa sakitnya. Beberapa kali Andrew menemukannya dalam keadaan kacau. Ia membawa Laura ke rumah sakit berulang kali, selalu berharap ada yang bisa menyembuhkan sesuatu yang tak terlihat itu. Dan ketika Andrew cukup dewasa, ia menikahi Laura dan membawanya tinggal bersama. Tapi gangguan itu sudah terlalu dalam. Yang paling menghancurkan bagi Andrew adalah ketika Laura selalu merasa dirinya kotor dan tidak pantas dicintai, padahal bagi Andrew, Laura adalah segalanya. Lalu hingga hari itu tiba, ketika Andrew hanya keluar sebentar. Mungkin sekitar sepuluh menit saja. Namun ketika ia kembali dan membuka pintu apartemen, ia menemukan Laura duduk menyandar di tembok ruang tamu. Kepalanya lunglai, matanya masih basah. Di sampingnya tergeletak selembar kertas kusut yang bahkan tak sempat selesai ia tulis. Di bawah tangannya, darah menggenang di lantai. Dan istrinya sudah dalam keadaan tak bernyawa. Dokter menyebutnya relapse berat, yaitu kondisi ketika gejala gangguan mental kembali muncul dengan intensitas lebih kuat dari sebelumnya. Dan Andrew menyebutnya hari paling hancur dalam hidupnya. Sejak itu, ia menyimpan rasa bersalah yang tak pernah selesai dan itulah alasan ia masih belum bisa mencintai perempuan lain, sampai kemunculan Bricia perlahan mengusik kembali ruang di dalam hatinya. “Aku hanya akan mengikuti alur hidupku, Mom. Kalau masih ada jodoh yang datang… tentu aku buka lebar-lebar tanganku.” Annette mendengus kecil. “Justru kamu yang harus menyambutnya, Drew. Wanita itu suka diperjuangkan. Mereka merasa dihargai kalau kamu juga menunjukkan effort dan perasaanmu, bukan cuma diam dan menunggu.” Andrew terkekeh, lalu merangkul pundak Annette dengan lembut. “Oke, Mom. Kalau nanti dadaku sudah berdebar lagi karena seorang wanita, aku janji akan berjuang.” “Begitu baru benar, anak nakal!” Annette mencubit pelan pinggang Andrew sebelum akhirnya memeluknya erat. Pelukan seorang wanita yang sudah terlalu sering melihat keponakannya memendam lukanya seorang diri. Di pelukan itu, Annette hanya punya satu harapan kecil yang ia simpan di dalam hati. Ia berharap, sebelum Tuhan menjemputnya, ia ingin sempat menyaksikan Andrew berdiri di pelaminan, tersenyum tanpa beban di samping wanita yang benar-benar ia cintai.Mobil hitam milik Eric memasuki halaman rumah. Senja hampir menelan langit, dan seperti biasa, ia pulang dengan tubuh lelah dan kepala penuh pikiran akan pekerjaan. Begitu mesin dimatikan, ia menghembuskan napas berat lalu keluar dari mobil. Tangan Eric langsung terarah pada dasi yang sejak pagi terasa mencekik. Ia longgarkan dengan gerakan cepat, seolah ingin segera bebas dari hari yang panjang. Saat ia menginjak anak tangga pertama di teras, pintu utama sudah terbuka. Louisa muncul dengan senyum tipis yang selalu tersemat manis di bibirnya. Ia mengulurkan tangan mengambil tas kerja Eric, lalu melepaskan jas dari pundak pria itu. Semua dilakukan dengan gerakan yang begitu halus dan tenang, seperti rutinitas yang sudah dihafal selama bertahun-tahun. “Mau minum teh dulu atau langsung mandi?” tanyanya lembut. “Mandi," Jawaban Eric pendek, tanpa menatap ke arah Louisa. Louisa hanya mengangguk. Ia mengikuti langkah Eric menuju kamar, langkah yang penuh dengan keheningan. Set
Bricia mematut dirinya di depan cermin. Ini sudah baju ketiga yang ia coba, tapi tetap saja, rasanya ada yang kurang. Padahal ia hanya mau bertemu Andrew untuk mengambil gelang. Hanya itu. Tapi tingkahnya sekarang mirip ABG yang justru hendak bertemu dengan gebetan. “Begini… norak nggak, ya?” gumamnya. Ia memiringkan tubuh, melihat pantulan dirinya dari samping. Floral dress dengan aksen bunga pink itu memang membuatnya terlihat lebih manis, lebih lembut dan hal itu justru membuatnya makin bingung. “Kenapa aku harus mikirin Om Andrew suka atau nggak…” ia merapikan rambutnya, “…kan cuma ambil gelang, selesai, dan pulang. Pakai baju apa aja juga kayaknya nggak ngaruh!" Namun kalimat itu tidak membuatnya berhenti memperhatikan detail kecil di gaunnya. Pinggang yang kurang pas, atau apakah warna pink ini terlalu mencolok untuk siang hari. Dan tanpa ia sadari, senyum kecil muncul di ujung bibirnya. “…tapi kalau Om Andrew lihat aku kelihatan cantik, ya nggak apa-apa juga sih,"
Di sela rasa haru itu, suara pintu utama tiba-tiba terbuka. Disusul suara seorang wanita yang langsung mengomel tanpa jeda. Annette hanya berdecak, bahkan tak menoleh atau berusaha mencari tahu. “Itu pasti dia,” gumamnya. Dan benar saja, seorang wanita berambut sebahu muncul sambil menenteng tas jinjing, wajah kesal dan nada suaranya tinggi. “Mom sudah bilang berkali-kali, Leo! Kamu itu sudah dewasa. Sudah waktunya mikirin pekerjaan. Daddy bahkan sudah siapin posisi buat kamu, tapi kamu malah tetap mikirin main-main!” Andrew mengangkat kedua alis, menatap Annette seperti bertanya siapa yang datang dengan suara berisik begitu. “Selena,” jelas Annette sambil memutar bola matanya. “Sepupumu.” Selena akhirnya tiba di halaman belakang dan baru sadar ada Andrew di situ. Ia langsung berhenti mengomel, matanya membesar, dan senyum lebarnya terbit begitu saja. “Oh. Kamu pulang rupanya,” ujarnya, nada marahnya hilang total berganti antusias. Andrew tersenyum tipis. “Halo, Sel. Iya, suda
Di bawah lampu merah, Andrew menatap gelang kecil di tangannya dengan raut geli. Ia menemukannya di bawah kursi penumpang—entah terjatuh saat pertama kali ia menolong Bricia atau baru saja ketika mengantarnya pulang. Ia tidak peduli. Yang ia tahu, ini seperti isyarat kecil yang memaksa mereka bertemu lagi. “Menarik sekali kamu, Bri,” gumamnya pelan. Lampu berubah hijau. Andrew kembali menggenggam setir, memasukkan gelang itu ke saku kemejanya, dan menarik gas mobil. Ia melaju menuju rumah yang memang sejak awal ingin ia kunjungi. Rumah tempat seseorang menunggunya. Hampir lima belas menit setelahnya, mobil Andrew masuk ke dalam pagar tinggi yang baru saja terbuka. Begitu mobil terparkir, ia langsung turun dan menuju pintu utama. Tanpa mengetuk, ia membuka pintu dan masuk. Dari arah taman belakang, ia melihat seorang wanita paruh baya sedang duduk santai sambil menyeruput teh. "Hallo, Mom," sapa Andrew sambil mencondongkan badan dan mencium kepala wanita itu. Wanita itu
Tak ingin berlama-lama di rumah Andrew, Bricia memutuskan pulang. Awalnya ia berniat memesan taksi, tapi Andrew langsung menolak. “Aku antar,” katanya tanpa memberi ruang untuk berdebat. Akhirnya, Andrew benar-benar mengantar Bricia sampai depan gerbang rumahnya. “Thanks, Om. Lain kali aku traktir kopi,” ujar Bricia sebelum turun. Nada suaranya dibuat santai, meski hatinya masih terasa kacau. Entah kacau karena lukanya, atau justru tatapan Andrew yang selalu menguncinya. Andrew menyandarkan tangan di kemudi. “Boleh. Aku tunggu.” Tak lama setelah itu, mobil Andrew melesat pergi, meninggalkan Bricia berdiri sendiri di depan gerbang. Tak ada pembicaraan lanjutan tentang luka di lehernya. Andrew tidak memaksa. Dan Bricia memilih membiarkannya begitu. Biarlah luka itu jadi rahasianya sendiri, untuk sekarang. Begitu melangkah masuk ke pintu utama, aroma masakan langsung menerobos hidungnya. Ia menghela napas panjang. Tentu saja ia tahu siapa yang berkutat di dapur di jam-jam seperti
“Ini… kenapa, Bri?” Bricia langsung menahan tangan Andrew dan menariknya menjauh. Tanpa menoleh, ia buru-buru merapikan rambutnya untuk menutupi leher. “Om, sebaiknya kita jalan dulu.” Nada tak sukanya terdengar jelas. “Ah… ya. Aku akan mengantarmu pulang ke rumah." "Jangan! Ke mana pun, asal jangan ke rumah. Aku nggak mau Louisa lihat keadaanku seperti ini."Andrew mengembuskan napas berat. "Baiklah, ke rumahku saja." Mobil akhirnya melaju meninggalkan area basement. Bricia memejamkan mata, kepalanya bersandar pada kursi. Ia menghela napas berkali-kali, berusaha menetralkan degup jantungnya yang kacau. Tak ada percakapan menyusul. Hening mendominasi. Andrew hanya fokus pada jalan, sesekali melirik cepat ke arah Bricia. Ia tahu Bricia sedang tidak baik-baik saja, maka tanpa banyak bertanya, ia memutuskan untuk membawanya pulang ke rumahnya. Begitu tiba di depan gerbang rumahnya, Andrew mengambil remot di dashboard dan menekannya. Gerbang perlahan terbuka, mobil melaju masuk, l







