LOGIN“Ini… kenapa, Bri?”
Bricia langsung menahan tangan Andrew dan menariknya menjauh. Tanpa menoleh, ia buru-buru merapikan rambutnya untuk menutupi leher. “Om, sebaiknya kita jalan dulu.” Nada tak sukanya terdengar jelas. “Ah… ya. Aku akan mengantarmu pulang ke rumah." "Jangan! Ke mana pun, asal jangan ke rumah. Aku nggak mau Louisa lihat keadaanku seperti ini." Andrew mengembuskan napas berat. "Baiklah, ke rumahku saja." Mobil akhirnya melaju meninggalkan area basement. Bricia memejamkan mata, kepalanya bersandar pada kursi. Ia menghela napas berkali-kali, berusaha menetralkan degup jantungnya yang kacau. Tak ada percakapan menyusul. Hening mendominasi. Andrew hanya fokus pada jalan, sesekali melirik cepat ke arah Bricia. Ia tahu Bricia sedang tidak baik-baik saja, maka tanpa banyak bertanya, ia memutuskan untuk membawanya pulang ke rumahnya. Begitu tiba di depan gerbang rumahnya, Andrew mengambil remot di dashboard dan menekannya. Gerbang perlahan terbuka, mobil melaju masuk, lalu berhenti di halaman. Keduanya tetap diam. Tak ada yang bergerak meski mesin sudah dimatikan. Andrew menoleh. “Turun, Bri.” Bricia tidak menjawab. Matanya masih terpejam dan napasnya naik turun tidak stabil seolah menahan sesuatu. Andrew menghela napas pendek. Ia keluar lebih dulu, lalu membungkuk membuka pintu di sisi Bricia. “Bri,” panggilnya lebih tegas. Bricia akhirnya membuka matanya. Sorot matanya lelah dan wajahnya terlihat pucat. “Aku di sini saja, Om,” gumamnya lirih. Andrew menggeleng sekali. “Nggak. Masuk dulu.” Nada suaranya tidak memaksa, tapi tegas seolah memberi tahu bahwa ia tidak akan membiarkan Bricia pergi dalam keadaan seperti itu. Dengan langkah malas dan helaan napas yang tak henti, Bricia akhirnya mengikuti Andrew masuk. Rumah itu terasa tenang. Bergaya minimalis, modern dan bersih. Tapi seolah tak berpenghuni. “Duduklah,” ujar Andrew begitu mereka tiba di ruang tamu. Bricia tanpa protes berjalan ke sofa dan langsung menjatuhkan tubuhnya di sana. Kepalanya bersandar, matanya terpejam sesaat, mencoba menenangkan diri dari semua kekacauan hari ini. Andrew melepas kemejanya dan meletakkan kunci mobil di meja kaca. Ia berdiri beberapa langkah dari Bricia dan memperhatikannya diam-diam. “Bri.” Suaranya rendah. Bricia membuka sebelah mata, malas. “Apa lagi, Om?” Andrew tidak menjawab. Ia hanya berjalan mendekat, lalu berlutut di depan sofa, tinggi tubuhnya sejajar dengan wajah Bricia. “Sekarang jawab jujur.” Tatapannya naik ke arah rambut Bricia yang menutupi leher. “Itu luka… siapa yang bikin?” "Boleh minta minum dulu nggak sih, Om?" Andrew pun berdiri tanpa suara, lalu berjalan ke dapur kecil di sudut ruangan. Ia mengambil gelas, mengisinya dengan air dingin, kemudian sempat berhenti sejenak ketika melihat kotak P3K di rak atas. Tangannya terulur, mengambil salep luka sebelum kembali ke ruang tamu. Begitu tiba, ia menyodorkan gelas pada Bricia. “Minum dulu.” Bricia menerimanya tanpa banyak bicara. Seteguk, dua teguk… dan napasnya kini sedikit lebih teratur. Ia baru mau mengulurkan gelas kosong itu ketika tatapannya menangkap benda di tangan Andrew. “Serius, Om?” gumamnya datar. “Salep? Buat apa?” Andrew duduk di meja kaca di depannya, tubuhnya condong sedikit ke depan. “Buat ngobatin luka yang kamu tutup-tutupin itu.” Bricia langsung memegang lehernya, gerakan defensif yang sangat jelas. “Om, nggak usah!” “Telat untuk itu, Bri.” Andrew menurunkan suaranya. “Sekarang miringin kepalamu.” Wajah Bricia mengeras. “Kalau aku nggak mau?” Andrew menatapnya lama. “Kalau kamu nggak mau, aku bakal maksa. Tapi aku lebih suka kalau kamu nggak nunggu sampai lukanya makin parah.” Bricia mendengus, ia menatap ke samping, mencoba mengalihkan jantungnya yang entah kenapa mulai tak nyaman. Dan akhirnya, Bricia menyerah. Ia menghela napas panjang, kepalanya tertunduk, lalu perlahan memiringkan wajahnya ke samping. Rambutnya ia tarik ke belakang dan membuka sedikit bagian leher yang tadi ia sembunyikan. Andrew tak langsung bergerak. Ia hanya menatap Bricia lama. Cukup lama untuk membuat Bricia sedikit gelisah. “Jangan lihat terlalu lama gitu, Om,” gumamnya, nadanya terdengar kesal. “Itu bikin aku nggak nyaman.” Andrew menahan senyum tipis. “Bukan lukanya yang bikin aku lihat lama-lama,” balasnya pelan. “Tapi kamu.” Bricia spontan menoleh, tapi gerakan Andrew lebih cepat. Tangan besarnya terangkat dan menahan dagu Bricia agar tetap menghadap ke samping. “Diam,” katanya lembut tapi tetap tegas. Sentuhan itu membuat Bricia terpaku. Jarak mereka terlalu dekat. Napas Andrew terasa di pelipisnya, hangat. Cara laki-laki itu memegangnya sangat berbeda. Bukan kasar, tapi juga bukan sekadar sopan. Tekanannya halus tapi kuat. Andrew mengoleskan salep dengan gerakan lambat dan hati-hati. Setiap kali ujung jarinya menyentuh kulit Bricia, wanita itu merasakan semacam aliran hangat menjalar ke tengkuknya. “Perih?” tanya Andrew tanpa menoleh. Suaranya rendah, hampir seperti gumaman kecil. “Sedikit,” jawab Bricia. “Tapi kayaknya Om terlalu serius ngolesinnya.” “Kalau aku nggak serius, takut tanganku justru ke mana-mana.” “Maksudnya?” Tangan Andrew berhenti sekejap. Ia menatap Bricia dari jarak sangat dekat, cukup dekat sampai Bricia bisa melihat guratan halus di bawah mata laki-laki itu, dan bagaimana intensitas di tatapannya. "Tanganku nakal…” Andrew mendekat sedikit. “Dia suka menjelajah di tempat yang tak seharusnya.” Napas Bricia tercekat. Beberapa detik mereka hanya saling menatap, terasa sunyi, tapi juga tegang. Seolah segala hiruk pikuk tadi sirna dan yang tersisa hanya keduanya. Bahkan jarak mereka yang terlalu pendek terasa diabaikan. Andrew akhirnya menjauh pelan dan menarik tangannya kembali. “Selesai,” katanya singkat, seperti sengaja memutus momen yang hampir terlalu jauh. Bricia mengedip cepat, mencoba menguasai diri. Ia menoleh ke arah lain. "Terima kasih," ucapnya, suara terdengar lebih serak daripada yang ia kira. Andrew menatapnya sambil bersedekap dada, nada bicara kembali tenang. “Selesai untuk lukanya.” Andrew menjeda kalimatnya. “Tapi untuk urusan siapa yang membuat luka itu... masih belum selesai!”Mobil hitam milik Eric memasuki halaman rumah. Senja hampir menelan langit, dan seperti biasa, ia pulang dengan tubuh lelah dan kepala penuh pikiran akan pekerjaan. Begitu mesin dimatikan, ia menghembuskan napas berat lalu keluar dari mobil. Tangan Eric langsung terarah pada dasi yang sejak pagi terasa mencekik. Ia longgarkan dengan gerakan cepat, seolah ingin segera bebas dari hari yang panjang. Saat ia menginjak anak tangga pertama di teras, pintu utama sudah terbuka. Louisa muncul dengan senyum tipis yang selalu tersemat manis di bibirnya. Ia mengulurkan tangan mengambil tas kerja Eric, lalu melepaskan jas dari pundak pria itu. Semua dilakukan dengan gerakan yang begitu halus dan tenang, seperti rutinitas yang sudah dihafal selama bertahun-tahun. “Mau minum teh dulu atau langsung mandi?” tanyanya lembut. “Mandi," Jawaban Eric pendek, tanpa menatap ke arah Louisa. Louisa hanya mengangguk. Ia mengikuti langkah Eric menuju kamar, langkah yang penuh dengan keheningan. Set
Bricia mematut dirinya di depan cermin. Ini sudah baju ketiga yang ia coba, tapi tetap saja, rasanya ada yang kurang. Padahal ia hanya mau bertemu Andrew untuk mengambil gelang. Hanya itu. Tapi tingkahnya sekarang mirip ABG yang justru hendak bertemu dengan gebetan. “Begini… norak nggak, ya?” gumamnya. Ia memiringkan tubuh, melihat pantulan dirinya dari samping. Floral dress dengan aksen bunga pink itu memang membuatnya terlihat lebih manis, lebih lembut dan hal itu justru membuatnya makin bingung. “Kenapa aku harus mikirin Om Andrew suka atau nggak…” ia merapikan rambutnya, “…kan cuma ambil gelang, selesai, dan pulang. Pakai baju apa aja juga kayaknya nggak ngaruh!" Namun kalimat itu tidak membuatnya berhenti memperhatikan detail kecil di gaunnya. Pinggang yang kurang pas, atau apakah warna pink ini terlalu mencolok untuk siang hari. Dan tanpa ia sadari, senyum kecil muncul di ujung bibirnya. “…tapi kalau Om Andrew lihat aku kelihatan cantik, ya nggak apa-apa juga sih,"
Di sela rasa haru itu, suara pintu utama tiba-tiba terbuka. Disusul suara seorang wanita yang langsung mengomel tanpa jeda. Annette hanya berdecak, bahkan tak menoleh atau berusaha mencari tahu. “Itu pasti dia,” gumamnya. Dan benar saja, seorang wanita berambut sebahu muncul sambil menenteng tas jinjing, wajah kesal dan nada suaranya tinggi. “Mom sudah bilang berkali-kali, Leo! Kamu itu sudah dewasa. Sudah waktunya mikirin pekerjaan. Daddy bahkan sudah siapin posisi buat kamu, tapi kamu malah tetap mikirin main-main!” Andrew mengangkat kedua alis, menatap Annette seperti bertanya siapa yang datang dengan suara berisik begitu. “Selena,” jelas Annette sambil memutar bola matanya. “Sepupumu.” Selena akhirnya tiba di halaman belakang dan baru sadar ada Andrew di situ. Ia langsung berhenti mengomel, matanya membesar, dan senyum lebarnya terbit begitu saja. “Oh. Kamu pulang rupanya,” ujarnya, nada marahnya hilang total berganti antusias. Andrew tersenyum tipis. “Halo, Sel. Iya, suda
Di bawah lampu merah, Andrew menatap gelang kecil di tangannya dengan raut geli. Ia menemukannya di bawah kursi penumpang—entah terjatuh saat pertama kali ia menolong Bricia atau baru saja ketika mengantarnya pulang. Ia tidak peduli. Yang ia tahu, ini seperti isyarat kecil yang memaksa mereka bertemu lagi. “Menarik sekali kamu, Bri,” gumamnya pelan. Lampu berubah hijau. Andrew kembali menggenggam setir, memasukkan gelang itu ke saku kemejanya, dan menarik gas mobil. Ia melaju menuju rumah yang memang sejak awal ingin ia kunjungi. Rumah tempat seseorang menunggunya. Hampir lima belas menit setelahnya, mobil Andrew masuk ke dalam pagar tinggi yang baru saja terbuka. Begitu mobil terparkir, ia langsung turun dan menuju pintu utama. Tanpa mengetuk, ia membuka pintu dan masuk. Dari arah taman belakang, ia melihat seorang wanita paruh baya sedang duduk santai sambil menyeruput teh. "Hallo, Mom," sapa Andrew sambil mencondongkan badan dan mencium kepala wanita itu. Wanita itu
Tak ingin berlama-lama di rumah Andrew, Bricia memutuskan pulang. Awalnya ia berniat memesan taksi, tapi Andrew langsung menolak. “Aku antar,” katanya tanpa memberi ruang untuk berdebat. Akhirnya, Andrew benar-benar mengantar Bricia sampai depan gerbang rumahnya. “Thanks, Om. Lain kali aku traktir kopi,” ujar Bricia sebelum turun. Nada suaranya dibuat santai, meski hatinya masih terasa kacau. Entah kacau karena lukanya, atau justru tatapan Andrew yang selalu menguncinya. Andrew menyandarkan tangan di kemudi. “Boleh. Aku tunggu.” Tak lama setelah itu, mobil Andrew melesat pergi, meninggalkan Bricia berdiri sendiri di depan gerbang. Tak ada pembicaraan lanjutan tentang luka di lehernya. Andrew tidak memaksa. Dan Bricia memilih membiarkannya begitu. Biarlah luka itu jadi rahasianya sendiri, untuk sekarang. Begitu melangkah masuk ke pintu utama, aroma masakan langsung menerobos hidungnya. Ia menghela napas panjang. Tentu saja ia tahu siapa yang berkutat di dapur di jam-jam seperti
“Ini… kenapa, Bri?” Bricia langsung menahan tangan Andrew dan menariknya menjauh. Tanpa menoleh, ia buru-buru merapikan rambutnya untuk menutupi leher. “Om, sebaiknya kita jalan dulu.” Nada tak sukanya terdengar jelas. “Ah… ya. Aku akan mengantarmu pulang ke rumah." "Jangan! Ke mana pun, asal jangan ke rumah. Aku nggak mau Louisa lihat keadaanku seperti ini."Andrew mengembuskan napas berat. "Baiklah, ke rumahku saja." Mobil akhirnya melaju meninggalkan area basement. Bricia memejamkan mata, kepalanya bersandar pada kursi. Ia menghela napas berkali-kali, berusaha menetralkan degup jantungnya yang kacau. Tak ada percakapan menyusul. Hening mendominasi. Andrew hanya fokus pada jalan, sesekali melirik cepat ke arah Bricia. Ia tahu Bricia sedang tidak baik-baik saja, maka tanpa banyak bertanya, ia memutuskan untuk membawanya pulang ke rumahnya. Begitu tiba di depan gerbang rumahnya, Andrew mengambil remot di dashboard dan menekannya. Gerbang perlahan terbuka, mobil melaju masuk, l







