Share

Janji Temu

Author: ORI GAMII
last update Last Updated: 2025-11-19 21:02:53

Di sela rasa haru itu, suara pintu utama tiba-tiba terbuka. Disusul suara seorang wanita yang langsung mengomel tanpa jeda.

Annette hanya berdecak, bahkan tak menoleh atau berusaha mencari tahu. “Itu pasti dia,” gumamnya.

Dan benar saja, seorang wanita berambut sebahu muncul sambil menenteng tas jinjing, wajah kesal dan nada suaranya tinggi.

“Mom sudah bilang berkali-kali, Leo! Kamu itu sudah dewasa. Sudah waktunya mikirin pekerjaan. Daddy bahkan sudah siapin posisi buat kamu, tapi kamu malah tetap mikirin main-main!”

Andrew mengangkat kedua alis, menatap Annette seperti bertanya siapa yang datang dengan suara berisik begitu.

“Selena,” jelas Annette sambil memutar bola matanya. “Sepupumu.”

Selena akhirnya tiba di halaman belakang dan baru sadar ada Andrew di situ. Ia langsung berhenti mengomel, matanya membesar, dan senyum lebarnya terbit begitu saja.

“Oh. Kamu pulang rupanya,” ujarnya, nada marahnya hilang total berganti antusias.

Andrew tersenyum tipis. “Halo, Sel. Iya, sudah lama sekali kita nggak ketemu."

“Aku pikir kamu betah di Australia. Kenapa tiba-tiba pulang? Jangan bilang bule-bule di sana sudah membosankan?”

Andrew tertawa kecil. Namun tatapannya bergeser ke sosok pemuda yang berdiri beberapa langkah di belakang Selena.

“Itu… putramu?”

Selena sontak menoleh, lalu menarik si pemuda agar berdiri sejajar dengannya.

“Ya. Ini Leo. Keponakanmu yang dulu kamu gendong terus waktu kecil.”

Andrew berdiri, ia berjalan mendekat, lalu langsung merangkul Leo singkat seperti saudara lama yang akhirnya bertemu lagi.

“Astaga… kamu sudah sebesar ini sekarang?” Andrew tertawa, nada suaranya terdengar renyah. "Apa kau sudah bekerja?"

“Bulan depan dia baru wisuda. Habis itu, dia harus masuk ke perusahaan keluarga Daddy-nya," jawab Selena.

Leo tetap diam. Mulutnya terkunci, tapi bola matanya bergerak ke atas, tanda ia sudah mulai jengah dengan rentetan omelan Mommy-nya yang tak ada habisnya.

Andrew terkekeh pelan. Ia paham betul jiwa muda Leo yang masih ingin berpetualang, bukan duduk diam di balik meja kantor.

Andrew mencondongkan badan, suaranya dibuat cukup pelan agar hanya Leo yang mendengarnya.

“Tenang aja, Le. Semua anak muda pernah mengalami fase dikejar-kejar ambisi orang tua,” ujarnya sambil mengangkat sebelah alis. “Tapi kalau kamu masih pengin kabur keliling dunia dulu… Uncle bisa bantu.”

Leo langsung melirik tajam. “Jangan gitu, Uncle, kalau Mommy denger, tamat hidupku.”

Andrew tertawa, lalu kembali berdiri di samping kursi Annette. “Oke, Mom. Aku pulang dulu. Masih ada beberapa hal yang harus aku urus.”

Sebagai tanda pamit, ia menunduk mengecup kening Annette. Setelah itu ia beralih ke Selena dan tanpa ampun mengacak rambut sepupunya itu.

“Hentikan, Drew! Aku bukan anak remaja lagi!” protes Selena sambil merapikan rambutnya.

Andrew hanya tersenyum tipis, sama sekali tak terlihat menyesal.

“Uncle cabut duluan ya, Leo. Dua atau tiga hari lagi club Uncle mungkin sudah buka. Datanglah.”

“Free kan, Uncle?” goda Leo dengan senyum penuh arti.

“Untuk kamu? Free. Minumlah sepuas mu,” balas Andrew santai. “Asal kamu siap saja dengan omelan Mommy-mu setelahnya.”

Leo mendesah, Selena melotot, dan Andrew hanya terkekeh sebelum akhirnya benar-benar melangkah keluar dari rumah itu.

Begitu pintu utama tertutup di belakangnya, Andrew mengembuskan napas panjang. Udara sore yang sedikit dingin menyapu wajahnya, membuat kepalanya terasa lebih ringan.

Ia menuruni tiga anak tangga teras sambil memasukkan kedua tangannya ke saku celana. Tepat saat itu, ponsel di sakunya bergetar. Andrew mengambilnya dan begitu melihat nama pengirimnya, sudut bibirnya otomatis terangkat.

Sebuah pesan dari Bricia.

[Bagaimana kalau besok, Om?

Gelang itu benda keberuntunganku, dan aku nggak bisa berlama-lama menitipkannya pada Om.]

Tawa Andrew langsung pecah, bahkan saat ia membuka pintu mobil, dan masuk ke dalamnya, ia masih saja tertawa.

Kenapa ia merasa perempuan kecil itu manis sekali. Bahkan kedatangannya yang baru saja, seolah mampu mengisi rasa kosong di hati Andrew yang selama ini tak tersentuh.

[Tentu. Di mana?] balas Andrew cepat.

[Rosemary Cafe. Besok aku share lokasinya.]

Andrew tak langsung membalas, ia tampak menimbang sebelum akhirnya mengetik sesuatu pada layar ponselnya.

[Bagaimana kalau bertemu di rumahku?]

Butuh beberapa menit, sampai akhirnya balasan Bricia datang lagi.

[Big No! Di Rosemary Cafe atau Om datang ke rumah. Titik.]

Senyum Andrew terkembang kembali, ia sampai memejamkan matanya menahan rasa geli dan gemas yang muncul di kepalanya.

[Oke. Rosemary Cafe.]

[Good!]

Setelah itu Andrew tak membalas lagi. Ia lebih memilih menyalakan mesin mobilnya dan keluar dari rumah Annette. Di balik gengsinya untuk membalas pesan Bricia, percayalah, ada rasa tak sabar untuk bertemu dengan perempuan itu esok hari.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tergoda Teman Papa    Perasaan Louisa

    Mobil hitam milik Eric memasuki halaman rumah. Senja hampir menelan langit, dan seperti biasa, ia pulang dengan tubuh lelah dan kepala penuh pikiran akan pekerjaan. Begitu mesin dimatikan, ia menghembuskan napas berat lalu keluar dari mobil. Tangan Eric langsung terarah pada dasi yang sejak pagi terasa mencekik. Ia longgarkan dengan gerakan cepat, seolah ingin segera bebas dari hari yang panjang. Saat ia menginjak anak tangga pertama di teras, pintu utama sudah terbuka. Louisa muncul dengan senyum tipis yang selalu tersemat manis di bibirnya. Ia mengulurkan tangan mengambil tas kerja Eric, lalu melepaskan jas dari pundak pria itu. Semua dilakukan dengan gerakan yang begitu halus dan tenang, seperti rutinitas yang sudah dihafal selama bertahun-tahun. “Mau minum teh dulu atau langsung mandi?” tanyanya lembut. “Mandi," Jawaban Eric pendek, tanpa menatap ke arah Louisa. Louisa hanya mengangguk. Ia mengikuti langkah Eric menuju kamar, langkah yang penuh dengan keheningan. Set

  • Tergoda Teman Papa    Janji kosong

    Bricia mematut dirinya di depan cermin. Ini sudah baju ketiga yang ia coba, tapi tetap saja, rasanya ada yang kurang. Padahal ia hanya mau bertemu Andrew untuk mengambil gelang. Hanya itu. Tapi tingkahnya sekarang mirip ABG yang justru hendak bertemu dengan gebetan. “Begini… norak nggak, ya?” gumamnya. Ia memiringkan tubuh, melihat pantulan dirinya dari samping. Floral dress dengan aksen bunga pink itu memang membuatnya terlihat lebih manis, lebih lembut dan hal itu justru membuatnya makin bingung. “Kenapa aku harus mikirin Om Andrew suka atau nggak…” ia merapikan rambutnya, “…kan cuma ambil gelang, selesai, dan pulang. Pakai baju apa aja juga kayaknya nggak ngaruh!" Namun kalimat itu tidak membuatnya berhenti memperhatikan detail kecil di gaunnya. Pinggang yang kurang pas, atau apakah warna pink ini terlalu mencolok untuk siang hari. Dan tanpa ia sadari, senyum kecil muncul di ujung bibirnya. “…tapi kalau Om Andrew lihat aku kelihatan cantik, ya nggak apa-apa juga sih,"

  • Tergoda Teman Papa    Janji Temu

    Di sela rasa haru itu, suara pintu utama tiba-tiba terbuka. Disusul suara seorang wanita yang langsung mengomel tanpa jeda. Annette hanya berdecak, bahkan tak menoleh atau berusaha mencari tahu. “Itu pasti dia,” gumamnya. Dan benar saja, seorang wanita berambut sebahu muncul sambil menenteng tas jinjing, wajah kesal dan nada suaranya tinggi. “Mom sudah bilang berkali-kali, Leo! Kamu itu sudah dewasa. Sudah waktunya mikirin pekerjaan. Daddy bahkan sudah siapin posisi buat kamu, tapi kamu malah tetap mikirin main-main!” Andrew mengangkat kedua alis, menatap Annette seperti bertanya siapa yang datang dengan suara berisik begitu. “Selena,” jelas Annette sambil memutar bola matanya. “Sepupumu.” Selena akhirnya tiba di halaman belakang dan baru sadar ada Andrew di situ. Ia langsung berhenti mengomel, matanya membesar, dan senyum lebarnya terbit begitu saja. “Oh. Kamu pulang rupanya,” ujarnya, nada marahnya hilang total berganti antusias. Andrew tersenyum tipis. “Halo, Sel. Iya, suda

  • Tergoda Teman Papa    Masa Lalu Andrew

    Di bawah lampu merah, Andrew menatap gelang kecil di tangannya dengan raut geli. Ia menemukannya di bawah kursi penumpang—entah terjatuh saat pertama kali ia menolong Bricia atau baru saja ketika mengantarnya pulang. Ia tidak peduli. Yang ia tahu, ini seperti isyarat kecil yang memaksa mereka bertemu lagi. “Menarik sekali kamu, Bri,” gumamnya pelan. Lampu berubah hijau. Andrew kembali menggenggam setir, memasukkan gelang itu ke saku kemejanya, dan menarik gas mobil. Ia melaju menuju rumah yang memang sejak awal ingin ia kunjungi. Rumah tempat seseorang menunggunya. Hampir lima belas menit setelahnya, mobil Andrew masuk ke dalam pagar tinggi yang baru saja terbuka. Begitu mobil terparkir, ia langsung turun dan menuju pintu utama. Tanpa mengetuk, ia membuka pintu dan masuk. Dari arah taman belakang, ia melihat seorang wanita paruh baya sedang duduk santai sambil menyeruput teh. "Hallo, Mom," sapa Andrew sambil mencondongkan badan dan mencium kepala wanita itu. Wanita itu

  • Tergoda Teman Papa    Bertemu lagi?

    Tak ingin berlama-lama di rumah Andrew, Bricia memutuskan pulang. Awalnya ia berniat memesan taksi, tapi Andrew langsung menolak. “Aku antar,” katanya tanpa memberi ruang untuk berdebat. Akhirnya, Andrew benar-benar mengantar Bricia sampai depan gerbang rumahnya. “Thanks, Om. Lain kali aku traktir kopi,” ujar Bricia sebelum turun. Nada suaranya dibuat santai, meski hatinya masih terasa kacau. Entah kacau karena lukanya, atau justru tatapan Andrew yang selalu menguncinya. Andrew menyandarkan tangan di kemudi. “Boleh. Aku tunggu.” Tak lama setelah itu, mobil Andrew melesat pergi, meninggalkan Bricia berdiri sendiri di depan gerbang. Tak ada pembicaraan lanjutan tentang luka di lehernya. Andrew tidak memaksa. Dan Bricia memilih membiarkannya begitu. Biarlah luka itu jadi rahasianya sendiri, untuk sekarang. Begitu melangkah masuk ke pintu utama, aroma masakan langsung menerobos hidungnya. Ia menghela napas panjang. Tentu saja ia tahu siapa yang berkutat di dapur di jam-jam seperti

  • Tergoda Teman Papa    Luka

    “Ini… kenapa, Bri?” Bricia langsung menahan tangan Andrew dan menariknya menjauh. Tanpa menoleh, ia buru-buru merapikan rambutnya untuk menutupi leher. “Om, sebaiknya kita jalan dulu.” Nada tak sukanya terdengar jelas. “Ah… ya. Aku akan mengantarmu pulang ke rumah." "Jangan! Ke mana pun, asal jangan ke rumah. Aku nggak mau Louisa lihat keadaanku seperti ini."Andrew mengembuskan napas berat. "Baiklah, ke rumahku saja." Mobil akhirnya melaju meninggalkan area basement. Bricia memejamkan mata, kepalanya bersandar pada kursi. Ia menghela napas berkali-kali, berusaha menetralkan degup jantungnya yang kacau. Tak ada percakapan menyusul. Hening mendominasi. Andrew hanya fokus pada jalan, sesekali melirik cepat ke arah Bricia. Ia tahu Bricia sedang tidak baik-baik saja, maka tanpa banyak bertanya, ia memutuskan untuk membawanya pulang ke rumahnya. Begitu tiba di depan gerbang rumahnya, Andrew mengambil remot di dashboard dan menekannya. Gerbang perlahan terbuka, mobil melaju masuk, l

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status