MasukMalam ketiga datang lebih cepat dari yang dibayangkan Nasrul. Seharian ia sudah gelisah, bayangan Arum di layar komputer masih menari-nari di kepalanya.
“Aku harus berhenti. Ini salah,” katanya berkali-kali sambil mengetuk-ngetuk meja kerja. Namun suara lain dalam dirinya justru membisik, “Sekali lagi saja… hanya melihat. Tidak lebih.”
Begitu jam menunjukkan pukul sembilan malam, ia duduk di kursi kerjanya, menyalakan komputer. Aplikasi rahasia itu langsung terbuka, layar menyala dengan tampilan ponsel Arum.
“Bismillah…” gumamnya, jemarinya bergetar menekan mouse.
Ia membuka dashboard aplikasi, lalu matanya terbelalak. Ada menu baru yang sebelumnya belum pernah ia sentuh: akses CCTV. Rupanya dari ponsel Arum ia bisa menjebol akun keamanan rumah yang terhubung ke kamera-kamera.
“Ya Allah… jadi bukan cuma HP-nya, tapi semua CCTV rumah juga bisa aku lihat?” suaranya tercekat. Ia menggigit bibir, mencoba menahan rasa bersalah. Namun rasa penasaran lebih kuat.
Klik!
Layar komputer berubah, menampilkan tiga panel: ruang tamu, dapur, dan halaman depan.“Gila… ini kayak nonton TV kabel. Semua sudut bisa kelihatan jelas,” desisnya.
Ruang tamu tampak kosong. Kursi panjang, meja kayu besar, dan pintu utama yang setengah terbuka.
“Sepi sekali… rumah sebesar ini, penghuninya cuma satu orang malam ini,” gumamnya.
Ia berpindah ke CCTV dapur. Hanya ada piring kotor di bak cuci.
“Dia makan sendirian…”
Lalu halaman depan. Lampu taman remang, angin menggerakkan tirai jendela.
“Kalau begini terus, gampang saja orang luar masuk. Dan dia benar-benar nggak punya teman ngobrol,” pikir Nasrul, merasa semakin iba.
Namun pandangannya terpaku saat ia beralih ke menu kamera HP. Dari situ, ia bisa melihat langsung kamar Arum. Kebetulan malam itu, HP Arum sedang diletakkan di atas dudukan charger berbentuk tegak di meja samping ranjang. Posisi kamera depan otomatis menghadap ke arah tempat tidur, membuat semua gerak-gerik di kamar terekam jelas.
Arum baru keluar dari kamar mandi, rambut basah terurai, hanya mengenakan gaun tidur tipis. Ia berjalan ke ranjang, lalu duduk sambil mengusap rambut dengan handuk kecil. Matanya terlihat letih, wajahnya memerah, bibirnya menggumam pelan, seolah menahan rasa rindu yang membuncah.
“Ah… sepi banget malam ini…” terdengar lirih gumamnya.
Tiba-tiba, Arum meraih ponselnya, dengan tergesa-gesa mengetik pesan untuk suaminya yang ada di negeri jiran:
“Mas… rumah sepi lagi malam ini…”
“Ini salah… aku harus berhenti,” gumam Nasrul, mencoba meyakinkan diri. Namun jemarinya tetap menggenggam mouse.
Arum menarik nafas panjang, lalu mengetik di ponselnya. Suaranya terdengar samar dari mikrofon:
“Mas… aku… ingin kau cepat pulang…”
Hati Nasrul mencelos. Hanya ia yang bisa melihat dan mendengar ini malam itu. Semua aman di layar komputer, tapi perasaannya… kacau.
Ia mengalihkan pandangan ke riwayat bacaan Arum di aplikasi w******l. Sekilas, judulnya sama seperti malam sebelumnya: Selingkuh dengan Tetangga Sebelah. Tubuh Nasrul terasa panas. Ia tahu ini bacaan yang memicu kegelisahan Arum.
Tanpa disadari, Arum kembali membaca novel itu dengan serius. Tampak serius menatap layar ponsel, wajahnya memerah, bibirnya bergetar halus setiap kali membaca kata demi kata. Jemarinya bergerak pelan di layar, menelusuri teks dengan intensitas yang hampir tak sadar.
Nasrul menahan napas. “Astaghfirullah… kenapa aku malah melihat ini… ini salah…” batinnya, jantungnya berdetak cepat.
Mata Arum berkaca-kaca sesaat, seolah setiap kalimat yang dibacanya menyalakan rasa rindu dan kekosongan di dadanya. Tubuhnya menggeliat halus di atas ranjang, setiap gerakan kecilnya seakan mencoba menyalurkan kegelisahan yang menumpuk sejak siang.
Nasrul menepuk pipinya sendiri. “Nasrul… sadar… jangan terusin… cuma lihat, jangan ikut campur…” gumamnya lirih.
Kadang Arum menutup wajah dengan tangan, menekannya ke pipi untuk menahan perasaan yang begitu membuncah, lalu menunduk lagi menatap ponsel. Napaknya menjadi tidak teratur, sesekali terdengar lirih menggumam sendiri.
“Ah… aku benar-benar ingin ada di sini… kenapa kau tak di sini?” gumam Arum lirih, suaranya nyaris tak terdengar.
Tubuh Arum mulai menggeliat sedikit lebih jelas di balik baju tidurnya, jemarinya bergerak di sepanjang lengan dan bahu, memeluk dan menekan dada secara halus. Sesekali ia menutup mata, napasnya tersengal, lalu membuka kembali matanya, fokus pada layar ponsel.
“Kenapa aku… sendirian…” terdengar gumaman pelan dari bibirnya.
Nasrul menahan napas. “Astaghfirullah… jangan terlalu jauh… cukup lihat saja…” batinnya, jantungnya berdebar kencang.
Rambut basah Arum menempel di leher, tubuhnya bergerak perlahan menyesuaikan posisi di ranjang yang terlalu besar. Ia menggumam pelan, terdengar lirih, seperti mencoba menenangkan dirinya sendiri.
“Ah… sepi… ingin ada yang di sini…”
Lama-kelamaan, matanya mulai terpejam, napasnya semakin berat. Tubuhnya lelah setelah beberapa menit, perlahan rebah sepenuhnya ke kasur, masih memeluk ponsel erat di dekat dada, kepala menempel di bantal. Sesekali terdengar gumaman lirih, napas berat menandakan kelelahan fisik dan emosional.
Nasrul menelan ludah, menutup mouse sebentar untuk menenangkan diri. Ia tersadar—dari panel CCTV tadi, pintu rumah Arum belum terkunci, masih terbuka sedikit.
Rasa khawatir menguasai pikirannya. Sebagai tetangga, seharusnya ia menolong agar Arum tidak mengalami bahaya.
Dengan napas berat, ia bangkit dari kursi. “Astaghfirullah… aku nggak boleh cuma diam. Ini untuk keselamatannya, bukan untukku,” gumamnya. Jemarinya bergetar, tapi tekadnya jelas: ia harus mendatangi rumah Arum untuk menutup pintu dan memastikan ia aman.
Di luar jendela ruang servis, gelap malam menyelimuti halaman. Angin dingin berdesir, tapi langkah Nasrul mantap menuju rumah sebelah, meski hatinya penuh konflik dan godaan yang menunggu di dalam.
Dan malam itu, satu hal jelas di benaknya: sekali lagi ia menyeberang batas ini, antara kepedulian tetangga dan rasa ingin tahu yang terlarang, jalan pulangnya akan semakin sulit.
Saat Nasrul hampir sampai di pintu rumah Arum, terdengar suara pelan dari dalam kamar:
“…jangan pergi… jangan tinggalkan aku sendirian…”
Gumaman itu terdengar pelan, seperti suara Arum yang masih terbawa mimpinya, setengah sadar dan setengah tidur. Nasrul tercekat, berdiri membeku sejenak. Hatinya hancur antara dorongan kepedulian dan godaan yang mengintai di balik pintu itu. Ia sadar, langkahnya malam itu bisa menentukan segalanya.
"Hari ini kuserahkan sepenuhnya tubuhku untukmu Mas, lakukan apapun semaumu, aku rela." Arum menatap dalam-dalam wajah Nasrul yang tampak menyiratkan sedikit keraguan yang bertarung dengan gairah."Tapi, Rum... aku takut nanti suamimu..."Belum sampai Nasrul menyelesaikan kalimatnya, Arum membungkam mulut pria itu dengan lumatan yang ganas, sebuah deklarasi kehendak yang tak terbantahkan. Itu adalah janji yang disegel oleh desahan dan keputusasaan.Sementara bibir mereka masih saling bertaut, Arum meraih tangan Nasrul, membimbingnya menuju benteng terakhir yang menutupi separuh tubuhnya. Ia memberikan isyarat, jelas dan tanpa kata, bahwa gerbang telah terbuka.Menganggap itu adalah persetujuan akhir, Nasrul bergegas melucuti satu-satunya pintu yang dipersilahkan untuk dimasuki. Jantung Nasrul berdentum kian kencang, menelan ludahnya yang terasa kering. Pandangannya tenggelam ke lembah misteri yang kini hanya tertutupi oleh tirai tipis berwarna putih."Aakkhh!!" Arum tersentak, seketik
Nasrul menatap ke luar jendela, mencoba membaca arah. “Lho, kok ke arah luar kota, Rum? Kita nggak langsung pulang saja?” tanyanya heran menatap Arum yang sibuk menyetir.Arum hanya tersenyum samar. “Nanti Mas juga tahu sendiri,” jawabnya pelan, matanya menatap lurus ke depan.Sepanjang jalan, hanya suara mesin dan desiran angin yang mengisi kabin.Ada sesuatu di udara—semacam getar yang tak bisa dijelaskan. Bukan canggung, tapi juga bukan nyaman.Hanya sunyi yang terasa terlalu dalam.Mobil akhirnya berhenti di depan sebuah rumah di kompleks perumahan yang cukup elit. Arum turun lebih dulu, menatap bangunan itu lama, seolah menatap masa lalu yang diam-diam memanggilnya.“Rumah siapa ini?” tanya Nasrul sambil menatap sekeliling.“Rumah ini dulunya aku kontrak sewaktu masih kuliah, buat aku tinggali sama dua temanku, mas. Lalu sekalian dibeli sama ayah katanya buat investasi,” jawab Arum perlahan.Pintu dibuka, aroma debu dan kenangan menyeruak, tapi cahaya senja yang menembus jendela
“Santai aja, Mas. Beliau orangnya baik, kok. Cuma ingin ngobrol dan tahu siapa yang nanti bantu tim.” ucap Arum menenangkan Nasrul yang tampak gugup saat mereka berdua melaju di dalam lift ke lantai paling atas.Nasrul mengangguk pelan, tapi dadanya makin sesak. Ia tahu dirinya hanya lulusan SMA, bekas teknisi ponsel yang sehari-hari berkutat dengan solder. Dunia yang akan ia datangi sekarang terasa seperti ruang asing — tempat orang-orang berjas bicara dengan istilah yang tak pernah ia pahami.Pertemuan diadakan di sebuah ruang rapat kecil di lantai tujuh gedung RSUD. Dindingnya penuh papan presentasi dan bagan proyek yang ia tak benar-benar mengerti. Seorang pria paruh baya berkacamata duduk di tengah, wajahnya teduh tapi berwibawa. Arum memperkenalkan, dengan suara yang sopan tapi mantap:“Mas, ini Pak Ridwan — kepala bidang digitalisasi pelayanan kesehatan daerah. Dulu saya sempat kerja di bawah beliau.”Pak Ridwan menatap Nasrul sekilas, lalu menyalami tangannya hangat. “Wah, ja
Sudah hampir sebulan berlalu sejak malam itu. Namun setiap kali Arum menatap langit-langit kamarnya, bayangan Nasrul masih menempel di sana — samar tapi nyata, seperti bekas cahaya lilin yang belum padam.Suaminya, Deni, kini jarang memberi kabar. Alasannya klasik, masih sibuk lembur di pabriknya. Pesannya selalu pendek, kering, dan dingin:“Aku lembur. Tidur duluan aja, Yang.” Lalu hilang berhari-hari. Tak pernah berkabar dulu kalau tak dichat Arum lebih dulu.Lelah, Arum mulai berhenti menunggu. Rumahnya makin sepi, dan di tengah kesunyian itu, justru sosok lain yang datang menyelinap dalam pikirannya — seseorang yang belakangan ini terasa sangat dekat, tapi kini pun hilang tanpa kabar, sama seperti suaminya.Ia masih ingat jelas — malam ketika Nasrul berbaik hati rela mengetuk pintunya dengan cemas. Hampir tengah malam waktu itu, dan Arum lupa menutup pintu depan karena ketiduran. Ketukan pelan disertai suara parau:“Rum, pintumu kebuka. Kunci dulu, nanti ada maling.” Suara
Sudah tiga minggu berlalu sejak hari pemecatan itu, tapi suasana rumah Nasrul belum juga kembali seperti dulu. Pagi-pagi, suara motor tetangga yang berangkat kerja hanya jadi pengingat betapa kini ia tak lagi punya tujuan pasti setiap hari.Kadang Nasrul keluar pagi dengan alasan “ada urusan”, kadang hanya rebahan di rumah sambil menatap langit-langit. Kalau tak begitu, sore hingga petang ia nongkrong di warkop ujung gang, duduk bersama beberapa kawannya sambil menyeruput kopi hitam dan mengisap rokok tanpa henti.“Masih nyari-nyari kerja, Rul?” tanya salah satu temannya.Nasrul hanya tersenyum hambar. “Iya, masih. Tapi susah, Bro. Sekarang saingan banyak, gaji kecil. Yang minta pengalaman malah nggak mau bayar sepadan.”Obrolan di warkop berakhir begitu saja, tapi di dada Nasrul, keresahan menumpuk seperti asap rokok yang menggantung di udara. Setiap hari ia berusaha terlihat tenang, padahal pikirannya penuh perhitungan dan jalan buntu.Di rumah, Ningsih mulai kehilangan sabar. Setia
Langit sore di atas atap rumah Nasrul berwarna kelabu. Awan menggantung berat, seolah tahu ada badai yang siap menghempas biduk kecil itu. Pintu depan berderit pelan saat Nasrul mendorongnya. Bau masakan sederhana menyambutnya, tapi hari itu aroma itu tak lagi menenangkan. Istrinya, Ningsih, menoleh dari dapur dengan senyum lelah. “Lho, kok cepat pulang, Mas? Ada apa di toko?” tanyanya ringan, belum sadar badai apa yang akan datang.Nasrul terdiam. Pandangannya kosong. Jemarinya gemetar saat meletakkan tas kerjanya di kursi. Ia mencoba membuka mulut, tapi suaranya serak. “Ningsih… aku—aku nggak kerja lagi di sana.”Senyum di wajah istrinya langsung pudar. “Lho? Maksudnya apa, Mas?”Nasrul menelan ludah. “Aku… dipecat, Dek.”Suara itu begitu pelan, tapi cukup untuk membuat dunia Ningsih seolah berhenti berputar. Panci di tangannya jatuh ke lantai, berdenting keras. “Dipecat?! Astaghfirullah, Mas… kenapa?”Ningsih mendekat, menatap suaminya tak percaya. Mata lembutnya kini beruba







