Tangannya menggantung di atas mouse. Cling! Notifikasi baru muncul di layar komputer. Mata Nasrul langsung melebar. Pesan dari Arum ke suaminya terpampang jelas di hadapan mata.
“Mas… aku sudah tak tahan lagi… ingin dijamah…”
Tubuh Nasrul kaku. Jantungnya berdetak tak karuan. “Astaghfirullah… apa yang dia tulis ini?” gumamnya, tangan gemetar di atas mouse. Ia menatap layar seakan tak percaya.
Bayangan malam sebelumnya kembali terlintas. Ia sempat membaca potongan pesan dari Arum, tapi waktu sudah lewat tengah malam sehingga ia buru-buru mematikan komputer. “Dan sekarang… semua semakin jelas,” batinnya, menelan ludah.
Rasa penasaran semakin menguasai. Dengan napas berat, ia menggeser kursornya, membuka percakapan lengkap. Chat Arum penuh dengan keluhan tentang sepinya rumah, rindunya pada suami, dan godaan yang kian tak terbendung.
“Aku bosan sendirian… kamar ini terlalu sepi…”
“Mas, cepat pulanglah… aku butuh kamu malam ini…”“Kenapa aku harus melihat ini… ini bukan urusanku,” gumamnya lirih. Namun matanya tetap menempel ke layar, enggan berpaling.
Tangannya bergetar saat mengambil alih kamera belakang ponsel. Dalam sekejap, layar menampilkan gambar kamar Arum. Lampu terang membuat suasana makin jelas, seolah ia sedang menyaksikan langsung. Wanita itu berbaring di kasur, tubuhnya tampak gelisah, satu tangan memegang ponsel, sementara yang lain meremas bantal seakan mencari pegangan.
“Ya Allah… dia benar-benar resah,” bisik Nasrul, keringat dingin mulai muncul di pelipis.
Ia menunduk sejenak, mencoba menguasai diri. “Ini salah. Aku harus berhenti,” tegurnya pada diri sendiri. Namun jemarinya justru semakin erat menggenggam mouse, seolah takut kehilangan momen sekecil apa pun.
Monitor menampilkan wajah Arum yang muram. Sepasang matanya kosong menatap langit-langit kamar, bibirnya bergetar menahan keluh. Di chat, Arum masih menulis panjang pada suaminya.
“Aku benci rumah ini, terlalu luas… aku sendirian di kamar besar, orang tua sibuk, kakak jauh, kamu pun tak ada di sini…”
“Aku hanya ingin ada yang memelukku malam ini…”Nasrul tahu rumah keluarga Arum memang besar. Ia sering melihat dari luar, rumah bergaya modern dengan halaman luas, tapi sunyi. Gudang mebel keluarga ada 150 meter jauhnya, orang tua Arum lebih sering di sana daripada di rumah. “Dia sendirian di rumah semegah itu… pantas kalau kesepian,” bisik Nasrul, mencoba membenarkan hatinya.
Tiba-tiba layar komputer menampilkan notifikasi lain dari aplikasi sadap: riwayat bacaan Arum di aplikasi w******l. Judulnya langsung menusuk pandangan Nasrul: Selingkuh dengan Tetangga Sebelah.
“Ya ampun… jadi ini bacaan dia?” gumamnya, menelan ludah. Ia mengklik notifikasi itu. Tampak halaman yang sedang dibaca Arum: adegan panas antara dua tokoh.
Di layar kamera, terpantul dari cermin almari: tubuh Arum sedikit menggeliat. Ia menutup wajah dengan punggung tangan, lalu menoleh gelisah. Bibirnya menganga sesekali, matanya terpejam.
“Jadi… bacaan itu yang bikin dia begini,” bisik Nasrul, setengah tak percaya. Ia merasa seperti penonton yang duduk di kursi VIP, menonton sesuatu yang seharusnya tak pernah ia lihat.
Pesan baru dari Arum ke suaminya masuk lagi.
“Mas… aku baca cerita di HP… aku jadi panas… tolong cepat pulang… aku butuh kamu…”Nasrul ternganga. Kata-kata itu menusuk batinnya. “Dia tulis ini untuk suaminya… bukan untukku… bukan untukku,” ulangnya berulang kali, seakan ingin meyakinkan diri. Tapi bagian lain dalam dirinya justru berbisik: kalau suaminya tak ada, bukankah aku yang membaca dan melihat ini lebih dulu?
Ia menepuk pipi pelan, mencoba sadar. “Jangan bodoh, Nasrul. Jangan cari masalah.” Namun detak jantungnya semakin cepat, wajahnya semakin panas.
Monitor terus menampilkan wajah Arum dengan ekspresi yang membuat Nasrul makin sesak nafas. Kamera tiba-tiba gelap, Arum membanting ponselnya ke samping kasur. Dari mikrofon HP, suara lirihnya terdengar samar, “Mas… aku butuh kamu…”
“Kalau terus begini… aku bisa gila,” bisik Nasrul, menggigit bibir bawah.
Ia menutup jendela chat sebentar, tapi matanya kembali terarah ke layar. Ada pesan foto yang dikirim Arum untuk suaminya. Tangannya sempat ragu. “Aku buka, atau aku berhenti di sini?” bisiknya, napasnya tersengal. Namun rasa penasaran akhirnya menang.
Layar menampilkan swafoto samar—gaun malam tipis yang membalut setengah tubuhnya. Senyum getir menghiasi wajah Arum, jelas penuh kesepian.
Napas Nasrul tercekat. Ia menatap layar monitor sekali lagi, wajahnya dipenuhi konflik, hatinya dipenuhi dosa yang belum sempat terjadi. “Ning… maafkan aku… aku terlalu jauh,” ucapnya lirih, mengingat istrinya.
Malam kedua ini, ia tahu, batas antara rasa penasaran dan perselingkuhan semakin kabur. “Kalau aku melangkah lebih jauh… tidak ada jalan kembali,” gumamnya, jemari bergetar di atas mouse.
Monitor tetap menampilkan kamar sepi Arum, tubuh yang resah, bacaan w******l panas di ponselnya, dan pesan yang terus menggoda.
Nasrul meneguk ludah, matanya berkaca-kaca. “Kenapa harus aku yang melihat semua ini lebih dulu?” tanyanya lirih pada ruangan kosong. Komputer mendesis halus, lampunya berpendar, sementara suara malam di luar jendela terasa makin hening.
Ia memejamkan mata sebentar, berharap bayangan itu hilang. Tapi ketika dibuka kembali, layar masih menyala, gambar Arum masih terpampang jelas. “Tuhan… lindungi aku dari godaan ini,” bisiknya, hampir seperti doa yang tak yakin akan terkabul.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Nasrul merasa dirinya bukan lagi sekadar tetangga.
Nasrul berdiri di depan rumah Arum, napasnya masih berat setelah berjalan cepat dari rumah sendiri. Pintu rumah tetangga itu terbuka setengah, tirai sedikit bergoyang diterpa angin malam. Hatinya berdebar.“Astaghfirullah… ini salah… tapi aku harus…” gumamnya lirih.Ia menatap ke dalam sebentar, melihat kamar Arum dari jauh. Tubuhnya yang tampak lelah masih terbaring di ranjang. Nasrul gamang. Langsung masuk? Tidak, itu terlalu jauh. Ia takut salah langkah, takut menimbulkan kesalahpahaman.Akhirnya, ia mengetuk pintu pelan. Satu ketukan. Dua ketukan. Lalu berulang kali, sambil sesekali memanggil:“Arum… Arum, kamu…?” suaranya bergetar.Hening sejenak. Napasnya tertahan, tangan masih di ambang pintu.“Arum… ini Mas Nasrul… pintu kamu… belum ditutup…”Tidak ada respons. Ia mengetuk lagi, kali ini sedikit lebih keras, tapi masih sopan. Suara ketukan bergema di lorong.Tiba-tiba, terdengar suara serak, setengah terbangun: “Eh… siapa…?” gumam Arum, suaranya masih berat dan tersendat.Pin
Malam ketiga datang lebih cepat dari yang dibayangkan Nasrul. Seharian ia sudah gelisah, bayangan Arum di layar komputer masih menari-nari di kepalanya.“Aku harus berhenti. Ini salah,” katanya berkali-kali sambil mengetuk-ngetuk meja kerja. Namun suara lain dalam dirinya justru membisik, “Sekali lagi saja… hanya melihat. Tidak lebih.”Begitu jam menunjukkan pukul sembilan malam, ia duduk di kursi kerjanya, menyalakan komputer. Aplikasi rahasia itu langsung terbuka, layar menyala dengan tampilan ponsel Arum.“Bismillah…” gumamnya, jemarinya bergetar menekan mouse.Ia membuka dashboard aplikasi, lalu matanya terbelalak. Ada menu baru yang sebelumnya belum pernah ia sentuh: akses CCTV. Rupanya dari ponsel Arum ia bisa menjebol akun keamanan rumah yang terhubung ke kamera-kamera.“Ya Allah… jadi bukan cuma HP-nya, tapi semua CCTV rumah juga bisa aku lihat?” suaranya tercekat. Ia menggigit bibir, mencoba menahan rasa bersalah. Namun rasa penasaran lebih kuat.Klik! Layar komputer berubah
Tangannya menggantung di atas mouse. Cling! Notifikasi baru muncul di layar komputer. Mata Nasrul langsung melebar. Pesan dari Arum ke suaminya terpampang jelas di hadapan mata.“Mas… aku sudah tak tahan lagi… ingin dijamah…”Tubuh Nasrul kaku. Jantungnya berdetak tak karuan. “Astaghfirullah… apa yang dia tulis ini?” gumamnya, tangan gemetar di atas mouse. Ia menatap layar seakan tak percaya.Bayangan malam sebelumnya kembali terlintas. Ia sempat membaca potongan pesan dari Arum, tapi waktu sudah lewat tengah malam sehingga ia buru-buru mematikan komputer. “Dan sekarang… semua semakin jelas,” batinnya, menelan ludah.Rasa penasaran semakin menguasai. Dengan napas berat, ia menggeser kursornya, membuka percakapan lengkap. Chat Arum penuh dengan keluhan tentang sepinya rumah, rindunya pada suami, dan godaan yang kian tak terbendung.“Aku bosan sendirian… kamar ini terlalu sepi…” “Mas, cepat pulanglah… aku butuh kamu malam ini…”“Kenapa aku harus melihat ini… ini bukan urusanku,” gumamn
Komputer di ruang servis sudah dimatikan, tapi detak jantung Nasrul masih memburu. Notifikasi terakhir dari HP Arum masih menari di benaknya, memicu rasa bersalah sekaligus gairah yang sulit dipadamkan.“Cukup untuk malam ini,” gumamnya lirih. Ia melirik pintu kayu di samping meja. Pintu tembusan menuju rumah. Tangannya ragu sejenak, lalu menarik gagang. “Semoga Ning tidak curiga kalau aku terlalu lama di sini.Pintu ruang servis berderit pelan ketika Nasrul mendorongnya. Jam dinding di ruang tamu sudah menunjukkan pukul sebelas lewat lima menit. “Waduh, sudah jam sebelas lewat, jangan-jangan ibu negara ngambek nih” degup jantung Nasrul langsung mencelos. Ia tahu Ningsih hanya menoleransinya lembur sampai pukul sepuluh demi punya waktu untuk keluarga, karena seharian kerja di gerai hp besar yang ada di kota.Ia masuk kamar dengan langkah hati-hati. Ningsih sudah menunggu di ranjang, duduk dengan wajah setengah kesal, setengah manja. Rambut hitamnya tergerai menutupi pipi. “Mas, jam
Ruang servis sepi. Hanya suara kipas angin tua yang berderit, menemani Nasrul yang duduk terpaku menatap monitor komputer rakitannya. Aplikasi tersembunyi yang ditanam pada ponsel Arum berhasil menyadap percakapan pribadi sepasang pengantin baru itu. “Sekarang aku bisa memasuki kehidupan pribadimu, Arum”. Ayo mulailah bercakap dengan suamimu!”. Kaki nasrul menghentak-hentak pelan ke lantai tanda tak sabar.Jari-jarinya gemetar memegang mouse, tapi bukan karena takut ketahuan. Tapi perasaan yang tidak sederhana untuk dijelaskan. Merasa bersalah dengan Arum, Deni, lebih-lebih Ningsih istrinya, tapi nafsu terlanjur menguasai. “Seberapa besarkah dosaku melakukan ini?” batin Nasrul senang bercampur bimbang.Ia mulai menggulir dengan sabar, menelusuri semua riwayat percakapan yang pernah terjadi antara Arum dan suaminya, sejak masa pacaran-tunangan-sampai setelah sah menjadi pasangan suami istri. Ketika sampai di lini masa pascapernikahan, Nasrul membuka pesan suara dari Deni. Dengan napas
Layar ponsel Arum menyala cerah seolah memberi permisi agar mulai dijamah, dan Nasrul seakan kehilangan napas. Awalnya niat hanya mengecek kerusakan aplikasi, tapi jemarinya malah berlabuh pada ikon galeri.“Buka sebentar saja nggak apa-apa, kan?” batinnya merayu pikirannya, atau malah sebaliknya batinnya yang justru digoda oleh pikiran nakalnya, ia mencoba bersikap tenang meski jantungnya sudah berpacu kencang.Gambar di awal biasa saja—makanan, artis K-Pop, screenshot baju-baju di marketplace–khas isi galeri ponsel para wanita. Ia hendak menutup, tapi rasa penasaran lebih kuat. Jempolnya menggulir cepat menyelam lebih dalam dan dalam lagi entah berharap menemukan apa.Lalu muncullah ratusan swafoto Arum. Senyum manis dengan jilbab rapi, gaya polos tanpa make-up. Hanya itu saja sudah cukup membuat dada Nasrul hangat. Namun makin digeser, foto-foto itu berubah. Arum tanpa jilbab, rambut hitamnya terurai panjang, kaos ketat membalut tubuh semampainya. Senyum tipis itu membuat Nasrul ta