Share

Aku Bisa Apa?

Tanpa menjelaskan kemana perginya Fahmi dan Melly, Bu Nur langsung menceritakan apa yang dia dengar langsung dari anaknya tadi, pada Tiara.

"Fahmi sudah cerita. Dia menikahi Melly tiga tahun yang lalu,"

"Mama benar-benar tidak tahu?" selidik Tiara dengan kehati-hatian. Dia takut menyinggung orang yang sudah dianggap sebagai ibunya sendiri.

"Tia, selama ini kita memakai HP yang sama. Jika Fahmi SMS atau telpon, kau pasti tahu,"

"Iya, Ma!"

Tiara percaya itu karena HP milik Mamanya itu memang selalu diletakkan di atas kulkas. Baik Bu Nur maupun Taira, sangat jarang keluar rumah. Jadi, apapun yang terjadi di rumah ini, dia pasti tahu.

Dia bertanya seperti itu karena Melly bilang kalau Papanya Fahmi yang jadi saksi pernikahan mereka.

Ayah mertuanya itu memang tidak tinggal di rumah ini. Bu Nur sudah lama ditinggal suaminya, tepatnya ketika Fahmi masih sekolah.

Yang Tiara tahu, ayahnya Fahmi tinggal di Pekan Baru dan sudah punya keluarga yang baru.

Tiara juga tahu kalau antara Bu Nur dan Ayahnya Fahmi tidak pernah berkomunikasi.

"Kalau tentang Ayahnya Fahmi yang jadi saksi, Mama tidak tahu dan tidak akan bertanya. Jadi jangan anggap kalau Mama menutupi kesalahan mereka,"

"Iya, Ma. Aku minta maaf,"

"Semua sudah terjadi. Pepatah bilang, nasi sudah jadi bubur,"

Bu Nur diam sebentar karena tenggorokannya sakit untuk menjelaskan ini semua.

Tiara tidak bisa berkata-kata. Dia  yang masih belum bisa menerima kejutan dari Mas Fahmi, berusaha menunggu penjelasan ibu mertuanya.

"Melly memaksa ikut karena dia tengah hamil muda. Fahmi tidak bisa menolak karena tiga tahun menikah, baru sekarang Melly bisa hamil. Itu alasannya, Nak,"

"Dia hamil?"

Bu Nur mengangguk."Iya. Makanya orang tuanya ikut ke sini. Mereka mengantar anaknya ikut suami sekalian mau kenalan sama Mama,"

"Ma, jadi Melly akan tinggal di sini?"

"Itu yang Fahmi katakan tadi. Kau tahu sendiri, Fahmi belum punya rumah dan kemana lagi dia akan membawa istrinya kalau bukan ke sini?"

Kepala Taira makin cenat-cenut saja mendengarnya.

Rumah ini memang punya empat kamar. Satu kamar, yaitu kamar  yang paling besar ditempati oleh Bu Nur.

Selama ini Tiara dan Fahmi menempati kamar depan bersama dua anaknya.

Tapi ketika anak-anak mulai besar, Bu Nur memberi Fattan dan Fauzan satu kamar lagi.  Yang ada diruang tengah. Kamar yang letaknya diantara kamar depan dan kamar yang ditempati Bu Nur. Tiara dan si bungsu masih di kamar depan.

“Lalu Melly akan tidur dimana?”

Hanya satu ruang yang masih mungkin dijadikan kamar. Yaitu gudang belakang, tempat Bu Nur menyimpan barang-barang yang sudah tidak terpakai, termasuk mainan anak-anaknya dan itu ada di belakang. "Apa mungkin Melly mau tidur di kamar belakang?"

Saat Bu Nur masih kerja dan masih ada ayahnya Fahmi, konon ruangan itu adalah kamar pembantu. Cukup lega dan sirkulasi udaranya juga cukup bagus karena tembus ke jalan belakang dan depannya juga tempat jemuran dan taman yang kecil.

Tapi kalau melihat bentuknya yang sudah seperti gudang apa mungkin Fahmi tega membiarkan Melly di sana?

"Fahmi pulang karena sudah empat tahun tugas di sana. Dan sesuai rencana, dia berhasil mengurus mutasi ke sini. Jadi dia bilang, Melly juga akan tinggal bersama kita, Tia!"

Tiara tertawa. Pahit sekali mendengarnya meskipun dia sudah menduga apa yang dipikirkan oleh Fahmi ketika membawa bini barunya itu ke sini?

"Aku kan menumpang di rumah ini, Ma. Jika itu maunya Mas Fahmi dan Mama menyetujui, aku bisa apa?"

"Jangan seperti itu?  Mama juga tidak bisa berbuat apa-apa. Tentang bagaimana kalian tinggal, itu kita pikirkan nanti. Sebentar lagi orang tuanya Fahmi sampai. Dia tamu, jadi mama minta tolong padamu. Jangan buat keributan, ya!"

Les...

Kekuatan yang tersisa dalam tubuh Tiara, serasa lenyap saat itu juga.

Memang Bu Nur tidak bisa menolak kedatangan orang Tiara yang konon semakin dekat, apalagi mereka datang dari jauh.

Tapi melihat sikap penerimaan Bu Nur itu, pikiran Tiara makin sakit. Mereka datang mengantar Melly, seolah-olah Melly adalah istri satu-satunya Fahmi. Apa mereka  benar-benar tidak tahu kalau Fahmi sudah punya istri dan tiga orang anak?

"Ya  Allah. Kenapa nasib pernikahan aku harus seperti ini?" keluh Tiara. Ingin rasanya dia menjerit sejadi-jadinya saat itu agar kepalanya tidak pecah.

Sakit sekali mendapatkan perlakuan yang sangat tidak masuk akal ini.

"Tiara. Mama mohon sekali, Nak.  Tolong bersikap dewasa. Tak ada gunanya juga kita teriak-teriak yang membuat tetangga jadi tahu permasalahan keluarga kita. Ini tidak akan menyelesaikan masalah, kan?" desak Bu Nur.

Tiara masih diam. Dia tidak memberikan reaksi apapun.

Saat itulah, hp yang ada di atas kulkas berbunyi. Tiara hafal tanda itu, itu ada pesan yang masuk.  Bu Nur yang sedang bersama Tiara langsung mengambil benda itu dan membaca isinya.

Tiara melirik, dia melihat bagaimana ekspresi ibu mertuanya itu dan sepertinya tidak ada harapan kalau perempuan itu akan berubah pikiran.

"Tiara, mereka sudah ada di ujung jalan. Bisa bantu bukakan pintu gerbang?" pinta Bu Nur yang membuat Tiara langsung tercengang.

"Apa, Ma?" tanya Tiara spontan. Dia mendengar permintaan itu dengan jelas tapi Tiara seakan ingin memastikan lagi pendengarannya.

"Iya, Nak. Entah sudah berapa piluh tahun pintu gerbang itu tidak pernah dibuka. Pasti butuh tenaga untuk mendorongnya. Tangan mama sakit, Nak."

"Ya!" sahutnya terpaksa karena tidak mungkin rasakan menolak permintaan Bu Nur yang sangat jarang sekali minta tolong padanya.

"Maaf, ya. Mama jiga tidak mau kau seperti ini. Tapi kita bisa apa?"

"Iya, Ma. Tak apa."

Tiara menerima kunci dari Bu Nur dan langsung menuju ke depan dengan langkah yang gontai.

Ternyata apa yang dikatakan ibu mertuanya benar.

Gemboknya aja sudah karatan. Tapi untungnya  begitu anak kunci itu dimasukkan, langsung terbuka.

Tapi, dugaan Bu Nur kembali  benar. Teralis setinggi dua meter itu sangat susah untuk digeser. Tiara sudah mengerahkan seluruh tenaga tapi dia pintu itu bergeser sedikit saja.

Untungnya ada tetangga yang lewat. Melihat bagaimana susahnya Taira, dia langsung menawarkan diri.

"Tumben dibuka. Mau ada tamu apa, Mbak?" tanya pria berseragam coklat muda itu. Yang Tiara tahu, laki-laki itu tinggal di kos-kosan depan rumah mertuanya.

"Iya. Tamunya Mama,"

"Lubang relnya tertutup debu yang mengering." Katanya. Tiara melihat, pria itu juga kesusahan mendorongnya.

Tapi yang namanya tenaga laki-laki, akhirnya berhasil juga.

Tiara langsung mengucapkan terimakasih atas bantuannya, masalah dia selesai.

Tiara tidak begitu kenal dengan tetangga karena dia jarang melangkah ke luar pagar. Tapi dia tahu laki-laki itu karena sering melihat pria itu keluar masuk kos-kosan depan rumahnya saat pagi dan sore. Saat Tiara menyuapi anaknya.

Tiara baru akan menyingkirkan sepeda anaknya dari garasi tapi klakson yang terdengar tak jauh darinya membuat dia langsung melihat ke arah jalan.

Tepat di depan rumah, berhenti kijang super berwarna coklat muda dan sedang berbelok ke arahnya.

Sebelum mobil itu masuk, pintu belakang terbuka dan turunlah Fahmi yang kemudian menghampirinya.

"Singkirkan barang-barang ini. Mobilnya mau masuk!"

Tiara melihat suaminya lekat-lekat. Dia baru saja ingin buka suara tapi Bu Nur sudah keluar dan tergopoh-gopoh membereskan mainan cucunya yang tercecer di garasi.

"Tadi siang anak-anak main sepeda dan bikin berantakan. Kami belum sempet beres-beres,"

Melihat bagaimana sikap Bu Nur,Tiara langsung tersenyum miris.

Akhirnya dua hanya bisa mematung di tempatnya dan melihat bagaimana Bu Nur dan Fahmi menyambut keluarga Melly dengan ramahnya.

"Maaf berantakan,"

Kata-kata itu yang terus diucapkan Bu Nur sambil beres-beres.

Setelah mobil terparkir di tempatnya dan penumpangnya turun, barulah dia menghampiri tamunya.

"Maaf, saya tidak tahu kalau akan ada tamu. Belum sempet beres-beres,"

Seorang perempuan yang keluar dari pintu samping sopir langsung menyalami Bu Nur dan berkata dengan ramah. "Bu Nur, maaf jika sudah merepotkan. Senang, akhirnya  bisa ketemu besan!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status