Share

Bukan karena status

Sikap ibunya Melly yang ramah dan sopan, membuat Bu Nur menyambut mereka dengan ramah.

Tiara juga tidak bisa berbuat apa-apa. Ketika wanita yang sepantaran mertuanya itu menyalaminya, dia juga mengulurkan tangannya dan berusaha tersenyum.

"Tiara, senang bertemu denganmu!"

Akhirnya mereka semua berkumpul di ruang tamu. Kini Tiara baru tahu, ternyata Mas Fahmi dan Melly sempat tidak terlihat beberapa saat, ternyata menjemput wanita ini.

Bersama mereka ada seorang pria lain tapi entah kenapa tidak ikut masuk. Pria itu hanya duduk di teras.

"Sebenarnya kami sudah sampai di Jakarta pagi tadi tapi karena perjalanan jauh dan Fahmi juga bilang kalau dia belum kasih tahu ke ibu kalau mau pulang hari ini, jadi saya putuskan untuk istirahat di hotel,"

"Oh.. begitu. Kenapa harus ke hotel segala Fahmi? Kalau kau bilang lebih awal, mama bisa beres-beres. Kita punya empat kamar. Bisa kok kalau hanya untuk istirahat saja,"

"Terimakasih Bu Nur. Saya tidak mau merepotkan. Apalagi dengan kondisi yang sekarang ini,saya sepertinya harus tinggal beberapa hari  sampai Melly bisa ditinggal. Tidak mungkin juga saya menginap di sini, kan?" Katanya. Secara tidak sadar wanita itu melihat kondisi rumah Bu Nur dengan ekspresi yang sulit untuk ditebak.

Bu Nur terlihat biasa-biasa saja. Beda dengan Tiara. Menurutnya, apa yang dilakukan wanita itu sangat meremehkan kondisi rumah ini.

"Heh ... sombong sekali orang ini. Sekaya apapun dia di kampung, tetap tidak bisa meremehkan Mama. Rumah ini memang sudah tua dan kurang terawat. Tapi apa mereka tidak tahu, jika rumah seperti  ini harganya ga main-main di Jakarta. Bisa buat beli setengah lusin mobil seperti yang mereka pakai," gerutu Tiara tak berkesudahan.

"Ma, selain ga mau merepotkan kita, Mama Nung ga bisa tidur umpel-umpelan. Jadi aku rasa, tak apa Mama Nung di hotel. Deket juga kok dari sini, hotel Cempaka Baru yang ada  di jalan B itu, Ma,"

"Ehem....,"

Bu Nung yang sedang jadi bahan pembicaraan antara ibu dan anak itu langsung berdehem. Dia tidak mau berbasa-basi terlalu lama karena tidak nyaman melihat ekspresi Taira yang tidak suka akan kehadirannya di sini.

"Jadi begini, Bu Nur. Intinya tidak masalah saya tinggal dimana karena niat saya ke Jakarta ini hanya untuk mengantar Melly pada keluarga suaminya," kata Bu Nung.  Saat bicara dia menatap Melly yang duduk di samping Fahmi, anak menantunya.

"Ya, Fahmi sudah bilang tadi,"

"Bu, Mas Fahmi itu suami saya dan kami sudah punya tiga anak. Kenapa ibu menikahkan anak ibu dengan laki-laki yang punya keluarga? Apa tidak ada laki-laki lain, apa?" sela Tiara yang mengagetkan semua orang. Dia tidak bisa terus-terusan membungkam melihat bagaimana perlakuan Mas Fahmi yang sangat aneh itu.

Dia kesal dengan sikap suaminya. Masa sejak datang sampai sekarang, dia tidak menyapa dirinya sama sekali. Padahal, saat dia pergi tiga tahun yang lalu, tidak ada masalah dengan hubungan mereka. Semua baik-baik saja

"Saya ke sini juga ingin menjelaskan masalah ini. Tadi Melly bilang kalau kau menuduhnya sebagai pelakor. Ini salah faham, saya  harus meluruskannya agar Dek Tiara dan juga Bu Nur tidak salah faham dengan Melly,"

"Salah faham bagaimana, Bu?" Sergah Taira.

"Sudah jelas suami saya menikahi anak ibu diam-diam. Saya dan juga ibunya juga tidak tahu, bisa-bisanya ibu bilang begitu,"

"Bisa saya jelaskan?" tanya Bu Nung tak mau kalah.

"Kalau Dek Tiara terus bicara, kapan saya kebagian ngomong,"

"Heh?" Tiara langsung mendelik.

"Bisa-bisanya dia bilang begitu di depan istri sah menantunya?" Gerutu Tiara. Dia benar-benar tidak habis pikir dengan wanita yang sudah menjadi mertua dari suaminya itu.

"Tiara, ibu mohon. Dengarkan mereka dulu, Nak!"

Kini Bu Nur yang angkat suara. Tiara akhirnya tidak bisa berkata-kata.

"Empat  tahun yang lalu, Fahmi datang ke kampung kami. Saya inget betul, hari Minggu  tepatnya. Dia cari tempat tinggal karena tidak betah tinggal di perumahan dinas yang ada di sekolahan tempat dia mengajar. Selain airnya keruh, listrik nyalanya dari jam lima sore sampai jam enam pagi. Begitu katanya,"

"Iya, Ma. Di sana juga susah cari makan. Ga ada yang jualan. Pasar juga hanya ada sepekan sekali, itu juga jualannya cuma perabot ala kadarnya dan pakaian obralan,"

Bu Nur terhenyak. Dia tidak menyangka kalau anaknya akan tinggal di daerah seperti itu.

Waktu itu, Fahmi bisa lulus PNS sebagai guru sudah membuatnya senang karena upah yang dia terima sebagai guru honor di Jakarta sangat tidak manusiawi sekali.

Jadi tak apa Fahmi bersakit-sakit dahulu. Dari info yang dia dapat dari sana sini, konon PNS yang tugas di kepulauan terluar bisa pindah setelah empat tahun mengabdi.

Dia tidak bisa membayangkan bagaimana anak semata wayangnya waktu itu. Meskipun bukan dari keluarga yang serba berkecukupan tapi hidup Fahmi tidak susah-susah baget.

Selama ini dia selalu dilayani oleh ibunya. Mulai dari pakaian, makan, hingga kebutuhan lainnya. Tidak bisa dibayangkan bagaimana nasib anaknya waktu itu?

"Ya, saya kan buka warung makan di pusat perkebunan. Ada kos-kosan juga. Jadi, Fahmi menyewa salah satu kamar kos saya saat itu juga. Ibu tahu, ga. Berapa jarak tempat kos Fahmi dengan sekolah tempat dia mengajar?"

Bu Nur langsung menggelengkan kepalanya.

"75 km, Bu. Naik motor bisa satu jam kalau ga musim hujan dan kalau kapal penyeberangan ga ramai,"

"Dusun banget ya tempatnya?" tanya Bu Nur keheranan.

"Begitulah, Ma. Kalau aku paksakan tinggal di sekolah, bisa mati aku. Gimana mau makan kalau warung ga ada? Kalau belanja di pasar pekan buat stok makanan, mau disimpan di mana? Listrik kalo siang mati, kulkas ga kepake disana,"

"Fahmi benar. Ibu juga jangan salah sangka, meskipun di kampung, bahan makanan mahal. Nasi, sayur plus lauk tahu tempe aja sudah tujuh ribu. Lebih mahal  dari harga makanan di Jakarta. Namanya Kepulauan, sayur mayur ga semua bisa tumbuh. Saya sendiri  kalau belanja buat warung, harus ke kota biar lebih murah. Kadang ke Malaysia kalau stok sembako dan kering-keringan  menipis,"

"Kalau bukan karena kebaikan Bu Nung, mana bisa hidup? Mama tahu sendiri, PNS baru kan gajinya kecil. Karena  di kampung , ga ada tunjangan apa-apa.  Duit dua juta memang cukup besar dibanding yang aku terima saat masih jadi guru honor, tapi kebutuhan aku lebih banyak, Ma. Buat kos, makan, bensin, mana cukup. Untungnya Bu Nung minjamin aku  motor, jadi aku ga keluar duit lagi,"

"Baik karena ada maunya. Dia tahu kalau Mas Fahmi itu PNS, dari kota lagi. Jadi dia menyebarkan kebaikan karena ingin menjodohkan Mas Fahmi sama anaknya, kan?" sela Tiara dengan kesal.

"Masa begitu aja ga ngerti?"

"Tiara, jaga ucapanmu!"

"Kenapa?" tanya Tiara makin ketus. Dia kesal karena Fahmi sepertinya akan membela Melly dan ibunya.

"Tiara, saya tanya padamu dan jawab dengan jujur. Menurutmu saya membantu Fahmi karena punya rencana yang enggak baik padanya?"

"Begitu kenyataannya,"

Bu Nung tertawa. Hambar sekali? "Karena Fahmi itu guru PNS dan orang kota, gitu?"

Tiara hanya menanggapi dengan senyum yang dingin

"Kalau saya punya pikiran seperti itu, sudah pasti Melly akan punya banyak suami. Asal kau tahu, yang kos ditempat saya bukan orang sembarangan. Mulai dari PNS, pegawai kementerian, pejabat perkebunan, pertambangan dan masih banyak lagi. Bukan satu dua orang  yang ingin saya jadikan mantu. Kalau kau pikir ini tentang uang, juga salah besar.  Satu kamar saya sewakan satu juta dan saya punya 30 kamar. Hitung sendiri berapa yang saya dapat dari uang kontrakan. Belum lagi omset dari warung makan saya yang buka  24 jam. Gaji PNS itu ga ada apa-apanya buat saya. Apalagi buat Melly. Buat beli kosmetik anak saya  aja ga cukup."

Tiara makin kesal mendengar kesombongan wanita itu. Dia yang sudah terlanjur tidak simpatik dengan Melly sejak awal, kembali bertanya dengan dingin.

"Lalu karena apa, ya? Mau  bilang kalau semua  itu  karena cinta?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status