Share

Pelakor Yang Sombong

Dihujani pertanyaan seperti itu, Fahmi masih tidak bergeming dari tempat duduknya. Dia juga tidak membuka suara meskipun Melly sudah menatapnya. Memberi kode pada suaminya untuk menjelaskan semuanya pada Tiara.

"Kenapa diam?" Tiara makin emosi karena sikap diamnya Fahmi dan gayanya Melly yang begitu tenang.

Wanita itu seolah tanpa dosa, memandang Taira dan suaminya secara bergantian.

"Mas!"

Pekik Tiara.

"Apa salahnya aku sampai kau juga membawa pelakor ini ke rumah?"

"Tiara!"  Tegur Bu Nur.

Dia terpaksa angkat suara karena Tiara sudah teriak di depan anak-anak  untuk mengungkapkan kekesalannya. Mana bisa Bu Nur melihat situasi itu. Ketiga cucunya nangis sambil memeluk Taira.

Bu Nur tidak mau anak-anak yang masih polos itu melihat pertengkaran orang tuanya.

Bu Nur tahu. Tiara semakin dikuasai amarah,  suaranya membuat resah Bu Nur. Tak ingin keributan anak dan mantunya itu didengar tetangga, dia langsung menengahi.

"Jangan teriak-teriak begitu. Kita bisa bicarakan ini baik-baik,"

"Mas Fahmi keterlaluan sekali, Ma. Siapa yang bisa sabar jika diperlakukan seperti ini. Atau dia takut sama pelakor ini?" Katanya sambil menuding ke arah Melly.

"Maaf ya, Mbak. Aku ga pernah ngerebut laki orang. "sahut Melly dengan tak kalah ketus, dia tidak terima ketika Tiara menuduhnya  sebagai pelakor.

"Jangan asal ngomong!" imbuhnya.

Dia baru masuk ke rumah Bu Nur setengah jam yang lalu tapi entah apa yang membuat Tiara seperti punya keyakinan kalau Fahmi dan ibunya akan ada di pihak wanita itu.

"Dari pertama kenal  Mas Fahmi tidak pernah bilang kalau punya anak istri. Dan ketika dia mengajak aku pulang begitu tugasnya di sana selesai, dia juga mengajak aku dengan baik-baik. Keluargaku sedang dalam perjalanan ke sini karena mereka membawa mobil pribadi," cerocosnya.

"Oh begitu? Apa kau dan keluargamu tidak curiga ketika Mas Fahmi melamar kamu sendiri saja? Keluarganya juga tidak ada yang ke sana, kan? Mikir!"

"Apa kau bilang?"

Matanya mendelik melihat Tiara makin kalap.

"Ga ada yang datang?"

Dia langsung tertawa sinis usai bertanya seperti itu.

Dengan sikapnya yang masih tenang, dia melihat Mas Fahmi yang berdiri di sampingnya Bu Nur dan juga Tiara satu persatu.

"Aku sudah bilang dan aku tegaskan lagi. Aku tidak pernah mengambil suami orang. Kami memang menikah di bawah tangan tapi itu sah. Waktu itu teman satu kantor Mas Fahmi yang jadi saksi dan Papanya juga memberi restu walaupun hanya lewat telepon,"

"Tia, sudah. Jangan ribut-ribut begini. Bagaimana kalau tetangga pada kumpul di rumah ini. Malu, mama?"

"Ma, aku marah karena Mas Fahmi.....,"

"Iya, Mama tahu. Kau pikir Mama tidak shock?"

Bu Nur merangkul bahu Tiara dan membawa dalam pelukannya. "Lihat anak-anakmu. Mereka nangis karena Mamanya teriak-teriak sejak tadi. Kasian mereka, mereka belum bisa memahami apa yang terjadi. Tenanglah, Mama janji akan menyelesaikan semuanya secepatnya mungkin,"

"Ma?"

Tiara menarik tubuhnya dan menatap ibu mertuanya itu lekat-lekat

"Kau tidak percaya sama Mama?" tanya Bu Nur karena dia melihat keraguan di mata anak menantunya itu.

"Kamu sudah mama anggap sebagai anak mama sendiri. Fahmi juga anak mama, kenapa kita harus menyelesaikan masalah ini dengan urat kalau bisa beres dengan akal sehat,"

"Aku sudah dibohongi, Ma. Waktu aku mau ikut, Mas Fahmi minta aku tinggal karena alasan anak. Empat tahun dia pergi tanpa kabar sepatah pun pada kita. Saat aku mau menyusul ke tempat kerja, Mama melarang aku. Jadi begini rupanya?"

"Tiara, kau menuduh mama bersekongkol dengan Fahmi?"

Suara Bu Nur yang awalnya terdengar sabar, kini naik pitam.

"Enggak, Ma. Tapi....,"

"Sudah. Jika kau masih mengganggap aku ini ibu mertuamu, masuk kamar. Tenangkan anak-anakmu!" perintah Bu Nur dengan tegas.

Dia jarang sekali bicara dengan nada tinggi seperti ini. Tiara yang sudah yujuh  tahun jadi menantunya dan mereka tinggal di rumahnya, tahu persis karakter ibu dari suaminya itu.

Dia tahu kalau ini adalah perintah. Meskipun dia tahu kalau Bu Nur belum tentu  akan memihaknya, dia tidak punya pilihan lain kecuali masuk kamar. Menyusul ketiga anaknya yang tengah terisak.  Suara tangis mereka membuat suasana sore yang cerah itu menjadi tegang dan menakutkan.

Apalagi dia melihat ada tetangga yang datang dan ingin tahu apa yang terjadi, Bu Nur buru-buru keluar dan memberi tahu tetangga sebelah rumahnya itu kalau keluarganya sedang terharu karena Fahmi baru pulang setelah empat tahun bertugas di daerah terpencil dan terluar.

Tiara  langsung memeluk ketiga anaknya dan menenangkan mereka meskipun saat itu, hatinya begitu teriris.

Sakit sekali rasanya. Apalagi Mas Fahmi tidak segera masuk ke kamar menyusul mereka.

Mungkin dia tidak kangen dengan Tiara yang sudah setia menunggu kedatangannya kembali meskipun selama empat tahun itu,tidak sepeser pun nafkah yang dia terima.

Tapi bagaimana dengan tiga anak mereka? Apa Mas Fahmi tidak ingin memeluk darah dagingnya sendiri?

Tiara menatap anaknya satu persatu. Fattan sudah berumur enam tahun sekarang. Saat Mas Fahmi pergi meninggalkan rumah karena tugas, waktu itu dia masih berumur dua tahun.

Dia mungkin tidak begitu ingat dengan wajah papanya, jadi saat melihat Mas Fahri masuk rumah bersama istri  barunya, anak-anak belum ada yang sadar kalau itu papa mereka.

Apalagi Fadlan yang berumur lima tahun. Kalau Tasya malah belum pernah merasakan kehangatan seorang Papa.

Mas Fahri pergi ketika Tiara sedang menyusui Fadlan dan dia sendiri tidak tahu kalau sedang  hamil muda waktu itu.

"Nak, kenapa Papamu tega banget sama kita?" tanya Tiara dengan sedihnya.

Ketiga anaknya sudah tertidur, tapi dia mengajak mereka bicara karena dengan cara itulah dia bisa menguragi sesak di dadanya.

Air mata yang dia tahan sejak tadi, akhirnya mengalir juga.

Dikecupnya kening anaknya satu persatu sambil terus terisak.

Dia memikirkan bagaimana nasib mereka setelah ini?

Jika Mas Fahmi berani membawa pulang Melly tanpa bilang lebih dulu padanya dan juga Mamanya, itu sudah jelas sekali maksudnya.

Apalagi Melly juga bilang kalau keluarga dalam perjalanan ke sini.

Bisa jadi Melly akan tinggal di sini bersama mereka. Atau ....

Tiara tidak bisa melanjutkan pikirannya. Dia belum siap jika harus satu atap dengan madunya. Apalagi kalau Mas Fahmi tidak menginginkan ada dua menantu di keluarga ini. Sudah pasti dia yang akan tersingkir.

"Bagaimana nasib kita, Nak?"

Sekuat tenaga Tiara menahan agar tangisnya tidak pecah karena sambil ngeloni anak-anaknya, dia juga ingin mendengar apa yang dibicarakan oleh Ibu mertuanya, Mas Fahmi dan Melly.

Dia memasang telinga baik-baik namun suara Bu Nur yang sedang bicara tidak terdengar jelas karena jarak antara kamar yang dia tempati saat ini dengan ruang tamu, cukup jauh. terpisah ruang makan yang cukup luas.

"Tiara!"

Itu adalah suara Bu Nur.

Mendengar suara yang begitu jelas, Tiara yakin kalau ibu mertuanya itu ada di depan pintu.

"Iya, Ma,"

Pintu kamar terbuka. Bu Nur melihat ketiga cucunya terlelap.

"Mama mau bicara,, Nak,"

Tiara mengangkat tubuhnya dengan tidak berdaya dan menyeka air matanya yang sudah kering.

"Jangan di sini, nanti mereka bangun!"

Tiara tidak bisa menolak. Dia menyusul Bu Nur yang jalan lebih dulu ke ruang makan.

Tidak ada siapa-siapa di situ. Tiara juga memanjangkan lehernya, dia juga tidak melihat Mas Fahmi dan Melly di ruang tamu. Suara mereka juga tidak terdengar lagi.

"Duduklah, Nak!" ajak Bu Nur ketika melihat Tiara masih saja berdiri dan pandangannya terus tertuju ke ruang tamu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status