Share

Bagaimana Dengan Tiara?

"Fahmi, apa yang dikatakan Tiara benar. Kau belum nemuin anak-anakmu, kan? Malam ini, tidurlah di rumah!" Bu Nur ikut memintanya karena dia rasa, Fahmi seperti tidak peduli dengan ketiga anaknya. Entah apa yang ada dipikirannya, padahal mereka tidak bertemu selama empat tahun, apa dia tidak kangen dengan Fattan,Fadlan, dan Tanaya ?

Bu Nur jadi khawatir sendiri dengan kondisi anaknya. Tapi bagaimana pun juga, Fahmi itu anak kandungnya. Dia tidak berani berpikir yang macam-macam.

Bu Nung sudah duduk di bangku belakang segera menurunkan kaca di sampingnya. Melly yang ada di sebelahnya juga ikut memanjangkan lehernya ke Bu Nur.

"Fahmi harus menemani Mama Nung dan Melly, Ma. Meskipun tinggal di hotel tapi tidak ada yang mereka kenal di kota ini selain aku,"

"Mama tahu, tapi kau juga harus adil dengan anakmu. Ingat, mereka tidak salah apa-apa. Jangan hukum mereka dengan sikap tidak pedulimu,"

Melihat perdebatan ibu dan anak itu, membuat Bu Nung merasa tidak enak hati.

Dia langsung menengahi. "Apa yang dikatakan Mamamu benar. Tinggal lah bersama anak-anak. Kami tidak apa-apa, kok?"

Tiara yang melihat ekspresi mamanya Melly jadi makin kesal. Dia merasa kalau ada yang tidak beres  dengan wanita itu, begitu pun dengan anaknya.

Tapi dia bisa apa? Tidak ada yang bisa dia lakukan  selain tersenyum hambar melihat kepura-puraan di wajah yang terpolos riasan tebal.

"Tapi, Ma?" Fahmi langsung menoleh ke belakang. Melihat reaksi Melly.

"Iya, aku tidak apa-apa. Ada Mang Rudi kok,"sahut Melly. Saat bicara, dia sengaja melihat Tiara. Dia seakan ingin menunjukkan pada Taira kalau dia tidak sejahat yang dipikirkan. Dia bisa menjadi wanita yang mau berbagi suami meskipun sudah jelas kalau Fahmi lebih memilihnya daripada Tiara dan anak-anaknya.

****

Akhirnya Melly dan ibunya kembali ke hotel bersama Mang Rudi.

Fahmi masih berdiri di depan pintu gerbang meskipun mobil yang membawa istri mudanya itu sudah tidak terlihat lagi olehnya.

Bu Nur mendekati anaknya. Menepuk bahu Fahmi sambil berkata dengan suara pelan "Masuklah. Anak-anakmu ada di kamar tengah. Sejak tadi Fattan dan adik-adiknya nangis karena takut mendengar teriakan mamanya,"

Tanpa berkata apa-apa lagi, Fahmi langsung menutup pintu gerbang dan balik badan.

Dia melewati Tiara yang masih berdiri di depan pintu, langsung menuju ke kamar tempat anak-anaknya tidur.

Fahmi membuka pintu dengan pelan. Dari tempat dia berdiri, dia melihat tiga anak kecil terlelap di tempat tidur yang sama.

Ketiga anak itu saling berpelukan satu sama lain.

Dengan perasaan yang bergejolak di dalam hatinya, Fahmi memberanikan diri masuk. Dia mendekati tempat tidur itu dengan langkah yang sangat hati-hati. Dia tidak ingin mengusik ketiga anak yang terlelap itu.

Fahmi menyentuh pundak anak sulungnya dan mengelusnya dengan lembut. Seperti yang dia pikirkan, tampaknya Fattan memang sedang terlelap, dia tidak bergerak sedikit pun.

“Kamu sudah setinggi ini, Nak?”

Tangannya mendadak kaku. Dia merasa tidak berguna melihat bagaimana anaknya yang menahan kesedihan hingga tidur saling berpelukan.

Mungkin kalau Fadlan tidak ingat betul dengan diriya karena saat pergi, anak itu masih bayi. Baru mau satu tahun umurnya. Tapi Fattan, tidak begitu. Usianya memang baru dua tahun waktu itu tapi anak ini sudah mejadi sumber kebahagiannya kala itu.

Karena Fattan dan adiknya, karena tanggung jawabnya sebagai ayah yang berjanji akan memberi kebahagian pada mereka lah Fahri memilih ikut test CPNS dan memilih daerah terpencil, yang peluangnya lebih besar dan saingannya tidak seberat ketika dia harus memilih di tempat dia honor saat itu.

Tujuannya hanya untuk kebahagian keluarga, dia ingin anak-anaknya kelak bangga punya ayah seperti dia.

Bu Nur yang melihat anak dan cucunya itu ikut sedih. Dia yang berdiri terpaku di depan pintu akhirnya mendekati Fahmi.

“Anakmu sudah gede-gede. Mereka anak yang baik,”

“Ma!”

Fahmi terkaget dan segera mengangkat tubuhnya dengan hati-hati. Dia tidak mau suara Mamanya itu akan mengusik anak-anaknya.

“Anak-anakmu itu kalau sudah nyium bantal, ga akan terusik oleh suara geledek sekali pun. Ga usah khawatir,”

“Begitu?” Fahmi terkaget. Yang dia tahu, kecilnya Fattan itu sangat rewel. Kadang Tiara sampai harus bangun sepuluh kali lebih untuk mengurus anaknya yang selalu rewel kalau malam hari. Apalagi setelah Fadlan lahir. Rumah ini sudah seperti  pasar malam. Tangisan anak silih berganti yang kadang membuat Fahmi nyaris tidak bisa istirahat.

“Iya, Tiara sudah menemukan kuncinya. Jadi, mereka ga rewel lagi kalau malam,”

Fahmi mengeryitkan keningnya dalam-dalam. Seperti tahu kalau anaknya butuh penjelasan, Bu Nur langsung menunjuk ke atas jendela kamar.

“Tuh, Tiara beli itu tak lama setelah kau pergi. Ibunya kirim uang, tadinya buat bekal kamu selama belum mendapat gaji PNS di sana tapi karena weselnya telat, dibelikan AC,”

Fahmi melihat benda yang menempel diantara kamar ini dan kamar sebelah, kamar utama. Ac itu masih terlihat mengkilat meskipun sudah berumur empat tahun.

“Rumah kita kan atapnya pendek dan tau sendiri, Jakarta panas ga ketulungan. Apalagi kita ini deket laut. Ibu pikir ga mungkin kalau anak-anak itu lapar karena ASI Tiara berlimpah, susu yang Mama  beliin buat tambahan juga ga kurang-kurang,”

“Iya, Ma. Aku juga sempet kepikiran begitu. Tapi waktu itu aku ga punya uang, aku bisa apa?”

Bu Nur tersenyum. Dia mengelus pundak anaknya dan mengajak anaknya itu bicara empat mata.

“Kau belum mau tidur, kan? Bisa kita bicara sebentar?”

Tanpa berkata apapun, Fahmi langsung mengikuti Bu Nur yang berjalan menuju ke ruang keluarga. Tempat dia nonton TV bersama keluarganya.

Fahmi duduk di samping ibunya. Wanita itu langsung menyalakan TV agar obrolan mereka tidak terdengar oleh Tiara.

“Ma, maafkan aku!”

Untuk kesekian kalinya Fahmi mengucapkan kata-kata itu. Namun sebagai ibu yang berada di posisi yang sulit, Bu Nur hanya bisa tersenyum.

“Semua sudah terjadi. Kalau Mama minta kau meninggalkan Melly, rasanya tidak mungkin. Begitu juga jika Mama minta Tiara….,”

“Ma, kita sudah membahas ini. Setelah tahu kalau aku sudah punya anak dan istri, Melly tidak masalah dengan ini. Dia tidak akan mengambil aku dari anak-anakku, Ma,”

“Iya, Mama tahu. Tapi Mama kepikiran sama Tiara,”

“Empat tahun dia menunggu kamu, ternyata ini jawban dari penantian yang panjang itu. Apa ini tidak keterlaluan, Fahmi?”

“Aku tidak akan menceraikan dia, Ma!”

“Kalau iya, lalu apa Tiara mau menerima perlakuan ini?”

“Bagaimana Mama harus mengatakan ini semua pada ibunya?”

“Mama bingung. Mama yang minta Tiara ke Mamanya waktu itu dan atas perjodohan itu dia bahkan rela tidak meneruskan kuliah dan menikah sama kamu. Usia pernikahannya baru tujuh tahun dan ini yang dia dapat setelah hidup susah denganmu. Apa ini adil untuknya?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status