Keesokan harinya.
Hari ini adalah hari terakhir Laras cuti bekerja. Entah apa yang akan terjadi di kemudian hari, ia akan menghadapinya. Mengingat sekarang kedatangan orang tua Bian, Laras sudah rapi dengan baju tergolong sopan. "Kamu beneran mau menikah dengan Bian, Nak?" tanya sang Ayah, Yusuf. Laras tersenyum hangat kemungkinan mengangguk lirih. Meski masih ada keraguan di hatinya, Laras tetap yakin bahwa bersama Bian hidupnya pasti jauh lebih baik dan bahagia. Ia mendambakan rumah tangga yang rukun serta harmonis bersama pria itu. Ya, Laras menaruh banyak harapan pada pernikahannya. Yusuf mengusap pundak sang anak. "Papa harap kamu selalu bahagia, Nak." "Laras pun berharap yang sama, Pa," ungkapnya. Suara bising dari pintu luar membuat Laras dan Ayahnya berjalan menghampiri suara tersebut. Sesampainya, Bian serta keluarganya sudah ada di depan. Laras mendadak panas dingin, sebab yang datang bukan hanya Weni saja, melainkan Wahyu selaku Ayahnya Bian pun ikut hadir. "Mari masuk Pak, Bu," ucap Ibu Laras mempersilakan. Mereka pun kini sudah berada di ruang tamu. Suasana terasa tegang. Laras bingung harus bagaimana. Sedangkan Bian terlihat biasa saja, kaku. Wahyu menarik napas sejenak. "Ya, jadi begini Pak, Bu, kedatangan kami berkunjung ke sini ada niat baik tertentu." "Saya selaku kepala keluarga di sini, ingin menyampaikan niat baik kami bahwasannya putra kami—Bian, berniat meminang putri Bapak Ibu sebagai menantu kami." Ibu Laras langsung memegang jari jemari anaknya. Ia tahu bahwa sang anak sangat gugup. Dirinya pun paham betul perasaan putri tertuanya itu. "Gimana, Sayang, kamu setuju?" tanya sang Ibu. Laras masih terdiam. Sejujurnya, ia tidak tahu bahwa Bian akan membawa lengkap orang tuanya karena Laras pikir hanya Weni saja, itu pun ia kira hanya berkunjung seperti biasa. Jadi, ini terlalu tiba-tiba bahkan tanpa diskusi sedikit pun dengannya. "Gimana, Nak?" tanya Wahyu sedikit tidak sabaran. Ayah Laras langsung membalas, "Kami sekeluarga ikut senang atas kedatangan dan niat baik dari Ayah dan Ibunya Nak Bian. Karena ini adalah hal yang serius, juga yang menjalankan kedua anak kita. Saya serahkan kepada Laras, kalau Laras setuju kami dengan senang hati menerima keputusannya." "Sayang," ucap sang Ibu menguatkan anaknya. Laras yang sedari tadi menunduk, perlahan memperlihatkan wajahnya dengan sempurna. Tatapannya langsung tertuju kepada Bian. Entah kenapa, mata itu terlihat penuh harapan padanya. Setelah memantapkan hatinya, Laras mengangguk pelan. Hal itu disambut baik oleh kedua orang tua Bian, juga dengan pria itu. Bian ikut tersenyum. Matanya berbinar. "Jadi, Nak Laras setuju?" tanya Wahyu kembali memastikan. "Iya, Laras setuju." — "Mas Bian kok nggak bilang kalau yang datang bukan Tante Weni aja!" Laras memukul lengan pria di sampingnya. Mereka kini sedang berada di Mall, mencari cincin pernikahan. "Itu namanya surprise," ucap Bian sangat enteng. "Harusnya Mas Bian ngomong dulu sama aku, jangan seenaknya datang. Masih untung aku terima, loh," gerutu Laras masih tidak terima. "Kalau saya bilang itu namanya bukan surprise, Laras." "Ya tetap aja harus bilang. Kalau tadi Papa sama Mama pergi gimana?" "Nggak usah dipermasalahkan lagi. Lagian, kamu juga udah setuju." Mereka pun sampai di toko perhiasan. "Selamat siang, ada yang bisa dibantu? Atau Mbak dan Masnya lagi cari apa?" tanya si pegawai toko. "Cincin pernikahan yang simpel aja Mbak," ujar Laras bingung sendiri melihat banyaknya cincin di lemari kaca tersebut. Pegawai tersebut mengeluarkan satu kotak yang cukup panjang ke hadapan Laras dan Bian, supaya keduanya bisa memilih. "Ini keluaran terbaru Mbak, cukup simpel. Ada gambar hatinya, juga ada berliannya." Bian menoleh. "Kamu suka?" "Aku suka yang ini, Mas." Laras menunjuk ke arah Cincin berwarna putih. Dengan satu berlian di depannya. Sangat simpel. "Kalau kamu suka, saya juga suka." Laras menoleh ke sang pegawai. "Saya mau ambil yang ini aja, Mbak. Tapi kalau custom nama bisa nggak, ya?" "Bisa, Mbak. Atas nama siapa?" "Laras dan Bian," jawab Laras cepat. "Tolong dicatat nomor yang bisa dihubungi di sini." Laras menerima pulpen tersebut dan menuliskan nomornya di sana. Sedangkan Bian sedang melakukan transaksi, ia tipe orang yang tidak mau ribet. Harusnya DP dulu, tetapi pria itu lebih memilih melunasinya langsung. Usai memesan cincin pernikahan. "Aku ke toilet dulu, Mas." Bian mengangguk sebagai balasan. Ia menunggu Laras di depan ruangan yang bertuliskan toilet. "Mas Bian?" Yang dipanggil pun menoleh. "Jelita. Pandu ke mana? Kenapa sendirian?" "Mas lagi apa di sini?" tanya Jelita. Sengaja tidak menjawab pertanyaan Bian. "Sama Laras?" tebaknya. "Iya." Wanita itu memasang wajah sendu. Tadinya ia ingin mengajak Bian berbicara jika pria itu sedang sendiri. "Kenapa? Pandu di mana memang?" tanya Bian. Pria itu sebenarnya sedikit khawatir. "Di lain waktu, apa kita bisa bicara, Mas?" Lagi, Jelita menjawab pertanyaan Bian dengan pertanyaan lagi. Meski begitu Bian tetap mengikuti alurnya. Selama menjalin hubungan dengan Jelita, Bian sudah hapal dengan gelagat wanita di depannya. Ia pasti sedang ada masalah. Tiba-tiba seseorang datang dari arah yang berlawanan dan menubruk tubuh Jelita, sehingga wanita itu hampir terjatuh, untung saja Bian dengan sigap menangkapnya. "Aduh, maaf Mas Mbak saya kebelet, nggak tahan," ucap si pelaku langsung ngibrit ke dalam toilet. Laras yang baru selesai cuci muka tidak sengaja berpapasan dengan pria yang kelihatannya sudah tidak bisa lagi menahan rasa kebeletnya. Namun, saat sampai di luar, kakinya langsung terpaku di tempat. Napasnya mendadak berhenti. Di sana, tepat di depan mata Laras, Bian tengah memeluk seorang wanita. Mereka menyadari dengan kedatangan Laras. Refleks pelukan tidak sengaja tersebut terurai dengan perasaan bersalah di dalamnya. Entah apa yang terjadi, Laras tidak tahu. Yang jelas, ia tahu bahwa wanita itu Jelita. Mantan kekasihnya Bian.Jam makan siang."Laras!" panggil Lolita karena masih tidak terima bahwa surat penguduran dirinya tidak kunjung dapat persetujuan.Sarah yang melihat Lolita memanggil sahabatnya itu sontak menatap Laras seakan meminta jawaban."Kenapa, Ras?" tanya Sarah.Yang ditanya malah menggeleng pelan. Ia juga sebenarnya kurang tahu kenapa Lolita memanggilnya dengan nada cukup keras tersebut. "Yang bener aja kamu, Ras. Masa resign nggak ada omongan sama sekali ke aku," ujar Lolita masih tidak terima. Sarah yang mendengar seperti itu langsung menyahut, "Kamu resign, Ras?""Siapa yang resign?" Kali ini suara Bima yang muncul.Lolita menatap Laras dengan kesal. "Laras. Gara-gara dia surat resign saya batal di acc sama Pak Hendra.""Itu si nasib Bu Lolita." Bima memegang kopi dengan laptop di tangannya. "Pak Hendra mana mungkin lepasin sekretaris kesayangannya." "Diam kamu, Bima," balas Lolita tajam.Sebenarnya Lolita tidak marah, hanya saja kesal karena ia sudah menunggu-nunggu hari tersebut. Ia
—Beberapa bulan kemudian. "Mas ... Mas Bian bangun." Laras menepuk-nepuk pipi suaminya pelan.Tidak lama pria itu membuka matanya usai mendapat satu kecupan di pipi. Mungkin itu jimat ketika Bian susah dibangunkan."Mas aku berangkat duluan, ya? Hari ini ada meeting," ujar Laras di jam 8 pagi.Bian yang masih tertidur di atas ranjang pun sontak terbangun. Ini masih pagi, kenapa sang istri sudah mau berangkat kerja?"Cium dulu," balas Bian setengah sadar.Laras memandang malas. Ia sudah mau telat, tetapi Bian malah meminta hal aneh yang pasti berujung memakan waktu lama.Cup! Ciuman itu mendarat di pipi untuk yang kedua kalinya."Udah. Aku berangkat, ya."Namun, baru saja hendak bangkit tangan Laras dicekal oleh Bian sehingga wanita itu kembali jatuh ke ranjang."Mas," gerutu Laras.Sayangnya Bian tidak peduli, pria itu malah menunjuk bibirnya dengan ibu jari. Menyodorkan pada sang istri seolah meminta lebih."Aku udah mau telat, Mas. Nanti aja, ya?"Akhirnya aksi tawar-menawaran Lara
"Dari bibir kamu lebih manis," goda Bian.Laras refleks memukul tubuh sang suami. "Mas Bian!"Sayangnya pria itu justru terkekeh geli. Seolah hal yang paling menyenangkan adalah menganggu dan membuat istrinya marah."Muka kamu lucu," celetuk Bian. Laras pun merenggut. "Jangan kaya gitu lagi.""Kenapa?" Bian kembali mengikis jarak dengan sang istri. "Di sini aman. Mau nyoba lagi?"Tiba-tiba kedua orang tua Bian datang membuat keduanya berdiri dengan posisi normal. Laras merasa lega karena merasa diselamatkan."Kalian masih mau di sini atau ikut pulang bareng kami?" tanya Ibu Bian.Laras melirik ke arah Bian. Kemudian memamerkan senyum tipisnya. "Kita juga mau pulang, Bu. Takut hujan."Kedua orang tua Bian mengangguk lirih, berjalan lebih dulu meninggalkan kedua pasutri yang tengah berlibur tersebut. Entah sejak kapan Bian menjadi pria yang hangat dan romantis. Namun yang jelas Laras tidak henti tersenyum. Seperti saat ini, pria itu berjalan seraya menautkan jari-jemarinya dengan mili
Usai berganti pakaian kedua pasangan suami istri tersebut menuruni anak tangga dengan senyum rekah di bibirnya. "Gibran?" panggil Laras saat sampai di bawah."Ibu sama ayah di mana?" tanyanya."Oh ... ibu sama ayah kayanya pergi ke kebun," balas Gibran.Tentu saja Laras kebingungan sendiri. Bukankah kesibukan kedua orang tua Bian adalah mengurus perusahaan mereka? Karena selama tinggal satu komplek yang ia tahu Bian ini dari keluarga berada. Ayahnya saja pemilik perusahaan tempat pria itu bekerja. "Ibu sama ayah saya memang urus perkebunan di sini, lebih tepatnya ibu. Karena hobinya berkebun," jelas Bian.Kemudian Gibran kembali membuka suara. "Kata ibu, Kak Bian disuruh ajak Kak Laras jalan-jalan. Jangan di rumah terus.""Makasih Gibran. Kamu pengertian, deh," celetuk Laras.Bian pun melirik ke samping. "Memangnya kamu nggak capek?""Stamina tubuh aku itu kuat, Mas. Jangan diragukan. Gimana kalau kita susul ibu sama ayah. Aku pengen liat-liat," ucap Laras tampak bersemangat. Gibra
Setelah beberapa hari menghabiskan waktu di Bali, kini Laras dan Bian sudah berada di Taxi usai menempuh perjalanan pulang dari Bali—Bandung yang menghabiskan waktu sekitar satu jam lebih. "Mas, udah hubungi Ibu kalau kita udah perjalanan ke rumah?" tanya Laras di dalam mobil. Bian pun mengangguk. "Udah. Kenapa, kamu kok keliatannya seneng banget?""Aku nggak sabar ketemu orang tua Mas Bian. Apalagi ini pertama kalinya aku diajak berkunjung langsung setelah kita nikah," jujur Laras tidak lupa menebarkan senyum.Bian ikut senang karena sang istri terlihat bahagia dengan hal-hal kecil yang akan ia jumpai setelah. Ia tidak hentinya tersenyum. Kemudian tangan lembut itu mengusap rambut Laras dengan sayang. "Laras ...."Laras menoleh lalu membalas, "Kenapa, Mas?""Nggak apa-apa. Saya seneng aja liat kamu senyum lebar kaya gini," ungkapnya."Emang selama ini aku jarang senyum?" tanya Laras kebingungan. Lagi lagi Bian menggeleng lirih. Istrinya itu selalu saja membuat gemas. Tidak ayal
Beberapa hari berlalu. Kini, Laras dan Bian sedang berkunjung ke salah satu pantai yang menyediakan penginapan dengan nuansa pantai pasir putih yang terletak di kota Denpasar, Bali. Kedua pasangan suami istri itu sedang bersiap-siap karena sebentar lagi langit akan berganti warna jingga. "Kamu beneran honeymoon ke Bali, Ras?" tanya Sarah dari balik telepon. Laras pun mengangguk dengan wajah menghadap ke cermin hias. Memoles tipis riasan agar wajahnya tidak terlalu pucat. "Aku kangen pantai, Sar. Kebetulan kita mau berkunjung ke rumah mertua, jadi biar sekalian aja pulang dari Bali ke Bandung," balas Laras. "Astaga, Ras. Kamu istrinya Direktur, loh, minta honeymoon ke Eropa, kek. Jangan nanggung-nanggung, mau keliling dunianya juga Bian duitnya nggak bakalan abis," celetuk Sarah sengaja. "Perjalanan jauh yang bikin capek, Sar. Mending yang deket-deket aja lebih menghemat tenaga," jelas Laras apa adanya. "Padahal kapan lagi jalan-jalan jauh sebelum punya anak, nanti kalo udah ada