Laras Maheswari harus menelan pahitnya patah hati setelah putus dari Pandu Pramana, pria yang telah bersamanya selama 5 tahun ia berkarir. Pandu memutuskan hubungan dan menikah dengan Jelita, si anak magang yang baru 2 bulan bekerja di kantor mereka bekerja. Namun, pada saat yang bersamaan Bian Nugraha yang bersatus sebagai tetangga Laras pun bernasib sama. Keduanya sama-sama di tinggal menikah oleh mantan kekasihnya. Demi menutupi rasa patah hatinya, Laras menerima tawaran Bian untuk menikah dengan pria itu. Pernikahan kontrak yang disepakati 1 tahun tersebut justru menjadi boomerang bagi keduanya. Di saat Laras sudah merasakan benih cinta di dalam rumah tangganya dengan Bian, justru pria itu malah mematahkan hatinya. Bian terlalu dingin untuk Laras yang super ceria. Bian terlalu acuh tak acuh untuk Laras yang gampang khawatir. Fakta bahwa Bian ingin segera menyelesaikan rumah tangganya dengan Laras membuat wanita itu merasa makin tidak diinginkan. Bagaimanapun Laras sudah jatuh hati kepada Bian, lantas apa yang harus Laras lakukan? Apakah ia mampu mempertahankan rumah tangganya bersama Bian, bahkan saat pria itu menyuruhnya pergi?
View MoreHari ini, hari patah hati seorang Laras Maheswari. Pandu Pramana, sosok yang sebulan lalu menyandang status sebagai mantan kekasihnya, kini resmi menikah dengan Jelita anak magang di perusahaan mereka bekerja.
"Masih nggak bisa dipercaya seorang Laras Maheswari kalah sama anak magang," ledek Sarah, sahabat Laras. Dibarengi dengan itu, Pandu dan Jelita berjalan di atas altar dengan senyum rekah. Laras menatap keduanya dengan perasaan bahagia sekaligus sakit. Pandu sudah menjemput bahagianya dengan perempuan yang ia cintai, lantas bagaimana dengan Laras? "2 bulan." Sarah melirik ke arah Laras. "Jelita cuma butuh waktu 2 bulan buat meluluhkan hatinya Pandu. Itu nggak sebanding sama kebersamaan kalian." Faktanya, Laras dan Pandu sudah menjalin hubungan selama 5 tahun dan putus karena ego masing-masing. Mereka menjalin asmara karena berada di satu divisi yang sama. "Mereka cocok," celetuk Laras saat ia menerima lambaian tangan dari Pandu, tidak lupa tersenyum seolah bahagia. Sarah menoleh ke samping. Melirik Laras yang masih fokus ke depan. Pandu dan Jelita sudah berbalik arah, berjalan ke tempat semula. Walau begitu, Sarah bisa melihat kesedihan di mata sahabatnya. "Itu kenapa Pandu lebih milih Jelita. Karena kami nggak cocok, Sar." Meski hubungannya dengan Pandu terkesan lama, Laras merasa mereka tidak cocok dalam segala hal. Entah soal makanan, genre musik, hobi atau hal lainnya. Mereka juga kerap kali beradu argumen padahal hal tersebut tidak terlalu penting. Laras menghembuskan napas panjang. Ia menaruh gelas yang tadi sempat dipegangnya ke atas meja. Di depan sana, kedua mempelai sedang mengucap janji pernikahan dan bertukar cincin. "Cium! Cium! Cium!" teriak para tamu undangan. Tatap Pandu bertubrukan dengan manik milik Laras. Walau terdengar riuh sorakan di mana kedua pengantin diharuskan saling mengecup satu sama lain, Laras justru tidak berkedip sama sekali. Menatap kosong ke depan sana. "Eh, itu Pak Pandu kenapa diam aja? Istrinya malah di anggurin." "Dia lagi liatin Bu Laras." "Ah, kasian juga Bu Laras, ditinggal nikah sama Pak Pandu." "Kalau bukan jodoh itu susah. Semoga aja Bu Laras cepat ketemu jodohnya. Biar kita bisa makan gratis lagi," tawa salah satu tamu undangan yang tidak lain adalah rekan kerja Laras. Namun, beda divisi. Tanpa disadari seseorang sedari tadi menguping pembicaraan ketiga wanita itu. Seseorang yang matanya tidak lepas melihat ke arah di mana Laras berada. Bian Nugraha. Sosok yang tidak banyak bicara, namun ia bisa mematikan lewat tatapan matanya. Sorakan kembali terdengar, kali ini cukup menghebohkan karena Pandu dan Jelita berhasil menyatukan bibirnya di depan para tamu undangan. Namun, hal itu membuat Bian tersenyum miring. Respons Laras cukup ketara bahwa ia terbakar panasnya api cemburu dengan meneguk satu gelas air beralkohol dalam satu tegukan. "Aku ke toilet dulu, Sar," putus Laras. Sarah langsung menoleh. "Mau diantar nggak?" Laras menepuk pundak sahabatnya, menggelengkan kepala lalu tersenyum hangat. Ia langsung pergi menuju toilet yang berada di dalam gedung. Perasaannya hancur. Dadanya terasa sesak. Laras merasa ini lebih sakit ketimbang ia dimarahi atasannya sendiri. Sehabis keluar dari kamar mandi, Laras dikejutkan dengan Bian yang sudah berdiri di depan pintu masuk toilet. Kening wanita itu mengerut. Berbagai pertanyaan muncul di benak Laras. Mengapa tetangganya itu bisa berada di sini? "Mas Bian?" Laras langsung menghampiri pria itu. "Mas ngapain ada di sini?" Bian tidak menjawab. Pria itu terus fokus menatap Laras. Tatapan yang tidak Laras mengerti. Namun, ia merasa ada yang tidak beres di sini. "Jangan bilang Papa yang nyuruh Mas Bian ngikutin aku?" tuduh Laras dengan mata menyipit. Laras langsung berdecak sebal karena diamnya Bian sudah bisa dapat diartikan bahwa ini semua memang ulah Papanya sendiri. "Mas Bian pulang aja. Bilang sama Papa kalau aku baik-baik aja," ketus Laras langsung meninggalkan Pandu. Laras pun kembali ke tempat semula. "Lama banget kamu, Ras. Habis ini giliran divisi kita yang foto sama pengantin." Sarah menatap Laras kebingungan. "Loh, mukamu kenapa ditekuk gitu? Keliatan banget belum move on-nya." "Enak aja! Aku udah move on kali. Ayo mereka udah, tuh," tunjuk Laras menggunakan dagunya. Mereka pun bergegas merapat ke pengantin. Semuanya fokus ke depan dan mendengarkan arahan dari fotografer. Laras tersenyum kala lampu jepretan mulai menyala. Meski tidak dapat dipungkiri bahwa hatinya terasa sakit, tetapi lagi dan lagi Laras meyakinkan dirinya bahwa ini adalah pilihan hidup Pandu. Ia tidak bisa mencegah. Ia hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk pria itu. Jika Tuhan berkehendak, Laras pun ingin cepat menjemput kebahagiaannya. Usai sesi foto tersebut, Laras menyempatkan waktu menghampiri kedua mempelai. Dari jarak yang tidak terlalu jauh, Laras tidak melepaskan senyumnya. Ia menunjukkan pada semua orang bahwa dirinya tidak lemah. Karena saat ini, kebahagiaan Pandu lah yang paling penting. "Selamat atas pernikahan kamu sama Jelita ya, Pandu, jangan lupa kasih kami ponakan yang lucu," ucap Sarah diakhiri tawa. Pandu menjawab, "Makasih, Sar, udah datang." "Makasih Mbak Sarah." Itu suara Jelita. Sarah hanya tersenyum dan mengangguk sebagai jawaban. Kini, giliran Laras yang bicara. Tidak, Laras bahkan bingung harus mengucapkan apa. Masa iya dirinya harus meng-copy kalimat Sarah. "Selamat ya, Pandu ... Jelita," ucap Laras sebisa mungkin tersenyum. "Makasih Mbak Laras," jawab Jelita lebih dulu. Lalu setelahnya Pandu membalas, "Makasih, Ras. Besok nyusul, ya?" Celetukan itu hanya ditanggapi tawa kecil oleh Laras. Lagian, nyusul ke mana? Ya, kalau nyusul ke pelaminan mana mungkin jodohnya saja belum kelihatan. Pandu ini meledek sekali. "Laras," panggil seseorang setelah Laras pergi menjauh dari keramaian. Wanita itu menoleh. "Mas Bian?" "Dia mantan saya." Laras tidak konek. Maksudnya mantan itu siapa? Pria itu sedang membicarakan siapa. Alhasil Laras hanya mengerutkan keningnya, bingung. "Jelita. Dia mantan saya." Laras langsung membelakkan matanya. Ia tidak salah dengar bukan? Jelita mantannya Bian? Pria yang kini sedang berdiri di depannya? Astaga. Laras bahkan sampai membekap mulutnya sendiri saking tidak percayanya. "Mukanya biasa aja. Saya cuma ngasih tau kamu biar kamu nggak nuduh sembarangan lagi," ucap Bian dengan enteng. "Mas Bian nggak bercanda kan?" tanya Laras. Bodo amat dengan ucapan Bian yang tadi. "Buat apa saya bercanda?" Dunia memang sempit. Laras harus menopang tubuhnya sendiri menerima kenyataan bahwa Bian, benar-benar mantan kekasihnya Jelita. Ini di luar dugaannya. Ke mana saja dirinya selama ini untuk berita sepenting itu saja ia tidak tahu. "Bagus, deh. Jelita memilih pilihan yang tepat." "Pandu mantan kamu bukan? Pilihan yang tepat nikah sama Jelita." Sial. Bian menyebalkan. Pria itu malah menyerang balik. "Kamu nggak mau nikah sama saya? Biar samaan kaya mereka," kata Bian membuat Laras menajamkan matanya.Jam makan siang."Laras!" panggil Lolita karena masih tidak terima bahwa surat penguduran dirinya tidak kunjung dapat persetujuan.Sarah yang melihat Lolita memanggil sahabatnya itu sontak menatap Laras seakan meminta jawaban."Kenapa, Ras?" tanya Sarah.Yang ditanya malah menggeleng pelan. Ia juga sebenarnya kurang tahu kenapa Lolita memanggilnya dengan nada cukup keras tersebut. "Yang bener aja kamu, Ras. Masa resign nggak ada omongan sama sekali ke aku," ujar Lolita masih tidak terima. Sarah yang mendengar seperti itu langsung menyahut, "Kamu resign, Ras?""Siapa yang resign?" Kali ini suara Bima yang muncul.Lolita menatap Laras dengan kesal. "Laras. Gara-gara dia surat resign saya batal di acc sama Pak Hendra.""Itu si nasib Bu Lolita." Bima memegang kopi dengan laptop di tangannya. "Pak Hendra mana mungkin lepasin sekretaris kesayangannya." "Diam kamu, Bima," balas Lolita tajam.Sebenarnya Lolita tidak marah, hanya saja kesal karena ia sudah menunggu-nunggu hari tersebut. Ia
—Beberapa bulan kemudian. "Mas ... Mas Bian bangun." Laras menepuk-nepuk pipi suaminya pelan.Tidak lama pria itu membuka matanya usai mendapat satu kecupan di pipi. Mungkin itu jimat ketika Bian susah dibangunkan."Mas aku berangkat duluan, ya? Hari ini ada meeting," ujar Laras di jam 8 pagi.Bian yang masih tertidur di atas ranjang pun sontak terbangun. Ini masih pagi, kenapa sang istri sudah mau berangkat kerja?"Cium dulu," balas Bian setengah sadar.Laras memandang malas. Ia sudah mau telat, tetapi Bian malah meminta hal aneh yang pasti berujung memakan waktu lama.Cup! Ciuman itu mendarat di pipi untuk yang kedua kalinya."Udah. Aku berangkat, ya."Namun, baru saja hendak bangkit tangan Laras dicekal oleh Bian sehingga wanita itu kembali jatuh ke ranjang."Mas," gerutu Laras.Sayangnya Bian tidak peduli, pria itu malah menunjuk bibirnya dengan ibu jari. Menyodorkan pada sang istri seolah meminta lebih."Aku udah mau telat, Mas. Nanti aja, ya?"Akhirnya aksi tawar-menawaran Lara
"Dari bibir kamu lebih manis," goda Bian.Laras refleks memukul tubuh sang suami. "Mas Bian!"Sayangnya pria itu justru terkekeh geli. Seolah hal yang paling menyenangkan adalah menganggu dan membuat istrinya marah."Muka kamu lucu," celetuk Bian. Laras pun merenggut. "Jangan kaya gitu lagi.""Kenapa?" Bian kembali mengikis jarak dengan sang istri. "Di sini aman. Mau nyoba lagi?"Tiba-tiba kedua orang tua Bian datang membuat keduanya berdiri dengan posisi normal. Laras merasa lega karena merasa diselamatkan."Kalian masih mau di sini atau ikut pulang bareng kami?" tanya Ibu Bian.Laras melirik ke arah Bian. Kemudian memamerkan senyum tipisnya. "Kita juga mau pulang, Bu. Takut hujan."Kedua orang tua Bian mengangguk lirih, berjalan lebih dulu meninggalkan kedua pasutri yang tengah berlibur tersebut. Entah sejak kapan Bian menjadi pria yang hangat dan romantis. Namun yang jelas Laras tidak henti tersenyum. Seperti saat ini, pria itu berjalan seraya menautkan jari-jemarinya dengan mili
Usai berganti pakaian kedua pasangan suami istri tersebut menuruni anak tangga dengan senyum rekah di bibirnya. "Gibran?" panggil Laras saat sampai di bawah."Ibu sama ayah di mana?" tanyanya."Oh ... ibu sama ayah kayanya pergi ke kebun," balas Gibran.Tentu saja Laras kebingungan sendiri. Bukankah kesibukan kedua orang tua Bian adalah mengurus perusahaan mereka? Karena selama tinggal satu komplek yang ia tahu Bian ini dari keluarga berada. Ayahnya saja pemilik perusahaan tempat pria itu bekerja. "Ibu sama ayah saya memang urus perkebunan di sini, lebih tepatnya ibu. Karena hobinya berkebun," jelas Bian.Kemudian Gibran kembali membuka suara. "Kata ibu, Kak Bian disuruh ajak Kak Laras jalan-jalan. Jangan di rumah terus.""Makasih Gibran. Kamu pengertian, deh," celetuk Laras.Bian pun melirik ke samping. "Memangnya kamu nggak capek?""Stamina tubuh aku itu kuat, Mas. Jangan diragukan. Gimana kalau kita susul ibu sama ayah. Aku pengen liat-liat," ucap Laras tampak bersemangat. Gibra
Setelah beberapa hari menghabiskan waktu di Bali, kini Laras dan Bian sudah berada di Taxi usai menempuh perjalanan pulang dari Bali—Bandung yang menghabiskan waktu sekitar satu jam lebih. "Mas, udah hubungi Ibu kalau kita udah perjalanan ke rumah?" tanya Laras di dalam mobil. Bian pun mengangguk. "Udah. Kenapa, kamu kok keliatannya seneng banget?""Aku nggak sabar ketemu orang tua Mas Bian. Apalagi ini pertama kalinya aku diajak berkunjung langsung setelah kita nikah," jujur Laras tidak lupa menebarkan senyum.Bian ikut senang karena sang istri terlihat bahagia dengan hal-hal kecil yang akan ia jumpai setelah. Ia tidak hentinya tersenyum. Kemudian tangan lembut itu mengusap rambut Laras dengan sayang. "Laras ...."Laras menoleh lalu membalas, "Kenapa, Mas?""Nggak apa-apa. Saya seneng aja liat kamu senyum lebar kaya gini," ungkapnya."Emang selama ini aku jarang senyum?" tanya Laras kebingungan. Lagi lagi Bian menggeleng lirih. Istrinya itu selalu saja membuat gemas. Tidak ayal
Beberapa hari berlalu. Kini, Laras dan Bian sedang berkunjung ke salah satu pantai yang menyediakan penginapan dengan nuansa pantai pasir putih yang terletak di kota Denpasar, Bali. Kedua pasangan suami istri itu sedang bersiap-siap karena sebentar lagi langit akan berganti warna jingga. "Kamu beneran honeymoon ke Bali, Ras?" tanya Sarah dari balik telepon. Laras pun mengangguk dengan wajah menghadap ke cermin hias. Memoles tipis riasan agar wajahnya tidak terlalu pucat. "Aku kangen pantai, Sar. Kebetulan kita mau berkunjung ke rumah mertua, jadi biar sekalian aja pulang dari Bali ke Bandung," balas Laras. "Astaga, Ras. Kamu istrinya Direktur, loh, minta honeymoon ke Eropa, kek. Jangan nanggung-nanggung, mau keliling dunianya juga Bian duitnya nggak bakalan abis," celetuk Sarah sengaja. "Perjalanan jauh yang bikin capek, Sar. Mending yang deket-deket aja lebih menghemat tenaga," jelas Laras apa adanya. "Padahal kapan lagi jalan-jalan jauh sebelum punya anak, nanti kalo udah ada
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments