Aruna tak menunggu. Ia menerobos ruangan, memukul layar monitor, dan menatap Sable.
“Kau menjual aku, hah?”“Aku membesarkanmu, Rue. Kamu milik kami sejak malam itu kamu hampir dijual di lelang pertama. Aku selamatkan kamu, ingat?”“Tidak. Kamu hanya menundanya.”Malam itu, Aruna kabur. Tak tahu ke mana. Sepatunya penuh darah—bukan miliknya, tapi seseorang yang mencoba menyentuhnya dan mendapat pisau lipat sebagai balasan.Ia memanggil Ezra. Tapi hanya masuk ke voicemail. Ia mencari Aurea. Tapi tak punya cukup kekuatan untuk bicara. Ia berjalan sendirian sampai tubuhnya roboh di pinggir jalan, di dekat jembatan."Kalau ada yang nemu aku sekarang, entah akan diselamatkan... atau dibuang."Dan malam itu, suara langkah seseorang mendekat. Tapi bukan Ezra. Bukan keluarganya. Melainkan orang asing… dengan mantel hitam dan sepasang mata yang tak asing.Ezra masih mengingat malam itu.Suara dentuman pintu. Tatapan dingiKerumunan kembali gaduh antara yang kaget, ragu, ada yang masih menuduh. Tapi aura Aruna dan Ezra yang berdiri bersebelahan, saling menggenggam tangan di bawah cahaya api unggun dan kembang api terakhir, menciptakan momen yang begitu kuat.Beberapa siswa yang semula berteriak kini mulai diam. Ada yang saling berbisik, bingung, bahkan mulai meragukan gosip itu.Raska yang berdiri di samping, akhirnya maju setengah langkah. Dengan senyum tipis namun tegas, ia berkata:“Kalian semua tahu Aruna. Kalian lihat sendiri siapa dia di sini, setiap hari. Masa kalian rela percaya kebohongan murahan tanpa bukti lain?”Kata-kata itu makin memecah kebisuan.Aruna menunduk sebentar, air matanya jatuh tapi kali ini bukan karena putus asa, melainkan karena ia merasa kuat untuk pertama kalinya.“Aku tidak akan lari lagi. Tidak dari diriku sendiri, tidak dari mereka, dan tidak darinya…”Ia menggenggam tangan Ezra lebih erat, menatap api unggun y
Ezra bergerak cepat, berdiri di depan Aruna, melindunginya dari tatapan-tatapan penuh tuduhan.“Berhenti! Jangan percaya begitu saja!” suaranya tegas, tapi tak cukup menghentikan bisik-bisik yang makin membesar.Raska yang ada di kerumunan maju, mencoba menenangkan siswa lain.“Tunggu dulu, ini belum tentu benar—”Tapi seseorang menyela lantang:“Foto nggak mungkin bohong!”Suasana menjadi kacau. Beberapa siswa menyalakan ponsel mereka, memotret foto itu, menyebarkan ke media sosial. Gosip berubah jadi gelombang fitnah yang tak terbendung.Aruna merasakan dunia mengecil. Suara musik festival berganti jadi gema yang memekakkan. Wajah-wajah yang tadinya tersenyum kini menatapnya seperti monster.“Semua orang tahu. Semuanya terbongkar. Aku… kotor.”Air mata hampir pecah, tapi Aruna menahannya mati-matian. Ia mundur selangkah, lalu selangkah lagi, sampai punggungnya menyentuh bahu Ezra.“Aruna…” Ezra menoleh, sua
Musik tradisional bercampur dengan lagu modern dari panggung siswa. Beberapa pasangan mulai menari di dekat api unggun. Ada yang saling menggenggam tangan, ada juga yang duduk berdekatan menikmati kembang api kecil yang dibagikan panitia.Ezra tiba-tiba berbalik menatap Aruna.“Mau ikut?”“Hah? Apa?”“Menari. Atau paling nggak, jalan ke dekat api. Kamu kelihatan pengen, tapi nahan.”Aruna refleks menyangkal. “Nggak ah. Aku malu.”Ezra tidak menjawab panjang. Ia hanya mengulurkan tangan. Matanya menatap dalam, seolah berkata: “Aku di sini. Kamu nggak sendirian.”Aruna menatap tangan itu lama. Jantungnya berdebar. Semua gosip, semua trauma, seolah memudar saat ia akhirnya meletakkan tangannya di genggaman Ezra.Mereka berjalan ke dekat api. Kilau cahaya membuat wajah Aruna bersinar, dan Ezra tidak bisa mengalihkan pandangan.Di antara kerumunan yang tertawa dan bersorak, mereka berdua seperti punya dunia sendiri.“A
Aruna menatap tulisan itu, lalu balik menuliskan pesan,“Kenapa kamu lebih suka ngajarin lewat catatan kecil daripada bisikan?”Ezra membacanya, lalu membalas dengan cepat:“Kalau aku bisik, nanti kamu malah makin gugup.”Aruna menahan tawa kecil, pipinya memerah. Dia bener-bener tahu kelemahanku ya…Mereka duduk berdua di kantin, dan untuk pertama kalinya, Aruna membawa bekal buatan sendiri.Ezra membuka kotaknya, menatap nasi gulung yang bentuknya agak miring. “Ini… kamu bikin?”“Ya. Jangan banyak komentar,” kata Aruna cepat, sedikit defensif.Ezra mengambil satu, menggigitnya, lalu berhenti.“Gimana?” Aruna menatap gugup.Ezra mengunyah pelan, lalu tersenyum samar. “Agak asin. Tapi… anehnya enak.”Aruna menoleh, pura-pura sibuk dengan air minum. Pipinya merah lagi.“Kalau mau jujur, bilang aja nggak enak.”“Aku serius,” Ezra menegaskan. “Aku nggak suka makanan terlalu manis. Jadi ini… pas.”
Pena Aruna berhenti menulis. Tangannya gemetar. Ia tahu sebagian gosip itu memang punya bayangan kebenaran dunia malam, balapan, DJ, semua itu bagian dari dirinya dulu. Tapi sekarang, diulang-ulang sebagai bisikan jahat, rasanya seperti luka lama dikupas lagi.Ezra, dari meja seberang, memperhatikan. Ia bisa membaca ekspresi Aruna rahang yang menegang, mata yang menunduk. Perlahan, ia menyelipkan secarik kertas kecil ke mejanya.“Kamu bukan orang yang mereka omongin. Kamu Aruna yang aku tahu sekarang. Fokus ke itu.”Aruna membuka kertas itu, lalu menutup cepat-cepat karena takut terlihat. Tapi bibirnya nyaris tersenyum samar.Di kantin, situasi makin keruh. Beberapa siswi sengaja berbisik keras agar terdengar.“Ezra itu kan pintar, ganteng, populer. Masa iya mau sama Aruna yang gosipnya aneh-aneh?”“Jangan-jangan dia cuma kasihan.”“Haha, iya! Kasihan banget kalau beneran begitu.”Aruna hampir berdiri dari kursinya, tapi
Aruna terbangun dengan kepala agak berat, tapi tubuhnya jauh lebih hangat. Ia baru sadar ada selimut tambahan di tubuhnya pasti bukan miliknya. Sesaat ia bingung, sampai melihat kursi di dekat ranjang masih ada jaket Ezra terlipat rapi.Jantungnya berdegup kencang.Dia… semalam duduk di sini?Saat itu pintu kamar diketuk. “Aruna, udah bangun?” suara Ezra terdengar dari luar.Aruna buru-buru menyahut, “I-iya! Jangan masuk dulu!”Ezra terkekeh kecil. “Tenang aja, aku cuma mau bilang sarapan udah siap. Dan… jangan lupa minum obat masuk angin yang Mama kasih.”Aruna menggertakkan gigi. Kenapa dia bisa terdengar kayak suami beneran, sih?!Narumi sudah menyiapkan sarapan sederhana telur dadar, sup miso, dan teh hangat. Ezra duduk dengan wajah santai, sementara Aruna masuk dengan rambut masih agak berantakan.“Tidur nyenyak?” tanya Ezra sambil menahan senyum.Aruna mendengus, “Nggak usah sok perhatian.”Tapi telinga