Bab 3
Di depan Kaisar, Narumi dengan tegas dan tanpa takut menyobek surat perjanjian itu. Merobek-robek sampai kecil lalu melemparkan sobeknya di depan muka Kaisar. “Anda pikir saya wanita macam apa? Menjual hidup demi uang ratusan juta. Hanya hidup penuh perintah Anda. Jangan harap!” jelas Narumi menolak. Ada beberapa poin yang tak Narumi sukai dan tentu di luar nalar. Yah walaupun, kesepakatan itu bisa dibicarakan. Tapi karena Narumi tak suka banyak hal tentang semua point didalamnya. Sehingga Narumi memilih untuk menolak. Narumi berjalan menuju pintu yang terkunci itu. Tangan Narumi sudah mencoba membuka pintu itu tapi tak terbuka. Brak! Brak! “Buka pintu ini, Tuan!” seru Narumi, tangannya memukul-mukul pintu yang terkunci. Narumi berbalik badan lalu berjalan ke arah Kaisar. Tentu saja dengan sorotan mata yang tajam. Narumi yang ingin segera keluar dari kamar ini. Narumi berjalan lebih dekat lagi dengan Kaisar. Tangan Narumi menarik kerah kemeja yang digunakan Kaisar. Dengan mudah Narumi melakukan itu pada Kaisar yang masih duduk di tepi ranjang. Kalau berdiri mungkin Narumi tak sampai. “Buka pintunya Tuan! Saya mau pulang! Saya tidak mau menerima perjanjian apa pun dengan Anda!” sarkas Narumi pada Kaisar. Tapi sayang sekali, hal itu membuat Kaisar menarik tubuh Narumi dalam pangkuannya. “Ahh.. lepaskan Tuan!” seru Narumi, memberontak sekaligus terkejut. Tangan Narumi yang tadi mencengkram dan menarik kemeja Kaisar, beralih memukul-mukul dada bidang Kaisar. Pukulan itu cukup terasa tapi Kaisar bertahan. Kaisar melihat wajah Narumi yang penuh emosi secara lebih dekat. Saat Kaisar bergerak akan mencium kembali bibir Narumi yang sudah menjadi candu untuk Kaisar. Namun, Narumi bergerak bertolak belakang dengan pergerakan Kaisar yang akan mencium dirinya. Kaisar tersenyum kecil tanpa disadari oleh Narumi. Salah satu tangan Kaisar beralih memegang tengkuk Narumi untuk menahan kepala Narumi agar tidak bergerak. Dan ciuman itu kembali terjadi, tanpa disadari Narumi. Dalam ciuman itu Kaisar juga memberikan sesuatu pada Narumi. Dengan tekanan tangan Kaisar di tengkuk Narumi. Membuat Kaisar semakin dalam dan mudah memasukkan sesuatu didalam mulut Narumi. “Auh, apa ini?” Narumi bertanya-tanya dalam paksaan ciuman itu. Narumi merasakan sebuah permen yang dipermainkan Kaisar di rongga mulutnya. “Sesuatu yang sudah aku tandai tak akan aku lepaskan!” bisik Kaisar, setelah mereka berhenti untuk menghirup napas sejenak. Sebelum mereka melanjutkan lagi ciuman itu. Narumi yang awalnya penuh pemberontakan, akhirnya pasrah akan tindakan yang dilakukan oleh Kaisar. Ditambah permen yang mengandung bermacam rasaqq, membuat Narumi berubah menjadi lebih agresif. Tapi, beberapa saat kemudian. Tindakan Narumi membuat Kaisar terkejut bahkan menjerit kesakitan. “Arghh, apa kamu gila,hah! ” seru Kaisar saat merasakan lidahnya berdarah disaat berciuman dengan Narumi. “Buka pintunya! Atau mau lidah yang banyak kebohongan itu saya patahkan, ehm?” Narumi yang sudah lepas dari pangkuan Kaisar. Dia berdiri berlari mencari di jarak aman. Cuih! Kaisar meludah di tangannya, dia memastikan berdarah atau tidak. Dan ternyata berdarah, buru-buru Kaisar seka dengan tisu yang ada. Sakit, itu yang Kaisar rasakan. “Woi! Tuan buka pintu ini. Atau ku pukul sesuatu dibawah sana!” ancam Narumi yang mengambil botol kaca minuman yang dipajang di dalam kamar itu. Kaisar pun melihat arah tatapan Narumi. Membuat Kaisar bergidik dan bergumam. “Baru saja bangun, dia mau dibuat ini tidur lagi. Oh tidak bisa!” tangan Kaisar langsung menutup barang yang akan menjadi titik pukulan Narumi. Padahal ya Narumi memusatkan ke lutut milik Kaisar. Bukan sesuatu yang ditutupi tangan Kaisar. “Oke akan aku buka pintu itu. Dan ini kartu namaku. Siapa tahu kamu berubah pikiran,” ucap Kaisar berhati-hati. Kaisar pun mengulurkan kartu namanya tapi ditepis oleh Narumi. “Saya gak butuh!” seru Narumi sebelum benar-benar pergi dari tempat itu. Klik! "Sejauh apa pun kamu pergi aku kan bisa mendapatkanmu!” tapi Kaisar berhasil menyelipkan kartu nama itu tas Narumi. Narumi buru-buru berjalan keluar dari kamar itu. Walaupun bodyguard yang berjaga didepan akan mengejarnya. Dengan langkah tergesa-gesa Narumi berhasil keluar dari tempat tersebut. Di kost, Baru saja berhasil menghidupkan ponselnya, Narumi harus pergi lagi. Karena mendapatkan kabar dari rumah sakit. Sampai di rumah sakit Narumi langsung menemui Dokter yang menangani kedua orang tuanya. “Biaya 500 juta per pasien dok? Apa saya tidak bisa mendapatkan keringanan?” tanya Narumi pada Dokter tersebut. Sayangnya Dokter hanya menggelengkan kepala tanda tidak bisa memberi keringanan pembayarannya. Hanya saja Dokter itu memberikan waktu yang lebih lama sedikit dibandingkan waktu pembayaran yang diminta pihak Rumah Sakit. Karena waktu terus bergulir, sedangkan batas waktu yang diberikan oleh pihak rumah sakit hanya sampai jam 7 pagi nanti. Narumi mencoba minta bantuan pinjaman ke beberapa orang yang Narumi kenal. Sayangnya, mereka semua tak dapat memberikan pinjaman uang pada dirinya. Narumi juga menghubungi ke-dua kakaknya tapi tidak ada satu pun yang dapat di hubungi. Hingga saat Narumi merogoh salah satu tasnya. Dia menemukan kartu nama milik Kaisar. Dengan kebimbangan dan pertimbangan waktu, Narumi menekan deretan angka yang tertera di kartu nama tersebut. Narumi masih memandangi nomor yang sudah tertera di layar ponsel itu. Narumi masih berfikir saat melihat nomor itu. “Apa ini benar-benar jalan keluar?” batin Narumi. Tanpa sengaja dia menekan tombol pemanggil di ponsel itu. Dia panik tapi kepanikan itu dapat di redanya. Sayangnya panggilan keluar itu tidak mendapat respon. Narumi terus menerus mencoba menghubungi Kaiser. Tapi sama saja tidak membuahkan hasil. Hal itu membuat Narumi tak patah semangat. Tidak ingin membuang waktu, Narumi mencari tahu rumah atau posisi Kaisar. Narumi mendatangi alamat yang tertera di kartu tersebut. Butuh effort yang cukup untuk dapat masuk di rumah yang Narumi tak menyangka cukup sangat besar. Narumi mencari pos satpam di rumah besar itu. Hingga Narumi mengetuk kaca pos satpam. Dan saat itulah satpam atas nama bejo yang tersemat di pakaian yang satpam itu gunakan. “Cari siapa? Tengah malam pula?” tanya Bejo dengan penuh selidik. Narumi masih terbengong tapi Bejo kembali menyadarkan lamunan itu. “Eh maaf Pak ini benar rumah Emm Kaisar Gumilar?” tanya Narumi hati-hati. “Ada perlu apa malam seperti ini menayankan Tuan kami?” Satpam itu sudah mulai membaca kecurangan pada Narumi. “Saya tadi pergi sama Kaisar tapi ada beberapa barang saya yang tertinggal pada Kaisar dan itu penting sekali Pak.” jawab Narumi penuh dengan strategis. “Coba dihubungi saja,” ucap Bejo. “Sudah Pak. Tapi tidak ada jawaban. Tapi Kaisar ada didalam kan?” Narumi terlihat rasah. “Oh Tuan sepertinya tak pulang. Mobilnya saja tadi dibawa pulang bodyguardnya saja.” “Aduh berarti Kaisar gak ada dirumah ya?” tanya Narumi yang mulai patah harapan. “Ya gak ada lah, lagian tengah malam cari Tuan. Ada-ada aja sih?” Bejo heran. “Ya kalau enggak penting gak bakalan saya kesini tengah malam gini, Pak. Mending tidur dikamar Pak. Bapak gak tahu dimana Kaisar kalau gak pulang seperti ini? ucap Narumi untuk mencari titik pengharapan keberadaan Kaisar. “ Kalau enggak menginap di Apartemen berarti masih banyak kerjaan di kantor.” jawab Bejo. Yang membuat Narumi berucap terimakasih. Dan meminta Alamat apartemen.Aruna mulai sarapan bubur yang disiapkan Nadia dan Aurea.Tawa kecil terdengar di antara mereka, ringan tapi tulus.Namun di sela tawa itu, Aruna beberapa kali diam — matanya menerawang ke luar jendela.Bayangan Julia muncul di benaknya, dengan senyum ramah yang kini terasa menakutkan.Aruna dengan suara pelan, pada Ezra, “Ezra… aku merasa Julia belum selesai.”Ezra menatapnya serius lalu berkata, “Aku tahu. Dan aku juga nggak akan diam.”Ezra meraih tangan Aruna, menatapnya dalam-dalam.Tatapan itu bukan sekadar janji, tapi juga tekad, tekad untuk melindungi perempuan yang pernah, dan masih, menjadi rumah bagi jiwanya.Ruang rapat fakultas sore itu penuh ketegangan yang nyaris kasat mata.Di meja panjang berwarna kayu tua, duduk beberapa dosen senior, dua staf akademik, dan di ujung meja — Julia, dengan postur tegak dan senyum sopan yang nyaris sempurna.Di seberang sana, Ezra duduk dengan wajah tegang, rahangnya mengeras, kedua tangannya mengepal di bawah meja.Kertas laporan terbuk
Malam turun perlahan.Keluarga Aruna bergantian istirahat di ruang tunggu.Ezra tetap di dalam, duduk di kursi di samping ranjang Aruna, menatap wajah yang masih terpejam tapi tampak lebih tenang.Ia mengusap rambut gadis itu lembut, napasnya berat tapi penuh tekad.Ezra berbisik,“Aku nggak akan biarkan siapa pun menyakitimu lagi. Termasuk dia.”Lampu di ruangan redup, suara hujan mulai turun di luar jendela.Dan di antara ketenangan semu itu, tangan Aruna bergerak sedikit seolah merespons suara yang begitu dikenalnya.Sinar matahari pagi menembus tirai tipis kamar rawat.Udara terasa bersih, tapi masih mengandung aroma antiseptik yang menusuk lembut.Burung-burung di luar mulai bernyanyi, kontras dengan sunyi yang masih menyelimuti ruang tempat Aruna terbaring.Untuk pertama kalinya sejak kecelakaan itu, matanya terbuka penuh jernih, sadar, dan tenang.Ia menatap langit-langit putih itu beberapa detik sebelum menoleh ke samping.Ezra ada di sana, tertidur di kursi dengan posisi memb
Air matanya jatuh seketika.Namun sebelum ia bisa membalas, kesadaran Aruna perlahan menghilang lagi diiringi suara sirine ambulans yang mendekat cepat.Suara sirene ambulans sudah berhenti, tapi gaungnya masih terasa di dada Ezra.Ia berdiri kaku di depan ruang Gawat Darurat, bajunya masih ternoda darah tipis dari pelipis Aruna saat tadi ia memeluknya di jalan.Lorong rumah sakit berbau antiseptik dan kecemasan.Lampu-lampu putih di atas kepala terasa menyilaukan, membuat waktu seolah berhenti di antara denyut langkah yang tak pernah tenang.Ezra menatap pintu ruang operasi yang tertutup rapat, tangan kirinya mengepal di dada.Setiap detik terasa seperti ujian yang memaksa napasnya tertahan.Ezra berkata dengan lirih, “Kamu baru saja mulai tersenyum lagi, Run… kenapa harus begini?”Langkah cepat terdengar di ujung koridor.Narumi, Kaisar, Kenzo, dan Aurea tiba dengan wajah panik.Raska dan Nadia men
Langit tampak cerah, tapi udara pagi terasa berat seolah menyimpan sesuatu yang akan pecah kapan saja. Lorong kampus ramai, penuh suara langkah dan bisik-bisik yang tak lagi tersembunyi. “Itu Aruna, kan?” “Iya, katanya gara-gara dia Kak Ezra dipanggil ke fakultas…” “Serius? Wah, kalau bener gitu, bisa gawat.” Bisikan-bisikan itu mengikuti Aruna ke mana pun ia melangkah. Setiap tatapan seolah menembus kulitnya. Bahkan beberapa teman kelompok yang dulu menyapanya kini berpura-pura sibuk, menunduk, atau menghindar. Aruna menelan ludah. Langkahnya gemetar tapi ia berusaha tegak. Suara di sekelilingnya makin lama makin jauh bukan karena reda, tapi karena pikirannya mulai kabur. Ezra duduk di depan meja Dekan Muda, rahangnya menegang. Di atas meja, ada beberapa berkas laporan “kedekatan tidak profesional” antara dirinya dan Aruna. Di sudut halaman, ada catatan kecil dari salah satu panitia… dengan nama Julia tertera sebagai pelapor tambahan. “Ezra, kamu tahu aku m
Lampu kamar redup.Hanya layar laptop yang menerangi wajah Julia, menyorot mata tajam yang penuh rencana.Di layar, terbuka beberapa jendela chat grup panitia dan dokumen laporan kegiatan.Di sudut layar, ada foto candid dari taman kampus sore tadi: Aruna berdiri bersama Ezra, tampak seperti sedang berbagi momen tenang.Julia menatap foto itu lama sekali. Bibirnya bergerak sedikit, seolah menahan sesuatu di dada yang tak bisa dijelaskan campuran iri, amarah, dan obsesi.Julia mendesis pelan,“Selalu dia…”“Selalu Aruna yang menarik perhatianmu, Ezra.”Tangannya meremas mouse dengan kuat, hingga bunyi klik keras terdengar beberapa kali.Tapi setelah itu, wajahnya kembali tenang — bahkan terlalu tenang.Ia mengatur napas, menarik senyum kecil yang penuh perhitungan.Julia dengan lirih, sambil menatap layar,“Baiklah… kalau simpati orang-orang mulai condong padamu, Aruna…”“Aku akan ubah simpati itu jadi kecurigaan.”Ia mulai mengetik cepat di layar laptop.Kalimat demi kalimat muncul di
Ezra menatap layar laptopnya, memperhatikan data manipulasi Julia dari hari sebelumnya.Raska mengetik cepat, sementara Nadia memeriksa beberapa nama panitia baru yang baru saja bergabung. “Ez, kamu sadar gak? Julia mulai dekatin panitia baru dan dosen pembimbing.”Ezra menatap tajam layar, “Ya. Dia mulai main di jalur akademik.” “Kalau gitu, kita juga harus main di jalur yang sama.”“Iya. Tapi bukan buat menyerang… buat mengungkapkan kebenaran dengan cara yang gak bisa dia bantah.”Tatapan Ezra tajam.Suara di ruangan itu pelan tapi tegas.Dan di luar sana, Julia sudah memulai perang halus yang jauh lebih berbahaya dari sekadar gosip.*Suasana kampus tampak seperti biasa: ramai oleh mahasiswa yang lalu lalang, suara tawa, percakapan ringan, dan derap langkah yang beradu di antara lorong-lorong panjang. Namun bagi Aruna, hari itu terasa berbeda.Entah kenapa, setiap tatapan yang diarahkan padanya terasa berat… dingin… dan penuh tanda tanya.Ia berjalan sambil memeluk buku di dada,