“Sederhana saja, menikah dengan saya. Dan menjalani pernikahan kontrak bersama saya. Bagaimana?” ucap Kaisar menjelaskan kembali syaratnya.
“Tapi Uangnya bisa cair sekarang kan?” kata Narumi yang hanya ingin uang untuk pengobatan orang tuanya. Tentang hatinya Narumi tak peduli, dia tak suka dengan pria di depannya. Dia hanya fokus pada upah yang diberikan Kaisar saat dia setuju untuk menjadi istri kontraknya. “Bisa kalau kita menikah sekarang,” saut Kaisar dengan mudahnya. Tanpa tahu kondisi yang dialami Narumi sekarang. “Bisa saja kita menikah sekarang. Tapi apa tidak butuh wali?” kata Narumi masih belum bisa berterus-terang. “Nah, ngomong-ngomong wali. Bagaimana pagi ini kita menemui Wali kamu. Supaya kita cepat menikah,” tantang Kaisar. “Tapi ayah dan ibu saya sedang dirumah sakit,” jelas Narumi. Kaisar yang mendengar kalimat itu langsung menatap Narumi dengan penuh selidik. “Rumah Sakit? Rumah Sakit mana?” tanya Kaisar yang ikut cemas juga. “Rumah sakit WG. Tuan bagaimana? Bisakan pinjamkan uang Anda dulu?” tanya Narumi dengan penuh harap. Menunggu jawaban dari Kaisar. Tetapi ponselnya berdering, nomor dari pihak rumah sakit yang menghubungi. Narumi menjauh sedikit dan mencoba menjawab dengan perasaan tak menentu. Yang jelas Narumi diminta segera kesana untuk menandatangani surat keputusan operasi atau tidak. “Masih diam mematung atau mau menyelamatkan orang tua kamu?” tanya Kaisar, tanpa Narumi ketahui dia sudah menghubungi pihak rumah sakit untuk segera memproses. “Ah, iya. Tuan kita harus ke Rumah Sakit, Jangan lupa Tuan siapkan uangnya ya,” ucap Narumi yang tersadar oleh pertanyaan Kaisar tadi. “Aman asal kamu tidak berubah pikiran saja,” sindir Kaisar yang melihat raut wajah Narumi yang masih ragu. “Ih, banyak bicara. Ayolah Tuan, kita sudah tidak punya banyak waktu,” ajak Narumi saat melihat ponselnya berdering lagi dengan nomor Rumah Sakit yang terlihat di layar ponsel itu. “By the way, mau naik apa ke sana?” pertanyaan dari Kaisar membuat Narumi berpikir apa yang dipertanyakan oleh Kaisar. “Naik taksi online lah,” ucap Narumi santai. Tapi dia mendapatkan ejekan dari Kaisar. “Coba pesan, ada gak?” tantang Kaisar, dia juga sibuk dengan ponselnya untuk menghubungi seseorang melalui pesan singkat. Narumi, pun mengunakan ponselnya untuk memesan taksi online. Sayangnya beberapa kali mencoba semua driver yang telah didapatkan tiba-tiba membatalkan pesanannya. “Gimana? Dapat?” tanya Kaisar dengan dasar ejekan. Tak lama seseorang datang mengantarkan sebuah motor sport untuk Kaisar. Dengan dua helm yang juga disediakan atas motor. Kaisar mendekati motor tersebut, tak lupa mengucapkan terimakasih pada orang yang dia suruh tadi. Kaisar duduk diatas motor, dia tersenyum melihat Narumi yang sebal karena berulang kali di tolak driver. “Hei! Dapat tidak?” tanya Kaisar sekali yang membuat Narumi sebal. Dia ingin mengumpat tapi sayang suara motor yang nyaring. Membuat Narumi terdiam terpaku. “Sejak kapan ada motor disini?” tanya Narumi, yang berjalan menuju Kaisar. Tapi sama sekali tak menjawab pertanyaan Kaisar tadi. Semakin dekat dengan motor itu, Kaisar langsung memakaikan helm di kepala Narumi. “Sejak kamu sibuk memesan taksi online. Mau naik atau tinggal?” pertanyaan itu langsung mendapatkan jawaban. Narumi langsung duduk dibelakang jok motor tersebut. Narumi yang tak berpegangan pun tersentak saat Kaisar mulai melajukan motor itu. Sehingga Narumi reflek memeluk Kaisar dan itu mendapatkan senyuman tipis dibalik helm yang Kaisar gunakan. Narumi diam bukan karena nyaman. Tapi dia kembali mengingat momen dia dan Tryan saat berboncengan sama seperti ini. Tetesan airmata pun meluncur lagi. Tapi dengan cepat juga Narumi menghapus sisa. Tak lama akhirnya mereka sampai juga di Rumah Sakit. Narumi turun dan menarik Kaisar yang menggunakan maskernya juga topi tak lupa dengan kacamata putih. Narumi menuju ke bagian pendaftaran, tentu dengan menarik lengan Kaisar agar cepat sampai. Sesampainya disana Narumi diberikan kejutan. Biaya kedua orang tuanya sudah dibayar semua. Lalu operasi sudah dilakukan 1 jam lalu. “Tuan yang sudah membayar semuanya kan?” tanya Narumi, dia mendudukkan dirinya disamping Kaisar yang sibuk dengan ponselnya. “Hmm,” hanya gumam itu yang keluar dari mulut Kaisar. Narumi pun sekarang bisa bernapas lega, tapi baru saja duduk dengan tenang. Petugas yang menangani ke-dua orang tuanya keluar dari ruangan operasi. Terjadi pendarahan saat tindakan operasi, mereka butuh banyak kantong darah. Narumi mengusulkan dirinya untuk menjadi pendonor. Tapi sayangnya golongan dara yang dimiliki Narumi berbeda dengan kedua orang tuanya. Narumi pun menemui petugas pengambilan darah itu. Untuk bertanya tentang golongan darah yang diturunkan oleh kedua orang tua kepada anak. “Apa ners bisa membantu saya?” ucap Narumi meminta bantuan pada petugas medis. “Apa yang bisa saya bantu?” tanya petugas itu. “Dengan sampel dari darah ini, kita bisa melakukan test DNA?” tanya Narumi pada petugas itu. “Tentu saja bisa dan itu sangat aurat tentunya,” jelas Petugas itu. “Kalau begitu, bantu saya melakukan test DNA dengan sampel darah dari saya. Test dengan kedua orang tua saya. Bisa kan?” tanya Narumi dengan hati-hati. “Bisa sangat bisa,” jawab petugas itu dengan yakin. “Berapa lama?” tanya Narumi. “Paling cepat 5 hari kerja, asalkan sudah ada sampel dari dua belah pihak tentunya,” jelas si petugas. “Kalau begitu, saya minta tolong untuk ambil sampel darah kedua orang tua saya yang dalam penanganan bisa?” permintaan Narumi pun di iyakan oleh sang petugas. Setelah itu Narumi keluar dari ruangan tersebut. Mencoba menghubungi kedua kakaknya. Berharap mereka datang dan ikut mendonorkan darah mereka kepada kedua orang tuanya. Tapi baru beberapa langkah meninggalkan ruangan pengambilan darah. Ternyata beberapa petugas juga sedang membawa dari yang dibutuhkan oleh kedua orang tuanya masuk ke ruang operasi. Tepat Sore harinya, “Ayah, sudah sadar?” Narumi yang mengetahui pergerakan kecil dari Ayahnya. “Sini nak, kakak kamu mana? Mereka pasti sibuk bekerja ya?” tanya Ayahnya, karena tak melihat anaknya yang lain. Hanya ada Narumi dan seseorang yang tak asing di penglihatannya. “Kakak pada sibuk yah,” bohong Narumi. “Lalu itu kamu sama siapa?” tanya Pak Nusantara pada Narumi saat melihat Kaisar membelakangi mereka. “Dia itu,” ucap Narumi terpotong karena dokter jaga dan perawat datang untuk memeriksa kondisi Ayah Nusantara. Karena dipanggil Narumi sesaat setelah Ayahnya terbangun. Dia menekan tombol memanggil petugas, akhirnya mereka datang juga. Kaisar yang berdiri membelakangi Ayah Nusantara, karena sibuk menghubungi beberapa orang yang akan datang untuk menikahkannya. Beberapa saat setelah dokter dan perawat keluar. Narumi diberikan selembar resep untuk Ayahnya. Dan harus diambil di bagian farmasi. “Tuan, boleh saya titip ayah saya? Saya mau menebus obat dan vitamin untuk Ayah,” ucap Narumi dengan penuh permohonan. “Tenang saja akan aku jaga. Saya juga ada yang ingin dibicarakan dengan Ayah kamu,” kata Kaisar yang membiarkan Narumi pergi. Kaisar berbalik dan menatap lekat wajah Ayah Narumi. Dia melihat nama yang tertera di sana, matanya tak berkedip saat melihat wajah yang pernah dia kenalin sekarang tidak dapat dikenali. “Selamat sore, Om,” sapa Kaisar dengan ramah kepada Ayah Nusantara. “Kau siapa? Apa tujuanmu mendekati anak saya?” tanya dengan penuh kecemasan, bahkan Ayah Nusantara tak menjawab sapaan dari Kaisar. Karena melihat sesuatu yang mencurigakan dari kehadiran seorang pria dideket anaknya. “Saya, Kaisar Gumilar. Tujuan saya mendekati anak Anda bernama Narumi, saya berniat menikahinya,” ucap Kaisar dengan percaya diri dan sangat tegas. “Menikah?”Pagi itu, kampus kembali ramai. Hari ketiga orientasi, tapi suasananya berbeda — ramai, penuh bisik-bisik yang beredar lebih cepat dari kabar resmi.Beberapa mahasiswa baru berkumpul di depan aula, sebagian menatap layar ponsel, sebagian saling berbisik pelan sambil melirik ke arah Aruna yang baru tiba bersama Nadia.“Itu kan Aruna, yang katanya kemarin pingsan?”“Iya. Katanya deket banget sama Kak Ezra, loh. Ada fotonya.”“Serius? Lihat deh, di akun media kampus. Dibilangnya dia Maba paling manja.”Aruna yang baru sampai tidak langsung tahu. Tapi ia bisa merasakan sesuatu yang salah. Tatapan-tatapan itu… bukan sekadar penasaran, tapi seperti menilai.Nadia yang berjalan di sampingnya juga menangkap perubahan suasana. “Rune… kamu ngerasa aneh nggak?”Aruna mengangguk pelan. “Iya. Dari tadi mereka liatin aku…”Tak jauh dari sana, Julia sudah berdiri dengan clipboard di tangan, berpura-pura memberi pengarahan pada beberapa panitia. Ia tertawa kecil, senyumnya cerah — seperti biasa. Tapi
Langit mulai berubah warna menjadi keemasan saat Aruna, Ezra, Raska, dan Nadia berjalan bersama kembali ke aula utama kampus. Udara sore mulai menyejuk, tapi suasananya masih ramai — mahasiswa baru masih berkerumun, panitia masih berseliweran dengan clipboard di tangan.Langkah Aruna terasa ringan, tapi pikirannya masih penuh bayangan. Ia menatap ke arah Ezra yang berjalan di sampingnya. Meskipun tak ada kata, keberadaan Ezra membuat langkahnya lebih tenang.Namun begitu mereka masuk ke dalam aula, dunia kembali riuh — dan kenyataan kembali menggigit.Bisik-bisik kecil terdengar lagi.“Itu Aruna, yang tadi katanya pingsan kemarin.”“Dia deket banget sama kak Ezra ya?”“Ck, pantas aja Julia keliatan bete tadi.”Aruna berusaha tidak memperdengarkan, menunduk sambil mengepalkan tangan. Tapi telinganya menangkap semuanya.Sementara itu, Julia berdiri di sisi aula, berpura-pura sibuk dengan dokumen panitia. Matanya tajam, menatap langsung ke arah Aruna yang baru masuk bersama Ezra.Ekspres
Waktu berjalan lambat. Sinar matahari sore menembus sela dedaunan, menimpa wajah Aruna yang kini mulai lebih tenang. Napasnya teratur, pelan.Ezra masih duduk di sampingnya tanpa bergerak banyak. Aruna, yang tadi bicara dengan suara gemetar, kini perlahan bersandar… dan sebelum Ezra sempat menyadarinya, kepala Aruna sudah jatuh lembut ke bahunya.Refleks Ezra menahan napas. Bahunya menegang sesaat, tapi kemudian melembut. Ia menatap wajah Aruna — lembut, polos, tanpa beban. Sisa air mata masih meninggalkan jejak tipis di pipinya.Ezra tersenyum samar, jemarinya hampir bergerak untuk menyibak helai rambut yang menutupi wajah Aruna, tapi ia urungkan. Ia tak mau mengganggu ketenangan itu.Dalam hati, ia hanya berbisik pelan, “Kamu nggak tahu seberapa aku kangen lihat kamu tenang kayak gini.”Angin kembali berembus. Daun jatuh perlahan di pangkuan mereka berdua. Ezra masih diam, menjaga agar Aruna tetap nyaman bersandar.Tak lama kemudian, dari arah jauh, terdengar langkah kaki.“Ezra!” s
Setelah Julia pergi, suara tawa dan obrolan teman kelompoknya terasa semakin keras di telinga Aruna. Setiap bisik-bisik, setiap lirikan, seolah langsung menembus dadanya.Aruna berusaha tersenyum, pura-pura sibuk membuka catatan di pangkuannya. Tapi jari-jarinya gemetar. Dadanya terasa sesak, dan kepalanya mulai berdenyut lagi.Sampai akhirnya ia berdiri pelan, memberi alasan singkat. “Aku… sebentar ya, mau ke toilet.”Tak ada yang benar-benar memperhatikan kecuali Ezra. Tatapan matanya mengikuti langkah Aruna yang menjauh, tapi ia menahan diri agar tidak terlalu terang-terangan mengekor.Aruna berjalan cepat melewati kerumunan, lalu belok ke arah gedung belakang yang sepi. Di sana ada taman kecil dengan bangku kayu yang jarang didatangi mahasiswa. Ia duduk, menarik napas panjang, mencoba meredam gemuruh dalam dirinya.Air mata yang sejak tadi ditahan akhirnya jatuh. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, suara lirihnya pecah.“Ke
Setelah registrasi, Aruna diarahkan ke kelompok bimbingannya. Suasana halaman kampus dipenuhi mahasiswa baru yang duduk berkelompok, sebagian sudah bercanda akrab meski baru kenal sehari.Aruna melangkah pelan menuju kelompoknya. Ezra sebagai pembimbing berdiri di depan, memberi instruksi. Tatapannya sesekali jatuh pada Aruna, memastikan ia baik-baik saja.“Baik, hari ini kita akan mulai sesi perkenalan antaranggota. Satu-satu ya, biar makin dekat,” kata Ezra dengan suara tegas.Aruna duduk di lingkaran bersama teman kelompoknya. Ia tersenyum sopan, mencoba membuka percakapan. “Hai, aku Aruna. Senang bisa kenal kalian.”Beberapa anak menanggapi dengan senyum tipis, tapi ada juga yang hanya mengangguk tanpa antusias. Salah satu mahasiswi berbisik pada temannya, cukup keras untuk terdengar:“Oh, ini yang kemarin pingsan, kan?”“Iya, iya. Kayaknya gampang sakit deh. Bisa ganggu kelompok nggak, ya?”Aruna tercekat, senyumnya kaku
Matahari baru naik, sinarnya menembus tirai putih kamar Aruna. Ia sudah duduk di tepi ranjang dengan seragam kasual kampus, tangan menggenggam tali tas yang masih tergeletak di sampingnya. Tatapannya kosong ke cermin, wajahnya tampak ragu.Narumi masuk pelan sambil membawa roti panggang. “Sayang, sarapan dulu sebelum berangkat.”Aruna tersenyum tipis, mencoba menutupi kegelisahannya. “Iya, Ma. Nanti aku makan.”Narumi memperhatikan putrinya dengan tatapan seorang ibu yang tak bisa dibohongi. Ia mendekat, meletakkan roti di meja, lalu duduk di samping Aruna. “Kamu takut, ya?”Aruna menunduk, jemarinya meremas kain rok. “Aku… masih kebayang gosip itu, Ma. Rasanya semua mata nanti akan mengarah ke aku. Mereka pasti bisik-bisik lagi.”Narumi mengelus punggung tangannya lembut. “Aruna, ingat apa yang Mama bilang? Orang lain boleh bicara apa saja, tapi yang tahu siapa dirimu hanya kamu sendiri. Kamu sudah cukup kuat untuk melewati ini.”Aurea tiba-tiba muncul dari balik pintu, bersandar san