Di salah satu ruangan VIP, seorang pria paruh baya duduk dengan tatapan tajam. Pak Nusa, dengan raut wajah yang tak bisa ditebak, menatap pemuda gagah di hadapannya—Kaisar.
Kaisar, seorang pria dengan wibawa dan kekuasaan besar di dunia entertainment, berdiri tegap. Ia baru saja mengungkapkan niatnya untuk menikahi Narumi, wanita yang telah meminjam uangnya untuk pengobatan. Namun, respon Pak Nusa jauh dari yang ia harapkan. “Pak Nusa, saya datang dengan niat baik. Saya ingin menikahi Narumi karena dia harus membayar hutangnya pada saya,” ucap Kaisar penuh dengan harapan. Pak Nusa menarik napas panjang, lalu menghela pelan. Matanya menatap lurus ke dalam mata Kaisar, seakan menimbang segala kemungkinan yang ada. “Kaisar, aku tahu kau pria yang baik telah menolong Narumi. Tapi ada hal yang harus kau pahami. Dalam Islam, wali nikah yang sah bagi seorang perempuan adalah ayah kandungnya. Aku hanya ayah angkatnya. Aku tidak punya hak untuk menikahkannya,” jujur Pak Nusa mengungkapkan apa yang lama disembunyikan. Mendengar hal itu, Kaisar mengernyitkan dahi. Matanya menatap Pak Nusa dengan serius. “Narumi… tidak tahu tentang ini, bukan?” tanya Kaisar dengan Hati-hati pada calon mertuanya. Pak Nusa mengangguk pelan. “Sejak kecil, aku membesarkannya seperti anak sendiri. Aku tak pernah ingin dia merasa berbeda. Namun, kenyataannya, dia bukan darah dagingku,” cerita Pak Nuas Kaisar mengepalkan tangannya. Ini adalah kenyataan yang tidak ia duga sebelumnya. Namun, ia tidak akan mundur begitu saja. “Lalu, di mana ayah kandungnya? Aku akan mencarinya,” ucap Kaisar dengan penuh keyakinan untuk mencari ayah kandung Narumi. Pak Nusa menghela napas berat. Tatapannya menerawang ke masa lalu, ke hari saat ia menemukan Narumi. “Aku tidak tahu pasti siapa ayah kandungnya. Yang kutemukan hanyalah sebuah liontin dan selendang biru yang menyelimuti tubuh kecilnya saat aku menemukannya di depan rumahku dua puluh tahun lalu. Hanya itu petunjuk yang kumiliki,” jelas Pak Nusa saat menceritakan tentang saat menemukan Narumi. Kaisar mengangguk. Matanya menyala dengan tekad. “Baik. Aku akan mencari tahu siapa ayah kandung Narumi. Aku tidak akan menyerah. Jika itu syarat untuk menikahinya, aku akan melakukannya,” ucapnya. Pak Nusa menatap Kaisar dengan mata yang penuh arti. Ada harapan, ada kekhawatiran, dan ada kepercayaan yang mulai tumbuh. “Kalau kau memang ingin menikahinya, maka ini adalah caranya. Temukan ayah kandungnya. Baru setelah itu, kita bisa bicara tentang pernikahan,” lanjut Pak Nusa mengingatkan. Kaisar tersenyum tipis, lalu membungkukkan badan dengan hormat. “Terima kasih, Pak Nusa. Saya akan kembali dengan jawaban yang kita cari.” Dengan langkah tegap, Kaisar meninggalkan ruangan. Dalam hatinya, ia tahu bahwa perjalanan ini baru saja dimulai. Ia harus menemukan ayah kandung Narumi, sebelum restu yang diharapkannya berubah menjadi penolakan abadi. *** Beberapa hari berikutnya, kondisi Pak Nusa sudah membaik. Kaisar pun sibuk dalam pencarian juga pekerjaannya. Pagi hari ini, Bunda Naomi yang akhirnya tersadar dari kondisi kritisnya. Menatap Narumi dengan penuh haru, Bunda Naomi ingin berbicara banyak hal dengan anak bungsunya ini. Tapi kondisinya yang baru saja siuman membuat tubuhnya lemas. Dia hanya tersenyum dan merespon dengan perlahan-lahan apa yang dibicarakan oleh Narumi. Dokter dan perawat masuk untuk membawa Bunda Naomi untuk diperiksa lebih lagi. Disaat menunggu itulah, kakak-kakak Narumi datang untuk menjenguk. Narumi yang menunggu Bunda Naomi belum tahu jika kakak-kakaknya datang. Di ruangan VIP, tempat dimana Pak Nusa berbaring. Dia kedatangan tamu yang tak asing, mereka anak prianya yang lama tak datang menjenguknya. “Dasar kalian anak kurang ajar!” emosi Pak Nusa pada kedua anaknya. “Maafkan kami yah,” ucap Cakrabuana meminta maaf. “Jadi… begini balasan kalian kepadaku?” suara Pak Nusa bergetar, antara kecewa dan geram. “Aku berbaring di sini hampir seminggu, karena kecelakaan, sementara kalian sibuk dengan urusan masing-masing! Bahkan menengok pun kalian tak sempat!” Cakrawala mengusap tengkuknya, mencoba mencari alasan yang terdengar masuk akal. “Ayah, pekerjaan kami tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Aku punya tanggung jawab besar.” “Sama, Yah,” timpal Cakrabuana, suaranya lebih tajam. “Aku tak bisa begitu saja meninggalkan semua urusan di Kantor cabang,” Cakrabuana memperjelas apa yang menjadi penghambat mereka datang. Pak Nusa menggeram pelan. “Omong kosong! Kalian hanya mencari alasan! Lalu sekarang kalian datang, tapi hanya untuk berdiri seperti patung di hadapanku?” Ruangan seketika hening, hanya terdengar desahan napas berat dari Pak Nusa. Namun, sejenak kemudian ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Aku ingin berbicara soal Narumi,” ucapnya akhirnya, suaranya lebih terkendali. Cakrabuana dan Cakrawala saling berpandangan. Narumi, nama adik mereka yang sejak lama memiliki rahasia besar yang mereka simpan rapat-rapat dalam hati. “Ada apa dengan Narumi?” tanya Cakrabuana, nadanya sedikit curiga. Pak Nusa memandang kedua anaknya dengan tajam sebelum akhirnya berkata, “Dia dilamar seseorang.” Seperti petir di siang bolong, pernyataan itu membuat Cakrabuana menegang. Wajahnya seketika memerah, matanya melebar tak percaya. “Tidak mungkin!” seru Cakrabuana, emosinya meledak. “Narumi… dia tidak bisa menikah dengan orang lain!” Pak Nusa menaikkan alisnya. “Dan kenapa tidak? Seorang pria datang melamar, dan aku harus menolaknya begitu saja?” Cakrabuana mengepalkan tangannya, berusaha menahan gejolak yang membakar dadanya. Ia mencintai Narumi. Perasaan itu tumbuh dan mengakar dalam hatinya sejak lama, meski ia tahu Narumi bukan adik kandungnya sejak sepuluh tahun yang lalu. Cakrawala, yang lebih pendiam, menatap ayahnya dengan sorot tajam. “Ayah, kau tahu betul bagaimana perasaan Cakrabuana terhadap Narumi…” Pak Nusa tersenyum tipis, tapi ada tantangan dalam matanya. “Kalau begitu… aku akan memberlakukan syarat yang sama seperti seorang yang melamar Narumi,” ucap Pak Nusa dengan santai. Cakrabuana dan Cakrawala menunggu dalam diam. “Siapa pun di antara kalian yang lebih dulu menemukan ayah kandung Narumi… dialah yang berhak menikahinya,” ujar Pak Nusa memberi kesempatan untuk Cakrabuana. Dengan tantangan yang sama pada Kaisar. Suasana kembali tegang. Cakrabuana menggertakkan giginya, sementara Cakrawala menatap ayahnya dengan pandangan penuh arti. Sebuah pertaruhan baru dimulai. Dan kali ini, bukan hanya perasaan yang dipertaruhkan… tetapi juga takdir. Tanpa mereka sadari, Kaisar yang menyempatkan waktu untuk menjenguk Pak Nusa dan Bunda Naomi juga bertemu Narumi. Kaisar berhenti didepan pintu ruang itu, tanpa ingin masuk. Karena saat itu dia mendengarkan suara calon mertuanya yang meminta seseorang mencari ayah kandung Narumi. Kalau orang tersebut bisa menemukan ayah kandung Narumi lebih cepat darinya. Maka Kaisar akan gugur, tanpa ingin melihat Siapa yang sedang berbicara dengan calon Ayah mertuanya. Kaisar langsung pergi setelah meletakkan barang bawaannya tepat di depan pintu ruangan Pak Nusa. "Tapi putri Anda sudah menukar dirinya dengan uang untuk pengobatan kalian!”Semua mata tertuju padanya. Kaisar menegang. Narumi tampak terkejut tapi tetap tenang. “Wanita itu Narumi bukan siapa-siapa! Dia memalsukan identitasnya! Dia memalsukan tes DNA demi bisa masuk ke keluarga Dewangga dan menikahi Kaisar!” Kejutan menyapu seluruh ruangan. Beberapa tamu bergumam. Tapi sebelum Nayla melangkah lebih jauh... Dewa maju ke depan. Suaranya dingin, namun mengandung ketegasan yang membuat ruangan terdiam. “Cukup, Nayla.” Ia melambaikan tangan, dan layar LED utama memutar rekaman CCTV saat Nayla mendekati rumah sakit dan menyuap salah satu staf medis, serta bukti digital hasil forensik yang menunjukkan upaya peretasan data DNA Narumi. “Semua yang kau tuduhkan adalah hasil rekayasa—dari pihakmu,” tegas Dewa. Bu Hermina, dengan suara tajam, berkata, “Kau tidak hanya mencemarkan nama Narumi, tapi mencemarkan nilai keluarga kami. Kau akan bertanggung jawab.”
Setelah gagal menyusup dan menggoyahkan hubungan Narumi dan Kaisar selama honeymoon, Nayla tidak menyerah. Justru, kekalahan itu membakar api baru dalam dirinya.Ia duduk di sebuah kamar hotel kelas atas di Bali, menatap layar ponselnya yang penuh dengan pemberitaan tentang pernikahan Narumi. Gambar-gambar bahagia, wajah Narumi yang bersinar dalam balutan kebaya pengantin, Kaisar yang memeluknya dengan tatapan penuh cinta — semua itu menusuk matanya."Narumi..." bibir Nayla menggumam penuh kebencian. "Kenapa semua kebahagiaan itu milikmu? Padahal akulah yang punya semuanya lebih dulu..."Kepalanya dipenuhi dengan masa lalu — ketika ia masih menjadi pusat perhatian di kampus, sahabat dekat Narumi, lalu… secara licik, merebut Tryan hanya karena tidak tahan melihat Narumi dicintai.Namun yang dia dapatkan? Tryan yang hampa dan hubungan yang hancur.Kini, Narumi bahkan menjadi anggota keluarga Dewangga, istri pewaris Kaisar Gumilar, dan hidupnya viral sebagai "gadis yatim piatu yang terny
Di kamarnya yang sempit, Nayla menonton video saat Kaisar membantu Narumi turun dari pelaminan. Senyum itu… senyum yang dulu pernah ia anggap miliknya. Tapi sekarang? Ia bahkan tak lagi memiliki ruang dalam hidup Narumi.“Aku yang dulu berdiri di sampingmu… kenapa kamu yang dapat semua sekarang?” desisnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.Tangannya bergerak cepat—mematikan layar ponsel, melemparnya ke kasur.Ia bangkit, berdiri menghadap cermin retak di sudut ruangan, menatap bayangan dirinya."Kamu gak pantas kalah, Nayla. Kamu harus buktikan, kamu bukan sekadar bayangan Narumi…”Apakah Nayla akan muncul di kehidupan Kaisar dan Narumi lagi? Apakah ia hanya ingin menuntut keadilan atas luka batin yang belum sembuh? Atau ada tujuan tersembunyi lain di balik kembalinya Nayla ke dunia luar?Dan bagaimana jika Tryan, yang kini juga merasa bersalah, kembali masuk dalam konflik ini?Di sebuah vila mewah di pinggir danau di
Dan malam itu, bunga-bunga bahagia tumbuh tak hanya untuk Kaisar dan Narumi — tapi mulai merekah di hati Senja dan Jingga juga.Suasana hangat menyelimuti pelataran tempat resepsi ketika sesi foto bersama dimulai. Latar belakang dihiasi bunga berwarna putih gading dan hijau zamrud—simbol ketulusan dan harapan baru. Narumi berdiri di samping Kaisar, tersenyum sambil menahan genangan haru yang tak henti mengalir dari matanya sejak akad.Bu Prasasti dan Pak Bagus, berdiri di sisi kiri Narumi, masing-masing memegang tangan anak perempuan yang dulu sempat hilang dari pelukan mereka. Dewa, dengan setelan abu muda, berdiri tegap di belakang mereka, meletakkan tangan di pundak Narumi sebagai tanda pengakuan dan proteksi seorang kakak.Bu Hermina dan Pak Wiyoko, meski sempat terluka oleh kenyataan bahwa Narumi bukan anak kandung mereka, kini ikut tersenyum tulus. Mereka tahu, cinta tak selalu datang dari darah—tapi dari waktu yang mereka habiskan bersama Narumi sel
“Yaaaah! Natayaaa!”“Wah, jodohmu deket, Nay!”Sorakan itu mengalir di antara tawa. Tapi di antara semua keramaian itu, hanya satu tatapan yang membuat waktu terasa melambat.Wala.Dari tepi kerumunan, ia memandang Nataya. Tidak ada senyum menggoda. Tidak juga cemburu. Hanya sebuah tatapan yang tenang... dan terbuka. Nataya menangkap tatapan itu, lalu — seperti mendapat keberanian dari bunga di tangannya — ia melangkah perlahan menghampiri.Wala menunggu.Saat mereka berdiri berhadapan, bunga itu masih di tangan Nataya. Dengan suara pelan, ia bertanya:“Kamu percaya pada tanda?”Wala menatap bunga itu, lalu mengangkat bahu ringan.“Kadang tanda cuma jadi tanda... Tapi bisa juga jadi awal.”Nataya tersenyum. Tak manis, tapi hangat.“Mau nemenin aku mulai awal itu?”Wala tak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya mengulurkan tangan. Nataya meletakkan bunga itu di tangan Wala, lalu merek
Narumi mengangguk. “Dan sekarang, aku tahu… rumah itu bukan bangunan. Tapi kamu.”Pelataran pesta malam itu diterangi lampu temaram dan irama gamelan modern yang lembut mengalun. Semua tamu mengenakan busana elegan berwarna pastel — satu harmoni yang membingkai keindahan penyatuan dua keluarga besar.Nataya berdiri di dekat meja minuman, gelas mocktail di tangannya, matanya memandangi keramaian dengan wajah datar. Di balik senyumnya yang ditarik ringan, ada gelisah yang belum tuntas.Di kejauhan, Wala baru saja selesai berbincang dengan Pak Nusantara dan Bu Naomi. Ia mengenakan batik biru tua dengan garis emas, wajahnya tenang namun matanya menyapu pelataran, seolah mencari seseorang… atau sesuatu.Dan saat itu—Tatapan mereka bertemu.Nataya sedikit mengangkat alis, ragu apakah akan berbalik atau bertahan. Tapi langkah Wala sudah lebih dulu bergerak, mantap, tak terburu-buru. Ada jeda panjang saat keduanya berdiri berhadapan, su