Kaisar langsung berbalik dan meminta menghubungi anak buahnya untuk mencari tahu tentang berita kehilangan beberapa belas tahun yang lalu diseluruh negara ini.
Sedangkan Narumi yang bosan menunggu diluar ruangan periksa. Akhirnya Narumi berdiri melangkah meninggal ibunya- Bu Naomi yang sedang diperiksa. Narumi berjalan menuju laboratorium rumah sakit. dengan detak jantung yang berpacu lebih cepat. tanganya mulai dingin. Dengan penuh tekat yang sangat kuat, Narumi menghampiri penjaga bagian laboratorium. mulutnya kelu, dia hanya mengeluarkan sebuah selembar kertas. Kertas yang berisi identitas dirinya yang diberikan perawat waktu lalu. "Sebentar ya," ucap penjaga laboratorium itu. Narumi mengatur napasnya hingga penjaga laboratorium tadi membawa 2 amplop yang ada di tangan penjaga itu lalu diserahkan pada Narumi. "Mohon ditandatangani dulu buku terima hasil lab." Narumi pun mengikuti prosedur lalu keluar dari laboratorium. Narumi bernait untuk segera membuka dan membaca isi amplop itu. Tapi dari kejauhan Narumi melihat perawat keluar mendorong kursi roda Bu Naomi. Narumi pun menyembunyikan amplop itu disaku celananya. Lalu langkah Narumi berjalan lebih cepat menuju sang ibu. Dengan penuh senyuman yang ditampilkan, Narumi menghampiri ibunya. "Darimana nak?" tanya Bu Naomi setelah perawat menyerahkan Bu Naomi pada Narumi. "Dari toilet Bu. Tadi gimana pemeriksaannya? menakutkan atau havefun aja?" tanya Narumi yang mendorong perlahan-lahan kursi roda Bu Naomi. "Gak gimana-gimana? Nak kamu baik-baik saja?" BU Naomi melihat muka pucat Narumi membuat Bu Naomi khawatir. "Enggak kenapa-kenapa." Kursi itu pun di dorong masuk. Hingga ke dalam ruangan rawat inap kembali. Saat membuka pintu itu Narumi melihat kedua kakaknya sudah ada didalam sana. Rasa kecewa pun ada, Narumi merajuk karena mereka Narumi harus berhubungan dengan Kaisar. "Biar kakak saja," Wala berdiri mendekati Narumi yang sedang mendorong kursi itu. Niat Wala hanya ingin mengambil alih. Tapi tangan Wala langsung ditepi oleh Narumi. Dengan nada yang sangat ketus Narumi berucap, "Rumi sanggup kok. Awas!" Narumi mendorong kursi roda itu mendekati ke brangkar tidur pasien. "Sini Abang bantu," kini Buana yang berusaha membantu. Tapi masih saja Narumi menyingkirkan semua tangan yang akan membantu dirinya memindahkan Bu Naomi diatas brangkar. "Kami minta maaf dek, bukan maksud kami untuk tak menjawab panggil dari kamu. Kami benar-benar sibuk. Jangan marah, ya." Wala pun membujuk Narumi karena dia tahu ini ulah dirinya dan Buana. "Lagian kenapa juga kalian ke sini? Mendingan kalian gak usah datang gak ada yang butuh juga kedatangan kalian!" Narumi menjaga jarak dari Wala maupun dari Buana. "Rumi jangan begitu sama kakakmu." peringat Bu Naomi. "ih, ibu selalu suruh Narumi yang mengalah tapi mereka gak tahu gimana kebingungannya Narumi mencari bantuan. Sedangkan keluar yang terdekat aja dihubungi sulit. ah.. tau ah," Narumi malas berdebat dia memilih ke kamar mandi untuk menenangkan diri dan mencoba membuka isi amplop dari laboratorium tadi. "Kamu mau kemana? Maafkan Abang dek." Wala akan mengejar Narumi bahkan sudah menahan tangan Narumi. Narumi melirik kearah tangan yang ditahan Wala dan melihat ke ekspresi muka Wala penuh dengan permohonan. "Ih, adek cuma mau ke toilet aja, kenapa ditahan-tahan sih!" Tiba-tiba suara merdu dan bau busuk menyerbak di ruangan itu. Dengan cepat Wala melepaskan tangannya pada Narumi. Langsung menutup hidung karena bau busuk dari kentut Narumi. "Salah siapa? Orang udah mules ditahan terus ya bobol kan baunya." Narumi langsung berjalan menuju toilet di dalam kamar itu. Sedangkan semua orang tertawa karena ulah Narumi. "Dapat rejeki ya kan Bang," ejekan itu muncul dari mulut Pak Nusa. Didalam Toilet itu, Narumi mengunci pintu memastikan tidak ada yang menerobos masuk. Dia duduk di atas closet yang tertutup. Lalu tangannya merogoh amplop dari lab tadi. Narumi mengatur napasnya dengan tangan sedikit gemetar pun mulai membuka salah satu amplop itu. Dengan menyobek salah satu sisi amplop dengan tangannya. Suara di luar ruangan itu yang riuh pun tak bisa masuk dalam indra pendengar Narumi. srek! Kertas didalam itu dikeluarkan, kop laboratorium juga tertulis dibagian atas. Mata Narumi menelusuri tulisan itu dengan teliti. "Apa yang sebenarnya terjadi?" "“Yaaaah! Natayaaa!”“Wah, jodohmu deket, Nay!”Sorakan itu mengalir di antara tawa. Tapi di antara semua keramaian itu, hanya satu tatapan yang membuat waktu terasa melambat.Wala.Dari tepi kerumunan, ia memandang Nataya. Tidak ada senyum menggoda. Tidak juga cemburu. Hanya sebuah tatapan yang tenang... dan terbuka. Nataya menangkap tatapan itu, lalu — seperti mendapat keberanian dari bunga di tangannya — ia melangkah perlahan menghampiri.Wala menunggu.Saat mereka berdiri berhadapan, bunga itu masih di tangan Nataya. Dengan suara pelan, ia bertanya:“Kamu percaya pada tanda?”Wala menatap bunga itu, lalu mengangkat bahu ringan.“Kadang tanda cuma jadi tanda... Tapi bisa juga jadi awal.”Nataya tersenyum. Tak manis, tapi hangat.“Mau nemenin aku mulai awal itu?”Wala tak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya mengulurkan tangan. Nataya meletakkan bunga itu di tangan Wala, lalu merek
Narumi mengangguk. “Dan sekarang, aku tahu… rumah itu bukan bangunan. Tapi kamu.”Pelataran pesta malam itu diterangi lampu temaram dan irama gamelan modern yang lembut mengalun. Semua tamu mengenakan busana elegan berwarna pastel — satu harmoni yang membingkai keindahan penyatuan dua keluarga besar.Nataya berdiri di dekat meja minuman, gelas mocktail di tangannya, matanya memandangi keramaian dengan wajah datar. Di balik senyumnya yang ditarik ringan, ada gelisah yang belum tuntas.Di kejauhan, Wala baru saja selesai berbincang dengan Pak Nusantara dan Bu Naomi. Ia mengenakan batik biru tua dengan garis emas, wajahnya tenang namun matanya menyapu pelataran, seolah mencari seseorang… atau sesuatu.Dan saat itu—Tatapan mereka bertemu.Nataya sedikit mengangkat alis, ragu apakah akan berbalik atau bertahan. Tapi langkah Wala sudah lebih dulu bergerak, mantap, tak terburu-buru. Ada jeda panjang saat keduanya berdiri berhadapan, su
Matahari pagi bersinar lembut. Langit membiru jernih, seakan turut merayakan cinta yang telah melalui badai dan ujian panjang.Narumi berdiri di balik tirai putih di ruang rias. Gaun adat modern menghiasi tubuh mungilnya, dan di lehernya… kalung peninggalan yang dulu pernah hilang. Kalung yang menjadi saksi perjalanan panjang menemukan siapa dirinya.Kaisar, mengenakan beskap gagah, menatap cermin. Napasnya dalam. Kali ini, bukan karena takut… tapi karena hatinya dipenuhi rasa syukur.Di ruang pelaminan, dua keluarga besar: Gumilar dan Dewangga, duduk berdampingan. Pak Nusantara dan Bu Naomi berada di depan. Wala pun hadir, dengan senyum tulus, meski masih menyisakan luka dalam diam.Akad nikah dimulai.“Saya nikahkan dan kawinkan putri kandung saya, Narumi Dewangga… dengan engkau, Kaisar Gumilar, dengan maskawin tersebut dibayar tunai.”Suara itu menggetarkan dada semua yang hadir.“Saya terima nikahnya…”Suara
Tinggal hitungan hari menuju pernikahan Kaisar dan Narumi. Segalanya nyaris sempurna. Undangan telah dikirim, dekorasi siap ditata, dan kedua keluarga besar sibuk mempersiapkan hari sakral itu.Namun, ketenangan itu pecah di sore yang mendung.Di rumah keluarga Dewangga, suara keras dari halaman depan membuat semua orang terkejut.“KAISAR!!! AKU TIDAK AKAN BIARKAN KAU MENIKAHI WANITA ITU!!!”Suara wanita itu melengking, tajam menusuk udara. Pintu pagar didobrak oleh seorang wanita bergaun merah mencolok, wajahnya dipenuhi amarah dan air mata. Dialah Vanya — wanita yang pernah menjadi kekasih Kaisar bertahun lalu, dan belum pernah benar-benar pergi dari pikirannya.Nataya yang berada di teras langsung berdiri.“Siapa kamu?! Mau bikin malu di rumah orang?!”Vanya menepis tangan penjaga yang mencoba menahannya, berlari ke tengah halaman, dan berdiri menghadang Kaisar yang baru saja turun dari mobil bersama Narumi.“KAISAR! Kamu bilang kamu sayang aku! Kamu gak mungkin lupa! Kamu janji me
Sejenak tak ada yang bicara. Dunia seakan berhenti. Sunyi. Hening yang tidak memberi ruang bagi napas. Lalu… suara isakan pelan pecah. Bu Prasasti menutup wajahnya, menunduk dalam tangis haru yang tertahan terlalu lama. Pak Bagus mengusap bahunya, sementara matanya berkaca-kaca. Narumi masih duduk, tak bergerak. Ia tak tahu harus tertawa, menangis, atau terdiam. Seluruh tubuhnya terasa lemas. Dewa langsung berlutut di sampingnya, menggenggam tangannya kuat-kuat. “Kamu pulang, Narumi… kamu benar-benar pulang,” bisiknya lembut. Di sudut ruangan, Kaisar menghela napas perlahan, kemudian menatap Wala. Wala berdiri diam. Lama. Sorot matanya kosong, seolah menunggu sisa harapan untuk menguap seluruhnya. Lalu ia mengangguk pelan. Sekali. Tegas. Ia melangkah maju. Semua orang menatapnya, menunggu apa yang akan ia lakukan. Wala berhenti di depan Narumi, dan dengan suara serak ia berkata, “Kamu memang bukan darah dagingku, tapi kamu akan selalu jadi bagian dari hidupku, Narumi. Maa
Langit mendung sore itu seolah menyatu dengan suasana hati Kaisar. Langkahnya berat, tapi mantap. Ia berdiri di depan bengkel kecil tempat Wala biasanya menghabiskan waktu. Suara dentingan logam, debu oli, dan aroma bensin menyambutnya saat pintu seng seng terbuka.Wala menoleh tanpa senyum. Matanya sayu. Tubuhnya penuh noda oli, tapi tatapannya lebih kelam dari sisa mesin yang belum diperbaiki."Kaisar." Suaranya datar.Kaisar mengangguk singkat. Ia tidak duduk. Ia berdiri tegak di depan Wala. Hening sejenak."Aku datang bukan untuk memaksamu menerima, Wala. Aku tahu kamu marah, kecewa, dan mungkin... hancur. Tapi aku di sini mengajakmu berdamai. Bukan demi aku. Tapi demi Narumi."Wala kembali menatap mesin di depannya, seolah tak ingin terlibat. Tapi Kaisar melanjutkan."Hari lamaran akan tiba. Dan aku ingin kamu ada di sana. Kamu saudara yang membesarkan Narumi. Kehadiranmu penting... untuk dia, untuk kita semua."Detik berikutnya sunyi. Wala tak menjawab. Tangannya hanya mengencan