Narumi menahan tangisannya, karena mungkin suaranya akan terdengar dari luar. Bola mata Narumi bergerak saat membaca hasil tes DNA ke-dua orang tuanya yang menyatakan ke-tidak cocok pada DNA kedua orang tuanya.
"Lalu aku ini anak siapa? Kenapa kedua orang tuaku tidak cocok padaku?" Narumi pun menghabiskan tangisannya selama tiga puluh menit.Sampai dimana kakaknya Wala mengetuk pintu toilet tersebut. Narumi pura-pura menyiram closet, lalu Narumi berdiri di depan cerimin lalu merapikan penampilan. Apalagi matanya yang sembab harus dibersihkan. Belum sempat keluar dari toilet ponselnya berdering, nomor asing mengirimkan pesan pada Narumi. ( Aku sudah menolongmu! Sekarang! Datang ke Menara Gumilar Group) Narumi memastikan lagi mukanya lalu membuka pintu yang ternyata disambut oleh Wala didepan toilet itu. "Sabar ngapa! was minggir!" kesal Narumi. setelah keluar dari toilet, Narumi mengambil tasnya lalu bersalaman dengan kedua orang tuanya untuk pamit. "Mau kemana kok bawa tas gitu?" tanya Bu Naomi. "Ada kerjaan, Bu. Jadi Narumi pamit dulu ya. Toh masih ada dua bujang lapuk ibu," ucap Narumi seenaknya sendiri. "heh, jangan itu mulut untuk tidak berbicara sembarangan," sarkas Wala yang tidak menerima ejekan itu. "Mau kemana sih?Aku antar ya dek?" tanya Buana penasaran. "ah, gak usah Rumi bisa sendiri. Kalau begitu Narumi pergi duluan ya." Belum melangkah jauh, Wala pun memaksa mengantarkan Narumi. Tapi sayang sekali Narumi tak ingin ada yang tahu dimana dan dengan siapa dirinya bertemu. "Aku antar aja kalau gak mau diantar Buana," tawar Wala pada Narumi saat di depan pintu kamar itu. "Tidak terimakasih!" seru Narumi langsung langkah dengan cepat menghindari Wala. Pintu kamar pun ditutup Narumi, Narumi melangkah cepat keluar dari lingkungan Rumah Sakit. Menunggu taksi untuk membawa dirinya pergi ke Menara Gumilar group. Sedangkan di dalam ruangan rawat inap itu, Bu Naomi baru saja diberi tahu Pak Nusa tentang lamaran seorang pemuda pada Narumi. Dan dengan lantangnya Wala pun ikut menggenggam tangan Bu Naomi untuk meminta restu untuk melamar Narumi. "Bu, Beberapa hari yang lalu ada pemuda yang melamar Narumi," ungkapan Pak Nusa. " Siapa?" tanya Bu Naomi. "Aku salah satunya, Bu," Wala mencium punggung tangan Bu Naomi. Wala yang melakukan Pengakuan itu membuat Bu Naomi sedikit terkejut. Hanya sebentar saja tapi tak lama senyum simpul pun tersirat di wajahnya. "Tapi bukan hanya saja dia, ada pria yang juga melamar Narumi bukan sekedar melamar tapi ingin segera menikahi Narumi. Sedangkan Narumi bukan anak kandungku jika aku pun menikahkan mereka maka tidak akan sah. Jadi?" ucapan Pak Nusa menggantung dan dilanjutkan oleh Wala yang masih menggenggam tangan Bu Naomi. "Jadi aku harus berkompetisi dengan pria itu yang harus menemukan orang tua kandung Narumi. Bu, Wala mohon Ibu memeberikan restu pada Wala supaya dengan cepat mendapatkan titik terang siapa orang tuanya Narumi. Wala ingin menjadi Narumi anggota keluarga ini yang sesungguhnya. Ibu bersediakan merestui setiap langkahku untuk menemukan orang tuanya Narumi," dengan lembut Wala pun meminta restu Bu Naomi. Dengan senyum yang tulus tangan Bu Naomi pun mengusap lembut kepala Wala. Simbol memberikan restunya untuk Wala yang ikut serta mencari kedua orang tuanya Narumi. "Ibu, akan selalu mendoakan semua yang sedang kamu usaha untuk Narumi. Tapi jika pun kamu sudah menemukan kedua orang tuanya Narumi. Biarkan Narumi yang menjawab dia bersedia tidak untuk menjadi pendampingmu. Jika pun Narumi tidak. bersedia kamu harus lapang dada. Walapun kamu yang menemukan pertama kali orang tuanya Narumi. Janji jangan sakit hati, Nak?" Bu Naomi hanya mengeluarkan feelingnya untuk solusi yang ada. "Wala usahakan ya Bu. Ibu do'akan saja mudahkan urusan Wala untuk memiliki Narumi," Wala pun menciumi punggung tangan ibunya setelah mengucapkan kalimat tersebut. Di tempat lain, Narumi baru saja sampai di lobby Menara Gumilar group. Narumi kurang memperhatikan penampilannya. Hingga setiap langkahnya menjadi pusat perhatian semua orang. "Mau apa disini?" seorang satpam yang melihat penampilan Narumi pun mendekati Narumi. Mengira Narumi Spg Rokok yang mencari konsumen. "Saya cuma disuruh datang ke sini Pak," jawab Narumi atas pertanyaan satpam itu. "Sama siapa?" Narumi memperlihatkan chatnya itu, tapi satpam itu pun tertawa. "Itu orang iseng ya? Gak ada namanya, gak jelas, keluar dari sini menggangu pemandangan saja," usir Satpam itu dengan sedikit keras. "Pak, Tidak bisa seperti itu dong. Saya hubungi orangnya dulu Pak. Supaya kita tahu siapa yang meminta datang ke sini," Narumi masih menahan diri untuk tidak diseret keluar. Tapi sayangnya saat mencoba beberapa kali nomor yang dihubungi tak terjawab. Sehingga Satpam itu pun menarik kasar tubuh Narumi. bruk! "Aduh!" Satpam itu menyeret-nyeret Narumi dan mendorong tubuh Narumi dengan keras.Narumi mengangguk. “Dan sekarang, aku tahu… rumah itu bukan bangunan. Tapi kamu.”Pelataran pesta malam itu diterangi lampu temaram dan irama gamelan modern yang lembut mengalun. Semua tamu mengenakan busana elegan berwarna pastel — satu harmoni yang membingkai keindahan penyatuan dua keluarga besar.Nataya berdiri di dekat meja minuman, gelas mocktail di tangannya, matanya memandangi keramaian dengan wajah datar. Di balik senyumnya yang ditarik ringan, ada gelisah yang belum tuntas.Di kejauhan, Wala baru saja selesai berbincang dengan Pak Nusantara dan Bu Naomi. Ia mengenakan batik biru tua dengan garis emas, wajahnya tenang namun matanya menyapu pelataran, seolah mencari seseorang… atau sesuatu.Dan saat itu—Tatapan mereka bertemu.Nataya sedikit mengangkat alis, ragu apakah akan berbalik atau bertahan. Tapi langkah Wala sudah lebih dulu bergerak, mantap, tak terburu-buru. Ada jeda panjang saat keduanya berdiri berhadapan, su
Matahari pagi bersinar lembut. Langit membiru jernih, seakan turut merayakan cinta yang telah melalui badai dan ujian panjang.Narumi berdiri di balik tirai putih di ruang rias. Gaun adat modern menghiasi tubuh mungilnya, dan di lehernya… kalung peninggalan yang dulu pernah hilang. Kalung yang menjadi saksi perjalanan panjang menemukan siapa dirinya.Kaisar, mengenakan beskap gagah, menatap cermin. Napasnya dalam. Kali ini, bukan karena takut… tapi karena hatinya dipenuhi rasa syukur.Di ruang pelaminan, dua keluarga besar: Gumilar dan Dewangga, duduk berdampingan. Pak Nusantara dan Bu Naomi berada di depan. Wala pun hadir, dengan senyum tulus, meski masih menyisakan luka dalam diam.Akad nikah dimulai.“Saya nikahkan dan kawinkan putri kandung saya, Narumi Dewangga… dengan engkau, Kaisar Gumilar, dengan maskawin tersebut dibayar tunai.”Suara itu menggetarkan dada semua yang hadir.“Saya terima nikahnya…”Suara
Tinggal hitungan hari menuju pernikahan Kaisar dan Narumi. Segalanya nyaris sempurna. Undangan telah dikirim, dekorasi siap ditata, dan kedua keluarga besar sibuk mempersiapkan hari sakral itu.Namun, ketenangan itu pecah di sore yang mendung.Di rumah keluarga Dewangga, suara keras dari halaman depan membuat semua orang terkejut.“KAISAR!!! AKU TIDAK AKAN BIARKAN KAU MENIKAHI WANITA ITU!!!”Suara wanita itu melengking, tajam menusuk udara. Pintu pagar didobrak oleh seorang wanita bergaun merah mencolok, wajahnya dipenuhi amarah dan air mata. Dialah Vanya — wanita yang pernah menjadi kekasih Kaisar bertahun lalu, dan belum pernah benar-benar pergi dari pikirannya.Nataya yang berada di teras langsung berdiri.“Siapa kamu?! Mau bikin malu di rumah orang?!”Vanya menepis tangan penjaga yang mencoba menahannya, berlari ke tengah halaman, dan berdiri menghadang Kaisar yang baru saja turun dari mobil bersama Narumi.“KAISAR! Kamu bilang kamu sayang aku! Kamu gak mungkin lupa! Kamu janji me
Sejenak tak ada yang bicara. Dunia seakan berhenti. Sunyi. Hening yang tidak memberi ruang bagi napas. Lalu… suara isakan pelan pecah. Bu Prasasti menutup wajahnya, menunduk dalam tangis haru yang tertahan terlalu lama. Pak Bagus mengusap bahunya, sementara matanya berkaca-kaca. Narumi masih duduk, tak bergerak. Ia tak tahu harus tertawa, menangis, atau terdiam. Seluruh tubuhnya terasa lemas. Dewa langsung berlutut di sampingnya, menggenggam tangannya kuat-kuat. “Kamu pulang, Narumi… kamu benar-benar pulang,” bisiknya lembut. Di sudut ruangan, Kaisar menghela napas perlahan, kemudian menatap Wala. Wala berdiri diam. Lama. Sorot matanya kosong, seolah menunggu sisa harapan untuk menguap seluruhnya. Lalu ia mengangguk pelan. Sekali. Tegas. Ia melangkah maju. Semua orang menatapnya, menunggu apa yang akan ia lakukan. Wala berhenti di depan Narumi, dan dengan suara serak ia berkata, “Kamu memang bukan darah dagingku, tapi kamu akan selalu jadi bagian dari hidupku, Narumi. Maa
Langit mendung sore itu seolah menyatu dengan suasana hati Kaisar. Langkahnya berat, tapi mantap. Ia berdiri di depan bengkel kecil tempat Wala biasanya menghabiskan waktu. Suara dentingan logam, debu oli, dan aroma bensin menyambutnya saat pintu seng seng terbuka.Wala menoleh tanpa senyum. Matanya sayu. Tubuhnya penuh noda oli, tapi tatapannya lebih kelam dari sisa mesin yang belum diperbaiki."Kaisar." Suaranya datar.Kaisar mengangguk singkat. Ia tidak duduk. Ia berdiri tegak di depan Wala. Hening sejenak."Aku datang bukan untuk memaksamu menerima, Wala. Aku tahu kamu marah, kecewa, dan mungkin... hancur. Tapi aku di sini mengajakmu berdamai. Bukan demi aku. Tapi demi Narumi."Wala kembali menatap mesin di depannya, seolah tak ingin terlibat. Tapi Kaisar melanjutkan."Hari lamaran akan tiba. Dan aku ingin kamu ada di sana. Kamu saudara yang membesarkan Narumi. Kehadiranmu penting... untuk dia, untuk kita semua."Detik berikutnya sunyi. Wala tak menjawab. Tangannya hanya mengencan
“Pak Nusantara, bertahun-tahun kami mencarinya. Putri kami... hilang sejak bayi karena diculik. Saat kami tahu Narumi adalah anak kami, hati saya seakan runtuh. Tapi di saat yang sama, saya tahu... Tuhan menitipkannya pada orang yang tepat. Kami tidak akan pernah bisa membalas kebaikan Bapak. Tapi hari ini, ijinkan kami menyambung silaturahmi yang pernah terputus.”Pak Nusantara akhirnya duduk. Tangannya gemetar saat menyentuh kertas hasil tes itu. Tapi ia tak membaca—ia menatap Narumi.“Kamu... anak dari darah mereka. Tapi kamu juga tumbuh dalam rumah ini. Dalam pelukan kami. Kamu punya dua rumah, dua cinta, dan sekarang dua keluarga yang siap menjagamu.”Air mata Narumi akhirnya jatuh. Ia berlutut di hadapan Pak Nusantara dan Bu Prasasti, lalu memeluk kaki keduanya bersamaan.“Terima kasih... untuk dua kehidupan yang kalian berikan padaku. Tanpa kalian, aku bukan siapa-siapa.”Pak Bagus mendekat, meletakkan tangannya di pundak Pak Nusan