Share

BAB 6

Ruangan interior yang didominasi dengan warna gelap dengan si pemilik ruangan berada di balik meja kebesarannya.

"Kenapa bisa terluka?" pertanyaan yang tentu akan ditanyakan pada seseorang yang melihat orang yang dikenal terluka.

Izekiel tidak menjawab pertanyaan Nathan, tidak mungkin dia berkata, "Anakmu menamparku gara-gara aku menyukainya,"

"Ada apa memanggil?" Nathan melemparkan map merah ke meja, menyuruh pria itu untuk membacanya.

"Ayolah kawan, kamu bisa mengatasi perusahaan mereka," menolak melakukan apa yang diperintahkan dalam berkas itu.

"Rosalie yang mengambil alih kerjasamanya," jelasnya.

"Lalu?"

"Dia akan menerima kerja samaku jika aku bisa membujukmu," Izekiel menghela nafas panjang, datang bersama Rosalie ke ulang tahun perusahaan Nathan sama saja mencari mati.

Media akan semakin memanas jika mengetahuinya, Izekiel tidak bisa mengalahkan Nathan. Kontrak kerja sama tadi, benar-benar sangat menguntungkan.

Pintu terbuka, seorang perempuan dengan rok ketatnya masuk.

"Pak, ada gadis yang ingin menemui Anda,"

"Biarkan masuk," bukan Nathan yang menyuruh namun Izekiel. Tentu gadis yang dimaksud adalah Elleonore. Gadis itu tidak ingin masuk bersama Izekiel, jadi meminta pria itu untuk duluan saja.

"Siapa?" pertanyaan yang tentunya diabaikan.

Menatap pintu yang terbuka dengan kepala gadis yang menyembul di balik pintu.

"Papa," panggilnya girang, memasuki ruangan itu dengan bekal yang diangkat tinggi-tinggi.

"Ayo makan siang bersama!"

Nathan berdehem dan membuka berkas yang sebenarnya sudah dibaca tadi.

"Saya sibuk,"acuhnya.

Izekiel mengambil kotak makan siang itu dan membukanya.

"Ayo makan bersama Ive," menarik kursi lain yang tersedia disana untuk gadis itu duduki.

Nathan menaikkan sebelah alisnya, tidak suka panggilan Izekiel pada putrinya.

Makan siang yang seharusnya untuk Nathan malah dimakan Izekiel. "Enak sekali, Ive sangat pintar memasak," pancingnya.

"Elleonore, bisa keluar sebentar. Ada yang harus saya bicarakan dengan Izekiel," Elleonore mengangguk.

"Papa cepat pulang yah, aku akan memasak untuk makan malam nanti," ucapnya dan meninggalkan tempat itu.

Perempuan yang ternyata menjadi asisten papanya selalu memberikan tatapan sinis.

"Kamu ada hubungan apa dengan pak bos?" tanyanya, sesekali melihat cermin guna memperbaiki riasannya.

"Kepo Mbak?" perempuan itu mencebikkan bibirnya.

"Saya tinggal di rumah bosnya Mbak," pancingnya yang ternyata diterima dengan baik.

"Heh, masih kecil udah aneh-aneh saja!"

"Biar saja, Nathan punya banyak uang. Jadi dipakai beli aja saja, tidak akan habis, kok," mengedipkan matanya.

Beberapa kali mengucap maaf dalam hati karena sudah menyebut nama pria itu secara langsung tanpa embel-embel papa.

Izekiel yang baru saja keluar, tersenyum melihat wajah jahil Elleonore.

"Ayo pulang," Elleonore mengangguk semangat dan mengikuti pria itu.

"Ive, aku juga punya banyak uang,"

Pandangan dalam lift kini dialihkan pada pria itu, menatap bingung.

"Pembahasan kalian tadi Ive,"

"Hanya candaan," ucapnya, menampilkan senyum terbaik.

Elleonore tidak tahu saja, efek dari senyuman itu berefek sangat besar pada Izekiel.

"Ayo jalan," ajaknya, berharap bisa menjalin hubungan baik dengan Elleonore.

"Aku lelah Kiel, boleh kita pulang saja?" permintaan yang langsung di angguki Izekiel.

Elleonore butuh rehat dari semua kejadian saat ini, mungkin dia akan berusaha menjauh dari pria itu untuk sementara waktu.

Sambil melatih diri, selama Elleonore tidak bersikap berlebihan. Maka, Izekiel tidak akan menunjukkan obsesinya.

Baru saja mobil itu masuk pekarangan rumah, Daya sudah menunggu diluar. Berlari ke arah mobil tersebut dan mengecek keadaan nonanya.

"Nona," tatapannya nanar melihat pergelangan tangannya yang lebam.

Melepaskan tangan Daya dengan pelan dan pura-pura mengantuk.

"Bi, aku ngantuk banget. Mau tidur siang dulu yah," Daya mengangguk.

Saat asisten pribadi majikannya menelpon dan menyuruh mengecek pergelangan tangan nonanya. Daya panik luar biasa, berpikir bahwa papa nonanya melakukan hal yang tidak-tidak.

"Makasih Kiel," ucapnya lalu masuk ke rumah.

Di tangga atas, Ara menatapnya dengan sengit.

"Darimana aja lo?" mengacak pinggang, tangannya memegang pulpen.

Merasa tidak berbuat salah, Elleonore berlalu begitu saja. Namun, sepertinya Ara tidak akan melepaskannya dengan mudah. Gadis itu menarik rambut Elleonore.

Elleonore berdesis kesakitan, berusaha menahan rambut yang semakin ditarik. Memilih untuk tidak melakukan perlawanan, sagat bahaya melakukannya di pinggiran tangga.

"Aku nggak paham maksud kamu," menarik tangan Ara menjauhi tangga dan berusaha melepaskan tarikan.

Tangan itu lepas, namun selanjutnya pipi Elleonore yang panas. Sebuah tamparan baru saja dia layangkan. Beberapa pelayan yang melihat tentu mengabaikan.

Pipinya di cengkram kuat, bisa Elleonore rasakan kuku-kuku Ara menusuknya.

"Lo lihat ini!" tunjuknya pada sebuah pulpen.

Elleonore membulatkan mata, dia ingat bukankah benda itu yang dia gunakan untuk menulis alur novelnya. Apa jangan-jangan Ara menemukan bukunya juga?

"Pulpen ini milik gue, kenapa bisa ada di kamar lo?"

Elleonore melepas paksa cengkraman itu yang berakhir wajahnya tergores. Mengambil pulpen itu dan melemparkannya ke lantai bawah.

"Berani-beraninya!" Ara berang, ingin mencekik gadis di depannya. Namun, Elleonore lebih dulu mendorong gadis itu.

Tentu tidak ada adegan jatuh dari tangga, bisa-bisa Nathan semakin membenci dirinya.

"Cuman gara-gara pulpen, kamu berani nampar aku?" tentu saja Elleonore terpancing emosi.

Ara di dalam novel sangat berbeda dengan di hadapannya.

"Pulpen itu pemberian papaku!" teriak Ara

Mendorong tubuh gadis itu sampai terlentang dan naik ke atasnya, menekan bahunya agar tidak bisa melawan.

Elleonore membalas tamparan itu dengan keras, memastikan wajah mulus di hadapannya parah dari dirinya.

"Papamu? Yang benar saja? Kau hanya anak pungut Ara!"

Ara yang tidak terima baru saja ingin kembali menyerang, namun tubuh di atasnya langsung di dorong ke belakang.

"Apa yang kau lakukan pada anakku!" Elleonore tertegun, pandangannya mengarah pada Nathan yang membantu Ara berdiri.

Apa-apaan ini? Kenapa Ara yang ditolong bukan dirinya? Dadanya kembali sesak, napasnya bergemuruh. Memalingkan wajahnya dan pergi dari sana.

"Papa, Ara takut," lirihnya, memeluk Nathan.

"Elleonore!" bentak Nathan, menggeleng pelan melihat sikap gadis itu.

Bahkan dari tempatnya, Nathan bisa mendengar Elleonore membanting pintu dengan keras.

Berlari ke cermin dan melihat wajahnya yang mengeluarkan darah. Apa Nathan tidak bisa melihat wajah anak kandungnya seberantakan ini gara-gara anak tiri tidak tahu diri itu?

Giginya bergemeletuk, berkedip sekali saja air mata itu akan mengenai tangan yang terkepal.

"Kalau tahu begini, kenapa tidak sekalian mendorong anak pungut itu dari tangga saja?" ucapnya melantur.

Menghapus air matanya dengan kasar lalu meringis pelan. Tidak sengaja mengenai lukanya. Lihat saja, jika anak pungut itu playing victim lagi. Akan Elleonore balas berkali-kali lipat.

Pintunya diketuk berkali-kali, suara Daya di balik pintu terdengar.

"Masuk saja Bi," perempuan yang membawa kotak P3K meletakkannya pada nakas dan berlari ke arah gadis itu.

"Nona," air matanya turun begitu saja.

Elleonore tertawa. "Bibi ada-ada saja, aku yang terluka tapi kenapa Bibi yang menangis?"

Tentu perempuan itu merasa bersalah, karena gara-gara pulpen yang diberikan pada nonanya penyebab kejadian tadi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status