Share

BAB 2

Rumah megah yang konon katanya kembali di injaki putri pemilik rumah setelah 10 tahun pergi. Meyakinkan diri agar tidak gila dengan keadaan sekarang, Sienna akan memilih menjalani.

Tidak, sekarang namanya bukan lagi Sienna, tapi. "Selamat datang Elleonore Ive Grayson," ucapnya pada diri sendiri.

Selama seminggu di rumah sakit, Sienna sudah terbiasa dengan nama itu. Sepertinya kehidupan ini datang karena Sienna yang tidak hentinya memaki author tersebut.

"Nona Elleonore," panggil Bi Daya, mempersilahkan nona mudanya masuk ke rumah itu.

Baru Sienna sadari si pemeran perempuan dalam novel itu memiliki nama yang sulit di sebut.

Sienna sudah mengatakan cukup memanggilnya dengan nama Elle saja, namun perempuan yang diketahui telah memasuki akhir umur 40 tahun itu enggan.

Katanya, lidahnya sudah terbiasa menyebut nama yang sulit itu. Memegang kepalanya pusing memikirkan alur hidupnya.

"Nona tidak perlu memaksakan mengingat, tugas saya untuk mengenalkan kembali pada Nona," sepertinya Bi Daya salah paham.

Sienna tidak percaya mengingat bagian dalam novel saat Ara, kakak tiri Elleonore mengatakan rumah ini adalah yang terindah yang pernah dia lihat. Ternyata ucapannya tidak dilebihkan.

Ornamen yang berwarna emas dan hitam memberikan kesan elegan, rumah yang berdiri dengan 3 lantai itu seakan menunjukkan bahwa pemiliknya bukan orang sembarangan.

"Silahkan lewat sini, Nona," Daya mengarahkan Nona-nya ke arah tangga dengan ornamen naga.

Tangga yang membawanya menuju lantai 2, berjalan beberapa langkah sebelum menemukan pintu berbahan jati, membukanya pelan dan melihat isi kamarnya.

Fix, antara Sienna yang memang kampungan atau kamar ini memang indahnya tidak wajar. Kalau kehidupannya seperti ini, Sienna ditusuk berapa kali pun akan di terima.

"Nona bisa beristirahat dulu, saya akan menjelaskan semuanya setelah Nona bangun," Daya undur diri, menutup pintu yang memperlihatkan Sienna yang hanya diam.

"Gila cantik banget!" teriaknya kesenangan, menaiki ranjang queen size bed dan melompat-lompat di atasnya.

Mendarat dengan sempurna pada karpet yang bulunya sangat halus, Sienna bisa menjamin karpet itu adalah karpet terhalus yang pernah di sentuhnya.

Bahkan dia tidak akan keberatan jika tidur di atas karpet tersebut, dengan euforia kebahagiaan berlari ke arah lemari megah berwarna putih itu.

Sedang membayangkan pakaian cantik nan mahal yang menunggu dibalik pintunya. Menatap cengo pada lemari yang isinya hanya di hiasi beberapa hanger.

"Hah? Kamu punya banyak barang mahal tapi nggak punya satu pun baju Elle?" monolognya.

"Eh tunggu, kan orang kaya nggak simpan baju di lemari. Tapi di ruang yang namanya walk in closet kan?"

Berjalan pada pintu yang saling berdampingan, menatap ke dalamnya dan benar saja. Tidak ada apa-apa di dalam ruangan itu. Beralih pada pintu satunya dan menemukan kamar mandi yang sangat cantik.

Di kehidupan sebelumnya Sienna bukanlah orang kelas bawah, tapi juga bukan kelas atas. Bisa dibilang kelas menengah yang malah ke bawah bukan ke atas. Kalian pasti paham perumpamaan ini bukan?

"Bukannya norak yah Elle, tapi aku tuh nggak pernah lihat kamar mandi se-bagus dan indah ini," tetap norak bahasanya.

Kembali menidurkan diri di atas tempat tidurnya.

"Harum," ucapnya senang, bergelinding dari ujung sampai kepala ranjang.

"Terima kasih Elleonore, akan aku jaga kehidupan kamu dengan baik," menutup mata seakan tidak memiliki beban.

Baru saja beberapa detik, Sienna tersentak. Bangun dan mencari apapun yang bisa digunakan untuk menulis. Dia harus menulis alur novel selagi masih ingat.

Yang benar saja, diantara banyaknya laci tidak ada satu-pun alat tulisnya. Membuka pintu dan menyusuri tempat itu, sesekali memanggil Bi Daya.

Terlihat seseorang berpakaian pelayan di ujung tangga.

"Bibi!" panggilnya, lagian dia tidak tahu harus memanggil apa pelayan dirumah ini selain bibi.

Gadis itu berbalik, memasang wajah kesalnya akibat dipanggil dengan kurang ajarnya. Tidak ada yang pernah memanggilnya dengan sebutan bibi di rumahnya.

"Minta tolong ambilin buku sama polpen yah," gadis itu menatap sinis sosok di depannya.

"Lu bilang apa tadi? Bibi? Lu pikir gue kayak pembantu gitu?"

Elleonore tidak sepenuhnya salah, gadis di depannya juga salah, siapa suruh menggunakan pakaian pelayan.

"Maaf, jadi saya harus manggil apa?" Elle menggaruk belakang kepala yang tidak gatal, malu dihadapan gadis itu.

"Gue Naomi Arataya, lu pembantu baru yah?" hilang sudah sikap malu-malu Elleonore, kini tatapan sinis dilayangkan pada gadis di depannya.

Berlalu begitu saja, menuruni tangga berharap bertemu Daya dilantai bawah.

"Heh kurang ajar, gue belum selesai ngomong," teriaknya.

Menyusul Elleonore meraih bahu gadis itu dan memberikan tamparan panas di pipi Elleonore.

Spontan Elleonore mendorong gadis itu, pertengkaran yang memancing beberapa pelayan menghentikan aktivitas mereka. Seorang pria yang di ikuti pelayan mendekat.

Pria yang menggunakan jas itu, membantu gadis yang Elleonore ketahui Ara, kakak angkatnya.

"Saya tahu kamu hilang ingatan, tapi bukan berarti tangan kotor kamu itu berhak menyentuh putri saya," pria yang menatapnya tajam lalu membawa Ara naik ke lantai atas.

Tidak terasa air matanya mengalir, Daya mendekati nona-nya dan menyuruh para pelayan melanjutkan pekerjaan. Mengajak ke taman belakang rumah. Sampai di ayunan taman, air matanya belum berhenti mengalir.

"Kenapa?" tanyanya pada diri sendiri, dengan kasar menghapus air mata itu.

"Nona?" panggilan dari Daya berhasil memecah tangis Elle.

Dia tidak tahu pria itu siapa, tapi kenapa hatinya terasa sangat sakit?

Elusan pada punggungnya membuat Elleonore semakin memeluk perempuan itu, lama mereka berpelukan. Elleonore memisahkan diri terlebih dahulu.

"Tuan Nathan," jawabnya seakan bisa menduga pertanyaan nona-nya.

Sienna mengerti, perasaan itu muncul bukan dari dirinya tapi dari Elleonore. Siapa juga yang tidak merasa sesak saat melihat papa-mu lebih membela anak angkat daripada anak kandungnya.

"Dia duluan yang nampar, Bi," adunya.

Menghapus kasar cairan bening yang keluar dari hidungnya menggunakan baju yang dipakainya.

"Sakit tahu Bi," menunjukkan pipi yang ditampar tadi.

Bukan berpura-pura tapi, tamparan itu benar-benar keras. Enak saja, selama hidup tidak ada yang pernah menamparnya dan gadis tidak tahu diri itu melakukannya.

"Tunggu di sini Nona, saya ambil obat dulu," yang di angguki Elle.

Menatap sekeliling taman dan menemukan banyak bunga yang tumbuh cantik. Elle tidak akan berhenti kagum pada tempat tinggal ini.

Menggerakkan kakinya menuju bunga yang terlihat paling cantik, betapa tidak bisa Elleonore tahan tangannya untuk menyentuh.

Mendekatkan penciuman pada bunga semerah darah.

"Harum sekali," girangnya.

Menarik batang bunga tanpa memperhatikan tangannya yang tertusuk duri bunga mawar.

"Ouch...," mencabut duri yang menancap dan menghasilkan darah yang menetes.

Seseorang langsung menarik tangannya, memasukkan telunjuk itu ke dalam mulutnya.

Mata tajam dan alis tebal menabrak penglihatan Elleonore. Bisa gadis itu rasakan, bagaimana mulut hangat pria asing di depannya mengulum dan menghisap telunjuknya.

Lesung pipi pria itu bagus. Lidah yang tidak sengaja menyentuh dan bibir yang jelas-jelas menjepit telunjuknya, membuat Elleonore panas dingin.

"Tuan Izekiel," suara yang dikenali membuatnya menarik telunjuknya.

Bukan karena kepergok menatap mulut pria itu. Namun, nama yang disebut Daya seakan memperingatkan Elleonore. Pria yang berjongkok di depannya adalah pria yang membuat hidupnya sengsara.

Pria yang memberikan senyum manis malah terlihat seperti senyum licik di mata Elleonore. Izekiel Helios Raven, adalah sosok pria yang menjadi salah satu penyebab gadis itu menghembuskan napas terakhirnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status