Pintu apartemen terbuka begitu kata sandi di masukkan, gadis itu mengembalikan sepatunya di tempat sebelumnya. Dua tangannya sibuk menenteng paper bag berisikan kebutuhan yang ia beli di supermarket terdekat apartemennya.
Baru saja dia memakai sandal rumah, bel apartemennya berbunyi menandakan seseorang baru saja datang. Agnes melihat di monitor, lelaki yang sepekan sudah tidak muncul dihadapannya kini tengah berdiri di depan pintu apartemen miliknya.
"Lama sekali!" Gerutu David begitu pintu apartemen Agnes terbuka. Gadis itu tidak bergeming, perhatiannya tertuju pada setelan pakaian kerja David yang masih melekat dan dasi yang kini tak tertata rapi.
"Kamu baru datang?" Tanya Agnes membuntuti David yang menyelonong masuk apartemen padahal tuan rumah belum mempersilahkan.
"Ahhh.. " Lenguh David begitu ia melemparkan badannya di sofa panjang.
"Apa kamu akan berdiri terus di sana?" Tanya David seraya melepas jas dan dasinya. Menyisakan kemeja yang lengannya sengaja digulung hingga siku.
Agnes menggelengkan kepalanya dengan cepat kala pikirannya hampir hilang kendali. Agnes duduk, David kembali memejamkan matanya. Dia benar-benar lelah hari ini.
"Apa Saudara tiriku kemari?" Tanya David membuka matanya, perlahan menegakkan duduknya. Wajahnya berubah, tampak dingin dan tidak suka dengan topik yang dibicarakan.
Agnes menatap balik lelaki di hadapannya, benar-benar bukan seperti David yang ia kenal. Seperti dejavu, atsmosfer terasa dingin dan mencekam. Agnes justru merasa sedang disidang oleh kekasihnya perihal karena bertemu dengan lelaki lain di belakangnya.
"Kesini atau tidak.Bukan urusan kamu, Pak David." Ketus Agnes, kesadarannya mulai kembali dia tidak seharusnya terbawa arus. Memangnya siapa David? Bukan kekasihnya, bukan teman dekatnya juga. David hanyalah seorang calon suami yang Agnes menangkan dalam sebuah undian, ya benar anggap saja begitu.
"Apapun yang berurusan denganmu saat ini pasti berkaitan dengan saya." Bantah David tak mau kalah. Agnes menutup rapat bibirnya, giginya saling menggertak entah kenapa apa yang dilakukan David terlalu lancang.
" Anda bukan suami saya Pak David, kita hanya akan menikah karena jebakan sialan yang anda buat itu!" Seru Agnes begitu kesal karena semenjak kedatangan David di hidupnya, masalah bertubi-tubi datang dan tak kunjung reda.
Agnes menuju pantry, menyiapkan dua gelas. Bagaimana pun David seorang tamu disana. Tubuhnya menegang, mulutnya hampir berteriak keras merasakan dua tangan melingkar di pinggang rampingnya. Tanpa sungkan, dagu David menempel di bahunya membuat Agnes berusaha melepaskan pelukan itu.
"Apa yang sedang kamu lakukan!"Seru Agnes memekik membuat David mengangkat kedua bahunya, pria itu kembali melangkah mendekat pasa Agnes yang tampak berdiri waspada.
"Jangan macam-macam Pak David!" Ancam Agnes mengajungkan jari telunjuknya pada David yang kini tak takut untuk menghapus jarak di antara keduanya.
David tidak menghiraukan ancaman Agnes, lelaki itu menarik tangan mungil itu dan dengan mudah menjatuhkan Agnes dalam pelukannya.
"Mulai sekarang kamu harus terbiasa dengan kontak fisik kita. Bagaimana pun kita akan sering bertemu dan akan menikah." Bisikan David di telinga Agnes sukes membuat bulu kuduk merinding, tengkuknya terasa begitu dingin membuat Agnes semakin membeku dalam dekapan hangat presdir.
"Kita menikah karena sebuah kesepakatan, ku harap anda paham batasan yang ada!" Ucap Agnes memberikan peringatan.
"Aku tidak ingin bermain-main dengan sebuah pernikahan Nes." Ucap David suaranya pelan tanpa paksaan.
Cup...
Kecupan singkat mendarat di pipi kiri Agnes, sekali lagi David sukses membuatnya membeku di tempat. Sudah lama dia tidak merasakan debaran aneh dalam dirinya, kupu-kupu yang ia kira lenyap dari perutnya kini berterbangan membuatnya tak mampu berkata-kata.
Agnes bukan gadis remaja lagi, dia sudah berkencan sebelumnya namun debaran aneh ini muncul lebih membekas daripada sebelumnya. Padahal itu hanya sebuah kecupan.
"David!" Pekik Agnes begitu ia tersadar seraya mengusap pelan pipinya menutupi wajahnya yang kini mungkin sudah berubah merah bak kepiting rebus.
"Kapan kau akan mengajakku bertemu dengan keluargamu?" Tanya David kembali menjatuhkan tubuhnya di sofa, Agnes yang melihatnya berusaha menahan diri agar tidak terpancing emosi.
"Saya belum mengatakan bersedia menikah dengan anda Pak David!" Tegas Agnes, menurutnya sikap David berubah seolah-olah mereka sudah dekat dan memang sepasang kekasih.
"Kamu memang tidak mengatakan bersedia menikah tapi kamu sendiri yang bilang kita menikah karena sebuah kesepakatan. Bukankah tidak salah jika saya menganggap kamu menerima lamaran saya!" Terang David tersenyum menang, Agnes tidak bisa berkutik. Dia berdiri mematung, gadis itu membalikkan tubuhnya membelakangi David, dalam hati merutuki sikapnya yang seolah ingin terlibat terus menerus dengan David.
"Saya tidak habis pikir, kenapa anda terus mendesak saya. Padahal saya jelas menolak, seolah tidak ada gadis lain." Ucap Agnes nyaris tidak terdengar, dia sedang mencuci sayur yang baru saja ia beli.
"Bagaimana pun saya tidak ingin melukai perasaan mendiang kakek saya. Apalagi membohonginya meski ia sudah meninggal, saya tidak ingin beliau tidak tenang." Jawab David menengadah ke langit-langit seolah melihat kakeknya sedang mengawasinya.
Agnes menghentikan sejenak aktivitas tangannya, berbalik untuk sekedar menatap raut wajah David untuk sekedar menemukan topeng kebohongan, namun tidak ada yang tersisa sebuah senyuman tulus nyaris tidak terlihat.
"Minggu depan kita bisa fitting gaun!" Seru David membuat Agnes menatapnya dengan wajah tercengang, gadis itu benar-benar tidak bisa membaca jalan pikiran lelaki itu.
"Secepat itu! Diantara kita belum ada kesepakatan apakah kita akan menikah atau tidak Pak David!" Bantah Agnes menggebu-gebu kesal karena tampaknya David tidak menghiraukan penolakan Agnes sekeras apapun.
"Apapun syaratnya pasti akan ku penuhi, nikah kontrak, nikah dengan uang, kamu butuh uang berapa aku akan memberikannya." Ucap David menghampiri Agnes untuk berbicara lebih dekat.
"Aku tidak butuh uangmu." Gumam Agnes yang memilih melanjutkan acara memasaknya untuk makan malam.
"Apapun syaratnya kau akan tetap menyetujuinya?" Tantang Agnes mulai tertarik dengan obrolan mereka.
"Tentu saja, aku sangat yakin seiring berjalannya waktu kamulah yang akan memohon agar kita tidak berpisah." Jawab David dengan rasa percaya diri yang tidak pernah luntur.
"Jangan Mimpi!" Tukas Agnes mematahkan angan-angan David yang terlalu tinggi itu.
"Aku tidak main-main tentang Derry, Agnes! Aku tidak akan membiarkan siapapun menemuimu tanpa sepengetahuanku." Tegas David tidak main-main dengan ucapannya.
"Terserahmu, cepatlah pulang aku benar-benar capek." Usir Agnes mulai kewalahan dengan sikap David yang menurutnya suka memaksa dan seenaknya.
"Apa? Jangan pulang? Kamu tidak sabar rupanya untuk tidur di pelukanku." Goda David sembari mencuri kecupan manis di pipi Agnes, gadis yang membeku ditempatnya baru tersadar dan rasanya ingin melemparkan pisau pada lelaki yang kini mengambil jasnya, bergegas menghilang dibalik pintu sebelum Agnes benar-benar akan membunuhnya.
"Dasar Sinting!"
Secangkir kopi panas dan sepotong sandwich menemani gadis yang sejak tadi hanya duduk di balkon apartemennya, beberapa hari dia sudah tidak bekerja lagi. Setiap hari dia menerima pesan dari rekan kerjanya, menanyakan kemana dia pergi! Mengapa lagi-lagi absen ke kantor, belum lagi pertanyaan dari para sahabatnya yang terus mendesaknya soal pernikahannya yang mendadak itu.Eric : Kau kemana Agnes! Sudah beberapa hari kamu tidak berangkat kerja! Sebuah pesan kembali membuat ponselnya bergetar, Agnes hanya meliriknya sekilas tidak ada niatan untuk membalas apalagi sekadar membuka. Dia berharap dia bisa tenang setelah melewati berbagai persoalan rumit yang sebenarnya bukan dia yang mencarinya.Ddrttt.. drrrtt..Laura is calling… Ponsel Agnes kembali menyala, menampilkan sebuah nama. Gadis itu meraih ponselnya dengan malas, ia tahu apa yang akan dibicarakan oleh sahabatnya itu tanpa perlu bertemu. Mereka bukan dua orang yang saling mengenal satu atau dua bulan, mereka sudah lama bersahaba
Momen bahagia yang harusnya diiringi tangis haru untuk setiap orang, namun tidak dengan Agnes. Gaun yang tampak serasi dengan tuxedo milik David membuat pikirannya keruh, dia tidak bisa menampilkan wajah yang datar atau bahkan bahagia. Air matanya tertahan di pelupuk mata, entah mengapa hatinya merasa miris karena momen suci di kehidupannya harus terjadi dengan lelaki yang tak ia cintai dan hanya sebuah sandiwara belaka.Selain itu, ketidakhadiran kedua orang tuanya di momentum ini semakin menyayat hati. Betapa memprihatinkan keadaannya, seorang wanita yang hidup sebatang kara di usia muda. Hanya sanak sodara, keluarag Bibi Hilda yang sebagai formalitas keluarga besar, hanya sebatas silsilah keluarga tanpa keharmonisan keluarga.Sejak tadi David diam-diam mengamati perubahan raut wajah Agnes, gadis itu tampak pendiam dan hanya memandang kosong tamu undangan yang tampak lebih bahagia darinya. Beberapa kali pula, Agnes menghela napas seperti menahan air matanya agar tidak luruh."Kamu b
Wanita itu menenteng tas kerjanya, langkahnya terlihat hati-hati seperti menghindari sesuatu. Wajahnya tampak celingak-celinguk melihat situasi agar tak ada seorang pun yang mengetahuinya.Diam-diam Agnes mengendap masuk ke sebuah mobil sport, napasnya lega begitu ia berhasil masuk ke sebuah mobil yang tentu saja bukan miliknya. Seseorang di kursi pengemudi yang duduk di sampingnya terkekeh geli melihat tingkah Agnes sejak keluar kantor."Udah cosplay jadi malingnya?" Tanya David dengan nada meledek, tidak ada jawaban hanya lirikan tajam dari wanita itu."Ngapain sih harus sekarang, Pak David bilang kan kita gak perlu fitting baju segala." Gerutu Agnes meledak, dia kesal karena harus mencari alasan kepada Eric agar diijinkan untuk masuk setengah hari.Walaupun David adalah presdir di perusahaannya, tidak mungkin dia akan mengatakan jika ia akan izin karena ada urusan dengan David, apa kabar gosip hangat terkini nantinya. Meski sekarang kabar David akan menikah dengan salah satu karyaw
Seminggu berlalu setelah pertemuan keluarga Agnes dengan David, laki-laki itu tampaknya sedang mempertimbangkan tawaran Agnes perihal rumah yang dijadikan syarat untuk menerima lamarannya.Agnes beberapa kali berpapasan dengan David, beberapa kali pula mereka berada satu ruangan namun David tampak mengabaikannya. berlagak seolah mereka tidak saling kenal."Sepertinya syarat yang kuminta tidak mampu dia penuhi." batin Agnes begitu David tak sengaja menatapnya dan mengalihkan pandangannya dengan cepat.apakah Agnes sedih? tentu saja tidak. gadis itu tampak tertawa lepas, beban di pundaknya serasa lenyap tertiup angin dengan mudahnya. Wajahnya tidak bisa berhenti untuk mengulas senyum tipis."Apa hari-harimu akhir ini begitu tenang?" tanya Eric, rekan kerjanya yang sejak tadi mengamati mimik wajah temannya tampak berseri-seri seperti mendapatkan keberuntungan tak terduga."Tidak, aku baik- baik saja." elak Agnes dengan menundukkan wajahnya, menyembunyikan rasa malunya tiba-tiba."Nes dip
David tidak memungkiri rumah itu benar-benar megah, tidak kalah dengan rumah milik orang tuanya, Hendric. Bangunannya tampak di design khusus, sepertinya memang permintaan dari sang pemilik. Pantas saja jika Agnes akan naik pitam jika David membelinya dengan harga asal.“Nyonya sedang sarapan Nona! Silahkan masuk!” Ucap Hana mempersilahkan sepasang manusia yang sejak tadi hanya diam, sibuk dengan fikiran masing-masing.David memang kagum dengan design interior yang disajikan rumah itu, benar-benar memanjakan setiap mata yang memandang. Namun lelaki itu menutupinya dengan sikap angkuh dan dingin, matanya terhenti pada satu keluarga yang kini berkumpul di ruang makan. Aktivitas mereka terhenti begitu Agnes datang.Suasana mendadak tidak dingin, David bisa merasakan setiap pasang mata yang kini menatapnya dengan sinis. Terlebih, gadis disampingnya kini berubah tidak seperti Agnes yang ia kenal, gadis itu tak kalah angkuh darinya.“Ternyata rumor yang tersebar diluar sana benar, Nes! Kamu
Sebuah mobil sport berhenti tepat di depan sebuah bangunan mewah, rumah itu tampak megah dibalik pagar yang menjulang tinggi terdapat sebuah taman yang terawat. Meski pagar itu nyaris mengelilingi rumah itu, namun sela-sela pagar masih memperlihatkan betapa megahnya bangunan bak istana negeri dongeng.“Sekarang saya tahu, mengapa kamu sama sekali tidak tergiur dengan uang yang saya tawarkan!” celetuk David setelah lama tertegun, terlena dengan kemegahan rumah dihadapannya, meski ia dari keluarga bangsawan dia tidak menampik.“Anda bisa membatalkan niat anda untuk menikah dengan saya! Ini masih belum terlambat.” Ucap Agnes Santai, gadis itu seperti menemukan sebuah keraguan dari dalam David, kepercayaan lelaki itu mendadak pudar.“Tidak bisa! Saya tidak akan membatalkan pernikahan kita! Bukankah kamu juga mendengar tekad bulat saya beberapa hari yang lalu saat kamu datang ke rumah orang tua saya!” Tolak David mentah-mentah, raut wajahnya terlihat jengkel mendengar ucapan Agnes yang tam