Seminggu berlalu setelah pertemuan keluarga Agnes dengan David, laki-laki itu tampaknya sedang mempertimbangkan tawaran Agnes perihal rumah yang dijadikan syarat untuk menerima lamarannya.
Agnes beberapa kali berpapasan dengan David, beberapa kali pula mereka berada satu ruangan namun David tampak mengabaikannya. berlagak seolah mereka tidak saling kenal.
"Sepertinya syarat yang kuminta tidak mampu dia penuhi." batin Agnes begitu David tak sengaja menatapnya dan mengalihkan pandangannya dengan cepat.
apakah Agnes sedih? tentu saja tidak. gadis itu tampak tertawa lepas, beban di pundaknya serasa lenyap tertiup angin dengan mudahnya. Wajahnya tidak bisa berhenti untuk mengulas senyum tipis.
"Apa hari-harimu akhir ini begitu tenang?" tanya Eric, rekan kerjanya yang sejak tadi mengamati mimik wajah temannya tampak berseri-seri seperti mendapatkan keberuntungan tak terduga.
"Tidak, aku baik- baik saja." elak Agnes dengan menundukkan wajahnya, menyembunyikan rasa malunya tiba-tiba.
"Nes dipanggil Pak David." ucap Eric yang teringat ucapan Sahila, sekretaris sang presdir yang menitipkan pesan kepadanya.
"Aku? ngapain? perasaan aku lagi gak pegang proyek apa-apa." Ucap Agnes heran, mencoba mengingat apakah ada pekerjaan yang belum ia selesaikan sampai presdir memanggilnya.
"Ya gak tau, mending kamu kesana dan tanya Pak David langsung." jawab Eric santai sembari mengangkat kedua bahunya, dia tidka ingin mencampuri urusan 'pekerjaan' temannya.
Agnes menghela napas panjang melihat Sahila yang menyambutnya dengan senyuman hangat, formalitasnya untuk pekerjaan sebagai sekretaris. gadis itu hanya tersenyum masam, memasuki ruangan yang benar-benar ia hindari untuk beberapa waktu.
Terlebih melihat sosok yang duduk di meja presdir, papannya terpapang nyata tertulis namanya. lelaki itu membelakanginya dan sibuk dengan berkas-berkas di tangannnya.
Baru saja Agnes akan membuka mulut, dia menyadari jika bukan hanya dia dan Pak David yang berada di dalam ruangan itu. seorang lelaki tampak menatapnya, sorot matanya tampak tertegun sejenak tak lama dia mengubah raut wajahnya.
"Vid!" Panggil lelaki itu pada David yang langsung meletakkan map di tangannya, lelaki itu sebenarnta menyadari keberadaan Agnes namun sengaja menunggu apakah Agnes akan menegurnya lebih dulu.
"Udah datang aja, duduk! " ucap David dengan senyumannya menggoda sedangkan Agnes hanya menatapnya dengan kesal seraya memutar bola matanya malas.
"Pak David manggil saya? Ada apa?" tanya Agnes ketus.
"Kamu ikut proyek yang diluar kota itu?" Tanya David sedikit merenggangkan ikatan dasinya yang tiba-tiba teras mencekik lehernya membuat pasokan oksigen menipis di paru-parunya.
"Enggak Pak, saya bukan bagian kerja di lapangan kan. kalau Bapak lupa." jawab Agnes diakhir kalimat berusaha tersenyum, meski terlihat dipaksakab dan menyeramkan.
"Kalau begitu kamu bisa ikut nanti, karena Sahila kana menemani Gio mengurus perusahaan selama saya dinas luar kota." terang David secara tidak langsung mengenalkan lelaki yang tengah menikmati secangkir kopi itu. Gio tersenyum tipis kala Agnes memandangnya begitu David menyebut namanya.
"Sebentar? Bapak mau dinas diluar kota?" tanya Agnes dengan wajah yang tampak sumringah, dia tidak bisa menyembunyikan kegirangannya mengetahui beberapa hari ke depan dia tidak perlu melihat wajah David di kantor.
"Kenapa? kamu terlihat senang sekali kalau saya tidak berada di kantor." tanya David memicingkan matanya, dia tidak suka dengan pertanyaan Agnes yang tampak jelas tidak menginginkan keberadaannya.
"Tidak apa-apa, kalau begitu lebih baik teman devisi lain saja pak yang ikut ke luar kota, saya disini saja." tawar Agnes membuat David menghela napas, jujur saja sikap Agnes yang terbuka terkadang benar-benar membuatnya tidak ada muka. Terlebih di depan Gio, sahabatnya sendiri.
"Ya terserah, kalau kamu maunya begitu. perihal rumah, akan saya tawarkan pada teman-teman saya agar mereka segera membeli dengan harga lelang yang lebih murah itu." Ucap David dengan percaya diri, menyinggung perihal rumah yang mereka bicarakan terakhir kali.
"Oh tidak masalah, saya masih bisa tinggal di apartemen itu Pak." jawab Agnes enteng, dia sama sekali tidak terpengaruh dengan ancaman David, David tampak membelalakkan matanya.
"Saya bercanda! akan saya pastikan sayalah yang membeli rumah itu." ucap David dengan wajahnya yang tampak tertawa melihat wajah Agnes yang kesal, David benar-benar gigih demi tujuan agar Agnes bersedia menikah dengannya.
"Ya terserah Pak David, ini sudah beberapa hari berlalu sejak pertemuan kita. jadi harga kemarin tidak berlaku untuk sekarang." ucap Agnes yang tidak kehabisan akal, masih berusaha membuat David mengurungkan niatnya.
"Berapa?" Tanya David mengangkat sebelah alisnya.
"20 Milliar. " Jawab Agnes enteng dengan harga tinggi tanpa pikir panjang, Gio yang mendengar ucapan Agnes tersedak.
"Jangan gila kamu!"
***
Agnes menatap Eric yang baru saja keluar dari ruangan David membawa sebuah map, wajahnya menyiratkan kecemasan yang jelas tergambar tak bisa dia sembunyikan. Gadis itu benar-benar enggan pergi dinas ke luar kota.
"Ini daftar siapa aja karyawan yang bakal ikut ke Batam besok! silahkan cek nama kalian sendiri. " ucap Eric sambil mengangkat map kemudian meletakkannya dj atas meja, dia pergi ke toilet sebentar.
Semua karyawan segera mengelilingi meja Eric, jari jemari mereka bersatu melihat sebuah dokumen mengukur deretan nama karyawan yang akan ikut dinas. Agnes hanya menatap dari kejauhan, memilih menunggu semuanya pergi terlebih dahulu.
"Namamu tidak ada disana, Nes!" ucap seseorang yang tiba-tiba muncul dari belakang. Agnes ternyenyak dan menghela napaa lega, apa yang sedang si pikirkan gadis itu sebenarnya.
"Iya aku cuma ingin tahu siapa yang akan pergi ke Batam." bohong Agnes padahal dia mencemaskan namanya tercantum disana segelah David mengutarakan bahwa ia ingin Agnes pergi bersamanya.
Agnes tersenyum senang, meski dalam hatinya bertanya-tanya mengapa David menuruti permintaannya untuk tidak ikut pergi ke Batam.
"Nes, Pak David memanggilmu!" Seru Sahila yang tiba-tiba muncul di belakangnya, senyum sumringah yang terpancar di wajah Agnes musnah sudah dengan raut wajah cemberut.
"Ada apa lagi?" Tanya Agnes sedikit meninggikan nada bicaranya di benar-benar kesal karena David memanggilnya hanya untuk membahas hal yang sebenarnya tidak penting sama sekali. Bukan pekerjaan melainkan masalah yang Agnes sendiri tidak ingin terlibat.
"Wow, ada apa? Apakah kamu kesal karena kamu tidak akan bertemu denganku untuk seminggu kedepan?" Tanya David dengan wajah menggoda pada Agnes yang langsung terdiam.
"Omong kosong darimana itu." Jawab Agnes memutar bola matanya malas, dia muak. Entah kenapa hatinya selalu penuh kebencian setiap berhadapan dengan David.
"Kemarilah!" Seru David, meski dengan setengah hati Agnes tetap menuruti mendekat pada David yang sejak tadi berdiri memandang gedung-gedung kota dari ruangannya.
Agnes terkesiap kala tangan David meraih tanganya tiba-tiba menyelipkan sebuah cincin berlian di jari manisnya. Gadis itu membeku tidak dapat menunjukkan reaksi apapun, otaknya mendadak tidak berjalan untuk berfikir jernih.
"Pak!" Seru Agnes pelan nyaris takterdengar, matanya belum beralih dari perhiasan mahal yang kini melingkar di jarinya.
"Anggap saja, saya mengikatmu. Kamu tidak boleh macam-macam selama saya di Batam." Ucap David semakin membuat Agnes tercengang, gadis itu menyadari satu hal, David terlalu terang-terangan.
"Saya tidak mau menerimanya." Tolak Agnes berusaha melepaskan cincin itu dengan hati-hati, bagaimana pun itu perhiasan mahal dari tampilannya saja Agnes tahu itu barang mewah yang harganya tidak masuk akal.
"Terserah kamu, kalau kamu berani melepaskan saya akan melakukan sesuatu pada rumah itu yang saya yakin kamu akan menyesal." Ancam David dengan seringaian iblis, selain gila David juga lelaki yang kejam akan melakukan segala cara demi tujuannya terpenuhi.
"Kenapa Pak David selalu menggunakan rumah itu untuk mengancam saya?" Tanya Agnes tidak habis fikir.
"Karena saya tahu, rumah itu begitu berharga untukmu." Jawab David dengan percaya diri, Agnes tertegun sejenak. Dia kalah telak, ucapan David benar-benar tepat sasaran. Rumah itu memang segalanya untuk Agnes.
"Kalau tidak ada yang dibicarakan lagi, saya permisi." Ucap Agnes melenggang pergi, entah mengapa suasana di antara mereka menjadi canggung secara tiba-tiba.
David tersenyum, memandang gadis itu yang menghilang dibalik pintu ruangannya. Senyumannya tidak bisa pergi dari wajahnya, entah apa yang sedang difikirkan lelaki bertubuh tinggi itu.
Ponsel dalam sakunya bergetar, David menatap layar ponselnya sejenak, membaca dengan seksama. Sebuah pesan singkat dari Gio membuatnya semakin senang, dia merasa menang.
Gio: Vid, masalah rumah itu sudah beres dan kita tinggal nunggu sertifikat rumah itu jadi.
Agnes yang sejak tadi berusaha menyembunyikan cincin di jari manisnya tidak bisa fokus, matanya memang tertuju pada layar monitor di hadapannya tapi tidak dengan hati dan fikirannya.
Layar ponselnya bergetar menampilkan sebuah pesan singkat dari lelaki yang berhasil mengacak-acak pikirannya sejak tadi.
Presdir: Rumah sudah menjadi milikku sepenuhnya, saya tidak perlu menjelaskan apapun padamu. Kamu paham maksud saya Nes!
Mata gadis itu membulat sempurna, membaca deretan kata dari David. Agnes tanpa sadar berdiri dan melemparkan ponselnya pelan, dia tidak sanggup membaca kalimat selanjutnya.
Baru saja mulutnya terbuka dan berteriak, namun semuanya berhenti begitu saja kala semua perhatian rekan kerjanya tertuju padanya, pandangan mereka sama, memandang Agnes dengan bingung dan terkejut.
"Kamu nggak papa kan Nes?" Tanya Eric pada Agnes, gadis itu langsung mengangguk cepat. Kembali duduk dan meneguk minuman disampingnya, berusaha menenangkan dirinya sendiri.
***
Secangkir kopi panas dan sepotong sandwich menemani gadis yang sejak tadi hanya duduk di balkon apartemennya, beberapa hari dia sudah tidak bekerja lagi. Setiap hari dia menerima pesan dari rekan kerjanya, menanyakan kemana dia pergi! Mengapa lagi-lagi absen ke kantor, belum lagi pertanyaan dari para sahabatnya yang terus mendesaknya soal pernikahannya yang mendadak itu.Eric : Kau kemana Agnes! Sudah beberapa hari kamu tidak berangkat kerja! Sebuah pesan kembali membuat ponselnya bergetar, Agnes hanya meliriknya sekilas tidak ada niatan untuk membalas apalagi sekadar membuka. Dia berharap dia bisa tenang setelah melewati berbagai persoalan rumit yang sebenarnya bukan dia yang mencarinya.Ddrttt.. drrrtt..Laura is calling… Ponsel Agnes kembali menyala, menampilkan sebuah nama. Gadis itu meraih ponselnya dengan malas, ia tahu apa yang akan dibicarakan oleh sahabatnya itu tanpa perlu bertemu. Mereka bukan dua orang yang saling mengenal satu atau dua bulan, mereka sudah lama bersahaba
Momen bahagia yang harusnya diiringi tangis haru untuk setiap orang, namun tidak dengan Agnes. Gaun yang tampak serasi dengan tuxedo milik David membuat pikirannya keruh, dia tidak bisa menampilkan wajah yang datar atau bahkan bahagia. Air matanya tertahan di pelupuk mata, entah mengapa hatinya merasa miris karena momen suci di kehidupannya harus terjadi dengan lelaki yang tak ia cintai dan hanya sebuah sandiwara belaka.Selain itu, ketidakhadiran kedua orang tuanya di momentum ini semakin menyayat hati. Betapa memprihatinkan keadaannya, seorang wanita yang hidup sebatang kara di usia muda. Hanya sanak sodara, keluarag Bibi Hilda yang sebagai formalitas keluarga besar, hanya sebatas silsilah keluarga tanpa keharmonisan keluarga.Sejak tadi David diam-diam mengamati perubahan raut wajah Agnes, gadis itu tampak pendiam dan hanya memandang kosong tamu undangan yang tampak lebih bahagia darinya. Beberapa kali pula, Agnes menghela napas seperti menahan air matanya agar tidak luruh."Kamu b
Wanita itu menenteng tas kerjanya, langkahnya terlihat hati-hati seperti menghindari sesuatu. Wajahnya tampak celingak-celinguk melihat situasi agar tak ada seorang pun yang mengetahuinya.Diam-diam Agnes mengendap masuk ke sebuah mobil sport, napasnya lega begitu ia berhasil masuk ke sebuah mobil yang tentu saja bukan miliknya. Seseorang di kursi pengemudi yang duduk di sampingnya terkekeh geli melihat tingkah Agnes sejak keluar kantor."Udah cosplay jadi malingnya?" Tanya David dengan nada meledek, tidak ada jawaban hanya lirikan tajam dari wanita itu."Ngapain sih harus sekarang, Pak David bilang kan kita gak perlu fitting baju segala." Gerutu Agnes meledak, dia kesal karena harus mencari alasan kepada Eric agar diijinkan untuk masuk setengah hari.Walaupun David adalah presdir di perusahaannya, tidak mungkin dia akan mengatakan jika ia akan izin karena ada urusan dengan David, apa kabar gosip hangat terkini nantinya. Meski sekarang kabar David akan menikah dengan salah satu karyaw
Seminggu berlalu setelah pertemuan keluarga Agnes dengan David, laki-laki itu tampaknya sedang mempertimbangkan tawaran Agnes perihal rumah yang dijadikan syarat untuk menerima lamarannya.Agnes beberapa kali berpapasan dengan David, beberapa kali pula mereka berada satu ruangan namun David tampak mengabaikannya. berlagak seolah mereka tidak saling kenal."Sepertinya syarat yang kuminta tidak mampu dia penuhi." batin Agnes begitu David tak sengaja menatapnya dan mengalihkan pandangannya dengan cepat.apakah Agnes sedih? tentu saja tidak. gadis itu tampak tertawa lepas, beban di pundaknya serasa lenyap tertiup angin dengan mudahnya. Wajahnya tidak bisa berhenti untuk mengulas senyum tipis."Apa hari-harimu akhir ini begitu tenang?" tanya Eric, rekan kerjanya yang sejak tadi mengamati mimik wajah temannya tampak berseri-seri seperti mendapatkan keberuntungan tak terduga."Tidak, aku baik- baik saja." elak Agnes dengan menundukkan wajahnya, menyembunyikan rasa malunya tiba-tiba."Nes dip
David tidak memungkiri rumah itu benar-benar megah, tidak kalah dengan rumah milik orang tuanya, Hendric. Bangunannya tampak di design khusus, sepertinya memang permintaan dari sang pemilik. Pantas saja jika Agnes akan naik pitam jika David membelinya dengan harga asal.“Nyonya sedang sarapan Nona! Silahkan masuk!” Ucap Hana mempersilahkan sepasang manusia yang sejak tadi hanya diam, sibuk dengan fikiran masing-masing.David memang kagum dengan design interior yang disajikan rumah itu, benar-benar memanjakan setiap mata yang memandang. Namun lelaki itu menutupinya dengan sikap angkuh dan dingin, matanya terhenti pada satu keluarga yang kini berkumpul di ruang makan. Aktivitas mereka terhenti begitu Agnes datang.Suasana mendadak tidak dingin, David bisa merasakan setiap pasang mata yang kini menatapnya dengan sinis. Terlebih, gadis disampingnya kini berubah tidak seperti Agnes yang ia kenal, gadis itu tak kalah angkuh darinya.“Ternyata rumor yang tersebar diluar sana benar, Nes! Kamu
Sebuah mobil sport berhenti tepat di depan sebuah bangunan mewah, rumah itu tampak megah dibalik pagar yang menjulang tinggi terdapat sebuah taman yang terawat. Meski pagar itu nyaris mengelilingi rumah itu, namun sela-sela pagar masih memperlihatkan betapa megahnya bangunan bak istana negeri dongeng.“Sekarang saya tahu, mengapa kamu sama sekali tidak tergiur dengan uang yang saya tawarkan!” celetuk David setelah lama tertegun, terlena dengan kemegahan rumah dihadapannya, meski ia dari keluarga bangsawan dia tidak menampik.“Anda bisa membatalkan niat anda untuk menikah dengan saya! Ini masih belum terlambat.” Ucap Agnes Santai, gadis itu seperti menemukan sebuah keraguan dari dalam David, kepercayaan lelaki itu mendadak pudar.“Tidak bisa! Saya tidak akan membatalkan pernikahan kita! Bukankah kamu juga mendengar tekad bulat saya beberapa hari yang lalu saat kamu datang ke rumah orang tua saya!” Tolak David mentah-mentah, raut wajahnya terlihat jengkel mendengar ucapan Agnes yang tam