Share

Ke Rumah Sakit

Masayu kembali ke ruang makan dengan penampilan yang membuat mertuanya semringah.

Baju atasan cukup ketat berwarna krem dengan belahan dada yang cukup rendah, dipadu rok plisket pendek berwarna hitam membuatnya tampak elegan dan seksi.

"Sudah sakit masih sempat-sempatnya berdandan."

Sayang, gumaman Bian itu tidak terdengar oleh Masayu karena pria itu buru-buru melangkah ketika melihat ia menghampiri sang mertua.

"Bang, sebentar." Tiba-tiba, Masayu menahan langkah pria itu.

"Apalagi?" tanya Bian dingin.

Masayu bergegas menghampirinya. Kemudian mengeluarkan sebuah sisir dari dalam tasnya.

"Rambut Abang berantakan. Ayu ijin nyisirin, ya?" Ayu memberanikan diri menawarkan, meski rasanya segan.

"Hmm ... boleh!" jawab Bian datar, terkesan kaku, persis seperti badannya yang serta merta kaku layaknya robot.

Hal itu menjadi teramat lucu di mata Herlina. Menyebabkan wanita paruh baya itu tersenyum geli karenanya.

Masayu lantas berjinjit dan mulai menyisiri rambut hitam legam milik suaminya. Seumur-umur, baru kali ini dia berani menyentuh salah satu bagian dari tubuh suaminya yang diam-diam menjadi favoritnya itu. Selain ... bibir tentunya.

Ah, sial ... berdekatan dengan Bian seperti ini ... membuat ingatan malam tadi kembali terngiang di benak Masayu.

Belum lagi, pandangannya yang fokus menatap bibir sang suami alih-alih menatap pergerakan tangannya yang sedang menyisir rambut Bian.

"Sudah nyisirnya? Dokternya keburu pulang karena kelamaan nyisir!"

Masayu sontak tergeragap. Ia lantas menyudahi acara sisir-menyisirnya.

"S-sudah, Bang," sahutnya menunduk sambil menggigit bibirnya karena malu.

"Ya sudah, ayo berangkat!" Bian berjalan lebih dulu.

"Ma, Ayu berangkat dulu. Titip anak-anak ya, Mah."

"Ya. Hati-hati ya, Yu," sahut Herlina merasa kegirangan. Sembari tangannya memberi gerakan seperti mengusir ayam. Terpancar kebahagiaan dari raut wajahnya melihat anak dan menantunya bisa akur. Masayu yang melihatnya pun tersenyum.

Di mobil, Masayu merasa sangat kikuk. Duduk berdampingan dengan suami sendiri serasa duduk dengan monster yang sewaktu-waktu siap untuk menelannya.

Ini kali kedua bagi Masayu berada semobil dengan Bian. Pertama, kala pria itu berniat menjemput ibunya yang dulu bekerja di rumah Herlina, berakhir dengan mengantarnya ke sekolah karena hujan lebat.

Dan kedua ... ini, kala status mereka yang sebelumnya anak majikan dan anak pembantu terikat dalam hubungan bernama pernikahan.

"Masih sakit?"

Suara Bian memecah lamunan. Masayu spontan menggeleng.

"Pantas, sudah bisa senyum-senyum."

Masayu tersipu, baru sadar jika pria yang tampak serius mengemudi ini, rupanya diam-diam memerhatikannya sejak tadi.

"Ng ... Ayu cuman heran aja, kok tumben abang nggak disupirin sama ajudan? Biasanya kan ke mana-mana dia selalu ikut," ceplos Masayu beralasan.

"Memangnya kenapa kalau dia nggak ikut? Suka-suka saya, dong, mau ajak dia atau nggak. Kok kamu yang ngatur."

"Ohh, gitu. Y-yya nggak, Ayu cuman nanya aja."

"Trus, kamu tadi senyum-senyum karena kege-eran saya supirin, gitu?"

"Ah, nggak, Bang. Maksud Ayu nggak gitu, kok. Beneran," kilah Masayu cepat sembari menggeleng berkali-kali.

Bian lantas menarik samar sudut bibirnya, sembari tatapannya tetap fokus menatap marka jalan.

Ketenangannya mengemudi seketika dirusak oleh kemunculan sebuah mobil ugal-ugalan yang datangnya dari arah belakang. Sontak saja Bian langsung membanting stirnya ke kiri ketika mobil mereka nyaris bersenggolan.

Di samping Bian, Masayu terduduk dengan amat tegang di kursinya. Matanya melebar ketika melihat pengendara ugal-ugalan itu melongokkan kepala keluar dari jendela mobil dan memaki suaminya.

"Oi! Nyetir pake mata!" umpat lelaki itu geram sambil mengarahkan telunjuk ke matanya.

'D-dia-'

Masayu menelan ludah kepayahan. Meski berjarak sekian meter, ia yakin bahwa matanya tidak mungkin salah lihat.

Berkali-kali Masayu melempar pandangannya ke arah Bian, lalu pria itu.

Bian nyaris tersulut emosi. Sepasang matanya tampak memicing, disusul rahangnya yang seketika mengetat menahan geram. Lebih-lebih ketika pengendara ugal-ugalan itu mengacungkan jari tengahnya ke arah mereka.

Perasaan kalut serta gelisah yang luar biasa serta-merta memenuhi hatinya.

Beruntung, Bian tidak meladeni pengendara itu, hingga mobil tersebut lebih dulu meninggalkan mereka.

Masayu menarik napas lega. Mobil pun kembali menyusuri jalan. Keduanya saling diam hanyut dengan pikiran masing-masing. Sampai kemudian, mereka tiba di tempat tujuan.

Akan tetapi, Masayu masih terheran-heran. Ia pun menatap Bian dengan alis mengerut.

'Bang Bian beneran nggak mengenali pengendara tadi?'

Sambil melepas sabuk pengaman, Masayu memandangi Bian cukup lama, mengamati ekspresi wajahnya, juga gerak-geriknya.

Namun, pria yang juga sedang melepas sabuk pengamannya itu tampak datar-datar saja seperti biasanya.

Tak ada yang aneh. Atau memang Masayu yang tak pandai memahami.

Keduanya lantas keluar dari mobil. Namun, langkah pria itu terlalu cepat baginya. Masayu hampir berlari demi mensejajari langkah mereka.

"Bang, pelan-pelan jalannya," ujar Masayu setengah berlari.

Namun, Bian tampak tak peduli. Langkahnya yang lebar menyusuri koridor rumah sakit dengan gagahnya.

Tatapan beberapa orang yang sedang berlalu lalang mau tak mau teralih kepada mereka.

Masayu tahu, tatapan memuja itu ditujukan untuk Bian, sang suami.

Hal itulah yang sejak tadi menjadi sebab Masayu terus menolak diantar ke dokter oleh suaminya.

Bian merupakan pria tampan dan cukup berkharisma, berasal dari keluarga konglomerat yang amat terkenal. Meski duda, dirinya selalu menjadi idola para wanita.

Akan menjadi trending topik bila keduanya tertangkap di mata umum sedang berjalan bersama-sama.

Menyadari hal itu, Masayu menjadi rendah diri. Ia menunduk sembari menggigit bibirnya. Langkahnya diperlambat, sengaja membiarkan pria itu berjalan lebih dulu di depannya.

Hingga sebuah tangan menariknya.

"Ahh-"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status