Share

Tragedi di Toilet

"Lambat sekali jalanmu!" Bian melotot.

Masayu lantas menggigit bibir. "Abang yang terlalu cepat. Perut Ayu sakit," ujarnya sambil memegangi perutnya.

Bian bahkan lupa kalau dia membawa gadis itu kemari lantaran sakitnya. Ia yang semula ingin marah mendadak mengurungkan niatnya. 

"Ya, Aku lupa, Maaf," ucapnya datar. "Ayo!" Ia lantas menggenggam jemari Masayu, kemudian menariknya agar jalannya beriringan.

Bukannya melangkah, Masayu malah terpaku di tempatnya. Ia tertegun menatap jemarinya yang tengah digenggam pria itu.

"Ayo! Tunggu apa lagi!" Bian kembali menarik tangan gadis itu. Sorot matanya menatap Masayu serius.

"Ayu ... jalan sendiri aja, Bang." Masayu berencana menarik tangannya, tapi Bian malah makin mempererat genggamannya. Hingga kemudian Masayu mengalah setelah mendapat tatapan tajam dari pria itu.

Dan akhirnya, sepanjang jalan menyusuri koridor panjang, Masayu tidak berani mengangkat wajahnya.

Masayu lagi-lagi melongo ketika pria itu membawanya masuk begitu saja ke ruangan dokter. Berbeda dengan dirinya yang biasanya harus mengurus segala tetek-bengek terlebih dahulu. Belum lagi mengantri lama menunggu namanya dipanggil, barulah setelah itu ia dapat bertemu dengan dokter.

Gadis itu makin dibuat takjub ketika melihat Bian berpelukan akrab dengan dokter pria itu.

"Bian, apa kabar?"

"Baik. Kamu sendiri bagaimana?" Bian balik bertanya pada dokter yang merupakan teman sekelasnya saat sekolah dulu. Namanya Edo.

"Yah, seperti yang kamu lihat sekarang. Aku baik-baik saja," ujar Edo sembari menepuk bahu Bian. Seketika pandangan matanya pun beralih kepada Masayu, "Ini ... pacar barumu?" tanyanya menerka.

Bian tertawa. Masayu masih terdiam mengamati mereka berdua.

Lagi-lagi Edo menepuk bahunya sambil balas tertawa. "Dasar! Playboymu dari dulu tidak berubah, ya!"

Lalu, sambil bergurau dia berpesan pada Masayu, "Hati-hati, ya, Mbak. Bian pacarnya banyak. Kamu jangan kaget kalau sewaktu-waktu didatangi wanita cantik. Kalau bukan sales, ya berarti kekasihnya Bian."

"Eh ...." Masayu bergumam, bingung mau menjawab apa.

Sekilas ia melirik Bian yang hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan Edo. Ekspresi Masayu itu malah membuat tawa Edo jadi pecah seketika.

"Ya, sudah. Kamu ada perlu apa ke sini?" tanya Edo pada Bian setelah tawanya reda.

"Eng ... begini ....." Bukannya melanjutkan, Bian malah menarik Edo sedikit menjauh. Hal itu sontak membuat Masayu mengernyitkan alisnya.

Tak lama kemudian, kedua pria itu kembali ke tempatnya semula. Edo bergegas menyuruh Masayu berbaring di ranjang pasien.

"Kita periksa dulu, ya." Dokter Edo mulai memeriksa dari kedua mata Masayu, kemudian mulut, urat nadi, lalu sedikit menekan perutnya.

"Perutnya masih sakit?"

"Masih, Dok. Dada saya juga rasanya berdebar-debar terus sejak tadi," jawab Masayu.

"Oh, kalau itu mungkin karena ada saya, haha!" gurau Edo seraya tertawa sambil melirik pria yang sedang berdiri membelakangi mereka.

"Tapi, Dok. Saya berdebar-debarnya dari sebelum datang ke mari, kok," jawab Masayu polos.

"Ehm! Maaf. Saya cuma becanda tadi. Jangan diambil hati. Kita periksa lagi ya kalau begitu." Edo berdehem, lalu kembali lanjut memeriksa.

Bian yang sejak tadi membelakangi lantaran merasa cemas, kini menoleh, dan makin cemas ketika melihat Edo mulai memeriksa bagian dada Masayu yang sedikit terbuka menggunakan stetoskop.

Napasnya sempat tertahan selama beberapa detik, lalu tanpa sadar ia mengembuskannya secara kasar sampai bisa didengar oleh Edo dan Masayu.

"Udah, nggak usah pakai hela-hela napas segala. Udah selesai ini," sindir Edo.

Masayu tersenyum geli.

Sementara Bian tergeragap. Ia langsung menyelanya dengan berbagai alasan, "Eng ... bukan begitu ... akh ... maksud kamu apa, sih?! Udah apa belum? Saya banyak urusan, nih!"  Bian pura-pura memeriksa arloji di tangannya.

Edo mencibir. "Iya, udah. Sebentar, saya resepkan obatnya dulu."

Edo berjalan menuju ke mejanya, diikuti Bian dari belakang.

"Gimana, Do. Kira-kira bahaya, tidak?"

"Apanya?"

"Efeknya. Dia seperti itu karena efek dari obat tidur, kan?"

"Kalau diliat dari gejalanya sepertinya iya. Untuk hasil yang lebih akurat sebaiknya kamu segera cek urinnya ke lab. Tapi ini nggak apa-apa, kok. Nggak bahaya. Paling beberapa jam gejalanya udah hilang. Rutinin aja minum obatnya." Edo menjelaskan sembari memberikan secarik kertas pada Bian.

"Satu lagi. Bilang sama ibumu jangan sembarangan ngasih obat ke mantunya. Ini baru obat tidur. Siapa tahu lain waktu ibumu malah ngasih inex," canda Edo.

Bian hanya menyunggingkan senyum samar.

"Eee ... tunggu." Lagi-lagi Edo menahan langkah Bian saat pria itu akan pergi.

"Ada apa?"

Edo berbisik. "Lain kali kamu bilang terus terang kalau itu istri kamu. Hampir aja aku naksir tadi."

"Sialan!" sungut Bian sambil menyikut pelan perut Edo.

Ia lalu menghampiri Masayu, keduanya pun bergegas pulang setelah sebelumnya berpamitan pada Dokter Edo.

Di tengah-tengah menyusuri koridor, tiba-tiba ponsel Bian berdering.

Pria itu memberi kode pada Masayu untuk mengangkat telepon, yang kemudian dibalas oleh anggukan istrinya. Bian pun beringsut mencari tempat nyaman untuk mengobrol.

Semenit, dua menit, sampai 10 menit berlalu Bian belum juga kembali. Di samping lelah berdiri, Masayu mendadak ingin buang air kecil. Bergegas ia mencari toilet.

Setelah berhasil ketemu, tak sabar ia pun segera masuk demi menuntaskan hajat yang sempat ditahannya selama beberapa menit.

Baru saja menutup pintu hendak keluar, Masayu dibuat terkejut ketika tiba-tiba saja tubuhnya didesak oleh seseorang hingga mepet ke tembok.

Kepanikan seketika menguasai diri. Lebih-lebih pria itu membekap kencang mulutnya. Namun, matanya sontak membulat  begitu menyadari sosok yang kini berdiri di depannya.

'D-dia?? Mau apa dia di sini?'

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status