"Astaga, astaga, astaga ...! Anak muda jaman sekarang kalau bercinta memang tidak tau tempat, ya!" Keduanya sama-sama terperanjat. Bian buru-buru membetulkan resleting celananya yang terlanjur sesak. Sementara Masayu dengan gugup merapikan blusnya yang acak-acakan lalu segera turun dari meja.Di hadapannya kini berdiri seorang nenek-nenek berwajah bule sambil membawa tongkat, tetapi nampak berwibawa. Nenek tersebut terlihat menggelengkan kepalanya berulang kali. "Nenek ...!" Bian berseru. Kemudian dia berkata kepada Masayu yang masih harus memasangkan beberapa kancing blusnya, "Masayu, dia nenekku. Ayo, kenalan dulu ...!" Masayu tersenyum gugup, lalu berjalan mendekati sang nenek. "Bian ... ini siapa? Perempuan mana lagi yang kamu permainkan? Memanganya kamu belum puas nakalnya? Bian ... itu nggak baik, kamu jangan seperti itu, ya ...?" Nenek sangat ketus berbicara seraya melirik sekilas ke arah dada Masayu yang belum sepenuhnya tertutup. "Nek ... saya Masayu, istrinya Bang Bian
Masayu sedang dalam kondisi banjir peluh ketika mobil yang ditumpangi ibu mertuanya memasuki halaman rumah. Dia bergegas meletakkan gagang pel dan berjalan untuk membukakan pintu. Saat ini, tenaganya bahkan telah terkuras habis untuk membuka pintu yang ukurannya bak raksasa tersebut."Masayu??!" Herlina tampak terkejut saat melihat Masayu yang baru saja melebarkan pintu dengan wajah tampak lemah, letih, dan lesu akibat kelelahan."Kamu mengerjakan ini semua?!" tanya Herlina lagi. Masayu mengangguk tak berdaya. "Di mana Nenek?" Herlina melangkah ke dalam. "Nenek lagi di lantai atas, Ma." "Kenapa nggak telepon jasa cleaning service aja? Bisa bengek kamu bersihin rumah ini sendirian, Masayu," tegur Herlina."Nenek melarang, Ma. Katanya ini memang tugas seorang wanita. Nggak apa-apa, Ma, Masayu masih sanggup, kok."Herlina geleng-geleng kepala dan berjalan menuju ke lantai atas. Masayu melanjutkan pekerjaannya. Tidak berapa lama, dari lantai atas terdengar suara perdebatan. Makin l
Masayu menatap nanar wajah suaminya yang masih terlelap. Wajah tampan itu tidak lagi pucat. Hanya saja perkataan Nenek Rose masih terus terngiang di telinganya. Ia pun menarik napas dan mulai membatin. Sebenarnya peristiwa kelam apa yang pernah dialami pria ini? Saat pikirannya sedang berkecamuk, mendadak ponselnya berbunyi. Dia menatap layar dan melihat deretan nomor baru yang bergerak-gerak. Tanpa merasa ragu, Masayu pun mengangkatnya. "Halo ....""Ayu ... tolong Ayah, Yu. Ayah sekarang ada di sel." Suara sang Ayah terdengar meratap. Masayu tercengang. Namun, itu hanya sesaat. Sebab dia sendiri sudah memperkirakan hal ini bakal terjadi. Cepat atau lambat, polisi pasti akan menemukan Marwan kembali. "Pasti Bian si*lan itu yang udah mengadu ke polisi!" maki ayahnya. Hati Masayu sontak merasa panas. Dia segera menyingkir dari tempat itu dan berdiri di balkon. Kemudian membantah ucapan ayahnya, "Apa maksud Ayah? Jangan sembarangan menuduh. Bang Bian nggak mungkin seperti itu. Dia
“A-abang!”Masayu hampir jatuh kalau saja sepasang tangan kokoh tidak cepat meraih pinggang rampingnya. Hanya perlu beberapa detik bagi mereka saling menatap secara intens dengan posisi yang begitu intim ini. Glek!Terdengar suara saliva yang ditelan berasal dari si pria. Masayu tersadar, pakaian ‘dinas’ yang ia persiapkan untuk menyambut kepulangan sang suami membuat posisi mereka semakin intim. Ia pun buru-buru melepaskan diri dengan sangat gugup.“M-maaf, Bang.”Gadis itu berdiri salah tingkah. Kemudian menunduk. Tangannya yang gemetar lalu mengusap pipinya yang kini bagaikan tomat.Demi kenyamanannya, Masayu berniat meninggalkan tempat itu. Namun, sebuah lengan kokoh yang terjulur di ambang pintu lagi-lagi menghadang langkahnya."Mau ke mana?" Seperti biasa, suaranya terdengar begitu dingin dan datar, meski sebagai istri, Masayu selalu menawarkan kehangatan padanya."Mau ... mau ke kamar Ayu, Bang," sahutnya gagap.Gadis itu berani bersumpah, sejak dulu dirinya selalu takut mena
Saat Bian tengah bolak-balik dengan hanya bokser seksi yang membalutnya, pandangan Masayu yang mengedar seketika membulat."Astaga!" pekiknya seraya melompat dari tempat tidur.Ini bukan kamarnya, melainkan kamar Bian.‘Jangan bilang kalau yang semalam itu bukan mimpi?!’ Dengan panik, Masayu bergegas memeriksa area ranjang yang diselimuti seprai putih di atasnya itu. Pandangannya meneliti mencari-cari sesuatu. Tak ada apa-apa, bersih tanpa noda sedikit pun."Apa perlu kupinjami kaca mataku supaya nampak jelas apa yang sedang kamu cari?"Masayu terperanjat ketika tau-tau Bian sudah berdiri di sebelahnya."Ah, nggak perlu, Bang. Makasih," sahutnya seraya tersenyum singkat. Ia kembali menggigit bibir memikirkan apa yang sebenarnya terjadi tadi malam? Mengapa dirinya bisa sampai tertidur di kamar Bian?"Apa yang kamu cari?" tanya Bian dengan sorot menelisik pada gadis di hadapannya itu. Saat ini pria itu sudah berpakaian lengkap. Terlihat tampan dan berwibawa dengan jas mahal di tubuhn
"Bian, stop! Jangan mengungkit itu lagi. Jangan berdebat di sini, tidak baik kalau dilihat anak-anak!" Lagi-lagi Bian mendengkus, lalu menyeruput kopinya. "Terserah Mama sajalah," jawabnya sedikit jengah.Kini, Herlina yang terdengar menghela napas panjang."Sudah waktunya pernikahan kalian diketahui oleh publik, Bian. Jangan sampai mereka terus menganggapmu duda. Sementara kami di rumah selalu menyaksikan acara gosip di TV mengenai kedekatanmu dengan beberapa gadis.""Itu kan cuma gosip." Bian menanggapi santai pernyataan ibunya."Memang betul itu cuma gosip. Tapi kamu harus tau kalau yang namanya gosip itu makin digosok makin sip. Nantinya akan berdampak pada perusahaan kita, Bian. Pada karir kamu tentunya. Dan terutama istri kamu di rumah. Pikirkan perasaannya!" balas Herlina tegas."Iya, Ma. Iya," jawab Bian tak ingin memperpanjang. Herlina tersenyum mendengar putranya kemudian mengalah. Tak berselang lama, perhatian mereka teralihkan dengan suara langkah kaki yang datangnya da
Masayu kembali ke ruang makan dengan penampilan yang membuat mertuanya semringah.Baju atasan cukup ketat berwarna krem dengan belahan dada yang cukup rendah, dipadu rok plisket pendek berwarna hitam membuatnya tampak elegan dan seksi. "Sudah sakit masih sempat-sempatnya berdandan."Sayang, gumaman Bian itu tidak terdengar oleh Masayu karena pria itu buru-buru melangkah ketika melihat ia menghampiri sang mertua."Bang, sebentar." Tiba-tiba, Masayu menahan langkah pria itu."Apalagi?" tanya Bian dingin.Masayu bergegas menghampirinya. Kemudian mengeluarkan sebuah sisir dari dalam tasnya."Rambut Abang berantakan. Ayu ijin nyisirin, ya?" Ayu memberanikan diri menawarkan, meski rasanya segan."Hmm ... boleh!" jawab Bian datar, terkesan kaku, persis seperti badannya yang serta merta kaku layaknya robot. Hal itu menjadi teramat lucu di mata Herlina. Menyebabkan wanita paruh baya itu tersenyum geli karenanya.Masayu lantas berjinjit dan mulai menyisiri rambut hitam legam milik suaminya. S
"Lambat sekali jalanmu!" Bian melotot.Masayu lantas menggigit bibir. "Abang yang terlalu cepat. Perut Ayu sakit," ujarnya sambil memegangi perutnya.Bian bahkan lupa kalau dia membawa gadis itu kemari lantaran sakitnya. Ia yang semula ingin marah mendadak mengurungkan niatnya. "Ya, Aku lupa, Maaf," ucapnya datar. "Ayo!" Ia lantas menggenggam jemari Masayu, kemudian menariknya agar jalannya beriringan. Bukannya melangkah, Masayu malah terpaku di tempatnya. Ia tertegun menatap jemarinya yang tengah digenggam pria itu."Ayo! Tunggu apa lagi!" Bian kembali menarik tangan gadis itu. Sorot matanya menatap Masayu serius. "Ayu ... jalan sendiri aja, Bang." Masayu berencana menarik tangannya, tapi Bian malah makin mempererat genggamannya. Hingga kemudian Masayu mengalah setelah mendapat tatapan tajam dari pria itu. Dan akhirnya, sepanjang jalan menyusuri koridor panjang, Masayu tidak berani mengangkat wajahnya.Masayu lagi-lagi melongo ketika pria itu membawanya masuk begitu saja ke ruang