"Bian, stop! Jangan mengungkit itu lagi. Jangan berdebat di sini, tidak baik kalau dilihat anak-anak!"
Lagi-lagi Bian mendengkus, lalu menyeruput kopinya. "Terserah Mama sajalah," jawabnya sedikit jengah.Kini, Herlina yang terdengar menghela napas panjang."Sudah waktunya pernikahan kalian diketahui oleh publik, Bian. Jangan sampai mereka terus menganggapmu duda. Sementara kami di rumah selalu menyaksikan acara gosip di TV mengenai kedekatanmu dengan beberapa gadis.""Itu kan cuma gosip." Bian menanggapi santai pernyataan ibunya."Memang betul itu cuma gosip. Tapi kamu harus tau kalau yang namanya gosip itu makin digosok makin sip. Nantinya akan berdampak pada perusahaan kita, Bian. Pada karir kamu tentunya. Dan terutama istri kamu di rumah. Pikirkan perasaannya!" balas Herlina tegas."Iya, Ma. Iya," jawab Bian tak ingin memperpanjang.Herlina tersenyum mendengar putranya kemudian mengalah.Tak berselang lama, perhatian mereka teralihkan dengan suara langkah kaki yang datangnya dari Masayu.Melihat mereka menoleh serempak ke arahnya, seketika membuat gadis itu berjalan dengan sedikit grogi."Pagi, Nyonyah. Bang Bian, Anak-Anak," sapa Masayu dengan senyuman hangat.Terlihat oleh matanya, ibu mertuanya tampak mengernyit melihat penampilan Masayu yang mengenakan celana jeans dan kaos oblong yang sederhana."Pagi, Menantu." Herlina menyapa, lalu menoleh ke putranya. "Lihat istrimu, Bian. Sudah setahun jadi menantu tapi masih juga manggil Mamamu ini Nyonyah. Ini akibat suami yang tak pernah mengajari istri."Yang ditunjuk hanya menanggapi dengan senyum kecut.Masayu seketika tersipu. Kemudian menjawab dengan gagu, "Ma-maaf, Nyah, eh, Mama."Herlina tersenyum sambil geleng-geleng kepala melihat tingkah menantunya. Lalu mempersilakannya duduk, "Duduklah, Masayu. Nikmati sarapanmu."Herlina menunjuk kursi di depannya. Di mana putranya itu tengah sibuk menyantap hidangannya."Eh, baik, Mah!"Masayu beringsut dari tempatnya, kemudian berjalan menuju sang suami, lantas menarik kursi dan duduk di sebelahnya.Sekilas ia melirik pria di sebelahnya, kemudian mengambil sehelai roti, dan mulai mengolesinya dengan selai coklat.Selama menjadi bagian di keluarga konglomerat ini, selama itu pula Masayu tak pernah lagi menyantap bubur ayam atau nasi goreng sebagai menu sarapan seperti biasanya.Awalnya Masayu belum terbiasa. Masih sering merasa lapar padahal beberapa menit lalu baru saja selesai sarapan. Bagaimana tidak? Makan roti selai cuma sehelai. Hanya beberapa detik saja benda itu berhasil mengganjal perutnya.Tetapi sekarang ia sudah mulai terbiasa dengan menu itu.Baru saja menelan, tiba-tiba Masayu meringis sembari memegangi perutnya."Ada apa, Masayu? Kenapa kamu seperti kesakitan?" tanya Herlina khawatir. Rupanya sejak tadi ia asyik memerhatikan gerak-gerik menantu tersayangnya itu."Tidak tau, Mah. Perut Ayu sakit sejak tadi," jawab Masayu sembari menahan sakit dengan menggigit bibirnya."Ha? Sakit gimana? Kenapa bisa sakit? Memangnya kamu makan apa tadi malam?" Herlina memberondongnya dengan banyak pertanyaan. Raut wajahnya makin dilanda kecemasan.Bian lantas meletakkan sendok dan garpu di piringnya. Sepasang alis hitamnya tampak bertaut memerhatikan gadis yang sedang kesakitan di sebelahnya.Belum sempat menjawab, Masayu merasakan sesuatu yang menekan lambungnya, kemudian naik ke kerongkongan. Bergegas ia bangkit dari kursi dan lari ke kamar mandi seraya menutup mulutnya.Makin khawatirlah Herlina. Ia lantas menodong putranya."Bian, kenapa istrimu muntah-muntah? Kamu apakan dia semalam?"Bian yang merasa tak melakukan apa-apa lantas menjawab tak terima, "Maksud Mama apa? Mama nuduh Bian?""Bukannya semalam dia tidur sama kamu?""Ya memangnya kalau tidur bareng, Bian ngeracunin menantu Mama, gitu? Bian masih inget dosa, Ma!"Herlina terdiam, membenarkan pernyataan putranya.Akan tetapi, sedetik kemudian matanya berubah jadi berbinar. "Bian, apa jangan-jangan istrimu hamil? Mama mau punya cucu lagi?"Kening Bian makin berkerut. Kepalanya lantas menggeleng-geleng keheranan. "Ada-ada saja Mama.""Kok ada-ada saja, sih? Memangnya kamu belum tancap gas juga?" Herlina berbisik."Ya belumlah, Ma. Tapi, ya nggak tau juga. Mungkin memang dia hamil. Cuma yang jelas bukan Bian yang melakukannya," kelitnya santai.Herlina sontak memukul pundak anaknya pelan. "Sembarangan kalau ngomong!"Keduanya kompak menoleh saat Masayu keluar dari kamar mandi. Herlina pun menghampirinya."Masayu, apa yang terjadi. Kenapa kamu muntah-muntah?" tanyanya sembari mengelus punggung menantunya."Nggak tau, Ma. Yang Ayu rasain, perut Ayu sakit dan mual-mual. Ayu juga diare, Ma. Makanya Ayu telat sarapannya. Maaf ya, Ma," jawab Masayu masih meringis memegangi perutnya.Mendengar itu, pikiran Bian seketika mulai menganalisis sesuatu. Ia pun segera bangkit dan berujar, "Ayo, kita ke rumah sakit sekarang."Masayu mengernyit."Nggak, Bang. Ayu cuma sakit perut biasa. Minum obat pasti sembuh," tolaknya."Pasti? Yakin sekali kamu!" ujar Bian terdengar kesal."Tidak apa-apa, Masayu. Kamu pergi saja. Turuti kata suamimu." Herlina menengahi, mengusap lembut pundak menantunya."Tapi, Ma. Ayu belum menyiapkan bekal untuk anak-anak. Lagi pula, Ayu beneran nggak apa-apa. Sungguh, Ma."Ia kembali mencoba meyakinkan mertua dan suaminya."Tidak usah keras kepala! Ayo, cepat siap-siap kita ke rumah sakit sekarang!" titah Bian dengan tegas.Masayu dan Herlina terkesiap di tempatnya."Kamu pergi saja. Anak-anak ada bibi yang mengurus, jangan khawatir. Ayo, sana!" suruh mertuanya. Kemudian lanjut membisiki Masayu, "Kamu lupa pesan Mama, ya? Pakai yang modis dan seksi, jangan yang seperti ini kalau di depan suamimu.""Hehe, baik, Ma." Masayu tersenyum secara terpaksa.Bukan menarik perhatian Bian, menuruti perkataan Herlina-seperti semalam, justru membuat ia sakit hati karena mendengar hinaan Bian.Sementara Masayu kembali ke kamar, hendak siap-siap ... Bian dan Herlina kembali terlibat percakapan."Mama tau, kenapa Masayu kesakitan seperti itu?" tanyanya dengan suara pelan.Mamanya menggeleng. "Tidak. Memangnya kenapa, Bian?"Tatapan keduanya masih terpaku pada tubuh Masayu yang menaiki anak tangga dengan lambat."Itu karena perbuatan Mama."Herlina lantas terkejut dituduh oleh putranya sendiri. "Loh, kok jadi Mama?""Mama ngasih apa ke Masayu tadi malam?" Ucapan Bian membuat Herlina berpikir. "Jangan asal sembarangan kasih obat ke orang, Ma. Untung masih sebatas muntah. Kalau lebih fatal lagi, gimana?"Masayu kembali ke ruang makan dengan penampilan yang membuat mertuanya semringah.Baju atasan cukup ketat berwarna krem dengan belahan dada yang cukup rendah, dipadu rok plisket pendek berwarna hitam membuatnya tampak elegan dan seksi. "Sudah sakit masih sempat-sempatnya berdandan."Sayang, gumaman Bian itu tidak terdengar oleh Masayu karena pria itu buru-buru melangkah ketika melihat ia menghampiri sang mertua."Bang, sebentar." Tiba-tiba, Masayu menahan langkah pria itu."Apalagi?" tanya Bian dingin.Masayu bergegas menghampirinya. Kemudian mengeluarkan sebuah sisir dari dalam tasnya."Rambut Abang berantakan. Ayu ijin nyisirin, ya?" Ayu memberanikan diri menawarkan, meski rasanya segan."Hmm ... boleh!" jawab Bian datar, terkesan kaku, persis seperti badannya yang serta merta kaku layaknya robot. Hal itu menjadi teramat lucu di mata Herlina. Menyebabkan wanita paruh baya itu tersenyum geli karenanya.Masayu lantas berjinjit dan mulai menyisiri rambut hitam legam milik suaminya. S
"Lambat sekali jalanmu!" Bian melotot.Masayu lantas menggigit bibir. "Abang yang terlalu cepat. Perut Ayu sakit," ujarnya sambil memegangi perutnya.Bian bahkan lupa kalau dia membawa gadis itu kemari lantaran sakitnya. Ia yang semula ingin marah mendadak mengurungkan niatnya. "Ya, Aku lupa, Maaf," ucapnya datar. "Ayo!" Ia lantas menggenggam jemari Masayu, kemudian menariknya agar jalannya beriringan. Bukannya melangkah, Masayu malah terpaku di tempatnya. Ia tertegun menatap jemarinya yang tengah digenggam pria itu."Ayo! Tunggu apa lagi!" Bian kembali menarik tangan gadis itu. Sorot matanya menatap Masayu serius. "Ayu ... jalan sendiri aja, Bang." Masayu berencana menarik tangannya, tapi Bian malah makin mempererat genggamannya. Hingga kemudian Masayu mengalah setelah mendapat tatapan tajam dari pria itu. Dan akhirnya, sepanjang jalan menyusuri koridor panjang, Masayu tidak berani mengangkat wajahnya.Masayu lagi-lagi melongo ketika pria itu membawanya masuk begitu saja ke ruang
Lelaki itu menyemburkan tawanya."Arjuna! Mau apa kamu? Sedang apa kamu di sini?!" tanya Masayu ketika orang itu melepaskan bekapan pada mulutnya. Tidak salah lagi, berarti orang yang menabrak mobil Bian tadi memang Arjuna. Masayu menatap curiga, apa jangan-jangan Arjuna sengaja membuntutinya?"Aku yang harusnya nanya, ngapain kamu di sini? Wajahmu agak pucat. Kamu sedang sakit?" Arjuna bermaksud menyentuh pipi gadis itu, tetapi segera ditepis oleh Masayu. "Ck! Payah! Kamu sudah banyak berubah!" sungut Arjuna."Aku nggak punya banyak waktu meladeni kamu. Maaf, aku harus pergi sekarang!" Masayu lantas mengayun langkah.Akan tetapi, sebuah cekalan di lengan seketika membuat langkahnya terhenti. Arjuna kembali mendorong tubuh gadis itu dan menghimpitnya di dinding."Juna! Mau apa kamu, lepas!" Masayu meronta dengan posisi kedua tangan yang dicengkeram ke atas. "Kamu banyak berubah, Yu. Kamu lupa siapa aku? Kamu lupa dulu kita seperti apa?" Arjuna membentak. Masayu tersenyum sinis. "A
Di dalam kamar, tepatnya di atas bantal Masayu menumpahkan tangisnya. Terlampau porak-poranda hatinya sampai-sampai saat ibu mertuanya bertanya padanya sepulangnya ia dari rumah sakit tadi hanya mampu dijawabnya dengan anggukan saja. Tiba-tiba pintu kamarnya didorong dari luar. Ternyata Gita. Seperti biasa bocah kecil itu masuk dengan membawa selembar kertas bergambar di tangannya. Cepat-cepat Masayu mengusap air matanya."Bunda ...." "Iya, Sayang. Sini." Masayu mendudukkan Gita di pangkuannya, lantas melongok pada kertas yang dibawa oleh anak sambungnya itu. "Gita gambar apa?""Gambar Papa, Gita, Bang Genta, sama Bunda," sahut Gita menunjukkan hasil gambarnya."Wah, bagus sekali gambarnya. Anak pinter." "Bunda tadi nangis? Bunda lagi sedih, ya?" tanya Gita tiba-tiba. Anak itu memang kritis.Masayu mengelap lagi sisa air mata di pipinya, kemudian memaksa bibirnya untuk tersenyum."Nggak, kok, Sayang. Bunda kelilipan tadi.""Sini, Gita embusin biar nggak kelilipan lagi." Gita berdir
"Cuma apa, hah?!""Bian nggak gandeng siapa-siapa. Namanya juga gosip, Ma. Orang media apa saja bisa jadi berita, biar viral. Trus dapat duit," ucap Bian membela diri."Gosip itu timbul karena ada sebabnya, Bian. Mungkin karena kamu keseringan deket sama perempuan itu.""Bian cuma berteman, Ma. Itu pun tidak akrab karena baru kenal. Dia dokter, klien Bian yang ngenalin karena dikiranya Bian belum menikah.""Tuh, kan. Makanya Mama pingin supaya Masayu itu dikenalin ke publik. Jangan terus-terusan disembunyiin biar semua orang tau kalau kamu itu udah menikah. Apa kamu ada niat buat kawin lagi, Bian?" tuduh mamanya, membuat Bian akhirnya mendengkus kesal."Ya, sudah, terserah Mama. Mau besok atau sekarang acaranya Bian ngikut aja," sahut Bian pasrah yang kemudian disambut senyum kepuasan di wajah Herlina. Sementara Masayu sejak tadi hanya diam sembari menonton perdebatan seru antara ibu dan putranya. Dari situ dia mengetahui bahwa dari dulu Bian memang tidak pernah menginginkan pernikaha
Sambil bersenda gurau mereka menikmati menu serba panggang yang diolah dengan tangan sendiri. Beratapkan langit malam yang cerah dihiasi taburan bintang yang berkelip di sana-sini menambah kesan estetik bagi mereka dalam menghabiskan malam."Lezat sekali ayam bakar madumu, Yu. Persis seperti masakan ibumu," puji Helen."Ah, Kak Helen bisa aja. Jauh sekali kalau dibandingkan masakan ibuku," jawab Masayu merendah."Lihat itu, suamimu sangat lahap makan masakanmu." Helen menyenggol tangan Masayu. Gadis itu hanya tersenyum simpul melihat Bian makan dengan begitu lahapnya sampai agak belepotan. "Masayu, ambilkan suamimu tisu dan lap mulutnya. Lihat, saking sukanya dia dengan masakanmu makan sampai seperti bayi," kelakar Herlina. Masayu menurut, diambilnya selembar tisu lantas mulai mengelap mulut Bian dengan perlahan. Pria itu sampai berhenti mengunyah dan memilih menatap Masayu yang hanya memandang datar padanya. "Kamu ngantuk, Masayu?" tanya Herlina melihat wajah Masayu yang seperti l
'Nggak mungkin, aku pasti salah liat. Pasti gara-gara tadi aku lupa minum obat," batin Masayu sembari mengerjap-erjapkan matanya. Ditambah efek mengantuk juga karena semalam ia tidur menjelang pagi. Sampai kemudian ia tersentak ketika Bian menyenggol sikunya, memberi kode untuk bersalaman pada salah seorang tamu di depannya. "Ah, maaf." Masayu tersenyum sambil menjabat tangan tamu tersebut.Setelah orang itu pergi, Bian sedikit berbisik padanya."Ada apa? Mukamu pucat. Obatnya tidak diminum?"" Tebakan Bian benar."Iya, Ayu lupa karena tadi buru-buru.""Nanti Biar saya suruh Erik yang ambilkan obatnya."Gadis yang malam ini terlihat sangat cantik dengan balutan gaun yang terbuka pada bagian bahunya itu pun mengangguk. Dia lalu menengok lagi ke tempat tadi, orang itu sudah tidak ada. Masayu pun yakin jika dia hanya salah lihat. "Itu klien saya, kita temui dia." Tiba-tiba Bian merangkul pinggang ramping Masayu dan mengajaknya berjalan.Keduanya lantas menghampiri pria paruh baya yang t
"Ayu nggak bisa dansa. Abang sama yang lain aja," tolaknya.Dahi Bian sontak berkerut. "Apa? Dansa dengan yang lain? Apa maksudmu bicara begitu?" "Eng ... Maksudnya Ayu nggak bisa—"Lagi-lagi Ayu tak dapat berbuat banyak ketika tanpa aba-aba Bian langsung menarik tangannya menuju lantai dansa.Dengan sigap Bian mengatur posisi. Satu jemari Masayu berada dalam genggamannya, sementara jemari yang lain diletakkan di atas dada. Hanya dengan satu sentakan di pinggang rampingnya, Bian berhasil membuat tubuh istrinya itu menempel ke tubuhnya.Meski awalnya sulit, Masayu akhirnya bisa mengikuti gerakan Bian. Keduanya bergerak senada di bawah iringan musik yang mengalun pelan. Keduanya saling menatap dalam suasana temaram.'Kamu memang hebat, Bian!' bisik hati Masayu.Pria itu lantas tertawa kecil. Seolah dapat membaca pikiran istrinya dia lalu berucap, "Apa yang kamu pikirkan, Masayu?" Masayu membalas dengan senyuman samar. "Yang jelas tidak seperti yang Anda pikirkan!" Wow! Entah keberan