Lyra Auristella berdiri terpaku di depan jendela besar yang hampir menutupi seluruh dinding kamar. Tirai marun yang sejak tadi menutupi kini tersingkap lebar, memperlihatkan pemandangan Jakarta dari lantai tiga puluh. Gedung-gedung tinggi berbaris rapi, mobil-mobil di bawah hanya sebesar semut, dan langit biru terlihat begitu jernih. Pemandangan itu seharusnya indah, tapi bagi Lyra, keindahan itu terasa seperti penjara kaca.
Tangannya refleks menyentuh cincin di jari manis. Berkali-kali ia mencoba meremas, seolah dengan begitu cincin itu akan terlepas begitu saja. Namun kenyataan tak berubah: cincin itu ada, buku nikah itu nyata, dan pria asing bernama Bintang Skylar bukanlah mimpi buruk semata. “Ini… pasti salah,” bisiknya lirih, hampir tak terdengar. Suara ketukan pintu memecah lamunannya. Pintu kamar terbuka perlahan, memperlihatkan seorang perempuan muda dengan seragam hitam-putih. Wajahnya sopan, sikapnya kaku, dan senyumnya tipis nyaris formal. “Selamat pagi, Nyonya. Sarapan sudah disiapkan. Tuan menunggu Anda di ruang makan.” Kata itu—Nyonya—menusuk telinganya. Lyra menegang, bibirnya bergerak refleks. “Aku… bukan… Nyonya siapa pun.” Namun perempuan itu hanya menunduk hormat, tak menjawab, lalu menunggu dengan sabar. Tak diberi ruang untuk membantah, Lyra akhirnya menyerah. Lorong apartemen panjang terbentang di hadapannya. Lantai marmer berkilau, lampu kristal gantung memantulkan cahaya lembut, dan dindingnya dipenuhi lukisan modern yang berharga mahal. Setiap langkah membuat Lyra merasa seakan ia sedang menginjak tempat orang lain—tempat yang terlalu rapi, terlalu mewah, terlalu dingin. Ruang makan terbuka di ujung lorong. Sebuah meja kayu mahoni memanjang dengan porselen berisi sarapan lengkap: roti panggang hangat, telur mata sapi, potongan buah segar. Di ujung meja, duduklah pria itu. Bintang Skylar. Kemeja putihnya digulung hingga siku, memperlihatkan lengan berotot. Ia menyesap kopi hitam sambil menatap tablet di tangannya. Hanya sekilas saja ia mengangkat kepala ketika Lyra masuk, lalu kembali sibuk dengan layar. “Duduk.” Nada suaranya rendah, berat, tak memberi ruang untuk menolak. Kursi berderit pelan saat Lyra duduk. Tangannya kaku, matanya terpaku pada piring. Perutnya mual; aroma kopi dan roti justru menambah sesak. Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Hanya suara sendok beradu pelan dengan piring dari arah Bintang. Akhirnya Lyra tak tahan. “Apa yang sebenarnya terjadi semalam?” tanyanya dengan suara bergetar. Bintang menaruh sendoknya, lalu menatap langsung ke arahnya. Mata hijau gelap itu menusuk, membuat Lyra tak bisa berpaling. “Kau resmi menjadi istriku, Lyra. Itu fakta yang tidak bisa kau bantah.” “Aku tidak pernah setuju!” balas Lyra cepat, napasnya terengah. “Aku bahkan tidak mengenalmu! Bagaimana mungkin ada buku nikah itu?!” Bintang condong sedikit ke depan, ekspresinya tetap datar, nyaris tenang. “Persetujuanmu tidak relevan. Yang penting, prosesnya sah. Kau sudah terikat denganku.” Dada Lyra bergemuruh. “Kenapa aku? Dari semua orang di dunia… kenapa aku?” Ada jeda singkat, tatapan pria itu seakan menimbang sesuatu. Lalu dengan dingin ia menjawab, “Karena aku membutuhkannya.” Jawaban itu membekukan darah Lyra. “Membutuhkan… apa?” “Seorang istri. Titik.” Seakan kalimat itu jawaban paling sederhana dan paling masuk akal di dunia. Lyra terdiam, lidahnya kelu. Sarapan berakhir tanpa sepatah kata lagi. Bintang bangkit, meraih jas hitamnya. “Aku ada rapat. Tinggallah di sini. Semua yang kau butuhkan sudah tersedia.” Lyra spontan berdiri. “Aku tidak bisa tinggal di sini! Aku punya kuliah, aku punya hidup—” “Sudah kuurus,” potong Bintang dengan ketenangan menakutkan. “Beasiswamu tetap berjalan. Aktivitas kuliahmu tidak akan terganggu.” Lyra tertegun. Bagaimana bisa dia tahu soal beasiswa? Seolah membaca pikirannya, Bintang menambahkan, “Aku tahu semua hal penting tentangmu, Lyra Auristella. Jangan kaget.” Tanpa menunggu jawaban, ia pergi. Pintu tertutup rapat, meninggalkan Lyra yang masih berdiri kaku. ~~~~ Sepeninggal pria itu, apartemen terasa lebih sunyi daripada sebelumnya. Ruang tamu terbentang luas: sofa abu-abu lembut, karpet tebal, dinding kaca dengan panorama kota, dan rak buku tinggi penuh literatur bisnis. Segalanya tampak sempurna, tapi tanpa jiwa. Di meja samping, sebuah bingkai foto menarik perhatiannya. Bukan foto keluarga, melainkan foto gedung pencakar langit berlogo Skylar Corporation. Lyra menghela napas panjang. “Jadi aku… benar-benar menikah dengan seorang CEO.” Tubuhnya merosot ke sofa. Ia hanya seorang mahasiswi tingkat dua jurusan Teknik Informatika, hidup dari beasiswa dan kerja paruh waktu di kafe. Dunia barunya ini bukan sekadar asing—tapi benar-benar tak masuk akal. ~~~~~~~~~~ Sore hari, ketukan lain terdengar di pintu. Seorang pelayan masuk, membawa sebuah map hitam. “Nyonya, Tuan meminta Anda membaca ini.” Dengan ragu, Lyra membuka map itu. Isinya membuat matanya melebar. Kontrak Pernikahan. Hitam di atas putih, dengan poin-poin yang kaku dan dingin: 1. Pernikahan ini sah secara hukum, tidak dapat dibatalkan tanpa izin salah satu pihak. 2. Lyra Auristella wajib tinggal di apartemen utama bersama Bintang Skylar. 3. Kehadiran Lyra di acara publik tertentu diwajibkan. 4. Tidak ada kewajiban keterikatan emosional. Pernikahan ini bersifat praktis. Tangan Lyra bergetar, kertas itu diremas tanpa sadar. Air matanya nyaris tumpah, tapi ia menahannya. “Kontrak… jadi aku cuma properti?” bisiknya parau. Untuk pertama kalinya sejak pagi, rasa takut benar-benar mencekam dirinya. Bukan hanya pada pria yang kini menyebutnya istri, tapi pada kenyataan bahwa ia terperangkap dalam sebuah permainan besar—permainan yang aturannya ditulis orang lain, dan ia tak punya jalan keluar.Di tengah riuh rendah suara dosen yang menjelaskan materi, Lyra duduk diam menatap buku catatan. Pena di tangannya bergerak pelan, tapi pikirannya melayang jauh. Pandangannya sesekali jatuh ke jari manisnya. Cincin itu berkilat samar di bawah cahaya lampu kelas, seakan sengaja mengingatkan siapa dirinya sekarang.Hatinya berdesir gelisah. Ia merasa cincin itu seperti tanda yang bisa dilihat semua orang, sesuatu yang mengekangnya setiap kali ia menyadari tatapan teman-temannya.Tiba-tiba, sebuah ide muncul.Kalau cincin ini jadi kalung…Ia membayangkan menggantungkannya di rantai tipis, tersembunyi di balik kerah bajunya. Masih ada di dekatnya, tapi tidak terus-menerus mengikat pandangan orang lain. Dengan begitu, ia bisa bernapas sedikit lebih lega.Namun seiring dengan munculnya rencana itu, rasa ragu langsung menyeruak. Membeli rantai kalung bukan perkara sulit—ia hanya perlu mampir ke toko perhiasan sepulang kuliah. Tapi pertanyaan yang lebih besar menghantam pikirannya.Haruskah a
Di sisi lain, Bintang melangkah pelan menuju mobilnya yang terparkir rapi di basement apartemen. Tangannya membawa sebuah kotak bekal lain—identik dengan yang tadi ia berikan pada Lyra. Bedanya, kotak ini memang ia siapkan untuk dirinya sendiri.Pagi buta tadi, setelah menyelesaikan sebagian tugas Lyra, ia nyaris tidak memejamkan mata. Hanya satu jam ia beristirahat sebelum kembali bangun untuk menyiapkan sarapan praktis sekaligus bekal. Dua porsi yang sama persis—agar Lyra tidak merasa sendirian, agar ia tahu kalau apa yang dimakannya juga disantap Bintang.Bekal itu ia susun rapi: nasi hangat, lauk sederhana, dan sayuran yang dimasak ringan. Tidak mewah, tapi dibuat dengan perhatian penuh yang jarang sekali ia tunjukkan pada siapa pun.Ia teringat kembali bagaimana ia menunggu di ruang tamu, sengaja tidak berangkat terlalu pagi. Hanya untuk memastikan Lyra keluar dari kamarnya dan menerima bekal yang ia buat. Ada semacam rasa lega aneh saat kotak itu berpindah ke tangan gadis itu, m
Cahaya matahari pagi menyelinap masuk dari celah gorden, membelai wajah Lyra dengan hangat. Ia menggeliat pelan, sebelum matanya terbuka dan menatap langit-langit asing di atas kepalanya. Butuh beberapa detik bagi otaknya untuk menyadari sesuatu—ia tidak sedang duduk di kursi belajar, melainkan berbaring di atas kasur empuk dengan selimut tersampir rapi menutup tubuhnya.Jantungnya berdetak kencang.“Aku… kan semalam masih di meja?” pikir Lyra, buru-buru bangkit sambil memandang sekeliling kamar. Ingatan terakhirnya adalah ia menunduk di depan laptop, jari-jarinya masih sibuk mengetik, sampai kelelahan menyeretnya ke dunia mimpi.Ia menepuk pipinya pelan, memastikan ini bukan mimpi lain. Tapi semakin jelas baginya—seseorang pasti telah memindahkannya ke kasur. Dan di apartemen ini, hanya ada satu orang selain dirinya.Bintang.Pikiran itu saja sudah cukup membuat pipinya terasa panas.Namun belum selesai rasa gugupnya, ingatan lain menghantam kepalanya. Tugas! Ia melompat turun dari k
Lampu meja menyala temaram, cahayanya jatuh hanya pada tumpukan dokumen yang tertata di atas meja kayu hitam. Bayangan samar tercetak di dinding, bergerak pelan mengikuti nyala bohlam yang bergetar halus. Di tengah keheningan itu, detik jam dinding terdengar nyaring, seolah setiap putarannya menegaskan betapa malam ini berjalan lambat.Bintang duduk bersandar di kursinya, punggung tegak namun kepalanya tertunduk, tatapannya kosong pada layar komputer yang tak beranjak dari halaman awal. Pekerjaan yang biasanya menuntut presisi dan ketelitian kini hanya tampak seperti gangguan. Ia bahkan tidak mencoba menyentuh keyboard.Pikirannya berada di tempat lain. Tepatnya, pada sosok yang kini terlelap di kamar tamu.Lyra.Nama itu saja sudah cukup membuat dadanya terasa berat. Bayangan wajah lelah gadis itu menempel jelas dalam ingatannya—alis tipis yang berkerut karena terlalu lama menatap layar, jemari yang memerah lantaran tak henti mengetik, napas berat yang akhirnya menyerah dalam tidur.
Pintu apartemen terbuka dengan suara klik halus, disusul aroma khas ruangan yang dingin dan rapi. Lampu-lampu otomatis menyala, memantulkan cahaya lembut di lantai marmer putih yang mengilap.Lyra melangkah masuk lebih dulu, masih mengenakan jas hitam Bintang yang kebesaran di tubuhnya. Hela napasnya menggantung, tak berani menoleh. Ia bisa mendengar langkah Bintang di belakangnya—tenang, teratur, tapi menimbulkan tekanan tak kasatmata yang membuat punggungnya kaku.Suara pintu ditutup pelan, lalu hening kembali berkuasa. Hanya detik jam dinding yang terdengar, berdetak lambat, seakan mengejek betapa panjangnya setiap momen.Lyra menaruh laptop tuanya di meja tamu dengan hati-hati, seolah satu gerakan salah bisa memicu percikan ledakan. Jemarinya gemetar, tapi ia berusaha menutupi dengan mengusap-usap lengan jas yang masih membungkusnya. Hangat kain itu seakan masih menempel di kulit, tapi pikirannya justru semakin berisik.Tanpa sepatah kata, Bintang berjalan melewati Lyra. Suara lan
Pintu mobil tertutup rapat, menelan Lyra ke dalam ruang sempit beraroma kulit mahal dan parfum maskulin yang begitu asing tapi kini mulai menempel di inderanya. Suara jalanan di luar teredam, hanya tersisa dengung mesin yang stabil dan denyut jantungnya sendiri yang tak karuan.Bintang duduk di kursi pengemudi, diam. Tangannya mantap di setir, sorot matanya lurus menatap jalan. Mobil melaju stabil, setiap gerakan setirnya presisi, seakan ia mengendalikan bukan hanya arah mobil, tapi juga arah napas Lyra.Lyra menggenggam laptopnya erat di pangkuan, seolah benda tua itu satu-satunya pelindungnya dari badai yang siap meledak.Akhirnya, Bintang membuka suara. “Kau tahu berapa banyak kemungkinan buruk yang bisa terjadi pada seorang perempuan sendirian di jalan jam segini?”Nada suaranya tenang, tapi terlalu dingin, terlalu tajam.Lyra menelan ludah. “Aku… aku nggak punya pilihan lain. Kalau tugasnya nggak selesai, aku bisa kehilangan beasiswa. Itu berarti aku kehilangan segalanya.”Bintan