Home / Romansa / Terikat dalam Pernikahan Mendadak / 1. Bangun di tempat asing

Share

Terikat dalam Pernikahan Mendadak
Terikat dalam Pernikahan Mendadak
Author: nana

1. Bangun di tempat asing

Author: nana
last update Last Updated: 2025-07-28 10:58:17

Lyra Auristella membuka mata dengan kepala berat dan tubuh lemas. Kelopak matanya seperti direkatkan lem, dan butuh tenaga ekstra hanya untuk menyingkap dunia di sekitarnya. Pandangannya berputar, kabur, sebelum akhirnya fokus pada ruangan asing yang sama sekali tidak dikenalnya.

Langit-langit tinggi berornamen klasik. Lampu gantung kristal memantulkan cahaya keemasan. Tirai tebal warna marun menutup rapat jendela, menahan sinar matahari pagi. Seprei ranjang yang ia tempati begitu halus, wangi lavender samar bercampur dengan aroma kayu manis—terlalu mewah, terlalu asing, terlalu jauh dari kos kecilnya yang sempit.

Dengan refleks, Lyra bangkit setengah duduk. Pandangannya jatuh pada meja samping ranjang: sebuah buku nikah bersampul hijau tua. Namanya tercetak jelas di situ, berdampingan dengan nama seorang pria yang sama sekali tidak ia kenal.

Jari-jarinya bergetar ketika menyentuh permukaan buku itu. Dan yang membuatnya makin panik: di jari manisnya melingkar cincin sederhana, berkilau dingin di bawah cahaya lampu.

Deg.

Jantung Lyra berdetak kencang, kepalanya seakan ingin pecah. Otaknya mencari alasan logis. Buku itu mungkin palsu. Cincin ini mungkin hanya mainan. Semua ini mungkin sekadar mimpi buruk setelah ia mabuk semalam.

Namun, kertas itu terlalu nyata. Cap resmi itu terlalu sah. Dan cincin di jarinya terlalu berat untuk sekadar mimpi.

“Tidak… ini tidak mungkin…” bisiknya, hampir tanpa suara.

Suara langkah tenang terdengar dari arah pintu. Lyra sontak mendongak. Seorang pria dewasa muncul di ambang pintu, mengenakan setelan hitam rapi. Tubuhnya tegap, sorot matanya tajam bagaikan bilah pedang. Wajahnya terlalu sempurna untuk sekadar manusia biasa, terlalu tenang untuk situasi yang seabsurd ini.

Bibir Lyra bergetar. “Siapa… kamu?”

Pria itu berjalan mendekat, langkahnya mantap dan terkendali, seolah ruangan ini adalah kerajaannya. Ia berhenti tepat di hadapan Lyra, menundukkan kepala sedikit, dan berkata dengan suara dalam yang nyaris tanpa emosi:

“Aku tidak butuh persetujuanmu, Lyra. Aku hanya butuh keberadaanmu.”

Malam sebelumnya…

“Lyra, dengar baik-baik!” suara Tante Rarasati menggema di ruang tamu megah rumahnya. “Lelaki itu punya tanah, properti, bisnis batu bara! Kamu tinggal bilang iya, dan hidupmu terjamin. Kamu pikir kamu bisa dapat lebih baik dari itu?”

Lyra berdiri kaku, masih mengenakan seragam kuliah yang kusut. Ransel berat menggantung di punggung. Tubuhnya lelah, kepalanya pusing, hatinya remuk. Ia hanya ingin masuk kamar kos, tidur, dan melupakan dunia. Namun tantenya tak pernah memberi kesempatan.

“Tante…” suaranya lirih, bergetar. “Dia seumuran tante sendiri dan sudah punya dua istri.”

“Dan apa salahnya?!” potong sang tante dengan nada tajam. “Dia mau sama kamu, Lyra. Gadis yatim piatu yang nggak punya apa-apa. Kamu harusnya bersyukur, bukan membantah!”

Kalimat itu menusuk lebih tajam daripada pisau.

Lyra menggigit bibirnya, menahan gemetar. Ia bukan tidak tahu diri—ia justru mati-matian berjuang. Sejak masuk universitas ternama, ia bertahan dengan beasiswa penuh di jurusan Teknik Informatika. Beasiswa itu syarat hidupnya; tanpa itu, ia tidak akan pernah bisa kuliah. Di sela-sela kelas, ia bekerja paruh waktu di kafe untuk sekadar membayar kos kecilnya.

Tapi bagi tantenya, semua itu tak ada artinya. Lyra tetap dianggap beban.

~~~

Malam itu, Lyra duduk di kamar kos sempitnya—tempat yang ia sebut satu-satunya ruang bernapas. Tangannya gemetar saat menggenggam ponsel lama. Air mata menggenang tapi tak jatuh.

Kalau aku tetap di sini, aku akan gila.

Dengan dorongan terakhir, ia mengetik pesan.

“Ray, temenin aku ke klub malam ini. Aku nggak pengen mabuk. Aku cuma butuh hiburan.”

Balasan datang cepat.

“Oke. Gue jemput.”

~~~~

Lampu neon berkelip liar saat Lyra melangkah masuk ke klub bersama Ray. Musik EDM menghentak keras, membuat lantai bergetar. Udara penuh dengan bau alkohol, parfum mahal, dan asap rokok.

Lyra tampak kontras. Hoodie abu-abu kebesaran, jeans lusuh, sneakers putih yang sudah usang. Wajahnya polos tanpa riasan. Di tengah keramaian glamor itu, penampilannya justru mencolok—bukan karena kemewahan, tapi karena kesederhanaan.

Ray menyodorkan segelas minuman bersoda bercampur alkohol ringan. “Kalau lo mabuk, gue yang gotong. Gue sih ngga nolak.”

Lyra tertawa kecil, meneguk. Rasa getir menyebar di lidahnya. “Tenang aja. Aku cuma pengen lupa sebentar, Ray. Lupa kalau hidup aku udah kayak barang dagangan.”

Ray menatapnya lama, lalu menghela napas. “Lo bisa kabur kapan aja, Ly. Lo cuma terlalu takut.”

Lyra tak menjawab. Kata-kata itu terlalu benar untuk ia bantah.

Di lantai atas, dari balik kaca balkon VIP, seorang pria berdiri dalam diam. Setelan gelap membalut tubuh tegapnya. Di dada jasnya tersemat pin perak berbentuk phoenix bermahkota—simbol eksklusif yang hanya dimiliki lingkaran bisnis elit.

Mata emerald-nya menatap lurus ke arah Lyra di kerumunan. Sorotnya tenang, dingin, penuh perhitungan.

Tanpa menoleh, ia berkata pada pengawal di belakangnya. Suaranya rendah, datar, namun tegas.

“Aku menginginkan gadis itu. Pastikan tidak ada yang mendekat.”

Kembali ke sekarang…

Lyra menggenggam buku nikah itu erat, jari-jarinya gemetar. Potongan-potongan ingatan semalam berkelebat tak teratur. Suara musik, gelas kedua, rasa pusing yang tiba-tiba, langkah Ray yang menjauh… lalu semuanya gelap.

Dan kini, ia terbangun di ruangan asing, cincin melingkar di jari, buku nikah sah di sampingnya.

Matanya kembali menatap pria di hadapannya. Napasnya tercekat.

Ia ingin berteriak bahwa semua ini salah. Ia ingin menolak kenyataan yang dipaksakan kepadanya. Tapi tatapan pria itu menusuk terlalu dalam, seolah berkata: semua ini sudah diatur. Kamu tak punya pilihan.

Lyra menelan ludah, suaranya pecah. “Apa yang kamu lakukan padaku…?”

Pria itu hanya tersenyum tipis. Senyum yang lebih menyeramkan daripada ancaman.

“Selamat datang di pernikahanmu, Lyra.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terikat dalam Pernikahan Mendadak   26. Kegelisahan Lyra

    Pagi itu, kampus Teknik terasa lebih ramai dari biasanya. Mahasiswa lalu-lalang di halaman utama, membawa ransel tebal penuh buku dan laptop, sementara suara motor berdesakan di parkiran menciptakan hiruk-pikuk khas pagi hari. Udara segar bercampur aroma kopi dari kantin kecil, dan papan pengumuman dipenuhi poster seminar IT terbaru. Lyra melangkah masuk melalui gerbang utama, tas selempangnya bergoyang ringan di bahu. Setelah dua hari libur yang diisi piknik dan cerita masa lalu dengan Bintang, ia merasa sedikit lebih kuat—tapi bayangan penguntit masih sesekali muncul di benaknya, seperti kabut tipis yang sulit diusir.Ia mengenakan kemeja putih sederhana dengan celana jeans biru, rambutnya diikat ponytail tinggi agar tidak mengganggu saat mengetik di kelas. Kalung cincin pernikahan bergoyang pelan di dadanya, tersembunyi di balik kerah, tapi sentuhannya memberi rasa aman. "Hari ini normal," gumamnya pada diri sendiri, berusaha meyakinkan. Kuliah pagi ini adalah mata kuliah Algoritma

  • Terikat dalam Pernikahan Mendadak   25. Kecurigaan Ray

    Sore itu, sinar matahari mulai condong, mewarnai langit Jakarta dengan gradasi oranye dan ungu yang lembut. Lyra duduk di bangku taman kecil dekat kampus, angin sepoi membelai rambutnya yang tergerai. Ia baru saja selesai kelas singkat—dosen memahami alasan liburnya kemarin, berkat pesan dari Bintang—dan memutuskan mampir ke sini sebelum pulang. Ponselnya bergetar di tangan, layar menampilkan nama yang sudah lama tidak ia dengar: Ray.Hatinya berdegup sedikit lebih cepat. Ray, sahabat setianya sejak SMA, orang yang selalu ada saat tante memaksa atau beasiswa hampir dicabut. Tapi sejak pernikahan mendadak itu, Lyra sengaja menjaga jarak—bukan karena tidak ingin, tapi karena tak tahu bagaimana menjelaskan. "Halo?" jawabnya pelan, suaranya berusaha santai."Ly! Akhirnya lo angkat juga. Gue nyari lo kemana-mana sejak kemarin. Lo hilang dua hari, nggak ada kabar. Lo baik-baik aja?" Suara Ray di seberang terdengar campur khawatir dan kesal, seperti biasa saat ia panik.Lyra tersenyum kecil,

  • Terikat dalam Pernikahan Mendadak   24. Janji yang terkunci

    Cahaya pagi menyusup pelan melalui celah tirai kamar, membentuk garis-garis emas tipis di lantai marmer yang dingin. Lyra membuka mata dengan napas tersengal, tubuhnya basah oleh keringat dingin yang menempel lengket di kulitnya. Jantungnya berdegup kencang, seolah baru saja berlari dari sesuatu yang tak terlihat. Ia duduk setengah bangun, tangannya meraba-raba sisi ranjang di sebelahnya. Hangat. Bintang masih di sana, tidur dengan posisi tegap seperti biasa, napasnya teratur dan dalam.Namun, mimpi buruk itu masih melekat kuat di benaknya. Ia melihatnya lagi—pria berhoodie hitam itu, berdiri di ujung lorong gelap, senyum tipisnya menyeringai seperti pisau. "Kau tidak bisa lari selamanya," bisik suara serak itu di telinganya. Lalu, Bintang muncul, tapi bukannya melindunginya, ia menghilang ke dalam kegelapan, meninggalkannya sendirian. Lyra berlari, tapi kakinya seperti terikat, dan pria itu semakin dekat, tangannya hampir menyentuh bahunya..."Bin..." gumam Lyra lirih, suaranya berge

  • Terikat dalam Pernikahan Mendadak   23. Dini hari

    Malam itu terasa begitu panjang bagi Lyra. Ia terbangun mendadak, tubuhnya berkeringat dingin, napasnya terengah seolah baru saja berlari jauh. Pandangannya langsung mengarah ke sisi ranjang yang seharusnya diisi oleh Bintang. Kosong. Bantal di sampingnya dingin, seolah sudah lama ditinggalkan.Dadanya bergemuruh. Rasa takut yang ia kira sudah mulai reda tiba-tiba kembali menyeruak, membuat tenggorokannya tercekat. Ia memeluk dirinya sendiri, berusaha menenangkan hati, namun semakin ia mencoba, semakin ia merasa hampa.“Bintang…” bisiknya lirih, suara nyaris patah.Tidak ada jawaban. Tidak ada suara langkah. Tidak ada kehangatan di sisinya. Yang tersisa hanya keheningan yang terasa menyesakkan.Lyra turun dari ranjang, kaki telanjangnya menyentuh lantai dingin. Ia melangkah pelan menuju ruang tamu, menyalakan lampu kecil di sudut ruangan dan televisi dengan volume rendah, sekadar untuk memecah kesunyian.Namun, meski suara samar dari TV terdengar, rasa takut tidak juga berkurang. Baya

  • Terikat dalam Pernikahan Mendadak   22. Rahasia yang terkuak

    Suasana jalanan sore terasa berbeda bagi Lyra.Mobil melaju stabil di bawah kendali Bintang. Namun, alih-alih tenang, dadanya masih berdebar kencang. Bayangan pria berhoodie yang mendekatinya di bus tadi seolah terus mengikuti dalam pikirannya. Setiap kata yang dibisikkan pria itu menggema lagi, menusuk telinganya: “Tak peduli seberapa jauh kau sembunyi… aku tetap bisa menemukamu.”Lyra memeluk kedua tangannya sendiri, berusaha menahan gemetar. Ia menoleh ke samping. Bintang duduk di belakang kemudi, wajahnya tanpa ekspresi, hanya tatapan mata dingin yang menatap lurus ke jalanan. Namun, genggaman tangannya di atas roda kemudi begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih.Keheningan terasa berat. Tidak ada musik, tidak ada percakapan. Hanya deru mesin mobil yang mengisi udara.“B-Bintang…” suara Lyra akhirnya pecah, lirih. “Siapa dia? Kenapa dia mengikuti aku?”Bintang menoleh sekilas, lalu kembali fokus ke jalan. Jawabannya singkat, nyaris berbisik, namun penuh tekanan. “Orang yang se

  • Terikat dalam Pernikahan Mendadak   21. Benturan dalam Bayangan

    Bus yang biasanya ramai oleh obrolan kini mendadak sunyi. Hanya suara mesin yang menderu, roda berdecit di jalan aspal, dan detak jantung Lyra yang terasa terlalu keras di telinganya.Bintang berdiri tegap, tubuhnya menjadi tembok yang menghalangi Lyra dari pria berhoodie. Aura dingin yang memancar darinya membuat beberapa penumpang bergeser, memberi ruang.“Geser,” ulang Bintang dengan suara rendah, tajam.Pria berhoodie itu menoleh pelan, menatap balik dengan mata berkilat. Senyumnya tipis, sinis, seolah menikmati permainan ini.“Aku hanya berdiri, tidak melakukan apa-apa,” ucapnya datar, tapi tatapannya menusuk ke arah Lyra. “Kalau dia ketakutan, itu urusannya sendiri.”Lyra menegang, tubuhnya bergetar kecil. Ia ingin berkata sesuatu, membela diri, atau sekadar meminta pria itu menjauh. Tapi kata-kata tercekat di tenggorokannya.Bintang meraih tiang besi bus dengan satu tangan, tubuhnya condong sedikit ke depan, nyaris menempel dengan pria itu. “Kau sudah cukup membuatnya takut. Tu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status