LOGINPintu apartemen terbuka dengan suara klik halus, disusul aroma khas ruangan yang dingin dan rapi. Lampu-lampu otomatis menyala, memantulkan cahaya lembut di lantai marmer putih yang mengilap.
Lyra melangkah masuk lebih dulu, masih mengenakan jas hitam Bintang yang kebesaran di tubuhnya. Hela napasnya menggantung, tak berani menoleh. Ia bisa mendengar langkah Bintang di belakangnya—tenang, teratur, tapi menimbulkan tekanan tak kasatmata yang membuat punggungnya kaku. Suara pintu ditutup pelan, lalu hening kembali berkuasa. Hanya detik jam dinding yang terdengar, berdetak lambat, seakan mengejek betapa panjangnya setiap momen. Lyra menaruh laptop tuanya di meja tamu dengan hati-hati, seolah satu gerakan salah bisa memicu percikan ledakan. Jemarinya gemetar, tapi ia berusaha menutupi dengan mengusap-usap lengan jas yang masih membungkusnya. Hangat kain itu seakan masih menempel di kulit, tapi pikirannya justru semakin berisik. Tanpa sepatah kata, Bintang berjalan melewati Lyra. Suara langkah sepatunya bergema singkat di lantai marmer sebelum hilang di balik pintu kayu besar—ruang kerjanya. Lyra berdiri terpaku di ruang tamu, menahan napas. Setiap detik terasa terlalu lama. Bunyi geser kursi, laci yang dibuka, sesuatu yang dikeluarkan… semua samar terdengar dari balik pintu tertutup. Tak lama kemudian, pintu kembali terbuka. Bintang muncul, masih tanpa suara, sebuah laptop hitam ramping di tangannya. Bukan laptop tua yang selalu Lyra gunakan, tapi perangkat keluaran terbaru dengan logo berkilat di balik layar. Ia melangkah mendekat, lalu meletakkannya di meja tepat di depan Lyra. Gerakannya tegas, seakan itu bukan tawaran, melainkan keputusan. Tatapan mata Bintang jatuh tepat ke wajah Lyra. Dalam diam itu, tersimpan pesan yang jelas: gunakan ini, jangan cari cara lain. Lyra menatap laptop itu, lalu kembali menoleh pada Bintang. Tenggorokannya kering, sulit untuk menelan. Rasanya seperti diberi anugerah sekaligus borgol di waktu yang sama. Bibirnya bergerak pelan, suaranya pecah dan bergetar. “Te… terima kasih,” ucapnya lirih. Lalu setelah jeda yang singkat, matanya merunduk semakin dalam. “Dan… maaf… aku sudah bikin masalah malam ini.” Bibir bawahnya tergigit, takut kata-katanya justru memperburuk keadaan. Bintang menatapnya dalam diam, sorot matanya sulit ditebak—antara marah, lega, atau sekadar ingin memastikan Lyra mengerti batasnya. Namun ia tidak menjawab. Lyra menggenggam laptop itu erat, seakan benda itu bukan sekadar alat, tapi juga pengingat betapa rapuhnya dirinya di hadapan Bintang. Bibirnya bergetar, namun ia paksa tetap terkatup. Matanya panas, nyaris pecah menjadi air mata. Ia berkedip cepat, menahan agar cairan itu tidak jatuh di depan pria yang selalu membuatnya merasa kecil sekaligus terlindungi. Napasnya tersendat. “Aku… beneran minta maaf,” bisiknya, hampir tak terdengar. Bintang tidak merespons. Hanya tatapan sekilas, tajam sekaligus melelahkan, sebelum ia akhirnya melangkah pergi meninggalkan Lyra dalam keheningan kamar tamu. Begitu pintu tertutup, Lyra mengangkat wajahnya, menekan dada yang terasa sesak. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya menggantung di pelupuk, namun ia buru-buru menyekanya, berusaha tidak membiarkan dirinya hancur di tempat asing itu. ~~~~ Lyra melangkah masuk ke kamar tamu yang kini menjadi ruangnya di apartemen Bintang. Pintu berderit pelan saat ia dorong, lalu tertutup kembali di belakangnya. Kamar itu hangat dan rapi, jauh dari kos pengap yang dulu sering ia keluhkan sendiri. Namun, alih-alih merasa nyaman, dadanya justru terasa sesak. Semua tampak terlalu teratur, terlalu asing, seperti dunia yang tidak pernah ia pilih. Ia meletakkan laptop baru itu di atas meja belajar, jari-jarinya gemetar halus sebelum akhirnya ia jatuhkan tubuh ke tepi ranjang. Kepalanya menunduk, bahunya bergetar kecil. Ia menekan kedua mata dengan telapak tangan, berusaha keras menahan air mata yang sudah sejak tadi minta jatuh. Lyra mengusap wajahnya dengan punggung tangan, mencoba menghapus sisa basah yang nyaris pecah jadi tangis. Ia menegakkan tubuh perlahan, menatap laptop baru di meja seakan benda itu adalah satu-satunya pegangan agar ia tidak hancur. Dengan tarikan napas panjang, ia bangkit, lalu duduk di kursi. Tangannya sempat ragu sebelum akhirnya menyalakan laptop itu. Cahaya layar menyala, menerangi wajahnya yang masih pucat. File tugas yang sempat membuatnya panik segera ia buka. Matanya berusaha fokus pada barisan kata-kata di layar, meski pikirannya masih bergelombang, penuh dengan gema ucapan Bintang di mobil tadi. Jari-jarinya bergerak di atas keyboard, lebih lambat dari biasanya. Setiap ketukan terasa berat, tapi ia paksakan. Malam merayap makin dalam, jarum jam terus berputar sementara Lyra masih menatap layar. Tugasnya perlahan bertambah, halaman demi halaman. Jari-jarinya yang tadi kaku mulai kehilangan tenaga, ketikannya makin sering salah. Kepalanya terasa berat, mata perih seperti disiram pasir halus. Namun, setiap kali hampir menyerah, ia menggertakkan gigi, memaksa dirinya menambahkan satu kalimat lagi, satu paragraf lagi. Cahaya layar laptop menyinari wajah letihnya, menonjolkan lingkar hitam di bawah mata. Sesekali ia mengusap wajah, sesekali merebahkan dahi ke punggung tangannya, lalu bangkit lagi dengan tenaga sisa. “Aku nggak boleh ketinggalan… ini beasiswaku,” bisiknya parau, hampir seperti gumaman antara sadar dan mimpi. Akhirnya, tubuhnya menyerah. Kepalanya pelan jatuh ke lipatan tangan di atas meja. Layar laptop masih terbuka, menampilkan draf tugas yang belum sepenuhnya selesai. Napas Lyra terdengar teratur, dalam lelah yang terlalu panjang untuk ukuran seorang mahasiswi yang seharusnya hanya memikirkan kuliah dan masa muda. Di kamar tamu apartemen mewah itu, Lyra tertidur sendirian, terkurung dalam dunia yang bukan miliknya, dengan layar biru laptop sebagai satu-satunya saksi perjuangannya malam itu. ~~~ Pintu kamar tamu berderit perlahan. Bintang masuk dengan langkah tenang, matanya langsung menemukan Lyra yang tertidur di meja. Wajahnya menempel di lengan, laptop masih menyala dengan layar dipenuhi tulisan. Bintang mendekat, berdiri di sisi meja. Sesaat ia hanya menatap—wajah Lyra yang lelah, bahu mungilnya yang turun naik, napasnya yang dalam. Ada sesuatu yang membuat dadanya terasa berat. Perlahan, ia menunduk dan meraih tubuh Lyra. Dengan hati-hati, seolah memegang sesuatu yang rapuh, ia mengangkat gadis itu ke dalam pelukannya. Lyra tidak terbangun, hanya bergumam kecil lalu kembali tenggelam dalam tidurnya. Bintang melangkah ke arah kasur tamu. Ia membaringkan Lyra di sana, merapikan posisi selimut agar menutupi tubuhnya. Sejenak ia berhenti, menatap wajah tenang itu, ada ketegangan sekaligus kelembutan yang berperang di sorot matanya. Sebelum pergi, pandangannya tertarik pada laptop yang masih terbuka di meja. Ia mendekat, melihat sekilas file yang dikerjakan Lyra. Tulisan panjang, angka-angka, dan referensi berjejer. Meski belum selesai, jelas usaha keras Lyra tergambar di sana. Bintang menghela napas dalam, jemarinya menutup layar laptop itu dengan hati-hati. “Begitu keras kau berjuang… tapi tetap saja menyakitiku,” bisiknya lirih. Ia menatap sekali lagi ke arah Lyra yang kini terlelap di kasur, lalu keluar dari kamar, menutup pintu pelan.Pagi itu, kampus Teknik terasa lebih ramai dari biasanya. Mahasiswa lalu-lalang di halaman utama, membawa ransel tebal penuh buku dan laptop, sementara suara motor berdesakan di parkiran menciptakan hiruk-pikuk khas pagi hari. Udara segar bercampur aroma kopi dari kantin kecil, dan papan pengumuman dipenuhi poster seminar IT terbaru. Lyra melangkah masuk melalui gerbang utama, tas selempangnya bergoyang ringan di bahu. Setelah dua hari libur yang diisi piknik dan cerita masa lalu dengan Bintang, ia merasa sedikit lebih kuat—tapi bayangan penguntit masih sesekali muncul di benaknya, seperti kabut tipis yang sulit diusir.Ia mengenakan kemeja putih sederhana dengan celana jeans biru, rambutnya diikat ponytail tinggi agar tidak mengganggu saat mengetik di kelas. Kalung cincin pernikahan bergoyang pelan di dadanya, tersembunyi di balik kerah, tapi sentuhannya memberi rasa aman. "Hari ini normal," gumamnya pada diri sendiri, berusaha meyakinkan. Kuliah pagi ini adalah mata kuliah Algoritma
Sore itu, sinar matahari mulai condong, mewarnai langit Jakarta dengan gradasi oranye dan ungu yang lembut. Lyra duduk di bangku taman kecil dekat kampus, angin sepoi membelai rambutnya yang tergerai. Ia baru saja selesai kelas singkat—dosen memahami alasan liburnya kemarin, berkat pesan dari Bintang—dan memutuskan mampir ke sini sebelum pulang. Ponselnya bergetar di tangan, layar menampilkan nama yang sudah lama tidak ia dengar: Ray.Hatinya berdegup sedikit lebih cepat. Ray, sahabat setianya sejak SMA, orang yang selalu ada saat tante memaksa atau beasiswa hampir dicabut. Tapi sejak pernikahan mendadak itu, Lyra sengaja menjaga jarak—bukan karena tidak ingin, tapi karena tak tahu bagaimana menjelaskan. "Halo?" jawabnya pelan, suaranya berusaha santai."Ly! Akhirnya lo angkat juga. Gue nyari lo kemana-mana sejak kemarin. Lo hilang dua hari, nggak ada kabar. Lo baik-baik aja?" Suara Ray di seberang terdengar campur khawatir dan kesal, seperti biasa saat ia panik.Lyra tersenyum kecil,
Cahaya pagi menyusup pelan melalui celah tirai kamar, membentuk garis-garis emas tipis di lantai marmer yang dingin. Lyra membuka mata dengan napas tersengal, tubuhnya basah oleh keringat dingin yang menempel lengket di kulitnya. Jantungnya berdegup kencang, seolah baru saja berlari dari sesuatu yang tak terlihat. Ia duduk setengah bangun, tangannya meraba-raba sisi ranjang di sebelahnya. Hangat. Bintang masih di sana, tidur dengan posisi tegap seperti biasa, napasnya teratur dan dalam.Namun, mimpi buruk itu masih melekat kuat di benaknya. Ia melihatnya lagi—pria berhoodie hitam itu, berdiri di ujung lorong gelap, senyum tipisnya menyeringai seperti pisau. "Kau tidak bisa lari selamanya," bisik suara serak itu di telinganya. Lalu, Bintang muncul, tapi bukannya melindunginya, ia menghilang ke dalam kegelapan, meninggalkannya sendirian. Lyra berlari, tapi kakinya seperti terikat, dan pria itu semakin dekat, tangannya hampir menyentuh bahunya..."Bin..." gumam Lyra lirih, suaranya berge
Malam itu terasa begitu panjang bagi Lyra. Ia terbangun mendadak, tubuhnya berkeringat dingin, napasnya terengah seolah baru saja berlari jauh. Pandangannya langsung mengarah ke sisi ranjang yang seharusnya diisi oleh Bintang. Kosong. Bantal di sampingnya dingin, seolah sudah lama ditinggalkan.Dadanya bergemuruh. Rasa takut yang ia kira sudah mulai reda tiba-tiba kembali menyeruak, membuat tenggorokannya tercekat. Ia memeluk dirinya sendiri, berusaha menenangkan hati, namun semakin ia mencoba, semakin ia merasa hampa.“Bintang…” bisiknya lirih, suara nyaris patah.Tidak ada jawaban. Tidak ada suara langkah. Tidak ada kehangatan di sisinya. Yang tersisa hanya keheningan yang terasa menyesakkan.Lyra turun dari ranjang, kaki telanjangnya menyentuh lantai dingin. Ia melangkah pelan menuju ruang tamu, menyalakan lampu kecil di sudut ruangan dan televisi dengan volume rendah, sekadar untuk memecah kesunyian.Namun, meski suara samar dari TV terdengar, rasa takut tidak juga berkurang. Baya
Suasana jalanan sore terasa berbeda bagi Lyra.Mobil melaju stabil di bawah kendali Bintang. Namun, alih-alih tenang, dadanya masih berdebar kencang. Bayangan pria berhoodie yang mendekatinya di bus tadi seolah terus mengikuti dalam pikirannya. Setiap kata yang dibisikkan pria itu menggema lagi, menusuk telinganya: “Tak peduli seberapa jauh kau sembunyi… aku tetap bisa menemukamu.”Lyra memeluk kedua tangannya sendiri, berusaha menahan gemetar. Ia menoleh ke samping. Bintang duduk di belakang kemudi, wajahnya tanpa ekspresi, hanya tatapan mata dingin yang menatap lurus ke jalanan. Namun, genggaman tangannya di atas roda kemudi begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih.Keheningan terasa berat. Tidak ada musik, tidak ada percakapan. Hanya deru mesin mobil yang mengisi udara.“B-Bintang…” suara Lyra akhirnya pecah, lirih. “Siapa dia? Kenapa dia mengikuti aku?”Bintang menoleh sekilas, lalu kembali fokus ke jalan. Jawabannya singkat, nyaris berbisik, namun penuh tekanan. “Orang yang se
Bus yang biasanya ramai oleh obrolan kini mendadak sunyi. Hanya suara mesin yang menderu, roda berdecit di jalan aspal, dan detak jantung Lyra yang terasa terlalu keras di telinganya.Bintang berdiri tegap, tubuhnya menjadi tembok yang menghalangi Lyra dari pria berhoodie. Aura dingin yang memancar darinya membuat beberapa penumpang bergeser, memberi ruang.“Geser,” ulang Bintang dengan suara rendah, tajam.Pria berhoodie itu menoleh pelan, menatap balik dengan mata berkilat. Senyumnya tipis, sinis, seolah menikmati permainan ini.“Aku hanya berdiri, tidak melakukan apa-apa,” ucapnya datar, tapi tatapannya menusuk ke arah Lyra. “Kalau dia ketakutan, itu urusannya sendiri.”Lyra menegang, tubuhnya bergetar kecil. Ia ingin berkata sesuatu, membela diri, atau sekadar meminta pria itu menjauh. Tapi kata-kata tercekat di tenggorokannya.Bintang meraih tiang besi bus dengan satu tangan, tubuhnya condong sedikit ke depan, nyaris menempel dengan pria itu. “Kau sudah cukup membuatnya takut. Tu







