Home / Romansa / Terikat dalam Pernikahan Mendadak / 7. Sunyi di antara dinding

Share

7. Sunyi di antara dinding

Author: nana
last update Last Updated: 2025-09-19 12:49:56

Pintu apartemen terbuka dengan suara klik halus, disusul aroma khas ruangan yang dingin dan rapi. Lampu-lampu otomatis menyala, memantulkan cahaya lembut di lantai marmer putih yang mengilap.

Lyra melangkah masuk lebih dulu, masih mengenakan jas hitam Bintang yang kebesaran di tubuhnya. Hela napasnya menggantung, tak berani menoleh. Ia bisa mendengar langkah Bintang di belakangnya—tenang, teratur, tapi menimbulkan tekanan tak kasatmata yang membuat punggungnya kaku.

Suara pintu ditutup pelan, lalu hening kembali berkuasa. Hanya detik jam dinding yang terdengar, berdetak lambat, seakan mengejek betapa panjangnya setiap momen.

Lyra menaruh laptop tuanya di meja tamu dengan hati-hati, seolah satu gerakan salah bisa memicu percikan ledakan. Jemarinya gemetar, tapi ia berusaha menutupi dengan mengusap-usap lengan jas yang masih membungkusnya. Hangat kain itu seakan masih menempel di kulit, tapi pikirannya justru semakin berisik.

Tanpa sepatah kata, Bintang berjalan melewati Lyra. Suara langkah sepatunya bergema singkat di lantai marmer sebelum hilang di balik pintu kayu besar—ruang kerjanya.

Lyra berdiri terpaku di ruang tamu, menahan napas. Setiap detik terasa terlalu lama. Bunyi geser kursi, laci yang dibuka, sesuatu yang dikeluarkan… semua samar terdengar dari balik pintu tertutup.

Tak lama kemudian, pintu kembali terbuka. Bintang muncul, masih tanpa suara, sebuah laptop hitam ramping di tangannya. Bukan laptop tua yang selalu Lyra gunakan, tapi perangkat keluaran terbaru dengan logo berkilat di balik layar.

Ia melangkah mendekat, lalu meletakkannya di meja tepat di depan Lyra. Gerakannya tegas, seakan itu bukan tawaran, melainkan keputusan.

Tatapan mata Bintang jatuh tepat ke wajah Lyra. Dalam diam itu, tersimpan pesan yang jelas: gunakan ini, jangan cari cara lain.

Lyra menatap laptop itu, lalu kembali menoleh pada Bintang. Tenggorokannya kering, sulit untuk menelan. Rasanya seperti diberi anugerah sekaligus borgol di waktu yang sama.

Bibirnya bergerak pelan, suaranya pecah dan bergetar.

“Te… terima kasih,” ucapnya lirih. Lalu setelah jeda yang singkat, matanya merunduk semakin dalam. “Dan… maaf… aku sudah bikin masalah malam ini.”

Bibir bawahnya tergigit, takut kata-katanya justru memperburuk keadaan.

Bintang menatapnya dalam diam, sorot matanya sulit ditebak—antara marah, lega, atau sekadar ingin memastikan Lyra mengerti batasnya. Namun ia tidak menjawab.

Lyra menggenggam laptop itu erat, seakan benda itu bukan sekadar alat, tapi juga pengingat betapa rapuhnya dirinya di hadapan Bintang. Bibirnya bergetar, namun ia paksa tetap terkatup.

Matanya panas, nyaris pecah menjadi air mata. Ia berkedip cepat, menahan agar cairan itu tidak jatuh di depan pria yang selalu membuatnya merasa kecil sekaligus terlindungi.

Napasnya tersendat. “Aku… beneran minta maaf,” bisiknya, hampir tak terdengar.

Bintang tidak merespons. Hanya tatapan sekilas, tajam sekaligus melelahkan, sebelum ia akhirnya melangkah pergi meninggalkan Lyra dalam keheningan kamar tamu.

Begitu pintu tertutup, Lyra mengangkat wajahnya, menekan dada yang terasa sesak. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya menggantung di pelupuk, namun ia buru-buru menyekanya, berusaha tidak membiarkan dirinya hancur di tempat asing itu.

~~~~

Lyra melangkah masuk ke kamar tamu yang kini menjadi ruangnya di apartemen Bintang. Pintu berderit pelan saat ia dorong, lalu tertutup kembali di belakangnya.

Kamar itu hangat dan rapi, jauh dari kos pengap yang dulu sering ia keluhkan sendiri. Namun, alih-alih merasa nyaman, dadanya justru terasa sesak. Semua tampak terlalu teratur, terlalu asing, seperti dunia yang tidak pernah ia pilih.

Ia meletakkan laptop baru itu di atas meja belajar, jari-jarinya gemetar halus sebelum akhirnya ia jatuhkan tubuh ke tepi ranjang.

Kepalanya menunduk, bahunya bergetar kecil. Ia menekan kedua mata dengan telapak tangan, berusaha keras menahan air mata yang sudah sejak tadi minta jatuh.

Lyra mengusap wajahnya dengan punggung tangan, mencoba menghapus sisa basah yang nyaris pecah jadi tangis. Ia menegakkan tubuh perlahan, menatap laptop baru di meja seakan benda itu adalah satu-satunya pegangan agar ia tidak hancur.

Dengan tarikan napas panjang, ia bangkit, lalu duduk di kursi. Tangannya sempat ragu sebelum akhirnya menyalakan laptop itu. Cahaya layar menyala, menerangi wajahnya yang masih pucat.

File tugas yang sempat membuatnya panik segera ia buka. Matanya berusaha fokus pada barisan kata-kata di layar, meski pikirannya masih bergelombang, penuh dengan gema ucapan Bintang di mobil tadi.

Jari-jarinya bergerak di atas keyboard, lebih lambat dari biasanya. Setiap ketukan terasa berat, tapi ia paksakan.

Malam merayap makin dalam, jarum jam terus berputar sementara Lyra masih menatap layar. Tugasnya perlahan bertambah, halaman demi halaman. Jari-jarinya yang tadi kaku mulai kehilangan tenaga, ketikannya makin sering salah.

Kepalanya terasa berat, mata perih seperti disiram pasir halus. Namun, setiap kali hampir menyerah, ia menggertakkan gigi, memaksa dirinya menambahkan satu kalimat lagi, satu paragraf lagi.

Cahaya layar laptop menyinari wajah letihnya, menonjolkan lingkar hitam di bawah mata. Sesekali ia mengusap wajah, sesekali merebahkan dahi ke punggung tangannya, lalu bangkit lagi dengan tenaga sisa.

“Aku nggak boleh ketinggalan… ini beasiswaku,” bisiknya parau, hampir seperti gumaman antara sadar dan mimpi.

Akhirnya, tubuhnya menyerah. Kepalanya pelan jatuh ke lipatan tangan di atas meja. Layar laptop masih terbuka, menampilkan draf tugas yang belum sepenuhnya selesai. Napas Lyra terdengar teratur, dalam lelah yang terlalu panjang untuk ukuran seorang mahasiswi yang seharusnya hanya memikirkan kuliah dan masa muda.

Di kamar tamu apartemen mewah itu, Lyra tertidur sendirian, terkurung dalam dunia yang bukan miliknya, dengan layar biru laptop sebagai satu-satunya saksi perjuangannya malam itu.

~~~

Pintu kamar tamu berderit perlahan. Bintang masuk dengan langkah tenang, matanya langsung menemukan Lyra yang tertidur di meja. Wajahnya menempel di lengan, laptop masih menyala dengan layar dipenuhi tulisan.

Bintang mendekat, berdiri di sisi meja. Sesaat ia hanya menatap—wajah Lyra yang lelah, bahu mungilnya yang turun naik, napasnya yang dalam. Ada sesuatu yang membuat dadanya terasa berat.

Perlahan, ia menunduk dan meraih tubuh Lyra. Dengan hati-hati, seolah memegang sesuatu yang rapuh, ia mengangkat gadis itu ke dalam pelukannya. Lyra tidak terbangun, hanya bergumam kecil lalu kembali tenggelam dalam tidurnya.

Bintang melangkah ke arah kasur tamu. Ia membaringkan Lyra di sana, merapikan posisi selimut agar menutupi tubuhnya. Sejenak ia berhenti, menatap wajah tenang itu, ada ketegangan sekaligus kelembutan yang berperang di sorot matanya.

Sebelum pergi, pandangannya tertarik pada laptop yang masih terbuka di meja. Ia mendekat, melihat sekilas file yang dikerjakan Lyra. Tulisan panjang, angka-angka, dan referensi berjejer. Meski belum selesai, jelas usaha keras Lyra tergambar di sana.

Bintang menghela napas dalam, jemarinya menutup layar laptop itu dengan hati-hati. “Begitu keras kau berjuang… tapi tetap saja menyakitiku,” bisiknya lirih.

Ia menatap sekali lagi ke arah Lyra yang kini terlelap di kasur, lalu keluar dari kamar, menutup pintu pelan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terikat dalam Pernikahan Mendadak   8. Jejak malam itu

    Lampu meja menyala temaram, cahayanya jatuh hanya pada tumpukan dokumen yang tertata di atas meja kayu hitam. Bayangan samar tercetak di dinding, bergerak pelan mengikuti nyala bohlam yang bergetar halus. Di tengah keheningan itu, detik jam dinding terdengar nyaring, seolah setiap putarannya menegaskan betapa malam ini berjalan lambat.Bintang duduk bersandar di kursinya, punggung tegak namun kepalanya tertunduk, tatapannya kosong pada layar komputer yang tak beranjak dari halaman awal. Pekerjaan yang biasanya menuntut presisi dan ketelitian kini hanya tampak seperti gangguan. Ia bahkan tidak mencoba menyentuh keyboard.Pikirannya berada di tempat lain. Tepatnya, pada sosok yang kini terlelap di kamar tamu.Lyra.Nama itu saja sudah cukup membuat dadanya terasa berat. Bayangan wajah lelah gadis itu menempel jelas dalam ingatannya—alis tipis yang berkerut karena terlalu lama menatap layar, jemari yang memerah lantaran tak henti mengetik, napas berat yang akhirnya menyerah dalam tidur.

  • Terikat dalam Pernikahan Mendadak   7. Sunyi di antara dinding

    Pintu apartemen terbuka dengan suara klik halus, disusul aroma khas ruangan yang dingin dan rapi. Lampu-lampu otomatis menyala, memantulkan cahaya lembut di lantai marmer putih yang mengilap.Lyra melangkah masuk lebih dulu, masih mengenakan jas hitam Bintang yang kebesaran di tubuhnya. Hela napasnya menggantung, tak berani menoleh. Ia bisa mendengar langkah Bintang di belakangnya—tenang, teratur, tapi menimbulkan tekanan tak kasatmata yang membuat punggungnya kaku.Suara pintu ditutup pelan, lalu hening kembali berkuasa. Hanya detik jam dinding yang terdengar, berdetak lambat, seakan mengejek betapa panjangnya setiap momen.Lyra menaruh laptop tuanya di meja tamu dengan hati-hati, seolah satu gerakan salah bisa memicu percikan ledakan. Jemarinya gemetar, tapi ia berusaha menutupi dengan mengusap-usap lengan jas yang masih membungkusnya. Hangat kain itu seakan masih menempel di kulit, tapi pikirannya justru semakin berisik.Tanpa sepatah kata, Bintang berjalan melewati Lyra. Suara lan

  • Terikat dalam Pernikahan Mendadak   6. Hangat yang Membelenggu

    Pintu mobil tertutup rapat, menelan Lyra ke dalam ruang sempit beraroma kulit mahal dan parfum maskulin yang begitu asing tapi kini mulai menempel di inderanya. Suara jalanan di luar teredam, hanya tersisa dengung mesin yang stabil dan denyut jantungnya sendiri yang tak karuan.Bintang duduk di kursi pengemudi, diam. Tangannya mantap di setir, sorot matanya lurus menatap jalan. Mobil melaju stabil, setiap gerakan setirnya presisi, seakan ia mengendalikan bukan hanya arah mobil, tapi juga arah napas Lyra.Lyra menggenggam laptopnya erat di pangkuan, seolah benda tua itu satu-satunya pelindungnya dari badai yang siap meledak.Akhirnya, Bintang membuka suara. “Kau tahu berapa banyak kemungkinan buruk yang bisa terjadi pada seorang perempuan sendirian di jalan jam segini?”Nada suaranya tenang, tapi terlalu dingin, terlalu tajam.Lyra menelan ludah. “Aku… aku nggak punya pilihan lain. Kalau tugasnya nggak selesai, aku bisa kehilangan beasiswa. Itu berarti aku kehilangan segalanya.”Bintan

  • Terikat dalam Pernikahan Mendadak   5. Malam di toko servis

    Udara malam Jakarta menusuk kulit saat Lyra keluar dari taksi online di sebuah ruko sempit. Lampu neon bertuliskan “Servis Laptop & Komputer – Buka 24 Jam” berkelip-kelip, setengah mati. Jalanan lengang, hanya ada beberapa warung kopi kecil yang masih buka, dengan deretan motor parkir seadanya. Lyra menggenggam erat tas berisi laptopnya. Napasnya masih berat karena terburu-buru. Ia melirik papan jam digital di apotek seberang: 23:42. Masih ada waktu, semoga. Ia melangkah masuk. Bau solder dan debu elektronik langsung menyambut. Di balik meja kayu yang penuh obeng dan kabel, seorang pria paruh baya berkacamata menoleh. Rambutnya berantakan, kausnya lusuh bertuliskan “Teknisi Sejati”. “Servis, Mbak?” tanyanya datar, tapi matanya langsung tertuju pada tas Lyra. Lyra buru-buru mengeluarkan laptop tuanya, meletakkannya di atas meja. “Pak, tolong… laptop saya tiba-tiba mati. Nggak nyala sama sekali. Padahal tadi masih saya pakai.” Suaranya tergesa, nyaris panik. Teknisi itu mengangguk

  • Terikat dalam Pernikahan Mendadak   4. Perkara laptop

    Suasana di apartemen itu masih terasa asing bagi Lyra, seakan setiap sudutnya menegaskan bahwa ia tidak benar-benar pantas berada di sini. Dinding putih yang bersih sempurna, lantai marmer berkilau, perabotan mahal yang bahkan takut ia sentuh—semua seperti museum, bukan tempat tinggal.Sudah tiga hari sejak ia tinggal di apartemen Bintang Skylar. Tiga hari yang terasa lebih panjang daripada satu semester kuliah.Pagi itu, Lyra bangun lebih cepat dari biasanya. Mungkin karena resah, mungkin karena rasa tidak nyaman yang masih menggantung. Ia terbiasa di rumah kontrakan kecil bersama tantenya, di mana suara ayam tetangga atau motor lewat menjadi alarm alami. Di sini, semuanya terlalu senyap. Terlalu steril.Dengan hati-hati, ia melangkah ke dapur. Niatnya sederhana: membuat sarapan sendiri. Tapi begitu membuka kulkas, matanya membelalak. Rak-rak penuh dengan bahan makanan impor, keju asing dengan nama yang tak bisa ia baca, daging berlabel premium, dan aneka minuman dalam botol kaca. Ti

  • Terikat dalam Pernikahan Mendadak   3. Bayangan di kampus

    Suara mesin espresso mendesis di kafe kecil depan kampus. Lyra berdiri di dekat etalase kaca, menunggu minumannya selesai. Hoodie abu-abu yang sama ia kenakan, rambut hitamnya diikat seadanya. Dari luar, ia tampak seperti Lyra yang dulu—mahasiswi tingkat dua jurusan Teknik Informatika, hidup sederhana dengan beasiswa penuh. Namun di balik itu semua, ada sesuatu yang sudah bergeser.Cincin di jarinya berkilau samar ketika cahaya matahari menembus kaca. Refleks, Lyra menyelipkan tangannya ke saku hoodie.Kalau ada yang lihat… aku harus jawab apa?“Lyra!”Suara familiar membuatnya menoleh. Ray berlari kecil dari arah gerbang, kemeja kotak-kotaknya kusut, tas selempang penuh coretan spidol bergoyang di bahu. Wajahnya campuran lega dan kesal.“Lo kemana aja kemarin? Seharian ngilang, nggak masuk kuliah, nggak ada kabar. Gue nyaris lapor polisi, Ly!”Lyra tercekat. Kata-kata yang ingin ia ucapkan tertahan di tenggorokan. Bagaimana ia bisa menjelaskan sesuatu yang bahkan dirinya belum menger

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status