Share

8. Jejak malam itu

Author: nana
last update Last Updated: 2025-09-19 13:03:13

Lampu meja menyala temaram, cahayanya jatuh hanya pada tumpukan dokumen yang tertata di atas meja kayu hitam. Bayangan samar tercetak di dinding, bergerak pelan mengikuti nyala bohlam yang bergetar halus. Di tengah keheningan itu, detik jam dinding terdengar nyaring, seolah setiap putarannya menegaskan betapa malam ini berjalan lambat.

Bintang duduk bersandar di kursinya, punggung tegak namun kepalanya tertunduk, tatapannya kosong pada layar komputer yang tak beranjak dari halaman awal. Pekerjaan yang biasanya menuntut presisi dan ketelitian kini hanya tampak seperti gangguan. Ia bahkan tidak mencoba menyentuh keyboard.

Pikirannya berada di tempat lain. Tepatnya, pada sosok yang kini terlelap di kamar tamu.

Lyra.

Nama itu saja sudah cukup membuat dadanya terasa berat. Bayangan wajah lelah gadis itu menempel jelas dalam ingatannya—alis tipis yang berkerut karena terlalu lama menatap layar, jemari yang memerah lantaran tak henti mengetik, napas berat yang akhirnya menyerah dalam tidur. Detail kecil yang tak pernah ia pedulikan pada orang lain, malam ini justru menghantamnya dengan kekuatan aneh.

“Kenapa kau selalu memilih jalan paling sulit…” suaranya lirih, nyaris seperti keluhan yang dipendam. “Padahal aku bisa memberimu segalanya.”

Tangannya bergerak, membuka laci meja. Sebuah buku nikah dengan cap pengadilan agama tersimpan rapi di dalamnya. Bintang menatap sampul cokelat itu lama. Ia menekan bagian tengahnya hingga melengkung, seolah mencoba merasakan kepastian dari benda mati itu. Ada rasa puas, benar, karena ia telah mengikat Lyra secara sah. Namun di sela-sela rasa puas itu, mengintip kehampaan yang bahkan ia sendiri tidak mengerti.

Ia menoleh ke arah pintu. Dinding pemisah seakan tipis, membuatnya ingin menembus dan memastikan bahwa Lyra benar-benar tidur nyenyak. “Tidurlah, Lyra,” bisiknya, tapi suara itu terdengar lebih seperti perintah untuk dirinya sendiri agar berhenti gelisah.

Namun ketenangan tak juga datang. Justru sebaliknya—kenangan lama menyerbu tanpa ampun.

Dentuman musik. Lampu strobe yang berkelip liar. Bau alkohol menusuk hidung. Malam itu, malam ketika Lyra pertama kali melangkah ke dunia yang sama sekali bukan miliknya: sebuah klub dengan lampu neon yang mengaburkan wajah-wajah asing.

Dari sudut ruangan VIP, Bintang duduk dengan pandangan tenang—atau setidaknya terlihat begitu bagi orang lain. Segelas minuman masih utuh di tangannya, namun matanya terkunci hanya pada satu sosok di lantai dansa.

Lyra. Gadis dengan rambut hitam panjang, mengenakan hoddie sederhana yang tampak begitu kontras dengan kilau lampu. Ia berdiri canggung, jelas-jelas ingin pergi namun mencoba menahan diri. Ada ketakutan samar di matanya, tetapi juga keberanian yang ia paksakan. Ketika teman meninggalkannya, Lyra berdiri sendiri di keramaian, berpura-pura sibuk dengan ponsel agar terlihat tegar.

Bintang yang selama ini terbiasa menghadapi dunia tanpa getaran hati, malam itu merasakan sesuatu yang berbeda. Getaran yang ia benci, sekaligus sulit ditolak.

Lalu matanya menangkap sesuatu di dekat bar. Seorang pria berjaket gelap. Tatapannya tak lepas dari Lyra. Gerakannya nyaris tak terlihat, memberi kode cepat pada bartender. Hanya mata yang terbiasa membaca bahasa tubuh berbahaya yang bisa menangkapnya. Bartender itu mengangguk tipis.

Rahang Bintang mengeras.

Beberapa menit kemudian, segelas tequila diletakkan di meja. Cairannya berkilau mencurigakan, berpendar samar di bawah cahaya neon.

Bintang tak mengalihkan pandangan barang sedetik. Ia memberi isyarat singkat kepada orang kepercayaannya untuk bergerak. Namun sebelum orang itu sempat sampai, Lyra sudah meraih gelas tersebut.

Tanpa curiga. Tanpa sadar. Ia meneguknya dalam sekali.

“Brengsek,” desis Bintang.

Tatapannya menusuk bartender yang berpura-pura sibuk, namun hanya sekilas. Karena matanya kembali jatuh pada Lyra—masih polos, masih rapuh, sama sekali tidak menyadari betapa dekatnya ia dengan bahaya.

Dan pada momen itu, Bintang tahu satu hal, gadis itu tidak boleh dibiarkan sendirian lagi.

Bintang mengembuskan napas panjang, kembali pada realita di ruang kerja. Pelipisnya berdenyut, dadanya sesak. Ia mengingat bagaimana malam itu ia turun tangan, dan betapa lega dirinya setelah memastikan Lyra selamat. Kenangan itu bukan sekadar trauma—ia justru menjadi penanda. Penanda bahwa sejak malam itu, ada sesuatu dalam dirinya yang bergeser. Dinding-dinding yang selama ini ia bangun runtuh. Dan di balik reruntuhan itu, ada satu keinginan yang tumbu, melindungi Lyra, dengan cara apa pun yang ia mampu.

Ia mematikan layar komputer, lalu berdiri. Langkah sendalnya terdengar tegas di lantai marmer, namun hatinya tidak setegas itu. Ada sesuatu yang menahan di setiap langkah, seolah ia sedang mendekati sebuah garis tipis yang bisa mengubah segalanya.

~~~~

Pintu kamar tamu terbuka perlahan. Cahaya lampu meja menyambutnya. Lyra masih terlelap di atas kasur, wajahnya tenang meski menyisakan sisa lelah. Selimut melingkupi tubuhnya rapat, napasnya teratur.

Bintang menoleh pada meja di sudut kamar. Laptop Lyra terbuka setengah, ditemani tumpukan catatan penuh coretan tangan. Ia menarik kursi, duduk tanpa suara, lalu membuka kembali layar laptop itu.

Deretan angka, diagram, dan baris kode memenuhi layar. Sesuatu yang asing baginya. Alisnya berkerut. Otaknya terbiasa pada laporan bisnis dan strategi, bukan logika rumit yang dipenuhi simbol. Namun entah dorongan dari mana, ia tidak menghentikan diri.

Ia mulai membaca catatan Lyra, mencoba mengikuti alur pikirannya. Jemarinya bergerak kaku di atas keyboard. Sering salah. Sering menghapus. Tapi ia kembali mencoba. Sesekali pandangannya berhenti pada wajah Lyra di kasur, lalu kembali lagi ke layar.

“Kalau kau tidak mampu memintanya dariku… biar aku sendiri yang melakukannya,” gumamnya, nada rendah yang lebih menyerupai janji.

Waktu berjalan, jam terus berputar. Malam semakin larut, hanya suara ketikan laptop yang menemani. Dalam kesunyian itu, ada sesuatu yang berbeda—kesabaran yang belum pernah ia curahkan pada hal lain selain Lyra.

Hampir dini hari ketika ia berhenti. Layar laptop menampilkan hasil yang belum sempurna, tetapi sebagian besar soal telah terselesaikan. Hanya tersisa sedikit yang perlu disempurnakan Lyra.

Bintang bersandar, mengusap wajahnya. Tubuhnya pegal, tapi bukan itu yang menyibukkannya. Ia menatap layar lekat-lekat, tak percaya ia benar-benar sudah sejauh ini—menyusuri dunia asing hanya demi tugas seorang gadis yang bahkan masih menjaga jarak dengannya.

Sebuah senyum tipis muncul di bibirnya. “Aku ini apa… sekretarismu, atau apa, Lyra?” katanya lirih, seperti mengejek dirinya sendiri.

Namun begitu ia menoleh, melihat Lyra yang tertidur dengan napas tenang, senyum itu pudar. Digantikan sorot mata yang serius, nyaris rapuh. “Tidak… kau lebih dari itu,” bisiknya.

Ia menutup laptop perlahan agar tidak menimbulkan suara, merapikan catatan, lalu berdiri. Sebelum pergi, ia kembali menatap Lyra. Ada kepuasan yang sulit dijelaskan. Bukan karena soal yang ia kerjakan, melainkan karena tahu esok Lyra akan bangun dengan beban sedikit lebih ringan. B

intang mengembuskan napas panjang. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, usahanya bukan soal ambisi atau kuasa.

Malam itu, ia menyadari satu hal, sekalipun ia tidak memahami dunia Lyra sepenuhnya, ia akan selalu mencari jalan untuk tetap berada di dalamnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terikat dalam Pernikahan Mendadak   8. Jejak malam itu

    Lampu meja menyala temaram, cahayanya jatuh hanya pada tumpukan dokumen yang tertata di atas meja kayu hitam. Bayangan samar tercetak di dinding, bergerak pelan mengikuti nyala bohlam yang bergetar halus. Di tengah keheningan itu, detik jam dinding terdengar nyaring, seolah setiap putarannya menegaskan betapa malam ini berjalan lambat.Bintang duduk bersandar di kursinya, punggung tegak namun kepalanya tertunduk, tatapannya kosong pada layar komputer yang tak beranjak dari halaman awal. Pekerjaan yang biasanya menuntut presisi dan ketelitian kini hanya tampak seperti gangguan. Ia bahkan tidak mencoba menyentuh keyboard.Pikirannya berada di tempat lain. Tepatnya, pada sosok yang kini terlelap di kamar tamu.Lyra.Nama itu saja sudah cukup membuat dadanya terasa berat. Bayangan wajah lelah gadis itu menempel jelas dalam ingatannya—alis tipis yang berkerut karena terlalu lama menatap layar, jemari yang memerah lantaran tak henti mengetik, napas berat yang akhirnya menyerah dalam tidur.

  • Terikat dalam Pernikahan Mendadak   7. Sunyi di antara dinding

    Pintu apartemen terbuka dengan suara klik halus, disusul aroma khas ruangan yang dingin dan rapi. Lampu-lampu otomatis menyala, memantulkan cahaya lembut di lantai marmer putih yang mengilap.Lyra melangkah masuk lebih dulu, masih mengenakan jas hitam Bintang yang kebesaran di tubuhnya. Hela napasnya menggantung, tak berani menoleh. Ia bisa mendengar langkah Bintang di belakangnya—tenang, teratur, tapi menimbulkan tekanan tak kasatmata yang membuat punggungnya kaku.Suara pintu ditutup pelan, lalu hening kembali berkuasa. Hanya detik jam dinding yang terdengar, berdetak lambat, seakan mengejek betapa panjangnya setiap momen.Lyra menaruh laptop tuanya di meja tamu dengan hati-hati, seolah satu gerakan salah bisa memicu percikan ledakan. Jemarinya gemetar, tapi ia berusaha menutupi dengan mengusap-usap lengan jas yang masih membungkusnya. Hangat kain itu seakan masih menempel di kulit, tapi pikirannya justru semakin berisik.Tanpa sepatah kata, Bintang berjalan melewati Lyra. Suara lan

  • Terikat dalam Pernikahan Mendadak   6. Hangat yang Membelenggu

    Pintu mobil tertutup rapat, menelan Lyra ke dalam ruang sempit beraroma kulit mahal dan parfum maskulin yang begitu asing tapi kini mulai menempel di inderanya. Suara jalanan di luar teredam, hanya tersisa dengung mesin yang stabil dan denyut jantungnya sendiri yang tak karuan.Bintang duduk di kursi pengemudi, diam. Tangannya mantap di setir, sorot matanya lurus menatap jalan. Mobil melaju stabil, setiap gerakan setirnya presisi, seakan ia mengendalikan bukan hanya arah mobil, tapi juga arah napas Lyra.Lyra menggenggam laptopnya erat di pangkuan, seolah benda tua itu satu-satunya pelindungnya dari badai yang siap meledak.Akhirnya, Bintang membuka suara. “Kau tahu berapa banyak kemungkinan buruk yang bisa terjadi pada seorang perempuan sendirian di jalan jam segini?”Nada suaranya tenang, tapi terlalu dingin, terlalu tajam.Lyra menelan ludah. “Aku… aku nggak punya pilihan lain. Kalau tugasnya nggak selesai, aku bisa kehilangan beasiswa. Itu berarti aku kehilangan segalanya.”Bintan

  • Terikat dalam Pernikahan Mendadak   5. Malam di toko servis

    Udara malam Jakarta menusuk kulit saat Lyra keluar dari taksi online di sebuah ruko sempit. Lampu neon bertuliskan “Servis Laptop & Komputer – Buka 24 Jam” berkelip-kelip, setengah mati. Jalanan lengang, hanya ada beberapa warung kopi kecil yang masih buka, dengan deretan motor parkir seadanya. Lyra menggenggam erat tas berisi laptopnya. Napasnya masih berat karena terburu-buru. Ia melirik papan jam digital di apotek seberang: 23:42. Masih ada waktu, semoga. Ia melangkah masuk. Bau solder dan debu elektronik langsung menyambut. Di balik meja kayu yang penuh obeng dan kabel, seorang pria paruh baya berkacamata menoleh. Rambutnya berantakan, kausnya lusuh bertuliskan “Teknisi Sejati”. “Servis, Mbak?” tanyanya datar, tapi matanya langsung tertuju pada tas Lyra. Lyra buru-buru mengeluarkan laptop tuanya, meletakkannya di atas meja. “Pak, tolong… laptop saya tiba-tiba mati. Nggak nyala sama sekali. Padahal tadi masih saya pakai.” Suaranya tergesa, nyaris panik. Teknisi itu mengangguk

  • Terikat dalam Pernikahan Mendadak   4. Perkara laptop

    Suasana di apartemen itu masih terasa asing bagi Lyra, seakan setiap sudutnya menegaskan bahwa ia tidak benar-benar pantas berada di sini. Dinding putih yang bersih sempurna, lantai marmer berkilau, perabotan mahal yang bahkan takut ia sentuh—semua seperti museum, bukan tempat tinggal.Sudah tiga hari sejak ia tinggal di apartemen Bintang Skylar. Tiga hari yang terasa lebih panjang daripada satu semester kuliah.Pagi itu, Lyra bangun lebih cepat dari biasanya. Mungkin karena resah, mungkin karena rasa tidak nyaman yang masih menggantung. Ia terbiasa di rumah kontrakan kecil bersama tantenya, di mana suara ayam tetangga atau motor lewat menjadi alarm alami. Di sini, semuanya terlalu senyap. Terlalu steril.Dengan hati-hati, ia melangkah ke dapur. Niatnya sederhana: membuat sarapan sendiri. Tapi begitu membuka kulkas, matanya membelalak. Rak-rak penuh dengan bahan makanan impor, keju asing dengan nama yang tak bisa ia baca, daging berlabel premium, dan aneka minuman dalam botol kaca. Ti

  • Terikat dalam Pernikahan Mendadak   3. Bayangan di kampus

    Suara mesin espresso mendesis di kafe kecil depan kampus. Lyra berdiri di dekat etalase kaca, menunggu minumannya selesai. Hoodie abu-abu yang sama ia kenakan, rambut hitamnya diikat seadanya. Dari luar, ia tampak seperti Lyra yang dulu—mahasiswi tingkat dua jurusan Teknik Informatika, hidup sederhana dengan beasiswa penuh. Namun di balik itu semua, ada sesuatu yang sudah bergeser.Cincin di jarinya berkilau samar ketika cahaya matahari menembus kaca. Refleks, Lyra menyelipkan tangannya ke saku hoodie.Kalau ada yang lihat… aku harus jawab apa?“Lyra!”Suara familiar membuatnya menoleh. Ray berlari kecil dari arah gerbang, kemeja kotak-kotaknya kusut, tas selempang penuh coretan spidol bergoyang di bahu. Wajahnya campuran lega dan kesal.“Lo kemana aja kemarin? Seharian ngilang, nggak masuk kuliah, nggak ada kabar. Gue nyaris lapor polisi, Ly!”Lyra tercekat. Kata-kata yang ingin ia ucapkan tertahan di tenggorokan. Bagaimana ia bisa menjelaskan sesuatu yang bahkan dirinya belum menger

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status