MasukLampu meja menyala temaram, cahayanya jatuh hanya pada tumpukan dokumen yang tertata di atas meja kayu hitam. Bayangan samar tercetak di dinding, bergerak pelan mengikuti nyala bohlam yang bergetar halus. Di tengah keheningan itu, detik jam dinding terdengar nyaring, seolah setiap putarannya menegaskan betapa malam ini berjalan lambat.
Bintang duduk bersandar di kursinya, punggung tegak namun kepalanya tertunduk, tatapannya kosong pada layar komputer yang tak beranjak dari halaman awal. Pekerjaan yang biasanya menuntut presisi dan ketelitian kini hanya tampak seperti gangguan. Ia bahkan tidak mencoba menyentuh keyboard.
Pikirannya berada di tempat lain. Tepatnya, pada sosok yang kini terlelap di kamar tamu.
Lyra.
Nama itu saja sudah cukup membuat dadanya terasa berat. Bayangan wajah lelah gadis itu menempel jelas dalam ingatannya—alis tipis yang berkerut karena terlalu lama menatap layar, jemari yang memerah lantaran tak henti mengetik, napas berat yang akhirnya menyerah dalam tidur. Detail kecil yang tak pernah ia pedulikan pada orang lain, malam ini justru menghantamnya dengan kekuatan aneh.
“Kenapa kau selalu memilih jalan paling sulit…” suaranya lirih, nyaris seperti keluhan yang dipendam. “Padahal aku bisa memberimu segalanya.”
Tangannya bergerak, membuka laci meja. Sebuah buku nikah dengan cap pengadilan agama tersimpan rapi di dalamnya. Bintang menatap sampul cokelat itu lama. Ia menekan bagian tengahnya hingga melengkung, seolah mencoba merasakan kepastian dari benda mati itu. Ada rasa puas, benar, karena ia telah mengikat Lyra secara sah. Namun di sela-sela rasa puas itu, mengintip kehampaan yang bahkan ia sendiri tidak mengerti.
Ia menoleh ke arah pintu. Dinding pemisah seakan tipis, membuatnya ingin menembus dan memastikan bahwa Lyra benar-benar tidur nyenyak. “Tidurlah, Lyra,” bisiknya, tapi suara itu terdengar lebih seperti perintah untuk dirinya sendiri agar berhenti gelisah.
Namun ketenangan tak juga datang. Justru sebaliknya—kenangan lama menyerbu tanpa ampun.
Dentuman musik. Lampu strobe yang berkelip liar. Bau alkohol menusuk hidung. Malam itu, malam ketika Lyra pertama kali melangkah ke dunia yang sama sekali bukan miliknya: sebuah klub dengan lampu neon yang mengaburkan wajah-wajah asing.
Dari sudut ruangan VIP, Bintang duduk dengan pandangan tenang—atau setidaknya terlihat begitu bagi orang lain. Segelas minuman masih utuh di tangannya, namun matanya terkunci hanya pada satu sosok di lantai dansa.
Lyra. Gadis dengan rambut hitam panjang, mengenakan hoddie sederhana yang tampak begitu kontras dengan kilau lampu. Ia berdiri canggung, jelas-jelas ingin pergi namun mencoba menahan diri. Ada ketakutan samar di matanya, tetapi juga keberanian yang ia paksakan. Ketika teman meninggalkannya, Lyra berdiri sendiri di keramaian, berpura-pura sibuk dengan ponsel agar terlihat tegar.
Bintang yang selama ini terbiasa menghadapi dunia tanpa getaran hati, malam itu merasakan sesuatu yang berbeda. Getaran yang ia benci, sekaligus sulit ditolak.
Lalu matanya menangkap sesuatu di dekat bar. Seorang pria berjaket gelap. Tatapannya tak lepas dari Lyra. Gerakannya nyaris tak terlihat, memberi kode cepat pada bartender. Hanya mata yang terbiasa membaca bahasa tubuh berbahaya yang bisa menangkapnya. Bartender itu mengangguk tipis.
Rahang Bintang mengeras.
Beberapa menit kemudian, segelas tequila diletakkan di meja. Cairannya berkilau mencurigakan, berpendar samar di bawah cahaya neon.
Bintang tak mengalihkan pandangan barang sedetik. Ia memberi isyarat singkat kepada orang kepercayaannya untuk bergerak. Namun sebelum orang itu sempat sampai, Lyra sudah meraih gelas tersebut.
Tanpa curiga. Tanpa sadar. Ia meneguknya dalam sekali.
“Brengsek,” desis Bintang.
Tatapannya menusuk bartender yang berpura-pura sibuk, namun hanya sekilas. Karena matanya kembali jatuh pada Lyra—masih polos, masih rapuh, sama sekali tidak menyadari betapa dekatnya ia dengan bahaya.
Dan pada momen itu, Bintang tahu satu hal, gadis itu tidak boleh dibiarkan sendirian lagi.
Bintang mengembuskan napas panjang, kembali pada realita di ruang kerja. Pelipisnya berdenyut, dadanya sesak. Ia mengingat bagaimana malam itu ia turun tangan, dan betapa lega dirinya setelah memastikan Lyra selamat. Kenangan itu bukan sekadar trauma—ia justru menjadi penanda. Penanda bahwa sejak malam itu, ada sesuatu dalam dirinya yang bergeser. Dinding-dinding yang selama ini ia bangun runtuh. Dan di balik reruntuhan itu, ada satu keinginan yang tumbu, melindungi Lyra, dengan cara apa pun yang ia mampu.
Ia mematikan layar komputer, lalu berdiri. Langkah sendalnya terdengar tegas di lantai marmer, namun hatinya tidak setegas itu. Ada sesuatu yang menahan di setiap langkah, seolah ia sedang mendekati sebuah garis tipis yang bisa mengubah segalanya.
~~~~
Pintu kamar tamu terbuka perlahan. Cahaya lampu meja menyambutnya. Lyra masih terlelap di atas kasur, wajahnya tenang meski menyisakan sisa lelah. Selimut melingkupi tubuhnya rapat, napasnya teratur.
Bintang menoleh pada meja di sudut kamar. Laptop Lyra terbuka setengah, ditemani tumpukan catatan penuh coretan tangan. Ia menarik kursi, duduk tanpa suara, lalu membuka kembali layar laptop itu.
Deretan angka, diagram, dan baris kode memenuhi layar. Sesuatu yang asing baginya. Alisnya berkerut. Otaknya terbiasa pada laporan bisnis dan strategi, bukan logika rumit yang dipenuhi simbol. Namun entah dorongan dari mana, ia tidak menghentikan diri.
Ia mulai membaca catatan Lyra, mencoba mengikuti alur pikirannya. Jemarinya bergerak kaku di atas keyboard. Sering salah. Sering menghapus. Tapi ia kembali mencoba. Sesekali pandangannya berhenti pada wajah Lyra di kasur, lalu kembali lagi ke layar.
“Kalau kau tidak mampu memintanya dariku… biar aku sendiri yang melakukannya,” gumamnya, nada rendah yang lebih menyerupai janji.
Waktu berjalan, jam terus berputar. Malam semakin larut, hanya suara ketikan laptop yang menemani. Dalam kesunyian itu, ada sesuatu yang berbeda—kesabaran yang belum pernah ia curahkan pada hal lain selain Lyra.
Hampir dini hari ketika ia berhenti. Layar laptop menampilkan hasil yang belum sempurna, tetapi sebagian besar soal telah terselesaikan. Hanya tersisa sedikit yang perlu disempurnakan Lyra.
Bintang bersandar, mengusap wajahnya. Tubuhnya pegal, tapi bukan itu yang menyibukkannya. Ia menatap layar lekat-lekat, tak percaya ia benar-benar sudah sejauh ini—menyusuri dunia asing hanya demi tugas seorang gadis yang bahkan masih menjaga jarak dengannya.
Sebuah senyum tipis muncul di bibirnya. “Aku ini apa… sekretarismu, atau apa, Lyra?” katanya lirih, seperti mengejek dirinya sendiri.
Namun begitu ia menoleh, melihat Lyra yang tertidur dengan napas tenang, senyum itu pudar. Digantikan sorot mata yang serius, nyaris rapuh. “Tidak… kau lebih dari itu,” bisiknya.
Ia menutup laptop perlahan agar tidak menimbulkan suara, merapikan catatan, lalu berdiri. Sebelum pergi, ia kembali menatap Lyra. Ada kepuasan yang sulit dijelaskan. Bukan karena soal yang ia kerjakan, melainkan karena tahu esok Lyra akan bangun dengan beban sedikit lebih ringan. B
intang mengembuskan napas panjang. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, usahanya bukan soal ambisi atau kuasa.
Malam itu, ia menyadari satu hal, sekalipun ia tidak memahami dunia Lyra sepenuhnya, ia akan selalu mencari jalan untuk tetap berada di dalamnya.
Pagi itu, kampus Teknik terasa lebih ramai dari biasanya. Mahasiswa lalu-lalang di halaman utama, membawa ransel tebal penuh buku dan laptop, sementara suara motor berdesakan di parkiran menciptakan hiruk-pikuk khas pagi hari. Udara segar bercampur aroma kopi dari kantin kecil, dan papan pengumuman dipenuhi poster seminar IT terbaru. Lyra melangkah masuk melalui gerbang utama, tas selempangnya bergoyang ringan di bahu. Setelah dua hari libur yang diisi piknik dan cerita masa lalu dengan Bintang, ia merasa sedikit lebih kuat—tapi bayangan penguntit masih sesekali muncul di benaknya, seperti kabut tipis yang sulit diusir.Ia mengenakan kemeja putih sederhana dengan celana jeans biru, rambutnya diikat ponytail tinggi agar tidak mengganggu saat mengetik di kelas. Kalung cincin pernikahan bergoyang pelan di dadanya, tersembunyi di balik kerah, tapi sentuhannya memberi rasa aman. "Hari ini normal," gumamnya pada diri sendiri, berusaha meyakinkan. Kuliah pagi ini adalah mata kuliah Algoritma
Sore itu, sinar matahari mulai condong, mewarnai langit Jakarta dengan gradasi oranye dan ungu yang lembut. Lyra duduk di bangku taman kecil dekat kampus, angin sepoi membelai rambutnya yang tergerai. Ia baru saja selesai kelas singkat—dosen memahami alasan liburnya kemarin, berkat pesan dari Bintang—dan memutuskan mampir ke sini sebelum pulang. Ponselnya bergetar di tangan, layar menampilkan nama yang sudah lama tidak ia dengar: Ray.Hatinya berdegup sedikit lebih cepat. Ray, sahabat setianya sejak SMA, orang yang selalu ada saat tante memaksa atau beasiswa hampir dicabut. Tapi sejak pernikahan mendadak itu, Lyra sengaja menjaga jarak—bukan karena tidak ingin, tapi karena tak tahu bagaimana menjelaskan. "Halo?" jawabnya pelan, suaranya berusaha santai."Ly! Akhirnya lo angkat juga. Gue nyari lo kemana-mana sejak kemarin. Lo hilang dua hari, nggak ada kabar. Lo baik-baik aja?" Suara Ray di seberang terdengar campur khawatir dan kesal, seperti biasa saat ia panik.Lyra tersenyum kecil,
Cahaya pagi menyusup pelan melalui celah tirai kamar, membentuk garis-garis emas tipis di lantai marmer yang dingin. Lyra membuka mata dengan napas tersengal, tubuhnya basah oleh keringat dingin yang menempel lengket di kulitnya. Jantungnya berdegup kencang, seolah baru saja berlari dari sesuatu yang tak terlihat. Ia duduk setengah bangun, tangannya meraba-raba sisi ranjang di sebelahnya. Hangat. Bintang masih di sana, tidur dengan posisi tegap seperti biasa, napasnya teratur dan dalam.Namun, mimpi buruk itu masih melekat kuat di benaknya. Ia melihatnya lagi—pria berhoodie hitam itu, berdiri di ujung lorong gelap, senyum tipisnya menyeringai seperti pisau. "Kau tidak bisa lari selamanya," bisik suara serak itu di telinganya. Lalu, Bintang muncul, tapi bukannya melindunginya, ia menghilang ke dalam kegelapan, meninggalkannya sendirian. Lyra berlari, tapi kakinya seperti terikat, dan pria itu semakin dekat, tangannya hampir menyentuh bahunya..."Bin..." gumam Lyra lirih, suaranya berge
Malam itu terasa begitu panjang bagi Lyra. Ia terbangun mendadak, tubuhnya berkeringat dingin, napasnya terengah seolah baru saja berlari jauh. Pandangannya langsung mengarah ke sisi ranjang yang seharusnya diisi oleh Bintang. Kosong. Bantal di sampingnya dingin, seolah sudah lama ditinggalkan.Dadanya bergemuruh. Rasa takut yang ia kira sudah mulai reda tiba-tiba kembali menyeruak, membuat tenggorokannya tercekat. Ia memeluk dirinya sendiri, berusaha menenangkan hati, namun semakin ia mencoba, semakin ia merasa hampa.“Bintang…” bisiknya lirih, suara nyaris patah.Tidak ada jawaban. Tidak ada suara langkah. Tidak ada kehangatan di sisinya. Yang tersisa hanya keheningan yang terasa menyesakkan.Lyra turun dari ranjang, kaki telanjangnya menyentuh lantai dingin. Ia melangkah pelan menuju ruang tamu, menyalakan lampu kecil di sudut ruangan dan televisi dengan volume rendah, sekadar untuk memecah kesunyian.Namun, meski suara samar dari TV terdengar, rasa takut tidak juga berkurang. Baya
Suasana jalanan sore terasa berbeda bagi Lyra.Mobil melaju stabil di bawah kendali Bintang. Namun, alih-alih tenang, dadanya masih berdebar kencang. Bayangan pria berhoodie yang mendekatinya di bus tadi seolah terus mengikuti dalam pikirannya. Setiap kata yang dibisikkan pria itu menggema lagi, menusuk telinganya: “Tak peduli seberapa jauh kau sembunyi… aku tetap bisa menemukamu.”Lyra memeluk kedua tangannya sendiri, berusaha menahan gemetar. Ia menoleh ke samping. Bintang duduk di belakang kemudi, wajahnya tanpa ekspresi, hanya tatapan mata dingin yang menatap lurus ke jalanan. Namun, genggaman tangannya di atas roda kemudi begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih.Keheningan terasa berat. Tidak ada musik, tidak ada percakapan. Hanya deru mesin mobil yang mengisi udara.“B-Bintang…” suara Lyra akhirnya pecah, lirih. “Siapa dia? Kenapa dia mengikuti aku?”Bintang menoleh sekilas, lalu kembali fokus ke jalan. Jawabannya singkat, nyaris berbisik, namun penuh tekanan. “Orang yang se
Bus yang biasanya ramai oleh obrolan kini mendadak sunyi. Hanya suara mesin yang menderu, roda berdecit di jalan aspal, dan detak jantung Lyra yang terasa terlalu keras di telinganya.Bintang berdiri tegap, tubuhnya menjadi tembok yang menghalangi Lyra dari pria berhoodie. Aura dingin yang memancar darinya membuat beberapa penumpang bergeser, memberi ruang.“Geser,” ulang Bintang dengan suara rendah, tajam.Pria berhoodie itu menoleh pelan, menatap balik dengan mata berkilat. Senyumnya tipis, sinis, seolah menikmati permainan ini.“Aku hanya berdiri, tidak melakukan apa-apa,” ucapnya datar, tapi tatapannya menusuk ke arah Lyra. “Kalau dia ketakutan, itu urusannya sendiri.”Lyra menegang, tubuhnya bergetar kecil. Ia ingin berkata sesuatu, membela diri, atau sekadar meminta pria itu menjauh. Tapi kata-kata tercekat di tenggorokannya.Bintang meraih tiang besi bus dengan satu tangan, tubuhnya condong sedikit ke depan, nyaris menempel dengan pria itu. “Kau sudah cukup membuatnya takut. Tu







