“Tidak!” sangkal Jenna menggelengkan kepala dengan keras. Wajahnya yang pucat menatap bergantian antara Daniel dan Jerome. Daniel menyeringai puas ke arahnya dengan tatapan licik, dan Jerome, pria itu membeku. Terlalu sulit menemukan reaksi semacam apa dengan ekspresi datar yang tertampil di wajah pria itu. Terkejut? Marah? Memercayai pengakuan Daniel? Jenna tak bisa menentukan emosi mana yang tengah membekukan Jerome.
Dan Daniel, pria itu benar-benar sudah kehilangan akal dengan pengakuan sembrononya. Apakah pria itu memang berniat bunuh diri? Dengan membawa nama Liora.
“Percaya padaku, Jerome. Apa yang dikatakan Daniel tidak benar. Aku tidak pernah berselingkuh darimu.” Setidaknya itu setengah dari kebenaran. Liora yang berselingkuh dengan Daniel, bukan dirinya. “Dia ... dia memang menggodaku, tapi aku tak pernah mengkhianatimu.”
Daniel maju lebih ke depan. Mengambil ponsel dari dalam saku celananya, sesaat jemarinya bergerak di layar ponsel itu sebelum menunjukkannya pada Jerome.
Jerome melirik ponsel itu, pupil pria itu membesar. Terkejut, tapi masih tak menampilkan ekspresi apa pun di wajahnya.
Jenna berharap lantai di bawahnya menelannya hidup. Membawanya tenggelam dengan kebohongan yang tertutup rapat di mulut. Di ponsel itu, gambar-gambar mesra Liora dan Daniel. Di pantai, di restoran, di depan hotel, di mobil, dan bahkan di atas ranjang. Dengan pose yang sangat intim. “Kau tak bisa menyangkal bukti ini kan, Jenna?” Kemenangan tersirat di sorot licik mata Daniel ketika tatapan kepuasannya bertemu dengan syok yang menggulung hidup-hidup wajah Jenna.
Pandangan Jerome beralih ke arah Jenna. Yang menggeleng dengan mata berkaca dan tubuh bergetar hebat. “Itu bukan aku. Percaya padaku, Jerome.”
Sudut pandangan Jerome mengeras, ekspresi ketika seseorang ingin menghancurkan wajah seseorang.
“Itu terlihat seperti dirimu, Jenna.” Suara Jerome sangat pelan. Amat sangat pelan, tapi efek yang ditimbulkan berkali-kali lipat lebih mengerikan dari yang berikan. Membuat seluruh bulu kuduk Jenna berdiri dan tubuh wanita itu bergetar hebat.
Kepala Jenna menggeleng tanpa daya. “Aku tak tahu bagaimana foto itu terlihat sangat mirip denganku, tapi itu bukan aku. Aku bersumpah itu bukan aku.” Jenna berharap suaranya tidak bergetar hebat seperti kedua tangannya. Jika identitasnya terbongkar, maka ia dan Liora tak akan selamat. Tak ada yang selamat dari Jerome. Ia harus punya bukti yang lebih kuat dari gambar-gambar yang ditunjukkan oleh Daniel.
Jenna maju lebih dekat, berusaha menyentuh lengan Jerome yang masih membeku. “Jika di foto itu memang aku, kau tahu tak ada pria lain yang pernah menyentuhku selain kau. Kau pria pertamaku, kau tahu itu. Apakah hal semacam itu bisa direkayasa?”
Mata Jerome melebar, seolah terkejut. Kemudian pria itu tampak menimbang dengan lebih seksama. Dan bukti Jenna memang lebih kuat dari gambar foto yang ditunjukkan oleh Daniel yang tentu saja sangat mudah direkayasa.
“Itu tidak mungkin. Aku dan Jenna sering tidur bersama di belakangmu. Jika wanita ini adalah masih perawan saat kau menidurinya, itu berarti dia bukan Jenna yang asli. Jenna tunanganmu, dia sudah tidak suci lagi.” Daniel mulai terlihat panik merasakan kemenangan mulai tergelincir lepas dari genggaman tangannya.
“Aku tak tahu apa masalahmu padaku, Daniel. Tapi apa yang kau lakukan ini tidak benar.” Suara Jenna lebih kuat dari sebelumnya meski getar di bibirnya masih ada. Ia tahu ia masih memiliki harapan melihat Jerome yang tak bisa menyangkal bukti di malam pertama mereka.
Jerome melempar ponsel Daniel ke lantai. Daniel syok, menatap kepingan ponselnya dengan kemarahan yang meluap naik.
“Keluar kau, Daniel.” Suara Jerome yang keras bercampur kemarahan bergema di ruangan tersebut. “Aku tidak ingin melihat wajahmu. Untuk sementara waktu jangan berani-berani kau menampakkan wajahmu di depanku.”
Daniel mengangkat wajahnya ke arah Jerome. “Kau lebih memercayainya daripada aku?” seru Daniel penuh ketidakpercayaan.
“Keluar.” Kali ini suara Jerome lebih pelan, tapi tak mengurangi kemarahan yang bergemeletuk di antara sela giginya. “Sekarang juga.”
Kedua tangan Danie terkepal keras, pandangannya beralih ke arah dan penuh dengan kebencian yang teramat besar. Lalu berbalik dengan langkah besar yang menghentak lantai, menghilang di balik bedebum pintu yang menggetarkan dinding di sekitar pintu.
Jenna bernapas seraya menangkup wajahnya, menangis karena Jerome lebih memercayai kata-katanya ketimbang Daniel. Kakinya yang lemah membuat tubuhnya langsung jatuh ke arah Jerome.
“Maafkan aku, Jerome,” isak Jenna.
“Kau tidak melakukan kesalahan apa pun.”
Isakan Jenna semakin keras di dada Jerome.
“Sejak kapan dia menggodamu? Apakah di kamar kita malam itu?”
Jenna mengangguk.
“Kenapa kau tidak pernah mengatakannya padaku.”
“Aku ... aku hanya tidak ingin membuatmu khawatir.”
Jerome menyentuh dagu Jenna, mengangkat sedikit dan meletakkan satu kecupan di bibir istrinya. “Aku percaya padamu. Bahkan jika aku melihatmu telanjang bersama pria lain di atas ranjang, aku akan mendengarkan kata-katamu terlebih dahulu sebelum orang lain membuka mulut. Tidak ada yang perlu kau takutkan.”
Isakan Jenna terhenti, wajahnya membeku dengan kata-kata Jerome. Kepercayaan terlalu besar yang diberikan pria itu seolah menjadi beban di pundaknya. Rasa bersalah merayapi hatinya. Tanpa membalas ucapan Jerome, ia memeluk pria itu semakin erat dan menenggelamkan wajahnya di dada Jerome. “Terima kasih sudah memercayaiku, Jerome,” gumamnya lirih. Dan itu sungguh dari dalam lubuk hatinya yang tulus.
***
Setelah hari itu, Jerome tak lagi mengungkit tentang kejadian itu. Kecuali saat pria itu memberitahu bahwa Daniel sudah dipecat dari perusahaannya. Hubungannya dan Jerome kembali seperti semula. Pria itu masih begitu memanjakan dan melimpahinya dengan perhatian-perhatian yang memaksa Jenna untuk menyesuaikan diri. Seolah apa pun yang pernah terjadi pada hari itu tidak pernah terjadi dan tak patut untuk diingat.
Namun, Jenna merasa ada kejanggalan dalam semua ketenangan ini. Ia tidak tahu Jerome benar-benar memercayainya atau memang pria itu tak pernah menyelidiki kehidupan Liora lebih dalam. Mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan tentang saudara kembar atau foto Daniel yang sangat jelas bukan hasil rekayasa. Pria itu juga tak pernah menanyakan tentang trauma omong kosong yang ia katakan dan hanya memercayainya saja.
Daniel saja bisa mengetahui ia bukan Liora hanya dalam beberapa interaksi, bagaimana mungkin Jerome tak lebih mengenal Liora? Apakah memang Jerome tak terlalu peduli dengan diri Liora karena terlalu sibuk dengan pekerjaan. Tidak, perhatian Jerome padanya jelas sangat detail. Bahkan untuk sehelai rambutnya, Jerome terlihat begitu mengenal tubuhnya dengan sangat teliti. Mengirimnya untuk melakukan perawatan rambut di salon. Pun dengan perawatan-perawatan bagian tubuhnya yang lain.
Hanya dalam waktu sebulan, kulitnya berubah lebih cerah, rambutnya sangat halus, dan wajahnya lebih bersinar. Membuat Jenna menyadari kemiripannya dengan Liora yang kali ini tak ada cacat sama sekali.
Sore itu, ketika Jenna duduk di ruang tengah menonton televisi sambil menunggu kedatangan Jerome. Sebuah pesan muncul di ponselnya. Daniel? Sejak seminggu setelah Daniel di usir dari rumah Jerome dna dipecat, ini pertama kalinya pria itu menghubunginya. Jenna tak berniat membuka pesan tersebut, tapi ketika sebuah pesan masuk lagi, ia pun menekan notifikasi tersebut. Matanya membelalak tak percaya. Melihat Liora yang sedang berbaring di ranjang dengan mata terpejam dengan tangan dan kaki diikat tali. Telapak tangannya membekap kesiap yang keluar dari mulutnya karena syok.
‘Buzz apartment 908 dalam satu jam atau kau akan melihat mayatnya.’
Ponsel di tangan Jenna nyaris meluncur. Bagaimana Daniel bisa menemukan Liora?
Jenna melompat berdiri. Ia tidak tahu di mana Buzz apartment, yang ia tahu ia harus segera menyelamatkan Liora. Berlari ke arah pintu dan langsung menyuruh sopir untuk mengantarnya ke sana. Sopir itu pasti lebih tahu tentang tempat itu dan memang benar.
Dalam kepanikannya, Jenna tak henti-hentinya menepukkan tangannya yang bergetar hebat di pangkuannya. Berharap kecepatan mobil bertambah sedikit lebih cepat agar ia tidak terlambat.
Tiga puluh menit kemudian, mobil berhenti di depan gedung apartemen yang tingginya tak lebih dari setengah gedung apartemen Liora. Jenna menyuruh sopir untuk kembali pulang sebelum berlari masuk. Bertanya di mana letak lift petugas keamanan dan ia naik langsung ke lantai 9 meski sempat berhenti beberapa kali di lantai 6 dan 7.
Begitu lift berhenti di lantai 9, Jenna langsung menatap deretan pintu di depannya. Mencari nomor 908. Hanya butuh melewati empat pintu yang saling berhadap-hadapan. Ia berhenti, menghentikan getar di tangannya sejenak sebelum menekan bel. Menunggu dengan ketegangan yang semakin intens datang menyerangnya. Pikirannya tidak bisa berpikir dengan jernih memikirkan apa yang akan dilakukan Daniel pada Liora.
Pintu dibuka, dan wajah Daniel yang tesenyum licik muncul. Mempersilahkan Jenna masuk.
Jenna meragu, tapi kakinya melangkah masuk. Matanya langsung beredar ke seluruh ruangan dan bertanya penuh kepanikan. “D-di mana Liora?”
“Ah, jadi namanya Liora?”
Jangan lupa baca cerita baru author, yaPeringatan : KHUSUS 21+ Di bawah umur sebaiknya melipir. Mengandung adegan dewasa dan kekerasan, TETAPI yang berharap menemukan adegan ena-ena dan eksplisit sebaiknya menjauh sebelum harapan kalian runtuh. Blurb : Anne Lucas, dengan kecantikannya yang begitu memesona berhasil menarik perhatian seorang Luciani Enzio. Supermiliader, filantropis, aktivis dan tak lupa predikat bujangan paling diagungkan di lingkungan sosial atas. Segala macam pujian dipersembahkan oleh semua orang untuk pria itu. Tetapi Anne tak pernah terkecoh dengan semua topeng pria itu yang digunakan untuk menjilat kedua orang tuanya demi restu mereka untuk menikahkan Anne dengan Luciano. Ia tahu, di balik kesempurnaan Luciano. Pria itu tak lebih dari pria tua mesum yang berengsek. Segala cara ia lakukan untuk merobek topeng dan menunjukkan pada dunia wajah Luciano yang sebenarnya. Termasuk menghancurkan tubuhnya yang berhasil menarik pria itu. Tetapi, semua rencananya ta
Jerome berhasil menangkap tubuh Jenna yang terhuyung ke depan tepat sebelum kepala sang istri menyentuh lantai. Wajah Jenna benar-benar seputih kapas. Matanya terpejam. Wanita itu pasti benar-benar terkejut mendengar bahwa Daniel menemukan Liora lebih dulu. Yang artinya Xiu akan dipisahkan dari sang kakak, juga dari mereka berdua.Ya, selama dua tahun merawat Xiu, dan meski balita itu bukan anak kandungnya. Kasih sayang mereka tak berkurang sedikit pun untuk Xiu. Tak ada bedanya dibandingkan dengan Axel dan Alexa. Penyesalan bercokol di dadanya, sepertinya ia memang harus bertemu dengan Daniel."Bangun, Jenna," panggil Jerome dengan telapak tangan yang menepuk lembut pipi sang istri. Tak ada reaksi, Jerome pun menggendong Jenna ke dalam kamar. Membaringkan dengan hati-hati di tempat tidur.Jerome sedikit melonggarkan pakaian dalam Jenna agar lebih mudah bernapas. Mengambil minyak kayu putih di laci dan mengoleskan di dekat hidung. Setelah menunggu beberapa saat, perlahan Jenna terban
Jerome menatap Juna yang berdiri di ambang pintu gandanya yang tinggi dan megah. Berbanding terbalik dengan pakaian sederhana yang dikenakan pria itu. Kaos polos dan celana jeans, juga sepatu kets yang dikotori debu.Di samping Juna berdiri Abe yang mengangguk patuh begitu mendapatkan isyarat pergi dari Jerome.Kedua mata Juna menatap lurus pada Jerome, denga keberanian sebesar itu, Jerome tahu siaa jati diri pria itu yang sebenarnya. Sudah belasan tahun yang lalu, sejak terakhir ia melihat Julian yang dipaksa naik ke dalam mobil oleh anak buah mamanya. Tanpa tahu remaja itu tak akan pernah kembali ke kediaman Lim untuk waktu yang lama. Kecurigaan sempat hinggap di hati Jerome ketika menyuruh anak buahnya menyelidiki tentang tujuan Juna Fadli karena pria itu kembali ke hidup Jenna. Ada sesuatu tang familiar mengamati berkas laporan yang didapatkan oleh anak buahnya. Sekarang kecurigaan itu semakin meruncing."Sudah lama tak bertemu, Jerome," sapa Juna tanpa sedikit pun getaran dalam
"Gali lebih dalam." Jerome melempar berkas di tangannya ke hadapan Max. Wajahnya dipekati kegusaran yang begitu dalam. Menahan kemarahan di dadanya kuat-kuat. Kenapa harus ada kebetulan sialan semacam ini di hidupnya dan Jenna. Yang rasanya baru saja dipenuhi ketenangan. "Cari tahu apakah dia ada hubungannya dengan Karina Darleen."Max mengangguk patuh sembari memungut berkas yang jatuh di lantai. Suasana hati sang tuan jauh dari kata baik. Sedikit saja kekesalan, sang tuan tampak siap mengamuk di detik berikutnya. Beruntung informasi yang didapatkannya tentang asal usul Juna Fadli di kampung halaman pria itu cukup memuaskan sang tuan. Meski perlu informasi lebih dalam lagi. Max pun berpamit undur diri dan berjalan keluar. Berpapasan dengan Jennifer."Karina Darleen?" Jennifer memasuki ruangan Jerome dengan penuh keheranan dan kemarahan yang bercampur jadi satu. Berhenti tepat di depan meja Jerome. "Untuk apa kau mencari tahu tentang wanita itu, Jerome. Dia sudah mati, kan?""Ya, di
"Nyonya?" Mata Jenna terpejam mendengar suara memanggil yang mendadak muncul dari arah belakangnya. Baru saja ia keluar dari lift dan hendak memasuki ruang IGD. Mendesah pendek dan berbalik. "Ada apa lagi?""Tuan meminta saja …""Aku bisa mengurus urusanku sendiri," potong Jenna. "Kau pergilah ke kamar Xiu dan tanyakan apa yang dibutuhkan oleh kakakku.""T-tapi Anda …""Aku akan mengurusnya diriku sendiri.""Tuan Lim …""Abe, aku yang akan bertanggung jawab jika suamiku memarahimu."Abe pun mengangguk menangkap kemarahan yang mulai memekati wajah sang nyonya. Ia mengangguk undur diri dan menunggu sejenak di depan lift untuk naik ke atas.Jenna berbalik setelah pintu lift tertutup, menyusuri lorong pendek dan langsung ke ruang IGD. Tetapi tak menemukan Juna."Pasien yang tadi malam?" Perawat yang berjaga memasang senyum ramahnya. "Atas nama?"Jenna mengangguk. "Juna Fadli."Perawat itu menatap layar komputer di hadapannya, mencari sejenak. "Pasien sudah pulang."Mata Jenna melebar. "B
Abe mengatakan Jenna menyerempet seseorang di basement dan membanting setir hingga menabrak tiang. Saat pengawal wanita itu menemukan Jenna, Jenna sudah ditolong oleh seseorang yang ditabrak istrinya dan dibawa ke ruang UGD.Wajah Jerome yang dipenuhi kepanikan seketika berubah merah padam dan mengeras dengan kuat melihat pemandangannya di hadapannya. Kekhawatiran yang memenuhi dadanya dalam sekejap ditimbun oleh kemarahan melihat Jenna yang berbaring di ranjang pasien salah satu bilik dengan seorang pria. Tangan Jenna berada dalam genggaman jemari pria itu, dengan ibu jari yang mengelus lembut punggung Jenna."Lancang sekali," desis Jerome. Yang membuat pria itu menoleh dan Jerome dikejutkan untuk kedua kalinya. Mengenali si pria dengan sangat baik meski ini adalah pertemuan pertama mereka.Bagaimana mungkin ada kebetulan konyol semacam ini? Jerome jelas tak terima orang yang ditabrak oleh Jenna adalah Juna Fadli. Dari jutaan orang di kota ini, tidak adalah korban lain?"Apa yang k
Napas Jenna masih tertahan akan ancaman yang terselip dalam peringatan yang diucapkan oleh Jennifer. Tetapi terlihat rapuh dan ketakutan sama sekali bukan pilihan bagi Jenna. “Jika kau ingin membuatku ketakutan, kuakui kau sedikit membuat goyah, Jennifer. Tapi maaf mengecewakanmu, aku tak akan tersingkirkan semudah itu. Aku tahu apa yang kumiliki dengan Jerome jauh lebih besar dan kuat dari apa yang kau katakan.”Jenna memajukan tubuhnya lebih dekat ke arah Jennifer yang tampak terdiam. Ada secercah keterkejutan di wajahnya akan keberanian dan keyakinan yang ditampilkan oleh Jenna, tapi ia tahu itu hanyalah penampilan di permukaan saja.“Dan aku tak perlu membuktikan apa pun padamu. Pernikahan ini, kami sendiri yang tahu dan kami yang menjalaninya. Kami memiliki beberapa masalah, ya tidak ada hubungan yang lurus dan lancar-lancar saja. Kadang kami bertengkar karena hal besar maupun kecil, tapi disitulah hubungan kami tumbuh. Dan kami tak membutuhkan masalah lainnya. Seperti dirimu.”K
“Siapa namanya?” Tiga tahun lalu, Jerome ingat Jenna pernah memiliki kekasih yang hubungannya sudah dihancurkan oleh Liora. Tetapi ia tak ingat pasti siapa nama belakang pria itu.“Juna Fadli.”“Cari setiap informasi tentangnya. Alamat dan pekerjaannya sekarang. Sedetail mungkin dan letakkan di atas meja di ruanganku. Secepatnya.” Setelah memungkasi perintahnya, Jeroma menurunkan ponselnya dan meletakkannya di meja wastafel. Menatap pantulan wajahnya di cermin. Bola matanya yang sepekat arang menghiasi wajahnya yang mengeras. Sekecil apa pun, ia tak akan menciptakan celah sekecil apa pun bagi Jenna untuk mengkhianatinya.Orang tua, kakak, kekasih, tunangan, dan bahkan sepupunya sendiri. Mereka semua mengkhianatinya di belakangnya. Hanya Jenna dan si kembar yang dimilikinya. Ia sudah memberikan apa pun dan menjadikan Jenna kelemahannya. Jika Jenna pun mengkhianatinya juga, maka selesailah sudah.***Jenna tak menemukan Jerome di manapun meski pria itu berpamit akan turun ke lantai satu
Jenna baru saja menuruni anak tangga, Jerome mengatakan akan sampai di rumah dalam sepuluh menit setelah menanyakan si kembar yang sudah terlelap. Ia hendak membantu menyiapkan makan malam di ruang makan, tetapi langkahnya tiba-tiba dihadang oleh Jennifer.“Aku ingin bicara denganmu,” ucap wanita angkuh itu, melirik ke arah Abe yang berdiri beberapa meter di belakang Jenna. Membuatnya kesal akan keberadaan pengawal wanita itu. “Di ruang makan.”Jenna mengangguk, mengikuti langkah Jennifer. Keduanya duduk berhadap-hadapan dan dipisahkan oleh meja makan yang besar. Saat Jennifer meletakkan sebuah berkas yang baru disadari keberadaannya. Yang kemudian disodorkan tepat di hadapannya. Berikut sebuah pen yang terselip di dalamnya.“Baca dan tandatangani,” perintah Jennifer.Jenna mulai membaca lembaran tersebut. Surat Perjanjian Pernikahan.“Apa ini?” Jenna bukannya tak memahami surat yang disodorkan oleh Jennifer. Dari judulnya semuanya sudah jelas.“Kenapa? Kau tidak mau menandatanganinya