Liora memeluk Jenna, raut penuh penyesalan memenuhi wajahnya. “Kau tak pantas menangisi pria itu seperti ini, Jenna,” bisik Liora. Mengurai pelukannya lalu menghapus air mata Jenna.
“Dua tahun kami bersama,” gumam Jenna pelan. Dan semua berakhir begitu saja.
“Aku tahu. Tapi kau harus menguatkan diri.”
Jenna memejamkan mata, menghentikan tangis yang masih menggelitik ingin menghambur keluar. Namun, bayangan Juna dan wanita itu yang telanjang bersama di atas tempat tidur malah semakin jelas di benaknya. Keduanya yang saling mencumbu, saling menyentuh dengan penuh hasrat. Jenna menggigit bibir bagian dalamnya dan membuka mata. Kali ini tak ada tatapan luka tersirat di bola mata hitam itu, digantikan tatapan penuh tekad yang kuat. “Aku akan membantumu.”
“Hah?” Liora melongo.
“Aku akan menggantikan tempatmu.” Ya, dengan luka yang masih menganga basah di dadanya. Jenna butuh waktu selama beberapa saat untuk dirinya sendiri, dan itu tak akan bisa ia dapatkan jika dunianya masih berkeliling di sekitar Juna. “Aku akan menikahi Jerome.”
“K-kau yakin?”
Jenna mengangguk mantap. Di dorong sakit hati dan benih dendam yang mulai tumbuh di dadanya. Ia bukan wanita suci yang dengan begitu mudah disakiti lalu memaafkan. Seharusnya sudah cukup sikap Juna yang selama ini menghindari pembicaraan tentang hubungan yang lebih serius, sebagai pertanda bahwa pria itu memang tak ingin serius terhadap dirinya. Pria itu masih menginginkan kebebasan. Dan akan Jenna berikan. Seharusnya ia memberikan kebebasan tersebut lebih cepat. Setidaknya sebelum ia memergoki pria itu dengan wanita lain.
“Katakan semua tentang Jerome. Aku membutuhkannya.”
Liora tak langsung mengangguk.
“Apa aku perlu mengganti model rambutku?”
Liora menggeleng. “Kau tak perlu merubah penampilanmu. Aku sering berganti model rambut. Jika kau nyaman dengan model ini kau tak perlu merubahnya.”
Jenna mengangguk. Lagipula ia tak suka jika harus menyemir rambutnya berwarna pirang seperti Liora.
“Dan ini.” Liora mengangkat kedua tangannya, melepas cincin bermata berlian merah di jari manisnya. “Ini cincin tunangan kami.”
Jenna menatap cincin itu. Membiarkan Liora mengambil tangannya dan menyelipkan cincin tersebut di jari manisnya. Sangat pas.
Liora menatap puas jemari adiknya.
‘Cincin pertunangan,’ ulang Jenna dalam hatinya. Memandang cincin yang digunakan Jerome ketika melamar Liora. Akhirnya ia melihat sebuah cincin melingkar di jari manisnya, meskipun itu bukan dari Juna.
“Aku sudah pernah memperlihatkan foto Jerome padamu, kan.” Liora mengambil ponselnya. Jemarinya dengan lihai bermain-main di layar tersebut dan menunjukkan foto Jerome. “Ini fotonya sekitar sebulan yang lalu. Sekarang rambutnya sedikit panjang.”
Jenna mengamati gambar foto tersebut. Pria berkulit maskulin dengan rambut hitam legam yang sedikit bergelombang. Bibir tebal dan tegas, hidung mancung dan berdiri tegak. Bola mata hitam dan gelap, namun terlihat jernih. Dulu saat Liora menunjukkan kekasih wanita itu, Jenna belum pernah memperhatikan sedetail ini. Dan ia bisa merasakan aura kegelapan yang dikatakan oleh Liora.
Apakah ia mampu menghadapi pria ini? Pertanyaan itu meragukan keputusan Jenna untuk sesaat. Sebelum kemudian bayangan Juna dan wanita itu kembali muncul dan ia pikir, ia lebih mampu menghadapi Jerome ketimbang pengkhianatan Juna yang masih menganga lebar di dadanya.
“Lalu bagaimana denganmu?” tanya Jenna.
“Aku sudah menyiapkan penerbangan ke luar negeri. Sementara aku akan tinggal Paris. Aku punya seorang teman di sana yang bisa membantuku.”
“Bagaimana aku menghubungimu?”
“Aku yang akan menghubungimu.”
Jenna mengangguk. Dan malam itu ia tak bisa tidur memikirkan hari baru yang menunggunya. Jantungnya berdebar gugup setiap mengingat, ekspresi macam apa yang harus ditampilkan ketika ia berhadapan dengan Jerome. Apakah pria itu akan mengenali perbedaannya dan Liora?
***
Tak banyak yang perlu Jenna bawa selain koper kecil yang dibawa oleh Liora. Dan meski ukuran tubuh mereka sama, Jenna selalu merasa tak nyaman dengan pakaian Liora yang satu ukuran lebih kecil dari seharusnya. Liora mengantarnya ke bandara, keduanya berpelukan dan berpisah. Jadwal penerbangan Liora besok, Jenna berharap Juna tak pergi ke rumahnya meski ia mewanti-wanti kakaknya untuk tidak membukakan pintu untuk pria itu.
Tiga jam kemudian, sambil menarik turun rok jeans Liora yang mulai meresahkannya karena tatapan tak senonoh yang dilayangkan ke arah pantatnya, ia tak tahu bagaimana Liora bisa bertahan hidup dengan pakaian semacam ini, pandangan Jenna mencari di antara para penjemput. Mencari pria yang ada di layar ponsel Liora.
Jerome
Jerome ...
Seketika tatapan Jenna berhenti. Pria itu, pria itu mirip dengan gambar foto yang ditunjukkan Liora padanya. Hanya saja, yang aslinya terlihat lebih tampan, dan lebih ...
Cup ...
Jenna tersentak kaget ketika pria itu menghampiri dalam tiga langkah besar dan langsung mengecup bibirnya.
“Aku begitu merindukanmu, Jenna,” bisik Jeroma seraya menarik pinggang Jenna hingga menempel di tubuh pria itu. Telapak tangan pria itu menempel di pantatnya, seluruhnya. Wajah Jenna memerah, menahan godaan menampar kekurang ajaran Jerome. Tapi ... bukan itu lebih mengejutkan Jenna.
Jenna? Apakah pria itu baru saja memanggilnya Jenna? Jadi ... jadi selama ini Liora berhubungan dengan Jerome menggunakan namanya? Liora tak pernah menjelaskan tentang hal ini. Pantas saja Liora tak memintanya menukar id.
Jerome menyipitkan mata. “Kenapa? Kau terlihat pucat hari ini. Dan kau merubah model rambutmu. Lagi.”
Jenna menggeleng. Menyampirkan tangannya di pinggang Jerome, berharap tindakan itu tak membuat Jerome lebih menyelidiki ekspresi di wajahnya. Ia takut jantungnya yang berdebar kencang terekspresi di wajahnya dan mengundang curiga pria itu.
“Ya, aku kurang tidur nyenyak semalam,” jawab Jenna setengah jujur setengah sebagai dalih untuk menepikan kegugupannya. “Bolehkah aku beristirahat di mobil?”
Jerome tersenyum, menyentuh dagu Jenna dan lagi-lagi menyambar satu lumatan di bibir kekasihnya sebelum mengangguk, “Tentu saja.”
Jenna membiarkan Jerome mengambil koper di sampingnya, dengan satu tangan masih menggantung di pinggangnya dengan posesif, pria itu membawanya menuju sebuah mobil hitam mengkilat yang tak akan Jenna kagumi kemewahannya. Dari pakaian, cincin di jari manis, kalung, anting, dan semua hal pemberian Jerome untuk Liora, semua sudah tak mengejutkan Jenna. Jerome memberikan kopernya pada sopir, lalu membukakan pintu mobil untuknya. Ia pun masuk lebih dulu, menyusul Jerome.
Jenna duduk ke sudut terjauh, hanya untuk sesaat. Saat Jerome mengambil tempat di sampingnya, pria itu menarik pinggang Jenna mendekat. Kemudian meletakkan kepala Jenna di pundak pria itu.
“Tidurlah,” bisik Jerome. Meninggalkan kecupan lagi, kali ini di puncak kepala Jenna.
Jenna menggigit bibir bagian dalamnya. Pria itu tak henti-hentinya melemparkan begitu banyak perhatian, yang seolah memenuhi dadanya. Dan sikap pria itu sangat lembut terhadapnya. Membuatnya tak bisa menahan diri membandingkan Jerome dan Juna.
Jenna mendesah pelan, menepis pemikiran picik itu dari kepalanya dan memaksa matanya terpejam. Aroma mint yang segar, menyelimuti hidungnya. Membuat kepalanya sedikit lebih ringan setelah menempuh perjalanan yang melelahkan. Dan matanya perlahan terpejam.
Jangan lupa baca cerita baru author, yaPeringatan : KHUSUS 21+ Di bawah umur sebaiknya melipir. Mengandung adegan dewasa dan kekerasan, TETAPI yang berharap menemukan adegan ena-ena dan eksplisit sebaiknya menjauh sebelum harapan kalian runtuh. Blurb : Anne Lucas, dengan kecantikannya yang begitu memesona berhasil menarik perhatian seorang Luciani Enzio. Supermiliader, filantropis, aktivis dan tak lupa predikat bujangan paling diagungkan di lingkungan sosial atas. Segala macam pujian dipersembahkan oleh semua orang untuk pria itu. Tetapi Anne tak pernah terkecoh dengan semua topeng pria itu yang digunakan untuk menjilat kedua orang tuanya demi restu mereka untuk menikahkan Anne dengan Luciano. Ia tahu, di balik kesempurnaan Luciano. Pria itu tak lebih dari pria tua mesum yang berengsek. Segala cara ia lakukan untuk merobek topeng dan menunjukkan pada dunia wajah Luciano yang sebenarnya. Termasuk menghancurkan tubuhnya yang berhasil menarik pria itu. Tetapi, semua rencananya ta
Jerome berhasil menangkap tubuh Jenna yang terhuyung ke depan tepat sebelum kepala sang istri menyentuh lantai. Wajah Jenna benar-benar seputih kapas. Matanya terpejam. Wanita itu pasti benar-benar terkejut mendengar bahwa Daniel menemukan Liora lebih dulu. Yang artinya Xiu akan dipisahkan dari sang kakak, juga dari mereka berdua.Ya, selama dua tahun merawat Xiu, dan meski balita itu bukan anak kandungnya. Kasih sayang mereka tak berkurang sedikit pun untuk Xiu. Tak ada bedanya dibandingkan dengan Axel dan Alexa. Penyesalan bercokol di dadanya, sepertinya ia memang harus bertemu dengan Daniel."Bangun, Jenna," panggil Jerome dengan telapak tangan yang menepuk lembut pipi sang istri. Tak ada reaksi, Jerome pun menggendong Jenna ke dalam kamar. Membaringkan dengan hati-hati di tempat tidur.Jerome sedikit melonggarkan pakaian dalam Jenna agar lebih mudah bernapas. Mengambil minyak kayu putih di laci dan mengoleskan di dekat hidung. Setelah menunggu beberapa saat, perlahan Jenna terban
Jerome menatap Juna yang berdiri di ambang pintu gandanya yang tinggi dan megah. Berbanding terbalik dengan pakaian sederhana yang dikenakan pria itu. Kaos polos dan celana jeans, juga sepatu kets yang dikotori debu.Di samping Juna berdiri Abe yang mengangguk patuh begitu mendapatkan isyarat pergi dari Jerome.Kedua mata Juna menatap lurus pada Jerome, denga keberanian sebesar itu, Jerome tahu siaa jati diri pria itu yang sebenarnya. Sudah belasan tahun yang lalu, sejak terakhir ia melihat Julian yang dipaksa naik ke dalam mobil oleh anak buah mamanya. Tanpa tahu remaja itu tak akan pernah kembali ke kediaman Lim untuk waktu yang lama. Kecurigaan sempat hinggap di hati Jerome ketika menyuruh anak buahnya menyelidiki tentang tujuan Juna Fadli karena pria itu kembali ke hidup Jenna. Ada sesuatu tang familiar mengamati berkas laporan yang didapatkan oleh anak buahnya. Sekarang kecurigaan itu semakin meruncing."Sudah lama tak bertemu, Jerome," sapa Juna tanpa sedikit pun getaran dalam
"Gali lebih dalam." Jerome melempar berkas di tangannya ke hadapan Max. Wajahnya dipekati kegusaran yang begitu dalam. Menahan kemarahan di dadanya kuat-kuat. Kenapa harus ada kebetulan sialan semacam ini di hidupnya dan Jenna. Yang rasanya baru saja dipenuhi ketenangan. "Cari tahu apakah dia ada hubungannya dengan Karina Darleen."Max mengangguk patuh sembari memungut berkas yang jatuh di lantai. Suasana hati sang tuan jauh dari kata baik. Sedikit saja kekesalan, sang tuan tampak siap mengamuk di detik berikutnya. Beruntung informasi yang didapatkannya tentang asal usul Juna Fadli di kampung halaman pria itu cukup memuaskan sang tuan. Meski perlu informasi lebih dalam lagi. Max pun berpamit undur diri dan berjalan keluar. Berpapasan dengan Jennifer."Karina Darleen?" Jennifer memasuki ruangan Jerome dengan penuh keheranan dan kemarahan yang bercampur jadi satu. Berhenti tepat di depan meja Jerome. "Untuk apa kau mencari tahu tentang wanita itu, Jerome. Dia sudah mati, kan?""Ya, di
"Nyonya?" Mata Jenna terpejam mendengar suara memanggil yang mendadak muncul dari arah belakangnya. Baru saja ia keluar dari lift dan hendak memasuki ruang IGD. Mendesah pendek dan berbalik. "Ada apa lagi?""Tuan meminta saja …""Aku bisa mengurus urusanku sendiri," potong Jenna. "Kau pergilah ke kamar Xiu dan tanyakan apa yang dibutuhkan oleh kakakku.""T-tapi Anda …""Aku akan mengurusnya diriku sendiri.""Tuan Lim …""Abe, aku yang akan bertanggung jawab jika suamiku memarahimu."Abe pun mengangguk menangkap kemarahan yang mulai memekati wajah sang nyonya. Ia mengangguk undur diri dan menunggu sejenak di depan lift untuk naik ke atas.Jenna berbalik setelah pintu lift tertutup, menyusuri lorong pendek dan langsung ke ruang IGD. Tetapi tak menemukan Juna."Pasien yang tadi malam?" Perawat yang berjaga memasang senyum ramahnya. "Atas nama?"Jenna mengangguk. "Juna Fadli."Perawat itu menatap layar komputer di hadapannya, mencari sejenak. "Pasien sudah pulang."Mata Jenna melebar. "B
Abe mengatakan Jenna menyerempet seseorang di basement dan membanting setir hingga menabrak tiang. Saat pengawal wanita itu menemukan Jenna, Jenna sudah ditolong oleh seseorang yang ditabrak istrinya dan dibawa ke ruang UGD.Wajah Jerome yang dipenuhi kepanikan seketika berubah merah padam dan mengeras dengan kuat melihat pemandangannya di hadapannya. Kekhawatiran yang memenuhi dadanya dalam sekejap ditimbun oleh kemarahan melihat Jenna yang berbaring di ranjang pasien salah satu bilik dengan seorang pria. Tangan Jenna berada dalam genggaman jemari pria itu, dengan ibu jari yang mengelus lembut punggung Jenna."Lancang sekali," desis Jerome. Yang membuat pria itu menoleh dan Jerome dikejutkan untuk kedua kalinya. Mengenali si pria dengan sangat baik meski ini adalah pertemuan pertama mereka.Bagaimana mungkin ada kebetulan konyol semacam ini? Jerome jelas tak terima orang yang ditabrak oleh Jenna adalah Juna Fadli. Dari jutaan orang di kota ini, tidak adalah korban lain?"Apa yang k
Napas Jenna masih tertahan akan ancaman yang terselip dalam peringatan yang diucapkan oleh Jennifer. Tetapi terlihat rapuh dan ketakutan sama sekali bukan pilihan bagi Jenna. “Jika kau ingin membuatku ketakutan, kuakui kau sedikit membuat goyah, Jennifer. Tapi maaf mengecewakanmu, aku tak akan tersingkirkan semudah itu. Aku tahu apa yang kumiliki dengan Jerome jauh lebih besar dan kuat dari apa yang kau katakan.”Jenna memajukan tubuhnya lebih dekat ke arah Jennifer yang tampak terdiam. Ada secercah keterkejutan di wajahnya akan keberanian dan keyakinan yang ditampilkan oleh Jenna, tapi ia tahu itu hanyalah penampilan di permukaan saja.“Dan aku tak perlu membuktikan apa pun padamu. Pernikahan ini, kami sendiri yang tahu dan kami yang menjalaninya. Kami memiliki beberapa masalah, ya tidak ada hubungan yang lurus dan lancar-lancar saja. Kadang kami bertengkar karena hal besar maupun kecil, tapi disitulah hubungan kami tumbuh. Dan kami tak membutuhkan masalah lainnya. Seperti dirimu.”K
“Siapa namanya?” Tiga tahun lalu, Jerome ingat Jenna pernah memiliki kekasih yang hubungannya sudah dihancurkan oleh Liora. Tetapi ia tak ingat pasti siapa nama belakang pria itu.“Juna Fadli.”“Cari setiap informasi tentangnya. Alamat dan pekerjaannya sekarang. Sedetail mungkin dan letakkan di atas meja di ruanganku. Secepatnya.” Setelah memungkasi perintahnya, Jeroma menurunkan ponselnya dan meletakkannya di meja wastafel. Menatap pantulan wajahnya di cermin. Bola matanya yang sepekat arang menghiasi wajahnya yang mengeras. Sekecil apa pun, ia tak akan menciptakan celah sekecil apa pun bagi Jenna untuk mengkhianatinya.Orang tua, kakak, kekasih, tunangan, dan bahkan sepupunya sendiri. Mereka semua mengkhianatinya di belakangnya. Hanya Jenna dan si kembar yang dimilikinya. Ia sudah memberikan apa pun dan menjadikan Jenna kelemahannya. Jika Jenna pun mengkhianatinya juga, maka selesailah sudah.***Jenna tak menemukan Jerome di manapun meski pria itu berpamit akan turun ke lantai satu
Jenna baru saja menuruni anak tangga, Jerome mengatakan akan sampai di rumah dalam sepuluh menit setelah menanyakan si kembar yang sudah terlelap. Ia hendak membantu menyiapkan makan malam di ruang makan, tetapi langkahnya tiba-tiba dihadang oleh Jennifer.“Aku ingin bicara denganmu,” ucap wanita angkuh itu, melirik ke arah Abe yang berdiri beberapa meter di belakang Jenna. Membuatnya kesal akan keberadaan pengawal wanita itu. “Di ruang makan.”Jenna mengangguk, mengikuti langkah Jennifer. Keduanya duduk berhadap-hadapan dan dipisahkan oleh meja makan yang besar. Saat Jennifer meletakkan sebuah berkas yang baru disadari keberadaannya. Yang kemudian disodorkan tepat di hadapannya. Berikut sebuah pen yang terselip di dalamnya.“Baca dan tandatangani,” perintah Jennifer.Jenna mulai membaca lembaran tersebut. Surat Perjanjian Pernikahan.“Apa ini?” Jenna bukannya tak memahami surat yang disodorkan oleh Jennifer. Dari judulnya semuanya sudah jelas.“Kenapa? Kau tidak mau menandatanganinya