Esok harinya, Jenna berdiri tercengang menatap gaun pengantin yang terpajang di manekin di hadapannya. Gaun itu dari bahan satin, terkesan lembut dan berkilau. Jatuh ke lantai dengan sangat anggun. Hanya saja, yang begitu menarik perhatian Jenna adalah model bagian atasnya, yang ia yakin akan mempertontonkan dada dan punggungnya.
Sekali lagi menyumpahi Liora yang menjatuhkan pilihan itu gaun pengantin itu. Lengannya memang panjang sampai di tiga perempat lengannya, tapi gaun itu memiliki belahan dada yang sangat pendek, dan punggung yang sangat rendah. Kenapa tidak sekalian telanjang saja? maki Jenna dalam hati.
“Masuklah ke ruang ganti, mereka akan membantumu mengenakannya.” Tangan Jerome yang menyentuh pinggang Jenna mendorong lembut wanita itu untuk melangkah maju.
Jenna mengangguk, berharap Jerome tak menyadari kekakuan langkahnya ketika menghilang di balik tirai tinggi berwarna putih.
Tak hanya gaun pengantin itu saja, ternyata branya pun harus diganti dengan bra tempel yang hanya menutupi bagian tengah buah dadanya. Dalam hati, tak henti-hentinya Jenna menyumpahi Liora.
Bahkan ukuran gaun ini pun lebih sempit dari seharusnya, yang tampaknya disengaja Liora agar dadanya terlihat lebih menonjol.
Jerome terpaku untuk beberapa saat yang lama begitu tirai disingkap. Terpesona dalam setiap detik ketika pandangannya mencermati Jenna dari atas sampai ke bawah.
Untuk pertama kali dalam hidup Jenna, ia benar-benar merasa telanjang dan berdiri di hadapan pria yang menelanjangi dirinya hanya lewat tatapannya. Tangannya sudah berkeringat, meremas sisi gaun menahan malu. Jerome menatapnya begitu lekat, dan ia yakin pria itu berlama-lama di bagian dadanya. Wajah Jenna benar-benar terasa seperti dibakar hidup-hidup.
Tak hanya itu, pria itu berjalan mendekat. Penuh senyum dan tatapan kepuasan. Seperti kebiasaannya, Jerome meletakkan kedua tangannya di pinggang Jenna. “Kau terlihat sangat cantik.”
Ya, memangnya wanita mana yang tidak terlihat cantik jika sudah memampangkan dadanya? batin Jenna mendengus. Namun, ia menampilkan senyum seterampil mungkin untuk memalas pujian busuk pria itu.
“Aku ingin menciummu,” bisik Jerome.
Jenna tak sempat mencerna keinginan Jerome, pria itu tiba-tiba sudah melumat bibirnya. Salah satu tangan di pinggangnya sudah naik ke tengkuk Jenna. Menahan kepala wanita itu yang membuatnya harus sedikit berjinjit dengan tinggi tubuh Jenna yang jauh di atasnya.
Lumatan itu akhirnya selesai ketika lagi-lagi Jerome seolah menahan diri sebelum keblabasan. Dengan tangan menangkup pipi Jenna, pria itu berbisik di bibir Jenna. “Aku sangat mencintaimu, Jenna.”
Jenna terpaku. Apakah ia harus mengucapkan balasannya atau tidak. Tapi sepertinya tak perlu, pria itu tiba-tiba memutar tubuhnya. Membuat mereka berdua menatap bayangan sepasang kekasih yang tampak di cermin.
“Lihatlah, bagaimana serasinya kita. Dan bagaimana cantiknya dirimu.”
Jenna terdiam. Dalam pandangannya ia hanya melihat bagaimana serasinya Jerome dan Liora di dalam cermin itu. Itu bukan dirinya.
“Kau sangat cantik, Jenna.”
“Terima kasih, Jerome.” Jenna memaksa seulas senyum untuk Jeroem. Mulai tak nyaman dengan pujian-pujian Jerome. Ia menggerakkan tubuh, mengurai tangan Jerome di pinggangnya dan berputar menghadap pria itu. “Sekarang, bisakah aku menggantinya? Aku merasa sedikit tak enak badan.”
Kening Jerome berkerut dan tangannya langsung menyentuh kening Jenna. “Kau sakit?”
Jenna menggeleng, menurunkan tangan Jerome. “A-aku ... mungkin hanya merasa gugup dengan pernikahan kita yang semakin dekat.”
Jerome tersenyum. “Aku tahu. Aku juga merasakannya. Aku akan membantumu.”
Dan tawaran itu membuat Jenna semakin gemetar oleh kegugupan. Ia hendak menggelengkan kepalanya menolak, ketika pandangan Jerome tiba-tiba terpaku ke arah cermin di belakangnya. Kemudian memutar tubuhnya menghadap cermin.
“Sejak kapan ini ada di sini?” Jerome menyentuh kulit Jenna di atas pantat.
“Apa?” Jenna menoleh, sedikit memutar tubuhnya untuk mencari tahu apa yang ditunjuk Jerome di belakang punggungnya.
“Aku tak tahu kau memiliki bekas luka di tubuhmu.”
Jenna menelan ludahnya, jantungnya rasanya berhenti berdetak. “Aku sudah memilikinya sejak lama. Kau memang tak pernah memperhatikannya.”
“Benarkah?”
Jenna mengangguk. Berharap pria itu tak menyadari gemetar yang menyerang kedua lengannya.
Jerome masih tampak meragu. “Aku memang tak pernah menyentuhmu, tapi aku tahu bekas itu tak ada di sana. Aku melihatnya saat kau memakai bikini di pantai. Di hari ulang tahunmu. Saat aku menghajar pria hidung belang yang dengan lancangnya menatap tubuhmu. Ingat?”
Jenna tak ingat dan tak tahu. Apakah baru saja pria itu mengatakan menghajar pria yang menatap tubuh Liora? Jenna mengerjap cepat. Jantungnya berhenti berdetak. Apakah ini akhirnya? Sandiwaranya terbongkar.
“A-aku takut kau yang salah lihat, Jerome. Bekas luka tak mungkin hilang begitu saja, kan?”
Hening yang terasa mencekik leher Jenna. Sekali lagi Jerome menyentuh bekas luka itu dan mengelusnya dengan lembut. “Kau pikir begitu?”
Jenna mengangguk.
“Sepertinya kau benar. Maafkan aku tak terlalu memperhatikanmu.”
“Kau tak perlu meminta maaf.”
Jerome mengecup keningnya dengan lembut, ekspresi wajahnya masih dipenuhi penyesalan. “Jadi, bagaimana kau mendapatkannya?”
“Dalam kecelakaan. Aku tak terlalu mengingatnya,” jujur Jenna.
“Kecelakaan orang tuamu?”
Jenna mengangguk.
Bibir Jerome mengecup bagian belakang telinga Jenna. “Setelah menikah, aku menghafal setiap inci tubuhmu dan tak akan melewatkannya satu pun,” bisiknya mesra.
Gelenyar merayapi tulang punggung Jenna. Menyebar ke seluruh tubuhnya dan rasanya akan membuat dirinya meledak. Jemari Jerome naik, menyelusuri sepanjang tulang punggungnya dengan sentuhan seringan bulu. Sebelum kemudian tangan itu naik ke pundaknya dan Jerome membiarkan tubuhnya jatuh di dada pria itu.
Bibir Jerome menipis, seolah menahan hasrat yang mulai mengaliri aliran darahnya. Tangannya menurunkan kerah gaun pengantin Jenna, hingga terjatuh ke tangan lengan wanita itu dan menampilkan bra Jenna. Jemarinya bergerak lembut, membentuk garis melintang di atas dada Jenna.
Jenna menahan napasnya.
“Kau siap?”
Jenna menelan ludahnya. Kepalanya mengangguk tanpa ia kehendaki. Sebelum kemudian kembali melumat bibirnya. Membuat Jenna bertanya-tanya. Jika cumbuan Liora dan Jerome sepanas itu, kenapa pria itu tidak pernah meniduri Liora?
Apakah pria itu memang begitu menghargai Liora sebagai kekasihnya? Lalu kenapa Liora begitu takut?
***
Hari pernikahan itu akhirnya tiba. Liora tak banyak memberitahunya tentang konsep pernikahan. Suasana pesta begitu meriah, semua orang asing tersenyum dan mengucapkan selamat untuknya. Memeluk dan bahkan mencium pipinya. Yang hanya bisa ia balas dengan seulas senyum yang tak sampai di matanya.
Jenna lebih banyak memilih diam, menahan ekspresi terkejut ketika sesuatu yang tak diketahuinya secara mendadak mengejutkannya. Termasuk selingkuhan kakaknya yang ternyata adalah sepupu Jerome, Daniel Lim.
Sial ...
“Daniel,” sapa Jerome menyambut jabat tangan Daniel. Keduanya berpelukan dan saling menepuk pundak. Saat itulah pandangan Jenna dan Daniel bertemu dan pria itu melemparkan kerlingan nakal kepada Jenna. Menyadari apa yang telah dilakukan Liora memang tak termaafkan. Jadi, pria inilah yang berselingkuh dengan Liora?
“Sepupu, selamat.”
Jenna tak bisa menahan kepucatan di wajahnya. Ketika pria bernama Daniel itu kini bergerak mendekatinya. Mengulurkan tangan ke arahnya. Butuh beberapa saat bagi Jenna untuk membalas jabat tangan tersebut.
“Kau sangat cantik, Jenna,” ucap Daniel dengan pandangan yang menyiratkan kemesraan. Kemudian dengan gerakan bibir yang tanpa suara, pria itu menambahkan kata baby.
Jenna berusaha menampilkan ekspresi sedatar mungkin, menahan detak jantungnya yang berdebar keras tak sampai mengalahkan suara musik yang beralun lembut. Pandangan Jenna turun ke arah tangan mereka yang bertaut, Daniel sengaja memberi elusan menggoda di telapak tangannya. Wanita itu segera menarik tangannya dari tangan Daniel.
“Bolehkah aku merasa iri padamu, Jerome?” Daniel melirik ke arah Jerome.
Jerome terkekeh, dengan gerakan posesif pria itu menarik pinggang Jenna menempel di tubuhnya.
“Akhirnya kau memiliki Jenna dengan seutuhnya.” Kata seutuhnya yang diucapkan Daniel memiliki makna yang sangat dalam.
Jerome menelengkan wajahnya ke wajah Jenna dan mengambil satu ciuman di bibir wanita.
“Kau benar-benar membuatku cemburu. Aku tak akan mengganggu kesenangan kalian.” Daniel berpaling pergi, menyempatkan melempar satu kerlingan pada Jenna ketika seorang tamu menyapa Jerome.
Jenna segera berpaling.
Semuanya baru saja dimulai.
***
Jangan lupa baca cerita baru author, yaPeringatan : KHUSUS 21+ Di bawah umur sebaiknya melipir. Mengandung adegan dewasa dan kekerasan, TETAPI yang berharap menemukan adegan ena-ena dan eksplisit sebaiknya menjauh sebelum harapan kalian runtuh. Blurb : Anne Lucas, dengan kecantikannya yang begitu memesona berhasil menarik perhatian seorang Luciani Enzio. Supermiliader, filantropis, aktivis dan tak lupa predikat bujangan paling diagungkan di lingkungan sosial atas. Segala macam pujian dipersembahkan oleh semua orang untuk pria itu. Tetapi Anne tak pernah terkecoh dengan semua topeng pria itu yang digunakan untuk menjilat kedua orang tuanya demi restu mereka untuk menikahkan Anne dengan Luciano. Ia tahu, di balik kesempurnaan Luciano. Pria itu tak lebih dari pria tua mesum yang berengsek. Segala cara ia lakukan untuk merobek topeng dan menunjukkan pada dunia wajah Luciano yang sebenarnya. Termasuk menghancurkan tubuhnya yang berhasil menarik pria itu. Tetapi, semua rencananya ta
Jerome berhasil menangkap tubuh Jenna yang terhuyung ke depan tepat sebelum kepala sang istri menyentuh lantai. Wajah Jenna benar-benar seputih kapas. Matanya terpejam. Wanita itu pasti benar-benar terkejut mendengar bahwa Daniel menemukan Liora lebih dulu. Yang artinya Xiu akan dipisahkan dari sang kakak, juga dari mereka berdua.Ya, selama dua tahun merawat Xiu, dan meski balita itu bukan anak kandungnya. Kasih sayang mereka tak berkurang sedikit pun untuk Xiu. Tak ada bedanya dibandingkan dengan Axel dan Alexa. Penyesalan bercokol di dadanya, sepertinya ia memang harus bertemu dengan Daniel."Bangun, Jenna," panggil Jerome dengan telapak tangan yang menepuk lembut pipi sang istri. Tak ada reaksi, Jerome pun menggendong Jenna ke dalam kamar. Membaringkan dengan hati-hati di tempat tidur.Jerome sedikit melonggarkan pakaian dalam Jenna agar lebih mudah bernapas. Mengambil minyak kayu putih di laci dan mengoleskan di dekat hidung. Setelah menunggu beberapa saat, perlahan Jenna terban
Jerome menatap Juna yang berdiri di ambang pintu gandanya yang tinggi dan megah. Berbanding terbalik dengan pakaian sederhana yang dikenakan pria itu. Kaos polos dan celana jeans, juga sepatu kets yang dikotori debu.Di samping Juna berdiri Abe yang mengangguk patuh begitu mendapatkan isyarat pergi dari Jerome.Kedua mata Juna menatap lurus pada Jerome, denga keberanian sebesar itu, Jerome tahu siaa jati diri pria itu yang sebenarnya. Sudah belasan tahun yang lalu, sejak terakhir ia melihat Julian yang dipaksa naik ke dalam mobil oleh anak buah mamanya. Tanpa tahu remaja itu tak akan pernah kembali ke kediaman Lim untuk waktu yang lama. Kecurigaan sempat hinggap di hati Jerome ketika menyuruh anak buahnya menyelidiki tentang tujuan Juna Fadli karena pria itu kembali ke hidup Jenna. Ada sesuatu tang familiar mengamati berkas laporan yang didapatkan oleh anak buahnya. Sekarang kecurigaan itu semakin meruncing."Sudah lama tak bertemu, Jerome," sapa Juna tanpa sedikit pun getaran dalam
"Gali lebih dalam." Jerome melempar berkas di tangannya ke hadapan Max. Wajahnya dipekati kegusaran yang begitu dalam. Menahan kemarahan di dadanya kuat-kuat. Kenapa harus ada kebetulan sialan semacam ini di hidupnya dan Jenna. Yang rasanya baru saja dipenuhi ketenangan. "Cari tahu apakah dia ada hubungannya dengan Karina Darleen."Max mengangguk patuh sembari memungut berkas yang jatuh di lantai. Suasana hati sang tuan jauh dari kata baik. Sedikit saja kekesalan, sang tuan tampak siap mengamuk di detik berikutnya. Beruntung informasi yang didapatkannya tentang asal usul Juna Fadli di kampung halaman pria itu cukup memuaskan sang tuan. Meski perlu informasi lebih dalam lagi. Max pun berpamit undur diri dan berjalan keluar. Berpapasan dengan Jennifer."Karina Darleen?" Jennifer memasuki ruangan Jerome dengan penuh keheranan dan kemarahan yang bercampur jadi satu. Berhenti tepat di depan meja Jerome. "Untuk apa kau mencari tahu tentang wanita itu, Jerome. Dia sudah mati, kan?""Ya, di
"Nyonya?" Mata Jenna terpejam mendengar suara memanggil yang mendadak muncul dari arah belakangnya. Baru saja ia keluar dari lift dan hendak memasuki ruang IGD. Mendesah pendek dan berbalik. "Ada apa lagi?""Tuan meminta saja …""Aku bisa mengurus urusanku sendiri," potong Jenna. "Kau pergilah ke kamar Xiu dan tanyakan apa yang dibutuhkan oleh kakakku.""T-tapi Anda …""Aku akan mengurusnya diriku sendiri.""Tuan Lim …""Abe, aku yang akan bertanggung jawab jika suamiku memarahimu."Abe pun mengangguk menangkap kemarahan yang mulai memekati wajah sang nyonya. Ia mengangguk undur diri dan menunggu sejenak di depan lift untuk naik ke atas.Jenna berbalik setelah pintu lift tertutup, menyusuri lorong pendek dan langsung ke ruang IGD. Tetapi tak menemukan Juna."Pasien yang tadi malam?" Perawat yang berjaga memasang senyum ramahnya. "Atas nama?"Jenna mengangguk. "Juna Fadli."Perawat itu menatap layar komputer di hadapannya, mencari sejenak. "Pasien sudah pulang."Mata Jenna melebar. "B
Abe mengatakan Jenna menyerempet seseorang di basement dan membanting setir hingga menabrak tiang. Saat pengawal wanita itu menemukan Jenna, Jenna sudah ditolong oleh seseorang yang ditabrak istrinya dan dibawa ke ruang UGD.Wajah Jerome yang dipenuhi kepanikan seketika berubah merah padam dan mengeras dengan kuat melihat pemandangannya di hadapannya. Kekhawatiran yang memenuhi dadanya dalam sekejap ditimbun oleh kemarahan melihat Jenna yang berbaring di ranjang pasien salah satu bilik dengan seorang pria. Tangan Jenna berada dalam genggaman jemari pria itu, dengan ibu jari yang mengelus lembut punggung Jenna."Lancang sekali," desis Jerome. Yang membuat pria itu menoleh dan Jerome dikejutkan untuk kedua kalinya. Mengenali si pria dengan sangat baik meski ini adalah pertemuan pertama mereka.Bagaimana mungkin ada kebetulan konyol semacam ini? Jerome jelas tak terima orang yang ditabrak oleh Jenna adalah Juna Fadli. Dari jutaan orang di kota ini, tidak adalah korban lain?"Apa yang k