Apa aku terlalu egois? Pikir Zahra seraya mengamati dari jauh, ibunya yang kini sudah sah menjadi istri orang, yang tak lain adalah Rommy, salah seorang sahabat ayah mertuanya.
Sejujurnya, ia sama sekali tak keberatan dengan pernikahan ibunya dan om Rommy. Hanya saja, dirinya merasa sedikit tak rela saat tahu bahwa sang ibu akan diboyong suaminya untuk tinggal di Korea Selatan.
Malam ini, di salah satu cafe milik keluarga Blackstone, acara akad nikah digelar. Bukan acara mewah. Hanya dihadiri oleh sahabat dan kerabat dekat saja. Sebagian, Zahra sudah kenal dan bertemu, seperti Om Damian dan putrinya. Namun, sebagian lagi, ia belum kenal betul meski wajahnya seperti sudah tak asing lagi. Ya, saat masih tinggal di kediaman Blackstone, memang kerap kali banyak tamu ayah mertuanya yang datang, baik urusan pekerjaan atau sekedar berkumpul bersama.
Karena esok hari Rommy dan Fatma sudah akan terbang ke korea dan menetap di
Suara berisik alarm yang terus berbunyi akhirnya membangunkan Zahra dari tidurnya yang tak bisa dibilang nyenyak. Karena di dalam mimpi ia melihat dirinya terus berlari mengejar ibunya yang dini hari tadi terbang ke singapura. Ya, rencananya ibu dan ayah tirinya akan terbang ke korea selatan dari singapura.Meski sudah terjaga, tapi Zahra masih memilih berbaring di tempat tidur. Badannya terasa kaku semua. Selain semalam ia dan Aaro memang pulang larut dari cafe, juga karena semalaman ia masih terus menangisi ibunya sampai akhirnya tertidur.Ohh, berbicara soal Aaro, Zahra akhirnya memaksa dirinya untuk bangun dan duduk di tepi tempat tidurnya. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan untuk mencari keberadaan suaminya itu. Namun dia tak terlihat dimanapun. Ahh, mungkin di bengkel bawah, batin Zahra.Agar tidak terlalu lemas dan malas, Zahra memutuskan untuk mandi terlebih dahulu, baru menyiapkan keperluannya untuk berangka
"Ini dimana?" Zahra bertanya karena ia heran, Rozi membawanya bukan lagi ke pinggiran kota, tapi sepertinya bahkan sudah keluar dari kota. Jalan yang mereka lalui semakin sepi dan jarang ada kendaraan lewat. "Apa masih jauh?""Sebentar lagi." Hanya itu jawaban Rozi tanpa memberikan penjelasan lebih jauh pada Zahra."Ehh, maaf pak Rozi, kalau tempat kosnya jauh begini, sepertinya saya cari tempat kos lain saja. Percuma juga kalau saya nggak bisa kemana-mana, bahkan untuk bekerja." Zahra sedikit jengkel karena merasa dipermainkan. Karena tadi kata Rozi, tempat kos itu letaknya di pinggiran kota. Siapa sangka ternyata malah pelosok seperti ini. "Kita kembali saja," ia menambahkan dengan nada kethus."Iya, ini sebentar lagi sampai.""Nggak. Saya batal kos di sini. Mana jalanannya sepi begini. Lebih baik kita kembali saja.""Cerewet!" Rozi habis kesabaran. "Dibilang sebentar lagi sampai, ya sabar!"
Zahra membuka mata saat merasakan dingin di punggung tangannya. Ia berkedip beberapa kali untuk menyesuaikan dengan cahaya terang di sekitar."Anda sudah bangun?" Seorang perawat perempuan yang memakai baju tosca muda tersenyum padanya."Jam berapa sekarang?""Sekarang sudah pukul delapan pagi. Anda tidur cukup lama sejak dibawa kemari oleh dokter Aidan kemarin malam. Sekarang anda terlihat lebih baik, makanya dokter Aidan meminta saya untuk melepas infus anda.""Infus?" Zahra mengangkat tangan dan melihat plester bulat di punggung tangannya. "Kenapa saya harus diinfus?""Maaf, saya hanya menjalankan tugas dari dokter Aidan. Silahkan bertanya langsung pada beliau. Saya permisi."Selama beberapa saat, Zahra masih berbaring dan mencoba mengingat, apa gerangan yang terjadi, sampai dirinya harus terbaring di tempat ini dan diinfus.Ia ingat, dirinya pergi bersama Pak
"Aku akan berusaha supaya bisa diterima bekerja dan menghidupi kita berdua," Zahra berbicara lirih sambil mengusap kaca jendela di ruang ICU. Tatapannya tak pernah lepas dari sosok yang terbaring lemah dengan seluruh tubuh berbalut perban di dalam sana. Ia mengembuskan napas dengan keras saat rasa bersalah kembali menghimpit dalam dadanya.Sudah sekitar dua jam, Zahra bertahan berdiri jendela itu. Lapar dan kantuk tak ia rasa. Sesekali matanya terpejam dengan kepala bersandar di kaca. Namun, ia tetap keras kepala dan menolak untuk duduk meski tak jauh darinya terdapat kursi penunggu pasien. Ohh, tentu saja Zahra tak ingin meninggalkan Aaro sedetik saja. Ia ingin mengetahui setiap perkembangan suaminya itu. Saat suaminya mendapat suntikan obat, ditambahkan infus baru atau yang lain, Zahra tetap mengamatinya dari luar. Setidaknya, itu bisa sedikit meringankan rasa bersalahnya.Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam saat Zahra tak kuat lagi menaha
"Beneran nggak butuh apa-apa?" Zahra bertanya pada Aaro sambil melirik jam yang melingkar di tangan kirinya. "Ini hari pertamaku bekerja, aku tak mau terlambat, tapi..."Zahra mendesah pelan dan menatap Aaro bingung, "aku tahu, aku seharusnya ada di sini, menemanimu."Aaro tersenyum menenangkan. "Pergilah. Setelah aku sembuh, aku janji, kau tak perlu melakukan ini lagi."Zahra mengangguk pelan. "Oke," jawabnya sambil berjalan mendekati Aaro untuk berpamitan. Ia mencium punggung tangan Aaro dengan cepat karena ingin segera berangkat. Menurutnya, kesan pertama sangat menentukan, jadi ia ingin memberi kesan yang baik pada masa training-nya kali ini. Namun, saat hendak menegakkan badan, Aaro menarik tengkuknya secara tiba-tiba, membuatnya terkejut dan hilang keseimbangan. Ia jatuh membungkuk di atas Aaro."Apa yan..." Zahra tak dapat menyelesaikan ucapannya karena Aaro sudah membungkam mulutnya dengan ciuman. Ia m
Zahra merenung di ruang kerjanya. Ia bingung. Ketika datang tadi pagi, yang mana dirinya terlambat beberapa menit-karena suami brondongnya sulit sekali untuk ditinggal, dirinya disambut oleh seluruh jajaran pengurus di TK Bintang Kecil ini. Mulai dari ketua yayasan, sampai petugas kebersihan berjajar rapi di halaman. Mereka memperkenalkan diri satu per satu.Setelah acara perkenalan, ia diantar berkeliling sekolah oleh kepala yayasan dan kepala sekolah TK ini. Dan yang membuatnya semakin terkejut adalah posisi pekerjaan yang diberikan padanya, yaitu sebagai pengawas sekolah. Ya Tuhan, pengawas sekolah? Bagaimana bisa, sementara saat interview kemarin, jelas-jelas dikatakan bahwa posisi yang dibutuhkan adalah pendamping untuk siswa luar biasa di tingkat playgroup. Sewaktu ia tanyakan hal itu pada ibu kepala sekolah yang kemarin sempat mewawancarai dirinya, beliau hanya mengatakan bahwa saat ini posisi yang lebih mendesak adalah pengawas seko
"Suamiku... Aku sudah kembali," Zahra tertawa riang sambil menutup pintu kamar perawatan Aaro. Ia melompat-lompat seperti anak kecil, menghampiri tempat tidur suaminya. Banyak hal yang ingin ia ceritakan pada suaminya itu. Namun, ia berhenti bersuka cita saat melihat Aaro menyilangkan kedua lengannya di depan dada dan tak menoleh ke arahnya."Suamiku... Ada apa?"Aaro melengos. Dongkol setengah mati karena Zahra tak menepati janji. Seharian ini, entah berapa ratus kali dirinya menghubungi ponsel istrinya itu. Namun, tak sekalipun dijawab."Apa ada yang sakit?" Zahra menduga suaminya itu gengsi untuk mengakui bahwa tubuhnya terasa sakit. "Aku panggilkan dokter atau perawat ya?"Aaro menepis tangan Zahra yang sudah terulur untuk menekan tombol panggilan ke nurse station, membuat istrinya itu terkejut. Ia setengah menyesal sudah bersikap kasar pada Zahra, tapi memang istrinya itu menyebalkan! Bagaimana bisa dia p
Keesokan harinya saat Zahra sampai di sekolah, para guru dan karyawan menatapnya dengan ekspresi yang janggal. Seakan iba pada dirinya. Ia tak tahu mengapa demikian. Namun, seperti biasa, Zahra tak pernah ambil pusing mengenai sikap orang lain terhadap dirinya. Ia tetap menyapa mereka dengan ramah.Sampai di kantornya, Zahra langsung berlari ke arah jendela kaca yang menghadap ke arah jalan raya. Ia mendesah pelan ketika melihat siluet suaminya pulang mengenakan kursi roda setelah mengantarnya barusan.Ia sudah menolak setengah mati ketika Aaro hendak mengantarnya ke sekolah, tapi suaminya itu tetap memaksa hingga ia pun mengalah dan membiarkan Aaro mengantarnya. Tiba-tiba saja, Zahra merasa seakan hatinya tertusuk sesuatu...Zahra masih terus berdiri di jendela mengamati Aaro sampai suaminya itu menghilang di belokan yang mengarah ke tempat tinggal mereka. Ia pun duduk, menyesap teh hangat yang sudah tersedia di mejanya sedi