"Mana dia?" Aaro yang baru saja menghambur ke dalam ruang makan bertanya karena tidak melihat ada Zahra di sana.
"Zahra? Dia sudah berangkat beberapa menit yang lalu," Carmila tersenyum keibuan kemudian berdiri menyambut sang putra.
"Jalan ke halte?" tanya Aaro dengan nada jengkel sekaligus marah. Bukan marah kepada bundanya, tapi kesal pada dirinya sendiri yang bangun kesiangan dan yang menjengkelkan adalah Zahra sama sekali tidak berusaha membangunkan dirinya.
Aaro mengerang pelan sambil mengusap wajah dengan telapak tangannya. Ia tahu apa yang mereka lakukan semalam adalah kali pertama untuk Zahra, jadi pasti akan terasa tidak nyaman bagi Zahra. Apalagi jika dia sampai harus berjalan jauh dari rumahnya ke halte.
"Tadi Om Damian mampir sebentar untuk mengambil beberapa berkas yang harus dibawa ke luar kota. Jadi, Ayah meminta tolong untuk mengantar Zahra sekalian. Kebetulan satu arah kan?" Aidan menjawab santai sambil tetap menikmati sarapannya.
"Apa?!" Aaro menatap ayahnya dengan ekspresi tak percaya. "Ayah membiarkan Zahra berduaan dengan Om Damian?"
"Ada yang salah?" Aidan terkekeh menyebalkan. "Tadi Ayah lihat istrimu itu sedang kurang enak badan, yah, daripada jalan kaki, diantar Om Damian lebih baik."
Aaro diam tak menjawab, tapi ia tetap memasang wajah tanpa ekspresi, padahal dalam hatinya panik. Ia khawatir jika ayahnya tahu bahwa semalam dirinya dan Zahra telah melakukan ... semoga saja tidak! Tapi dilihat dari senyum mengejek yang terus ditujukan sang ayah padanya, sepertinya ayahnya benar-benar sudah tahu.
Aaro membuang napas keras. Sebetulnya, ia ingin sekali segera menyusul Zahra dan meminta maaf pada gadis itu atas tindakannya semalam, tapi melihat sang ayah yang terus mengamati tingkahnya, ia pun akhirnya memilih duduk dan bergabung sarapan.
"Bagaimana rasanya?" Aidan menendang kaki Aaro dari bawah meja seraya mengedipkan sebelah matanya. "Tidak perlu menyesal atau meminta maaf, itu kan sudah menjadi kewajibannya."
"A-apa?" Aaro mencelos. Ia tak menyangka ayahnya akan menyinggung masalah seperti ini di depan seluruh keluarganya. "Ehh, itu ... dia ..." Aaro menggaruk pelipisnya salah tingkah, tak tahu harus menjawab bagaimana.
"Kenapa gugup sekali?" Aidan pura-pura heran. "Ayah kan cuma tanya, bagaimana rasanya diajar oleh istri sendiri di sekolah? Hahahaha!"
Ucapan sang ayah sukses membuat Aaro melongo membuat Aldevaro dan Alden—dua kakak laki-lakinya—terbahak melihatnya. Sepertinya kali ini dirinya telah menjadi korban kejahilan sang ayah.
"Kanda! Habiskan dulu sarapannya, kenapa malah tertawa lebar seperti itu?" tegur Carmila. "Dan kamu Aa, jangan khawatir atau cemburu. Tadi Om Damian juga sekalian mengantar Mian ke sekolah. Jadi, mereka tidak berdua saja." Carmila menjelaskan seolah mengerti perasaan galau yang dirasakan sang putra ketika mengira istrinya hanya berduaan saja di dalam mobil bersama pria lain. Ia hafal betul dengan gelagat itu karena suaminya pun begitu. Jadi, sudah pasti Aaro menurun sifat ayahnya yang terlalu cemburuan.
"Siapa yang cemburu?" Aaro mengelak pelan, tapi tak ada satu pun anggota keluarganya yang percaya itu. Terlihat dari ayah dan kakak-kakaknya yang masih saja tersenyum geli ke arahnya.
Selesai menghabiskan sarapannya, Aaro buru-buru pamit pada ayah dan bundanya kemudian melangkah cepat keluar dari ruang makan meninggalkan gelak tawa ayah dan kedua kakaknya. Aaro tahu, pasti mereka semua sedang menertawakan dirinya, tapi biar saja karena yang terpenting baginya saat ini adalah segera bertemu dan bicara dengan Zahra.
Sampai di garasi, Aaro langsung masuk ke dalam mobil dan membanting pintunya hingga tertutup sebelum melaju cepat meninggalkan rumah menuju sekolah. Karena masih pagi, jalanan masih lengang dan tidak terlalu macet, Aaro sampai lebih cepat ke sekolah.
Aaro tidak langsung pergi ke kelasnya, tapi mencari Zahra terlebih dahulu ke ruang PPL. Kepalanya melongok ke dalam ruangan untuk mencari sosok yang ia cari. Namun, dirinya tak melihat istrinya itu di dalam ruangan. Akhirnya ia memutuskan untuk mengetuk pintu kaca itu dan melangkah masuk ke dalam.
"Maaf, apa Bu Zahra ada?" Aaro bertanya kepada seorang perempuan yang duduk paling dekat dengan tempatnya berdiri. "Ada beberapa tugas yang ingin saya diskusikan." Aaro menambahkan untuk menghindari kecurigaan.
"Ohh!" Beberapa orang diantara teman-teman PPL Zahra menatap Aaro terkesima. Selain parasnya yang tampan, postur tubuhnya yang gagah memang selalu membuat para gadis klepek-klepek karena jika tidak sedang memakai seragam sekolah, banyak orang mengira bahwa usia Aaro sudah kisaran pertengahan dua puluh tahunan.
"Za-hara, ruang kesehatan ... ya dia di ruang kesehatan," jawab salah seorang diantara mereka sambil terus menatap Aaro terpesona.
"Ruang kesehatan?"
"Ya. Sejak datang tadi dia mengeluh pusing dan tidak enak badan. Jadi, kami mengantar dia ke UKS."
"Terima kasih," ujar Aaro singkat kemudian berbalik dan pergi meninggalkan ruang PPL itu tanpa permisi atau mengatakan apa pun lagi. Tujuannya hanya satu, Zahra!
Aaro mengintip sebentar ke dalam UKS untuk melihat apakah ada orang di dalam sana. Ternyata sepi. Ia pun membuka pintunya perlahan dan melangkah masuk tanpa menimbulkan suara.
Langkah Aaro terhenti begitu melihat Zahra sedang duduk di kursi dengan kepala direbahkan ke tepi tempat tidur. Desir halus kembali muncul dalam hati Aaro ketika melihat Zahra tidak ceria seperti biasanya. Rasa bersalah pun terus membebani hatinya karena ia sendiri pun tahu penyebab kemurungan Zahra adalah karena tindakannya semalam.
"Kau tidak apa-apa?" Aaro memutuskan untuk tidak menunda pembicaraan di antara mereka. Dirinya sudah berani berbuat—mengambil hal yang paling berharga dari gadis itu—jadi, dirinya juga yang akan mempertanggung jawabkan itu meskipun sebenarnya itu adalah haknya sebagai suami.
Tubuh Zahra mengejang begitu mendengar suara Aaro. Ia menoleh dengan cepat dan mendapati Aaro sudah berdiri tak jauh darinya. Bayangan kejadian semalam kembali melintas di benaknya. Ia pun memalingkan wajah ke arah lain karena tidak ingin membalas tatapan Aaro. Air mata yang ia tahan sejak tadi akhirnya tumpah.
Zahra begitu menyesali apa yang telah ia lakukan bersama Aaro. Sekalipun Aaro adalah suaminya yang sah, tapi status pernikahan mereka hanya sementara. Jadi, tidak seharusnya mereka melakukan hubungan selayaknya pasangan suami istri pada umumnya.
"Kau marah." Aaro maju selangkah, tapi tetap menjaga jarak dari Zahra karena tak ingin perempuan itu merasa tidak nyaman dengan kehadirannya. "Aku minta maaf."
Aaro menghela napas berat ketika Zahra masih tidak menjawab ucapannya bahkan terisak semakin keras. Hatinya tergerak untuk maju dan merengkuh Zahra ke dalam dekapannya, tapi seakan ada yang menahan langkahnya, tubuhnya terasa berat sekali untuk bergerak maju. "Apa semalam aku menyakitimu?"
Zahra memejamkan matanya dengan erat berusaha mengusir ingatan tentang kejadian semalam yang terus membayangi. Tak bisa dipungkiri bahwa semalam dirinya memang tidak menolak sama sekali, tapi pagi ini ketika kesadarannya sepenuhnya kembali, ia tahu bahwa hal itu merupakan kesalahan besar. Jika nantinya hubungannya dan Aaro berakhir, dirinya tidak lagi memiliki mahkota kebanggaan yang bisa ia berikan kepada pendamping hidupnya kelak. Belum lagi anggapan negatif yang akan ia terima. Orang-orang akan menilai dirinya rendah, apalagi sejak lahir dirinya besar dan tinggal di sebuah kelab malam.
Aaro melemaskan kedua kakinya kemudian melangkah mendekati Zahra dan berjongkok di hadapan gadis itu. Ia meraih tangan Zahra yang berada di pangkuan dan menggenggamnya erat. "Kau boleh memukulku atau memarahiku sepuasmu."
Zahra menggeleng. "Itu tidak akan merubah apa pun. Nantinya ketika hubungan kita berakhir, semua orang akan menilai rendah diriku yang sudah tidak suci lagi. Tidak ada lagi yang bisa kubanggakan untuk pria yang akan menjadi calon suamiku kelak."
Jawaban Zahra seakan menampar Aaro. Tentu saja hal yang diungkapkan oleh Zahra adalah hal yang begitu penting bagi banyak gadis. Rasa bersalah yang Aaro rasakan semakin besar. Kemudian, tanpa banyak berpikir lagi dirinya menawarkan sebuah komitmen serius pada Zahra sebagai bentuk tanggung jawab atas perbuatannya.
"Kalau begitu jangan ada perpisahan." Aaro menarik pelan tangan Zahra aagr gadis itu sudi untuk membalas tatapannya, tapi itu tetap melihat ke arah lain. Aaro menarik napas panjang dan kembali berkata, "mungkin awalnya pernikahan kita memang hanya sekedar alibi palsu untuk menghindari isu, tapi kita bisa merubahnya, kita jalani saja semua dengan serius."
Zahra berhenti terisak. Kepalanya menoleh dan menatap Aaro dengan ekspresi tak percaya.
"Kita pasti bisa." Aaro berusaha meyakinkan. Ia tak sampai hati melihat wajah Zahra yang basah air mata.
Hampir saja Zahra tergoda untuk menerima tawaran Aaro ketika terngiang kembali ucapan Aaro beberapa waktu lalu. Sampai kapan pun Aaro tidak akan pernah mencintainya karena sudah ada yang menempati hatinya dan dirinya tidak mau menjalani pernikahan tanpa cinta ini seumur hidup. Zahra benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana mereka bisa membangun rumah tangga dengan baik jika tidak memiliki pondasi yang kuat yaitu rasa saling mencintai dan saling menyayangi.
"Percayalah padaku," Aaro berusaha meyakinkan Zahra. Ia bisa melihat keraguan di wajah istrinya itu, tapi entah mengapa dirinya begitu ingin agar Zahra mempercayainya. Dirinya tidak main-main ketika menawarkan komitmen ini. Matanya pun menyorot tajam penuh keyakinan dengan kepala mengangguk mantap. "Kita bisa mencobanya, bukan?"
Jika ini perempuan lain, mereka pasti akan meleleh dan takluk dengan bujuk rayu Aaro, tapi tidak dengan Zahra. Dengan sejuta pengalaman pahit yang gadis itu alami di kelab, menjadikan dia sosok yang sulit untuk memercayai siapa pun. Itu sebagai bentuk pertahanan diri yang ia bangun selama bertahun-tahun. Dirinya sangat tidak siap untuk terluka dan tersakiti.
"Aku berjanji, aku akan memegang teguh tanggung jawabku sebagai seorang suami." Aaro masih belum mau menyerah karena ia sudah yakin dengan keputusannya.
"A-le-a?" Zahra sengaja menyebut nama itu. Cinta pertama sekaligus cinta abadi Aaro.
Aaro menarik napas panjang kemudian membuangnya dengan keras begitu Zahra menyebut nama adik perempuannya. Meski masih ada sedikit sesal, tapi hatinya tak lagi sakit ketika mengingat sosok gadis yang begitu ia cintai ini. Aaro tersenyum sambil mengangguk samar, "ya. Aku memang mencintainya, tapi dia tidak akan pernah mungkin jadi pendamping hidupku."
"Kenapa?" Zahra mendengus tak percaya. Jelas-jelas Aaro pernah berkata bahwa gadis yang akan Aaro cintai sampai kapan pun hanyalah Alea.
"Karena dia adik kandungku sendiri," jawab Aaro pelan.
Zahra melebarkan matanya dengan mulut menganga saat mendengar jawaban Aaro. Namun, sesaat kemudian ia bisa menguasai diri. "Tapi tetap saja, usiamu terlalu muda untuk jadi suamiku yang sesungguhnya."
Aaro berdecak kesal. "Kau ini, sudah berapa kali terbukti bahwa meski usiaku lebih muda darimu, tapi kelakuanmu justru menunjukkan bahwa kaulah yang jauh lebih muda dariku!"
Zahra cemberut. Memang apa yang dikatakan Aaro ada benarnya, tapi tetap saja ia masih belum bisa menerima hal itu. Banyak hal yang harus ia pertimbangkan terutama mengenai tanggapan orang-orang yang nantinya akan tahu bahwa dirinya menikahi seorang brondong.
Aaro tersenyum penuh kemenangan. Ia yakin sekali Zahra tidak memiliki argumen yang kuat untuk menolaknya. Ia melepaskan tangan Zahra dan berganti menghapus air mata di pipi istrinya itu. "Mulai sekarang jangan pernah menangis lagi. Kau bisa memercayakan semua masalahmu padaku," bisik Aaro sambil memajukan kepalanya dan mencium kedua mata basah Zahra. Ciuman itu berpindah ke pipi, hidung kemudian turun ke bibir.
Zahra yang pikirannya kembali tercecer pun memejamkan mata mengisyaratkan kepasrahannya pada Aaro. Bahkan dirinya mulai berani membalas ciuman suaminya itu. Kedua tangannya berpegangan pada lengan kokoh sang suami sementara bibir mereka masih saling bertaut.
Saat keduanya hanyut dalam gelombang hasrat yang saling menuntut, tiba-tiba ada yang memutar kenop pintu menimbulkan yang mengejutkan Zahra.
Ia mendorong tubuh Aaro agar menjauh darinya kemudian merapikan diri sebisanya. Wajahnya bersemu merah jambu saat tatapannya bertemu dengan mata Aaro yang mulai berkabut gairah.
"Aku sudah mengunci pintunya!" Aaro berkata jengkel, tak suka kesenangannya mendapat gangguan.
"Ohh," jawab Zahra singkat tanpa berani membalas tatapan Aaro. Ia berusaha mengumpulkan kembali akal sehatnya yang sempat tercecer dengan mengalihkan pandangannya ke arah mana saja asalkan bisa menghindari wajah bergairah Aaro yang terlihat jelas begitu menginginkan dirinya. Tanpa sengaja pandangannya jatuh ke arah jam dinding. Zahra pun terlonjak dan bergegas berdiri. "Lima menit lagi bel masuk berbunyi. Aku bisa terlambat," ujarnya panik.
Aaro menahan pergelangan tangan Zahra yang sudah hampir melangkah pergi meninggalkan dirinya. Dengan sebelah tangan yang lain ia merogoh ponsel di saku celananya dan menghubungi seseorang. Orang yang selalu bisa ia andalkan dalam kondisi apa pun dan di mana pun.
"Ayah?!" Aaro memanggil begitu panggilannya tersambung. "Ehm—"
"Kau dimana?"
"Ruang kesehatan bersama Zahra. Ehhh, bisakah Ayah—" lagi-lagi ucapan Aaro terpotong oleh jawaban buru-buru sang ayah.
"Ya sudah. Pastikan pintunya terkunci!"
Sambungan ditutup sepihak. Selama beberapa saat, Aaro hanya bisa menatap ponselnya dengan takjub. Bukan ponsel itu yang membuatnya terkesan, tapi insting dan sikap cepat tanggap sang ayahlah yang membuat Aaro terperangah. Bahkan dirinya belum menyampaikan maksudnya, tapi ayahnya yang ajaib itu sudah seperti dukun saja.
Tidak sampai satu menit kemudian sebuah pesan masuk dari ayahnya membuat Aaro tergelak. Pagi ini, pemilik sekolah dan yayasan ingin mengadakan rapat dadakan beserta seluruh karyawan dan guru di SMA Biru Berlian. Satu jam setengah waktu yang diberikan ayahnya dan tidak boleh lebih dari itu.
Setelah membalas pesan sang ayah dan mengucapkan terima kasih, Aaro meletakkan ponselnya di atas tempat tidur kemudian tersenyum nakal ke arah sang istri. "Semua sudah diatur," ujarnya.
"Apa?" Zahra bertanya bingung. Apalagi ketika melihat Aaro melepas tas di pundaknya dan menjatuhkannya begitu saja ke lantai, kemudian mulai membuka kancing kemeja seragamnya. "Aku harus bergegas Aa, sudah terlambat." Tanpa mempedulikan protes Aaro, ia berbalik badan dan berlari cepat ke arah pintu. Baru satu langkah berlari, ujung sepatunya tersangkut kaki kursi membuat Zahra hilang keseimbangan dan jaguh ke dalam pelukan Aaro yang sepertinya memang sudah siap sedia menangkapnya.
"Ayah sudah mengaturnya untuk kita," bisik Aaro sambil menampilkan senyum setan.
"Mengatur untuk ap—" ucapan Zahra terhenti karena Aaro sudah kembali menghujani wajahnya dengan ciuman dan cumbuan dan entah bagaimana ceritanya karena beberapa menit kemudian mereka saling berpelukan dengan pakaian yang sudah berserakan di lantai.
***
Tangan mereka saling bertautan saat berjalan beriringan untuk menyapa kerabat dan Sabahat yang datang di acara resepsi pernikahan sederhana mereka ini. Resepsi yang diadakan secara dadakan oleh ayah mereka, Rommy dan Aidan. Bertempat di sebuah resort di pinggiran kota Batam yang berhadapan langsung dengan negara Singapura.Siang ini, rombongan sahabat dan keluarga mendarat di bandara Hang Nadim dan langsung menuju ke resort yang sudah dibooking seluruhnya. Kamar-kamar pun sudah dibagi dan sore ini, perayaan mereka digelar outdoor di dermaga resort. Suara debur ombak, suasana senja dan kelap kelip lampu dari Singapura yang terlihat jelas menjadi latar yang sangat untuk acara ini.Aaro membimbing Zahra untuk mengucapkan terima kasih atas kehadiran dan doa yang diberikan oleh keluarga dan sahabat-sahabat keluarga mereka. Sungguh membahagiakan mereka semua bisa hadir meski undangan yang dikirim ayahnya begitu mendadak. Bukan undangan, teta
Rommy mengetuk kamar Zahra beberapa kali untuk membangunkan putrinya itu, tapi belum juga ada jawaban. Ia mulai khawatir terjadi sesuatu dengan putri tirinya itu mengingat apa yang sering terjadi sebelumnya. Ia pun mencoba membuka pintu kamar Zahra yang ternyata dikunci dari dalam.Rommy heran karena tidak biasanya Zahra tidur dengan pintu kamar terkunci. Untungnya, dirinya selalu antisipasi dengan menyediakan kunci cadangan. Tanpa pikir panjang, Rommy mengambil kunci cadangan yang ia simpan di lemari penyimpanan khusus dakam kamarnya.Perasaannya sudah tak karuan saat kembali melangkah cepat ke kamar Zahra dan membuka pintunya. Kamar Zahra gelap karena semua korden masih tertutup rapat hingga Rommy pun menyalakan lampu terlebih dahulu sebelum melangkah ke jendela dan membuka semua kordennya. Setelahnya, ia membalikkan badan dengan maksud membangunkan Zahra, tapi pemandangan di tempat tidur yang ia lihat sungguh membuatnya terkejut.Rommy tak perlu bert
Aaro menunggu Zahra kembali dari kamar mandi sambil bersembunyi di balik pintu kamar Zahra. Kamar Zahra tidak dilengkapi dengan kamar mandi dalam karena memang bukan kamar utama.Sesekali, Aaro mengintip untuk melihat apakah Zahra sudah akan kembali ke kamar, tapi rupanya dia masih berada di dalam kamar mandi.Baru beberapa menit, Aaro sudah berdecak tak sabar dan hampir saja berderap menerobos ke dalam kamar mandi untuk menyusul Zahra jika saat itu dirinya tak melihat bahwa Rommy sedang menonton TV di ruang tengah.Aaro menyandarkan punggungnya ke dinding di belakang pintu sambil merapatkan kedua lengannya ke samping tubuhnya. Ia takut jika tiba-tiba saja dirinya nekat keluar dari tempat persembunyiannya dan menyongsong Zahra di depan kamar mandi. Ohh, rasa rindu yang sudah menggelegak di dalam dirinya membuat akal sehatnya sulit untuk dikendalikan.Setelah hampir tiga puluh menit berlalu, Aaro bersorak dalam
Aaro terjengkang ke belakang saat Zahra tiba-tiba berdiri dan mendorongnya dengan keras. Selama beberapa saat dirinya hanya bisa diam dan terkejut. Namun, saat menyadari bahwa Zahra berusaha kabur darinya, ia pun bergegas berdiri dan berlari mengejar."Cinta!" Aaro berteriak sambil berlari cepat mengejar Zahra yang sudah berada jauh di depannya dan menghilang dari pandangan. Aaro mempercepat larinya agar bisa menyusul sang istri, tapi saat sampai di belokan, ia tak lagi bisa melihat Zahra.Aaro mengatur napas sambil mengedarkan pandangan ke sekitar. Zahra tak mungkin pergi jauh. Ia yakin sekali jika istrinya itu masih berada di sekitarnya dan bersembunyi karena ia sudah hafal betul bahwa Zahra tak mungkin bisa kabur dengan dengan cepat tanpa jatuh atau tersandung kakinya sendiri. Jadi, saat ini Aaro berdiri diam sambil mengamati area di sekelilingnya, mencari tempat yang sangat memungkinkan untuk dijadikan persembunyian istrinya itu. Namun,
Aaro menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur selepas berendam air hangat untuk melepas penat. Ia melipat kedua tangan di belakang kepala sambil menatap langit-langit kamar. Bayangan Zahra terbaring di kamar mandi bersimbah darah terus menghantui pikirannya. Seharusnya, saat ini ia masih terus mencari tahu keberadaan Zahra, bukan malah buang-buang waktu dengan datang ke pulau kecil ini. Bisa jadi, ketika dirinya berhenti mencari, Zahra akan pergi semakin jauh dan tak terjangkau.Tiba-tiba saja Aaro sadar, bahwa dirinya tak bisa tinggal lebih lama lagi di Batam. Ia harus segera kembali dan mulai melacak keberadaan Zahra. Huft! Aaro mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya kemudian bangkit dari tempat tidur untuk mengambil ponsel yang masih ada meja depan TV.Aaro menghubungi sang ayah dan mengatakan bahwa dirinya ingin pulang saja besok. Ia menyampaikan banyak alasan yang semua tentunya berhubungan dengan pencarian Zahra, tapi sial, a
"Melamun lagi?"Zahra meboleh dan melihat ayah tirinya melangkah pelan menghampirinya. Zahra tersenyum malu karena sekali lagi terpergok melamun."Bosan ya?" Rommy terkekeh sambil duduk di kursi di hadapan Zahra. Saat ini mereka berada di Batam, selain untuk mempermudah akses saat Zahra harus melakukan kontrol ke Singapura, juga karena Rommy baru saja menerima sebuah tawaran kontrak di salah satu rumah sakit di Batam. Ia tak pikir panjang dan langsung menerima tawaran itu karena memang untuk sementara waktu dirinya belum bisa kembali ke Korea Selatan untuk mendampingi proses pemulihan Zahra. Dari Batam, hanya membutuhkan waktu kurang lebih tiga puluh menit saja untuk menyeberang ke Singapura. Ditambah saat ini istrinya, Fatma sedang hamil muda dan sering mengalami mual yang hebat hingga belum memungkinkan untuk melakukan perjalanan jauh."Kurang nyaman ya apartemennya?" Rommy bertanya dengan nada meminta maaf, "di sini yang l