Share

8. Perlukah Seikat Bunga Untuknya?

“Perasaan temen elo cuman gue dah.”

Saya menghela napas. Emosi.

“Udah jawab aja, ribet amat sih pengen tau siapanya.”

Andi kemudian berpikir.

“Bisa jadi sih.”

Saya senyum-senyum sendiri mendengar jawaban Andi. Jawaban Andi dan Yongki sama. Mungkin benar kalau Andara memang menyukai saya. Kalau dia tidak suka, tidak mungkin dia bisa sebaik itu sama saya.

“Tapi tunggu dulu,”

Perkataan itu memadamkan senyum saya yang terlanjur merekah.

“Kenapa?”

“Jangan keburu ge er dulu.”

“Kok?”

“Ada juga orang baik karena ada maunya.”

“Contohnya?”

“Ya kayak si Indro, anggota team penulis kita.”

“Emang dia kenapa?”

“Ada artis cewek yang deketin dia dan baik banget sama dia. Dia nyangka artis itu suka sama dia, tahunya mau manfaatin doang biar si artis itu sering dapet peran ditulisannya.”

Saya kembali layu. Kebetulan si Andara ini adalah artis yang main di sitkom yang sedang saya tulis. Apa mungkin si Andara baik pada saya karena alasannya sama dengan artis yang memanfaatkan Indro itu?

“Emang siapa sih yang lagi ngalamin kayak gitu?” tanya Andi sekali lagi.

“Marbot masjid deketk kostan saya,” jawab saya seadanya.

Andi makin heran. Lalu saya pergi meninggalkan Andi bersama rasa penasarannya.

Malamnya saya berpikir keras soal ini. Handphone saya berdering. Saya lihat telepon dari Andara lagi. Mengingat ucapan Andi tadi sore, saya jadi malas untuk mengangkatnya. Akhirnya teleponnya saya abaikan. Tak berapa lama kemudian handphone saya berbunyi lagi. Ketika saya cek telepon masuk dari Ira, managernya si Andara. Mereka pasti sedang bersama. Andara pasti menyuruh Ira menelpon saya karena saya tidak mengangkat telepon darinya. Telepon dari Ira pun tak saya angkat sampai saya tertidur dan terbangung keesokan harinya.

Pagi-pagi sekali. Saya sarapan dengan Yongki di tukang bubur ayam langganan kami di dekat gang masuk ke arah kostan kami.

“Gimana?” tanya Yongki.

“Gimana apaanya?”

“Soal cewek yang baik itu?”

“Kayaknya dia ada maunya doang deh.”

Yongki heran.

“Nggak mungkin.”

Saya lebih heran.

“Nggak mungkin gimana?”

“Kan belum ketahuan. Kalo udah tahu emang begitu alasannya baru mungkin.”

Saya menghela napas.

Dan saat pulang dari sarapan menuju kostan, handphone saya berdering lagi. Saya periksa rupanya dari Andara. Karena saya orangnya tidak enakan, akhirnya teleponnya saya angkat juga.

“Halo.”

“Kok semalem telepon aku nggak diangkat-angkat sih kak?”

“Maaf, semalam saya ketiduran.”

“Oh, pantesan.”

“Nanti malem makan bareng lagi yuk di café kemaren.”

Saya kaget.

“Jangan!”

“Kenapa?”

“Di Café lain aja.”

“Emang di café sana kenapa?”

“Ada mak lampir yang giginya banyak yang bolong, serem.”

Andara tertawa.

“Nggak apa-apa kakak. Aku kan udah minta maaf sama dia.”

“Tapi kalo besok dia jahat sama saya, kamu bantuin ya.”

“Iya. Beneran dateng, ya?”

Tiba-tiba saya berpikir. Makan malam lagi? Dan tiba-tiba juga saya teringat ucapan Yongki tadi. Mungkin saya harus mencari tahu jawabannya biar saya tahu dan tidak bertanya-tanya lagi. Ya, nanti malam saya akan bertanya kenapa dia baik sama saya.

“Kak,” panggil Andara di seberang sana karena heran dengan saya yang belum menjawab pertanyaannya.

“Iya.”

“Mau nggak?”

“Yaudah, nanti malam kita ketemuan lagi di sana.”

“Yaudah, sampai ketemu nanti malam ya, Kak.”

Saya pun langsung menyimpan handphone saya dengan gugup.

Dan malam pun tiba. Saya memeriksa lemari dan kembali memakai pakaian terbaik yang saya punya. Saat saya keluar dari kostan, kepala Yongki menyembul dari pintu kostannya.

“Bro!”

Saya kaget, “Kenapa?”

“Jangan lupa bawa bunga!” Yongki tertawa lalu masuk ke dalam dan menutup pintunya.

Dari mana dia tahu kalau saya mau menemui perempuan? Apa dia diam-diam mendengar percakapan saya ditelepon barusan?

Saya berjalan ke depan gang, di sana saya memesan ojek online. Tak berapa lama kemudian ojek online datang menjemput saya. Pergilah saya bersama bang ojek. Di perjalanan saya melihat kios bunga berjejer di pinggir jalan. Saya teringat omongan Yongki. Saya pun meminta abang ojek untuk berhenti sejenak. Abang ojek heran.

“Kenapa, Mas?”

Saya pun berpikir lama, sepertinya membawa bunga bukan ide yang baik.

“Nggak jadi deh, Pak.”

Abang ojek kembali melajukan motornya sampai di depan café tempat saya janjian dengan Andara.

Saya turun dari motor dan membayar ongkos ojek lalu masuk ke dalam café. Di dalam café si Andara sudah menunggu. Saya menghampirinya dan duduk di hadapannya.

“Udah lama nunggu?” tanya saya basa-basi.

“Nggak kok, Kak."

Setelah itu kami memesan makanan dan minuman.  Beruntung, pelayan perempuan tidak ada di sana. Sepertinya Andara paham melihat mata saya yang sibuk mengitari ruangan. Andara langsung bicara pada saya.

“Pelayannya lagi libur, Kak.”

Saya kaget.

“Kok tau?”

“Tadi saya udah nanya.”

Saya lega. Andara tertawa.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ar_key
ngedate lagi ya wwwkkk .........
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status