“Perasaan temen elo cuman gue dah.”
Saya menghela napas. Emosi.
“Udah jawab aja, ribet amat sih pengen tau siapanya.”
Andi kemudian berpikir.
“Bisa jadi sih.”
Saya senyum-senyum sendiri mendengar jawaban Andi. Jawaban Andi dan Yongki sama. Mungkin benar kalau Andara memang menyukai saya. Kalau dia tidak suka, tidak mungkin dia bisa sebaik itu sama saya.
“Tapi tunggu dulu,”
Perkataan itu memadamkan senyum saya yang terlanjur merekah.
“Kenapa?”
“Jangan keburu ge er dulu.”
“Kok?”
“Ada juga orang baik karena ada maunya.”
“Contohnya?”
“Ya kayak si Indro, anggota team penulis kita.”
“Emang dia kenapa?”
“Ada artis cewek yang deketin dia dan baik banget sama dia. Dia nyangka artis itu suka sama dia, tahunya mau manfaatin doang biar si artis itu sering dapet peran ditulisannya.”
Saya kembali layu. Kebetulan si Andara ini adalah artis yang main di sitkom yang sedang saya tulis. Apa mungkin si Andara baik pada saya karena alasannya sama dengan artis yang memanfaatkan Indro itu?
“Emang siapa sih yang lagi ngalamin kayak gitu?” tanya Andi sekali lagi.
“Marbot masjid deketk kostan saya,” jawab saya seadanya.
Andi makin heran. Lalu saya pergi meninggalkan Andi bersama rasa penasarannya.
Malamnya saya berpikir keras soal ini. Handphone saya berdering. Saya lihat telepon dari Andara lagi. Mengingat ucapan Andi tadi sore, saya jadi malas untuk mengangkatnya. Akhirnya teleponnya saya abaikan. Tak berapa lama kemudian handphone saya berbunyi lagi. Ketika saya cek telepon masuk dari Ira, managernya si Andara. Mereka pasti sedang bersama. Andara pasti menyuruh Ira menelpon saya karena saya tidak mengangkat telepon darinya. Telepon dari Ira pun tak saya angkat sampai saya tertidur dan terbangung keesokan harinya.
Pagi-pagi sekali. Saya sarapan dengan Yongki di tukang bubur ayam langganan kami di dekat gang masuk ke arah kostan kami.
“Gimana?” tanya Yongki.
“Gimana apaanya?”
“Soal cewek yang baik itu?”
“Kayaknya dia ada maunya doang deh.”
Yongki heran.
“Nggak mungkin.”
Saya lebih heran.
“Nggak mungkin gimana?”
“Kan belum ketahuan. Kalo udah tahu emang begitu alasannya baru mungkin.”
Saya menghela napas.
Dan saat pulang dari sarapan menuju kostan, handphone saya berdering lagi. Saya periksa rupanya dari Andara. Karena saya orangnya tidak enakan, akhirnya teleponnya saya angkat juga.
“Halo.”
“Kok semalem telepon aku nggak diangkat-angkat sih kak?”
“Maaf, semalam saya ketiduran.”
“Oh, pantesan.”
“Nanti malem makan bareng lagi yuk di café kemaren.”
Saya kaget.
“Jangan!”
“Kenapa?”
“Di Café lain aja.”
“Emang di café sana kenapa?”
“Ada mak lampir yang giginya banyak yang bolong, serem.”
Andara tertawa.
“Nggak apa-apa kakak. Aku kan udah minta maaf sama dia.”
“Tapi kalo besok dia jahat sama saya, kamu bantuin ya.”
“Iya. Beneran dateng, ya?”
Tiba-tiba saya berpikir. Makan malam lagi? Dan tiba-tiba juga saya teringat ucapan Yongki tadi. Mungkin saya harus mencari tahu jawabannya biar saya tahu dan tidak bertanya-tanya lagi. Ya, nanti malam saya akan bertanya kenapa dia baik sama saya.
“Kak,” panggil Andara di seberang sana karena heran dengan saya yang belum menjawab pertanyaannya.
“Iya.”
“Mau nggak?”
“Yaudah, nanti malam kita ketemuan lagi di sana.”
“Yaudah, sampai ketemu nanti malam ya, Kak.”
Saya pun langsung menyimpan handphone saya dengan gugup.
Dan malam pun tiba. Saya memeriksa lemari dan kembali memakai pakaian terbaik yang saya punya. Saat saya keluar dari kostan, kepala Yongki menyembul dari pintu kostannya.
“Bro!”
Saya kaget, “Kenapa?”
“Jangan lupa bawa bunga!” Yongki tertawa lalu masuk ke dalam dan menutup pintunya.
Dari mana dia tahu kalau saya mau menemui perempuan? Apa dia diam-diam mendengar percakapan saya ditelepon barusan?
Saya berjalan ke depan gang, di sana saya memesan ojek online. Tak berapa lama kemudian ojek online datang menjemput saya. Pergilah saya bersama bang ojek. Di perjalanan saya melihat kios bunga berjejer di pinggir jalan. Saya teringat omongan Yongki. Saya pun meminta abang ojek untuk berhenti sejenak. Abang ojek heran.
“Kenapa, Mas?”
Saya pun berpikir lama, sepertinya membawa bunga bukan ide yang baik.
“Nggak jadi deh, Pak.”
Abang ojek kembali melajukan motornya sampai di depan café tempat saya janjian dengan Andara.
Saya turun dari motor dan membayar ongkos ojek lalu masuk ke dalam café. Di dalam café si Andara sudah menunggu. Saya menghampirinya dan duduk di hadapannya.
“Udah lama nunggu?” tanya saya basa-basi.
“Nggak kok, Kak."
Setelah itu kami memesan makanan dan minuman. Beruntung, pelayan perempuan tidak ada di sana. Sepertinya Andara paham melihat mata saya yang sibuk mengitari ruangan. Andara langsung bicara pada saya.
“Pelayannya lagi libur, Kak.”
Saya kaget.
“Kok tau?”
“Tadi saya udah nanya.”
Saya lega. Andara tertawa.
Sesaat kemudian saya pandangi wajahnya dengan gugup. “Andara?” “Iya, Kak.” Andara tampak heran. “Saya boleh nanya? “Mau nanya apa kak? Setelah itu saya berpikir lagi. Saya mendadak gugup untuk menanyakan itu. Akhirnya saya urungkan niat itu. “Nggak jadi aja deh.” “Kok nggak jadi?” “Nggak apa-apa.” “Yaudah, kalo gitu, aku aja yang nanya ke kakak ya?” Deg. Dia mau bertanya apa ke saya? Dengan gugup akhirnya saya mengiyakan ucapannya. "Kakak mau jadi kakak angkat aku nggak?" tanya Andara seketika. Dia mengatakan itu dengan tulus. Saya diam sejenak. Sungguh hati kecil saya bukan itu yang saya inginkan. Walau berlebihan, setidaknya biarkan saya berjuang dulu untuk mengejar dan menyatakan cinta disuatu saat nanti. Tapi jika sudah ditawari untuk menjadi kakak angkatnya begitu, mungkin itu sudah menjadi sebuah jawaban kalau saya tidak akan pernah bisa menjadi kekasihnya. Dan itu juga bisa
Akhirnya gaun yang dinginkan Andara ditemukan juga dibutiknya. "Gila lo, Sob. Nggak nyangka pacar lo artis," bisik Cheng Lie pada saya. Saya hanya senyum-senyum sendiri, membiarkan dia berhalusinasi sendiri. Soalnya jika saya jelaskan bagaimana hubungan kami sebenarnya, pasti akan Panjang ceritanya. Jujur saya senang melihat senyum bahagia Andara saat dia menemukan gaun yang diinginkannya itu. Saya pun senang sudah bisa membantunya menyelesaikan masalahnya. Saya yakin, suatu saat pasti ada sebuah keajaiban. Ya, suatu saat nanti Andara tahu kalau kakak angkatnya ini mencintai dia dan dia akhirnya menerima cinta saya apa adanya. Mungkin kah? "Kakak!" "Iya dek." Kami bicara di telepon. "Kakak lagi apa?" "Kakak abis nulis." "Udah dikirim?" "Udah." "Ada aku kan di sana?" “Nggak ada.” “Kok nggak ada?” “Kalo peran Siti, ada.” Peran Siti ini adalah nama peran yang dimainkann
Andara pulang sambil membawa oleh-oleh untuk kami. Andara menarik saya menuju ke kamarnya. Saya heran. Setiba di kamarnya, Andara mencari sesuatu di rak bukunya, kemudian dia mengeluarkan sebuah album foto dan menunjukkannya satu persatu kepada saya. "Ini waktu aku SMA, kak. Jangan diketawain ya," pinta Andara pada saya. Saya sebenarnya terkejut. Di foto itu Andara tampak berkulit agak gelap dan hidungnya agak pesek. Tapi biar begitu Andara masih terlihat sangat manis. "Kok beda banget sama sekarang?" tanya saya heran. "Tuntutan, Kak. Waktu aku jadi model, managerku yang lama nyuruh aku operasi hidung biar makin mancung, terus nyuruh aku suntik putih juga," ucap Andara jujur pada saya. Ya, sebagaimana yang saya ketahui, memang banyak artis-artis yang melakukan hal itu. Walau tidak semuanya, tapi kebanyakan memang begitu. Tujuannya tidak lain agar bisa terlihat menarik di layar kaca atau layar lebar. "Padahal kamu nggak operasi hidung d
Di dalam kostan, saya merenung cukup lama. Saya tidak bisa seperti ini dengan Andara. Saya sudah kelewat batas. Akhirnya, hari itu juga saya blokir nomor Andara dan saya berjanji untuk tidak menghubunginya dan menemuinya lagi. Saya mengabaikan janji saya pada mamahnya. Ini demi kebaikan. Apakah saya bisa? Sudah hampir tiga hari, saya benar-benar menghindari Andara. Saya sengaja tidur di kostan Andi untuk menghindarinya. Nomornya masih saya blokir. Saya yakin, dia pasti mendatangi kostan saya. Sebenarnya saya sedih dan merasa bersalah karena sudah mengabaikannya. Tapi sebagai manusia yang masih berjuang untuk beriman, saya paham bahwa yang saya lakukan ke Andara adalah sebuah kesalahan. Saya tidak ingin kesalahan itu berlarut-larut. Hari itu saya datang ke kantor PH untuk mengikuti rutinitas seperti biasa ; yaitu setiap dua kali dalam seminggu saya harus brainstorming dengan headwriter saya untuk mengajukan sinopsis dan membuat plot untuk episode lan
Akhirnya saya terpaksa buru-buru mengganti pakaian dan langsung menemuinya di depan gang. Benar saja, Andara sudah menunggu saya dalam mobilnya. Kami pun pergi menuju cafe. Saya diam saja. Andara fokus menyetir sambil teleponan dengan managernya si Ira. "Ini aku lagi di jalan sama Kakak." Selanjutnya, dia masih teleponan dengan Ira sampai kami tiba di parkiran. Sebagaimana dirinya dan Ira yang sesama perempuan, mereka mengobrol ngalor ngidul tak ada putus-putusnya, tapi tak ada satupun bahasan mengenai seseorang yang akan dikenalkan Andara pada saya. Padahal saya sangat perlu kisi-kisi itu. Saat itu juga Andara menyudahi teleponnya dengan Ira. Andara mengajak saya menuju lift. Ketakutan saya semakin menjadi. Sungguh saya tidak siap jika benar bahwa Andara akan mengenalkan pacar barunya kepada saya nanti. Kami pun tiba di lantai paling atas di gedung itu. Sesaat kemudian saya melihat pelayan perempuan yang bekerja di café langganan kami tiba-tiba ada di sana m
Setelah itu, pergilah kami ke tempat yang tidak seharusnya saya kunjungi. Alex memesan minuman di ruangan gelap penuh cahaya laser itu. Musik DJ mengalun, memekakkan gendang telinga. Saya pun minum. Segelas, dua gelas, tiga gelas hingga saya ambruk bersama rasa sakit hati saya melihat Andara yang tampak mesra dengan Alex. Andara tampak panik melihat saya ambruk. Setelah itu saya tidak tahu lagi apa yang terjadi. Saya tersadar saat mobil yang dikendarai Alex bersama Andara tiba di depan gang kostan saya. Alex mencoba menuntun saya. "Nggak usah, saya bisa jalan sendiri," ucap saya pada Alex. "Nggak apa-apa kak, biar aku anter sampai rumah kakak," ucap Alex pada saya. Saya merasa jijik mendengarnya memanggil saya kakak. "Iya, Kak. Biar Alex anterin kakak ya?" Jujur, kepala saya masih berat rasanya. Saya pun mengangguk. Membiarkan Alex menuntun saya berjalan menuju kostan. Di tengah jalan saya berhenti. "Di sini aja," pinta saya pada Alex.
Hari-hari berikutnya saya kembali diteror via telepon oleh Andara. Teleponnya tentang Alex semua. "Kak tau nggak, tadi Andara ngasih bunga." "Kak, Alex ngajak aku jalan-jalan ke Bali." "Kak, kok telepon aku nggak di angkat sama Alex sih." "Kak, Alex mau ngenalin aku sama papa mamanya." "Kak!" "Kaak!" "Kaaak! Saya pun menjerit di pinggir sungai Ciliwung. Membangunkan para tetangga yang sedang terlelap tidur. Saya benar-benar tidak tahu apa yang harus saya lakukan kepada hati saya yang terluka. Saya benar-benar sudah tidak tahan menahan kecemburuan itu. Kepada bintang dan rembulan di malam itu saya utarakan semua isi hati saya. Sebagaimana kita tahu, mereka tak dapat memberi saya solusi karena tak bisa bicara apalagi mendengar. Dan esoknya, saya utarakan isi hati saya ke pada pohon-pohon di taman kota. Di sana malah saya disangka orang gila. Juga pada
Hari minggu yang tenang. Hari itu saya diajak Andara pergi ke Ancol. Andara membawa Ira. Kebetulan hari itu kami sama-sama sedang bebas dari pekerjaan. Kata Ira, di Ancol adalah rutinitas wajib bagi Andara bila putus cinta. "Kenapa harus Ancol?" tanya saya pada Ira sebelum kami berangkat, saat sedang menunggu Andara selesai berdandan di kamarnya. "Biar dia bisa teriak-teriak." "Wahana Dufan?" Saya memastikan. "Iya." Mendadak saya menjadi ngeri. Karena sedari dulu, dunia fantasi lah tempat yang paling saya hindari. Bukan karena saya tidak suka tempat itu, tapi karena saya takut untuk menaiki semua wahana ekstrim di sana. "Takut, ya?" ledek Ira sambil mentertawai saya. "Iya," jawab saya dengan jujurnya. Ira tertawa lagi, "Dulu aku juga begitu, tapi karena dipaksa sama Andara, lama-lama jadi biasa." "Andara maksa?" "Iya. Kakak juga nanti bakal dipaksa naik wahana juga kok, liat aja," ucap Ira menakuti saya.