Reyan duduk di ruang kerja, surat dari Jasmin masih tergeletak di meja. Ia tak membiarkan kertas itu jauh dari jangkauannya, seolah takut huruf-huruf di atasnya akan menguap jika ia lengah. Sesekali ia menyentuhnya dengan ujung jari, mengingat setiap lekuk tulisan tangan yang pernah ia hafal.
Suara ketukan pelan di pintu membuatnya menoleh. Mama muncul sambil membawa sebuah nampan berisi teh hangat dan roti panggang.“Kamu belum makan,” ujarnya sambil menaruh nampan itu di tepi meja. Pandangannya melirik ke arah surat. “Itu dari dia?”Reyan mengangguk pelan. “Iya, Ma. Dia kirim ini… sama pena. Katanya kalau dia kembali, aku nggak boleh tanya kenapa, cukup peluk dia.”Mama tersenyum samar, lalu duduk di kursi seberang. “Itu artinya dia sudah mulai melangkah ke arahmu. Pelan, tapi pasti.”“Aku cuma nggak mau dia merasa dikejar,” jawab Reyan. “Kalau dia datang nanti, aku mau itu karena dia mau, bukan karena terpaksa.”Mama menatap aReyan duduk di ruang kerja, surat dari Jasmin masih tergeletak di meja. Ia tak membiarkan kertas itu jauh dari jangkauannya, seolah takut huruf-huruf di atasnya akan menguap jika ia lengah. Sesekali ia menyentuhnya dengan ujung jari, mengingat setiap lekuk tulisan tangan yang pernah ia hafal.Suara ketukan pelan di pintu membuatnya menoleh. Mama muncul sambil membawa sebuah nampan berisi teh hangat dan roti panggang.“Kamu belum makan,” ujarnya sambil menaruh nampan itu di tepi meja. Pandangannya melirik ke arah surat. “Itu dari dia?”Reyan mengangguk pelan. “Iya, Ma. Dia kirim ini… sama pena. Katanya kalau dia kembali, aku nggak boleh tanya kenapa, cukup peluk dia.”Mama tersenyum samar, lalu duduk di kursi seberang. “Itu artinya dia sudah mulai melangkah ke arahmu. Pelan, tapi pasti.”“Aku cuma nggak mau dia merasa dikejar,” jawab Reyan. “Kalau dia datang nanti, aku mau itu karena dia mau, bukan karena terpaksa.”Mama menatap a
Langit di luar jendela apartemen Jasmin dipenuhi warna kelabu. Ia duduk di lantai, bersandar pada dinding sambil memeluk lutut. Matanya tertuju pada buku catatan yang terbuka di pangkuan, tapi jemarinya hanya menggambar lingkaran-lingkaran kecil di tepi halaman.Suara notifikasi dari ponsel di meja membuatnya menoleh. Nama Reyan muncul di layar.“Aku beli jaket baru. Warnanya mirip yang kamu pernah bilang suka.”Jasmin menatap pesan itu cukup lama sebelum membalas.“Kamu sengaja pamer atau mau aku nyusul buat lihat langsung?”Balasan Reyan cepat datang.“Kalau kamu nyusul, aku nggak akan nolak.”Bibir Jasmin terangkat membentuk senyum tipis. Ia memejamkan mata, membiarkan imajinasinya menampilkan sosok Reyan yang sedang mengenakan jaket itu—pasti dengan tatapan yang selalu membuatnya sulit berpaling.⸻Di rumah, Reyan duduk di sofa sambil memainkan resleting jaket yang baru ia kenakan. Pesan dari Jasmin
Langkah kaki Jasmin menyusuri koridor rumah terasa jauh lebih lambat dari biasanya. Setiap langkah seperti mengukur kembali ruang-ruang kenangan yang sudah terlalu lama ia tempati. Dinding putih itu, foto-foto keluarga yang tergantung di sisi tangga, aroma kayu dari lantai yang tak pernah berubah—semuanya mengikatnya seperti pelukan yang tak ingin melepas.Reyan berdiri di depan pintu kamarnya, menyandarkan tubuh pada kusen kayu sambil memandangi punggung Jasmin yang semakin menjauh. Tak ada kata perpisahan. Tak ada pelukan terakhir. Hanya sepasang mata yang saling menahan dan mengerti: ini bukan akhir, tapi jeda.Begitu pintu rumah tertutup di belakangnya, Jasmin menarik napas panjang, seakan paru-parunya butuh lebih banyak udara dari biasanya. Ia tidak menangis. Tapi rasa yang berkecamuk di dadanya seperti air yang ditahan di bendungan retak. Setiap detik terasa seperti pertaruhan: antara bertahan atau runtuh.Saat mobil datang menjemput, ia naik tanpa m
Hembusan napas Reyan masih terasa di leher Jasmin. Ia duduk bersandar di sisi ranjang, sementara Reyan menyenderkan kepala di bahunya, diam tanpa bicara. Seperti dua tubuh yang telah melewati badai dan belum sepenuhnya pulih, tapi juga tak ingin kembali ke titik awal.“Kalau Papa benar-benar nggak setuju, kamu masih tetap mau sama aku?” Jasmin bertanya dengan suara lirih, hampir seperti gumaman.Reyan tidak langsung menjawab. Ia memejamkan mata sebentar, lalu mengangkat wajahnya dan menatap mata gadis itu dengan tatapan yang tak terbantahkan.“Bahkan kalau seluruh dunia bilang aku salah, aku tetap mau sama kamu.”Jawaban itu membuat dada Jasmin sesak oleh rasa yang tak bisa dijelaskan. Ia tak pernah merasa sepenuh ini sebelumnya—disayangi tanpa syarat, didengar tanpa dihakimi.“Aku takut kamu nyesel,” ucapnya.“Aku cuma nyesel karena nggak ngungkapin semua ini dari dulu.”Senyum kecil terbit di wajah Jasmin. Tapi kemudia
Langkah Jasmin terasa ringan saat naik ke lantai dua. Bukan karena segalanya telah selesai, tapi karena ia tak lagi menanggungnya sendirian. Dulu, setiap langkah menuju kamar hanya berisi perasaan bersalah. Kini, ada harapan kecil yang menyelinap di antara rasa takut.Ia belum menutup pintu saat Reyan ikut masuk ke kamarnya tanpa bicara. Tak ada yang menghentikan, dan untuk pertama kalinya, mereka tak merasa perlu meminta izin.“Papa nggak ada di ruang kerja,” kata Reyan sambil berdiri di dekat jendela, melihat ke luar.“Kamu mau bicara langsung ke dia?”“Kalau bisa sekarang, ya sekarang.” Reyan menoleh. “Kamu nggak perlu ikut, tapi aku mau dia dengar semuanya langsung dariku. Bukan dari omongan orang.”Jasmin mendekat, menyentuh lengan Reyan. “Aku ikut.”Reyan menatapnya, tak membantah. Dia tahu, keberanian Jasmin bukan lagi sesuatu yang rapuh.Langkah mereka berdua menuju lantai bawah terasa seperti menginjak arang pan
“Apa kamu yakin kita nggak salah langkah?” tanya Jasmin pelan, jari-jarinya masih menyusuri tangan Reyan yang memegang kemudi.Mereka berada di dalam mobil, bukan untuk kabur, bukan untuk melarikan diri. Tapi untuk mengambil ruang yang tak bisa mereka dapatkan di dalam rumah—ruang untuk bernapas, untuk menenangkan pikiran yang tadi tertahan dalam kerumitan keluarga.Reyan meliriknya sebentar. “Kamu nyesel?”Jasmin menggeleng. “Bukan nyesel… cuma takut.”“Kalau kamu nggak takut, berarti kamu nggak cukup sadar apa yang sedang kita lawan.”“Tapi kamu tetap memilih aku.”Reyan tersenyum kecil. “Karena kamu satu-satunya yang rasanya layak dilawan.”Jasmin bersandar ke jok. Dadanya belum sepenuhnya tenang, tapi ada kenyamanan yang tumbuh dari cara Reyan memandangnya—bukan sebagai saudara, bukan sebagai anak dari wanita yang menikahi ayahnya, tapi sebagai perempuan yang ingin dia jaga, dalam dan luar rumah.Mobil berhe