Jasmin masih bisa merasakan hangatnya sentuhan Reyan menempel di kulitnya, meski jarak di antara mereka hanya tersisa beberapa helai napas. Ia tidak bergerak. Tubuhnya kaku, tapi jantungnya berdetak seperti ingin memecahkan dada.Reyan menatap wajahnya, lama sekali, seakan berusaha membaca setiap detail kecil yang terselip di balik tatapan ragu itu. “Kenapa kamu gemetar?” suaranya pelan, hampir berbisik.“Aku nggak tahu…” Jasmin menelan ludah, mencoba menenangkan diri. “Mungkin karena kamu terlalu dekat.”Reyan tidak mundur. Senyum tipis terbit di wajahnya. “Kalau dekat bikin kamu takut, kenapa kamu nggak dorong aku pergi?”Jasmin menahan napas. Tangannya yang masih tergenggam di dalam genggaman Reyan terasa kaku. “Karena aku… nggak mau kamu pergi.”Ucapan itu lolos tanpa ia rencanakan. Begitu menyadari, pipinya memanas. Tapi Reyan tidak menertawakannya. Pria itu justru semakin menunduk, mendekat, hingga hidung mereka hampir bersentuhan.
Jasmin masih terdiam, meski genggaman tangannya pada Reyan tak sedikit pun mengendur. Ada semacam ketakutan yang masih bertahan di dalam dirinya, tapi kehadiran Reyan membuatnya tak bisa lagi menyangkal bahwa ia mulai menyerah pada perasaan itu.“Kenapa kamu terus aja begini?” gumam Jasmin, suaranya lirih, hampir seperti rintihan. “Aku bahkan nggak punya kesempatan untuk menata hati sendiri.”Reyan menatapnya lekat. “Kalau aku berhenti, kamu akan semakin jauh. Aku nggak mau itu terjadi.”“Aku butuh ruang, Rey.”“Ruang itu selalu ada. Tapi aku juga punya hak untuk tetap di dekat kamu.”Jawaban itu terdengar sederhana, tapi menghantam Jasmin dengan keras. Ia menunduk, mencoba melepaskan tangannya, namun Reyan menahannya semakin erat.“Lepas…” bisiknya lemah.Reyan menggeleng. “Aku nggak akan lepasin kamu lagi.”Tatapan mata Reyan begitu kuat, seakan ingin meyakinkan Jasmin bahwa apa pun yang terjadi, ia tidak akan berpaling. Jasmin menghela napas panjang, tubuhnya lunglai, seolah semua
Jasmin masih bisa merasakan sisa hangat di pipinya dari sentuhan Reyan. Hatinya berdebar tidak terkendali, seolah setiap detik bersama pria itu adalah ujian antara bertahan atau menyerah pada rasa yang makin dalam. “Kenapa kamu nggak pernah berhenti bikin aku bingung?” Jasmin memecah keheningan dengan suara pelan, hampir seperti gumaman yang hanya dimaksudkan untuk dirinya sendiri. Reyan mencondongkan tubuh, tatapannya lembut namun tajam. “Aku nggak berniat bikin kamu bingung, Jas. Aku cuma nggak bisa bohong tentang apa yang aku rasa.” Jasmin menggeleng pelan. “Itu justru masalahnya. Kamu selalu terlalu jelas. Sementara aku… aku bahkan nggak berani jujur sama diri sendiri.” Reyan menarik tangannya, lalu meraih wajah Jasmin dengan kedua telapak tangannya, membuatnya tidak bisa menghindar. “Lihat aku.” Dengan terpaksa Jasmin menuruti, menatap mata kelam Reyan yang menahannya dalam ruang tak bernama. “Kamu pikir aku nggak takut?” suara Reyan rendah, namun penuh keyakinan. “Aku juga
Jasmin masih bisa merasakan hangatnya genggaman Reyan. Jemari mereka saling bertaut seolah enggan dilepas. Hening yang melingkupi ruangan tidak lagi menakutkan—justru terasa seperti selimut tipis yang memberi ketenangan. “Kenapa kamu lihat aku kayak gitu?” Jasmin membuka suara, matanya menyipit curiga. Reyan tidak bergeming, senyumnya tipis namun matanya tetap fokus menatap wajahnya. “Karena aku nggak pernah bosen lihat kamu.” Jasmin mendengus, mencoba menutupi rasa gugupnya. “Kamu lagi-lagi kedengeran lebay.” “Kalau jujur dianggap lebay, aku nggak keberatan,” balas Reyan santai, seolah kalimat itu hal yang wajar diucapkan. Jasmin menunduk, mencoba menarik tangannya dari genggaman, tapi Reyan menahannya, tidak keras, hanya cukup untuk membuatnya sadar bahwa ia tidak akan membiarkan begitu saja. “Aku masih bingung kenapa kamu selalu segampang itu ngomongin perasaan,” ucap Jasmin pelan. “Buat aku, semua ini… menakutkan.” Reyan menurunkan suaranya, lebih dalam. “Aku tahu. Tapi ngga
Keheningan itu tidak lagi terasa canggung. Bagi Jasmin, berada di sisi Reyan seperti menemukan tempat beristirahat setelah berlari terlalu lama. Bahunya yang menjadi sandaran membuat tubuhnya perlahan rileks, seolah semua beban yang menekan bisa dibagi.“Aku kadang mikir,” suara Jasmin keluar lirih, “kalau aja aku nggak pernah ketemu kamu, hidupku mungkin tetap sama. Datar, kosong, dan… dingin.”Reyan menoleh sedikit, matanya mengamati wajah Jasmin yang masih menempel di bahunya. “Kalau aku nggak ketemu kamu, mungkin hidupku juga cuma jalan terus tanpa arah. Jadi, kayaknya kita memang harus ketemu.”Jasmin menghela napas tipis, senyumnya muncul samar. “Kedengarannya cheesy.”“Memang,” Reyan mengakui sambil tersenyum tipis. “Tapi nggak semua hal harus rasional, Jas. Kadang… yang konyol justru bikin kita tetap waras.”Jasmin mengangkat kepalanya perlahan, menatapnya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. “Kamu serius?”Reyan mengang
Ruangan itu seolah menyimpan napasnya sendiri. Lampu redup memantulkan cahaya ke dinding, menciptakan bayangan samar di wajah Jasmin dan Reyan. Mereka masih berada di posisi yang sama seperti sebelumnya—dekat, tapi tetap menyisakan sedikit jarak yang membuat udara di antaranya terasa tegang.Jasmin mengalihkan pandangan dari jendela, mencoba memusatkan pikirannya pada sesuatu selain detak jantungnya yang terasa terlalu keras. “Kamu selalu punya jawaban, ya?” katanya, setengah menggoda, setengah serius.Reyan mengangkat alis. “Maksudnya?”“Setiap kali aku bingung atau nggak yakin, kamu selalu tahu harus ngomong apa,” Jasmin mengangkat bahu. “Kayak… kamu udah siap dengan semua kemungkinan yang bakal aku tanyain.”Reyan tersenyum tipis. “Bukan karena aku tahu semua jawaban, Jas. Tapi karena aku benar-benar dengerin kamu.”Jasmin ingin membalas, tapi bibirnya hanya bergerak tanpa suara. Ia tidak terbiasa dengan seseorang yang benar-benar memp