Share

Bab 2

Author: Atdriani12
last update Last Updated: 2025-07-12 22:24:54

“Kau masuk tanpa izin.”

“Pintu terbuka.”

“Kau bisa mengetuk.”

“Lalu kau tidak akan menjawab.”

Jasmin dan Reyan berdiri saling berhadapan di ruang perpustakaan yang tenang. Dindingnya dipenuhi rak-rak kayu tua yang menjulang ke langit-langit, penuh buku berbahasa Prancis, Jerman, dan Italia. Aroma kulit, kertas tua, dan debu elegan menggantung di udara seperti sesuatu yang tidak bisa disentuh sembarangan.

Jasmin bersandar ringan di sisi meja panjang, satu tangannya memegang punggung kursi, tubuhnya tenang, tapi matanya tajam mengamati Reyan seperti sedang menantang batas. Pria itu berdiri di dekat rak paling kiri, mengenakan kemeja putih yang digulung di lengan, kancing atasnya terbuka. Wajahnya dingin, tapi napasnya tidak sepenuhnya tenang.

“Aku hanya ingin membaca,” kata Jasmin.

“Di ruangan ini, tidak ada yang ‘hanya’,” balas Reyan. “Setiap hal punya nilai. Dan setiap orang yang masuk, harus paham apa artinya mengganggu sesuatu yang bukan miliknya.”

“Aku tidak menyentuh apa pun.” Jasmin menatap lurus. “Kecuali harga dirimu. Sepertinya itu terlalu mudah terganggu.”

Reyan diam. Sorot matanya tidak berubah, tapi tubuhnya bergerak mendekat. Hanya dua langkah. Tapi cukup untuk menghapus jarak netral di antara mereka.

“Berhati-hatilah dengan pilihan kata, Jasmin,” ucapnya pelan. “Di rumah ini, kata bisa lebih berbahaya dari senjata.”

“Kalau begitu, aku pasti sedang bermain dengan peluru.”

Detik itu, Reyan tertawa pelan. Bukan tawa ramah, lebih seperti gumaman sinis yang ia biarkan keluar karena tidak bisa menahan ironi.

“Tak ada yang memberitahuku kalau adik tiri baruku suka bermain api.”

“Dan tak ada yang memberitahuku bahwa kakak tiriku begitu mudah terbakar.”

Hening mengisi ruangan setelah itu. Tapi bukan keheningan biasa. Ada gesekan di udara—bukan fisik, tapi psikologis. Seolah masing-masing sedang mengukur seberapa jauh lawan akan melangkah, dan siapa yang lebih dulu mundur.

Reyan akhirnya menjauh, mengambil satu buku dari rak. Ia membuka halamannya perlahan, tapi matanya tidak benar-benar membaca.

“Kau datang dari mana?” tanyanya tiba-tiba.

Jasmin mengangkat alis. “Kau tidak mencari tahu sebelumnya?”

“Aku tidak terlalu peduli. Tapi sekarang, sedikit penasaran.”

“London. Apartemen kecil, satu kamar, dekat rel kereta. Ibuku bekerja sebagai penata rias. Aku, kuliah jurusan desain, lalu putus setelah semester dua. Hidup kami biasa. Tak ada chandelier, tak ada pelayan. Tapi kami bahagia. Sampai seseorang memutuskan jadi suami baru.”

“Sampai aku harus jadi ‘kakak tirimu’.”

Jasmin mengangguk ringan. “Judul cerita yang buruk.”

“Tapi sudah terlanjur ditulis.”

Ia menghela napas, lalu menarik kursi dan duduk di meja.

“Aku tidak minta kau suka padaku,” ucap Jasmin. “Tapi tolong berhenti bertingkah seperti rumah ini akan runtuh hanya karena aku berada di dalamnya.”

Reyan menutup bukunya. “Bukan rumah ini yang kupertanyakan. Tapi kau.”

“Aku juga tak yakin apa aku pantas berada di sini. Tapi aku ada. Dan aku tak pergi hanya karena kau tidak nyaman.”

Ia berdiri. Matanya bertemu mata Reyan. Tidak keras, tidak menantang. Tapi jujur. Dan untuk pertama kalinya, wajah Reyan menunjukkan sesuatu selain datar—entah itu respek, atau hanya keterkejutan bahwa gadis muda ini tidak tunduk padanya seperti yang lain.

“Kau punya nyali.”

“Dan kau punya masalah ego.”

Reyan hampir tertawa, tapi ia menahan.

“Mungkin kita akan cocok.”

Jasmin menatapnya sebentar. “Atau saling membunuh.”

Ia berjalan meninggalkan perpustakaan tanpa menoleh. Langkahnya tenang, tapi dadanya berdetak tak teratur. Ia tahu ia baru saja masuk ke dalam permainan yang belum tahu bagaimana cara keluar. Tapi satu hal pasti—ia tidak takut padanya. Belum.

Beberapa menit kemudian, Jasmin berdiri di balkon kecil yang menempel di lorong sayap timur. Angin menyentuh kulitnya dengan dingin yang lembut. Taman mawar di bawah sana terlihat sunyi, tertata, dan… kosong. Seperti kehidupan yang sedang dipamerkan tapi tidak pernah benar-benar dimiliki.

Ia mencoba mengatur napas. Mencari ruang kosong untuk dirinya sendiri. Tapi suara langkah kaki di belakangnya membuatnya sadar bahwa ia tidak sendirian.

“Aku tidak akan minta maaf,” katanya tanpa menoleh.

“Aku juga tidak datang untuk itu,” sahut Reyan.

Ia bersandar di sisi dinding, tak jauh darinya.

“Kau tahu, banyak yang ingin masuk ke rumah ini. Menjadi bagian dari keluarga ini.”

“Dan aku justru ingin keluar darinya.”

Reyan melirik. “Mungkin karena kau belum tahu manfaatnya.”

“Atau mungkin aku tahu terlalu banyak tentang harga yang harus dibayar untuk segala yang terlihat sempurna.”

Mereka diam sejenak. Lalu, pelan, Reyan berkata, “Aku tidak memilih hidup ini, Jasmin. Sama sepertimu. Bedanya, aku sudah cukup lama di dalamnya, sampai lupa caranya keluar.”

Kata-kata itu… membuat Jasmin berpaling. Untuk pertama kalinya, ada retakan dalam tembok Reyan yang kokoh. Bukan kelemahan, tapi kerapuhan yang disembunyikan dengan terlalu baik.

Ia ingin mengatakan sesuatu. Tapi langkah Reyan sudah menjauh. Suara sepatunya memudar di balik lorong. Meninggalkannya dengan angin dan sunyi yang menggantung di udara.

**

Di dalam kamarnya, Jasmin duduk di tepi ranjang. Kepalanya penuh. Bukan karena rasa takut, tapi karena satu hal yang tak ingin ia akui—Reyan. Pria itu terlalu dingin untuk didekati, terlalu rumit untuk dimengerti, tapi terlalu nyata untuk diabaikan.

Ponselnya menyala.

Eva: “Gimana? Udah makin drama belum rumah mewahnya?”

Jasmin tersenyum tipis, lalu membalas:

“Drama? Belum. Tapi sepertinya aku baru masuk ke dalam cerita yang seharusnya tidak pernah kutulis.”

Reyan bilang ia tidak memilih hidupnya. Tapi kenapa tatapannya selalu seperti pria yang memegang kendali? Dan kenapa… Jasmin merasa kendali itu perlahan mulai menyentuhnya?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjebak Cinta Kakak Tiri   Bab 16

    Suara kota menyambut mereka begitu pintu apartemen terbuka.Bising, ramai, dan tak peduli.Jasmin mengenakan hoodie besar milik Adele dan celana jeans longgar, wajahnya polos tanpa riasan, seperti mencoba menghapus identitas gadis yang kemarin masih berdiri di taman Von Thalheim bersama Reyan.“Aku bahkan lupa cara jadi orang biasa,” gumamnya sambil menyilangkan tangan di dada.Adele menatapnya sambil menahan tawa. “Selamat datang di kehidupan. Tidak ada piano klasik, tidak ada kristal, dan tidak ada… Reyan.”Nama itu membuat dada Jasmin terhenti sejenak. Tapi ia tidak menunduk. Tidak lagi.“Jangan ucapkan namanya kalau kau tak siap menangkapku saat aku jatuh,” ucapnya setengah bercanda.Adele mengangkat tangannya seolah bersumpah. “Aku akan selalu di bawah kalau kau jatuh.”Jasmin tertawa lirih. “Itu terdengar salah.”“Memang, tapi jujur.”Mereka berjalan menyusuri jalan kecil menuju kedai kop

  • Terjebak Cinta Kakak Tiri   Bab 15

    “Apa menurutmu… aku lemah?” bisik Jasmin.Adele, yang baru saja meletakkan sisa teh ke meja kecil di samping ranjang, menoleh pelan.“Tidak. Justru karena kau kuat… makanya kau berani pergi.”Jasmin menarik lututnya ke dada. Matanya masih kosong, tapi tubuhnya terlihat lebih tenang. Seolah setelah menangis cukup lama, hatinya pasrah pada luka itu.“Aku mencintainya,” katanya sekali lagi. “Tapi aku tidak ingin dia mencintaiku sambil membenci hidupnya sendiri.”Adele tak menjawab. Ia tahu, tidak ada kalimat apa pun yang bisa menyembuhkan luka sebesar itu dalam satu malam.Mereka terdiam. Dan di dalam keheningan itu, suara ponsel Jasmin bergetar di meja.Nama Reyan muncul di layar.Jasmin menatapnya lama. Jemarinya bergerak perlahan, nyaris menyentuh tombol terima, tapi…Ia membiarkannya berdering sampai mati.Adele menatapnya. “Kau yakin?”“Kalau aku dengar suaranya sekarang…” suara Jasm

  • Terjebak Cinta Kakak Tiri   Bab 14

    Reyan tak menjawab.Ia hanya berdiri di sana, mematung, bahkan saat tangan Jasmin perlahan-lahan melepas sentuhannya.“Aku harus pergi,” bisik Jasmin sekali lagi.Ia menunggu sejenak. Tapi Reyan tetap diam. Entah karena marah, kecewa, atau terlalu hancur untuk berkata apa-apa.Maka Jasmin melangkah mundur. Dua langkah. Tiga.Baru setelah punggungnya menjauh sejauh lima langkah, suara itu terdengar.“Jasmin…”Ia berhenti.“Kalau kau berubah pikiran…” Reyan menelan ludah, menahan suara yang nyaris pecah. “Kau tahu di mana harus menemukan aku.”Jasmin tak menoleh.Karena kalau ia menoleh, ia tahu tak akan sanggup pergi.Di luar villa, langit mulai meredup. Tapi tidak ada matahari tenggelam, tidak ada senja yang indah. Hanya langit kelabu yang terasa hampa. Sama seperti dadanya.Jasmin menuruni tangga villa dengan langkah yang tak lagi bisa dipertahankan. Ia hampir berlari me

  • Terjebak Cinta Kakak Tiri   Bab 13

    “Kalau begitu, aku harus pergi,” ucap Adele sambil menepuk lututnya pelan. Jasmin menoleh cepat. “Pergi ke mana?” “Masuk. Aku tidak akan datang sejauh ini hanya untuk duduk di luar.” Jasmin menatapnya penuh tanya. “Adele, kau tahu ini bukan tempatmu.” “Dan sejak kapan itu menghentikanku?” Ia tersenyum tajam. “Aku hanya ingin melihat bagaimana ekspresi wanita-wanita kaya itu kalau tahu siapa sebenarnya yang sedang mereka jaga-jaga.” Sebelum Jasmin bisa menariknya, Adele sudah melangkah lebih dulu menuju pintu masuk villa. Jasmin berdiri, hendak menyusul, tapi langkahnya tertahan oleh suara yang terlalu familiar. “Dia temanmu?” Jasmin membeku. Livia. Wanita itu berdiri hanya beberapa langkah dari tempatnya berdiri. Gaunnya masih sempurna, sikapnya tetap elegan. Tapi nada suaranya… dingin. “Dia terlihat seperti seseorang yang tidak suka basa-basi,” lanjut Livia, pelan. “Atau… mungkin hanya seseorang yang tidak tahu batas.” Jasmin menegakkan tubuh. “Adele hanya peduli padaku. T

  • Terjebak Cinta Kakak Tiri   Bab 12

    Suara tumit menghentak pelan dari kejauhan. Keduanya refleks melepaskan tangan. Elena muncul dari balik lorong taman. Senyumnya manis, tapi matanya tajam. “Lucu sekali melihat kalian di sini,” ucapnya ringan. “Seperti adegan drama klasik… dua orang yang tidak bisa bersama, tapi tak bisa saling meninggalkan.” “Apakah kau mengikuti kami?” tanya Reyan, datar. “Tidak,” jawab Elena sambil mengangkat alis. “Aku hanya sedang berjalan. Tapi mata bisa melihat lebih banyak daripada yang seharusnya.” Ia berhenti tepat di depan mereka. “Jadi… apakah sekarang aku harus diam? Atau kalian ingin aku menyebarkannya saja sekalian ke meja makan?” Jasmin menegang. Tapi Reyan melangkah setengah ke depan, berdiri di antara Elena dan Jasmin. “Kau bisa lakukan apa pun yang kau mau,” katanya datar. “Tapi kali ini, aku tak akan tunduk pada permainanmu.” Elena terkekeh kecil. “Permainan? Aku tidak bermain, Reyan. Aku hanya menonton.” “Dan kalau kau menghancurkan seseorang hanya karena kau tidak mendapa

  • Terjebak Cinta Kakak Tiri   Bab 11

    “Aku harus kembali sebelum Marta bangun.” Suara Jasmin pecah di pelukan Reyan, masih dalam dekapan yang terlalu hangat untuk ditinggalkan. Reyan tak langsung melepasnya. Tangannya justru mengerat, seolah waktu bisa ia genggam. “Kalau kau keluar sekarang… dan seseorang melihatmu…” “Aku tahu.” Jasmin mengangguk pelan. “Tapi lebih buruk kalau kita pura-pura tak pernah ada.” Ia melepaskan diri. Berdiri. Membenarkan bajunya tanpa menatap Reyan lagi. Langkahnya pelan saat membuka pintu kamar Reyan. Tapi tepat saat ia melangkah keluar—mata mereka bertemu dengan seseorang. Livia. Diam. Datar. Tak ada ekspresi di wajahnya. Tapi tatapan itu—tajam. Seolah ia sudah melihat cukup banyak, tapi memilih tidak mengatakan apa-apa. “Selamat pagi,” ucap Livia dengan tenang, cangkir teh masih di tangannya. Jasmin membeku. “Pagi, Mama…” Livia hanya mengangguk, lalu berjalan melewati tanpa menoleh lagi. Tidak ada amarah. Dan itulah yang paling menakutkan. Di meja makan, suasana canggung tidak b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status