“Kau masuk tanpa izin.”
“Pintu terbuka.” “Kau bisa mengetuk.” “Lalu kau tidak akan menjawab.” Jasmin dan Reyan berdiri saling berhadapan di ruang perpustakaan yang tenang. Dindingnya dipenuhi rak-rak kayu tua yang menjulang ke langit-langit, penuh buku berbahasa Prancis, Jerman, dan Italia. Aroma kulit, kertas tua, dan debu elegan menggantung di udara seperti sesuatu yang tidak bisa disentuh sembarangan. Jasmin bersandar ringan di sisi meja panjang, satu tangannya memegang punggung kursi, tubuhnya tenang, tapi matanya tajam mengamati Reyan seperti sedang menantang batas. Pria itu berdiri di dekat rak paling kiri, mengenakan kemeja putih yang digulung di lengan, kancing atasnya terbuka. Wajahnya dingin, tapi napasnya tidak sepenuhnya tenang. “Aku hanya ingin membaca,” kata Jasmin. “Di ruangan ini, tidak ada yang ‘hanya’,” balas Reyan. “Setiap hal punya nilai. Dan setiap orang yang masuk, harus paham apa artinya mengganggu sesuatu yang bukan miliknya.” “Aku tidak menyentuh apa pun.” Jasmin menatap lurus. “Kecuali harga dirimu. Sepertinya itu terlalu mudah terganggu.” Reyan diam. Sorot matanya tidak berubah, tapi tubuhnya bergerak mendekat. Hanya dua langkah. Tapi cukup untuk menghapus jarak netral di antara mereka. “Berhati-hatilah dengan pilihan kata, Jasmin,” ucapnya pelan. “Di rumah ini, kata bisa lebih berbahaya dari senjata.” “Kalau begitu, aku pasti sedang bermain dengan peluru.” Detik itu, Reyan tertawa pelan. Bukan tawa ramah, lebih seperti gumaman sinis yang ia biarkan keluar karena tidak bisa menahan ironi. “Tak ada yang memberitahuku kalau adik tiri baruku suka bermain api.” “Dan tak ada yang memberitahuku bahwa kakak tiriku begitu mudah terbakar.” ⸻ Hening mengisi ruangan setelah itu. Tapi bukan keheningan biasa. Ada gesekan di udara—bukan fisik, tapi psikologis. Seolah masing-masing sedang mengukur seberapa jauh lawan akan melangkah, dan siapa yang lebih dulu mundur. Reyan akhirnya menjauh, mengambil satu buku dari rak. Ia membuka halamannya perlahan, tapi matanya tidak benar-benar membaca. “Kau datang dari mana?” tanyanya tiba-tiba. Jasmin mengangkat alis. “Kau tidak mencari tahu sebelumnya?” “Aku tidak terlalu peduli. Tapi sekarang, sedikit penasaran.” “London. Apartemen kecil, satu kamar, dekat rel kereta. Ibuku bekerja sebagai penata rias. Aku, kuliah jurusan desain, lalu putus setelah semester dua. Hidup kami biasa. Tak ada chandelier, tak ada pelayan. Tapi kami bahagia. Sampai seseorang memutuskan jadi suami baru.” “Sampai aku harus jadi ‘kakak tirimu’.” Jasmin mengangguk ringan. “Judul cerita yang buruk.” “Tapi sudah terlanjur ditulis.” Ia menghela napas, lalu menarik kursi dan duduk di meja. “Aku tidak minta kau suka padaku,” ucap Jasmin. “Tapi tolong berhenti bertingkah seperti rumah ini akan runtuh hanya karena aku berada di dalamnya.” Reyan menutup bukunya. “Bukan rumah ini yang kupertanyakan. Tapi kau.” “Aku juga tak yakin apa aku pantas berada di sini. Tapi aku ada. Dan aku tak pergi hanya karena kau tidak nyaman.” Ia berdiri. Matanya bertemu mata Reyan. Tidak keras, tidak menantang. Tapi jujur. Dan untuk pertama kalinya, wajah Reyan menunjukkan sesuatu selain datar—entah itu respek, atau hanya keterkejutan bahwa gadis muda ini tidak tunduk padanya seperti yang lain. “Kau punya nyali.” “Dan kau punya masalah ego.” Reyan hampir tertawa, tapi ia menahan. “Mungkin kita akan cocok.” Jasmin menatapnya sebentar. “Atau saling membunuh.” Ia berjalan meninggalkan perpustakaan tanpa menoleh. Langkahnya tenang, tapi dadanya berdetak tak teratur. Ia tahu ia baru saja masuk ke dalam permainan yang belum tahu bagaimana cara keluar. Tapi satu hal pasti—ia tidak takut padanya. Belum. ⸻ Beberapa menit kemudian, Jasmin berdiri di balkon kecil yang menempel di lorong sayap timur. Angin menyentuh kulitnya dengan dingin yang lembut. Taman mawar di bawah sana terlihat sunyi, tertata, dan… kosong. Seperti kehidupan yang sedang dipamerkan tapi tidak pernah benar-benar dimiliki. Ia mencoba mengatur napas. Mencari ruang kosong untuk dirinya sendiri. Tapi suara langkah kaki di belakangnya membuatnya sadar bahwa ia tidak sendirian. “Aku tidak akan minta maaf,” katanya tanpa menoleh. “Aku juga tidak datang untuk itu,” sahut Reyan. Ia bersandar di sisi dinding, tak jauh darinya. “Kau tahu, banyak yang ingin masuk ke rumah ini. Menjadi bagian dari keluarga ini.” “Dan aku justru ingin keluar darinya.” Reyan melirik. “Mungkin karena kau belum tahu manfaatnya.” “Atau mungkin aku tahu terlalu banyak tentang harga yang harus dibayar untuk segala yang terlihat sempurna.” Mereka diam sejenak. Lalu, pelan, Reyan berkata, “Aku tidak memilih hidup ini, Jasmin. Sama sepertimu. Bedanya, aku sudah cukup lama di dalamnya, sampai lupa caranya keluar.” Kata-kata itu… membuat Jasmin berpaling. Untuk pertama kalinya, ada retakan dalam tembok Reyan yang kokoh. Bukan kelemahan, tapi kerapuhan yang disembunyikan dengan terlalu baik. Ia ingin mengatakan sesuatu. Tapi langkah Reyan sudah menjauh. Suara sepatunya memudar di balik lorong. Meninggalkannya dengan angin dan sunyi yang menggantung di udara. ** Di dalam kamarnya, Jasmin duduk di tepi ranjang. Kepalanya penuh. Bukan karena rasa takut, tapi karena satu hal yang tak ingin ia akui—Reyan. Pria itu terlalu dingin untuk didekati, terlalu rumit untuk dimengerti, tapi terlalu nyata untuk diabaikan. Ponselnya menyala. Eva: “Gimana? Udah makin drama belum rumah mewahnya?” Jasmin tersenyum tipis, lalu membalas: “Drama? Belum. Tapi sepertinya aku baru masuk ke dalam cerita yang seharusnya tidak pernah kutulis.” Reyan bilang ia tidak memilih hidupnya. Tapi kenapa tatapannya selalu seperti pria yang memegang kendali? Dan kenapa… Jasmin merasa kendali itu perlahan mulai menyentuhnya?Keheningan itu tidak lagi terasa canggung. Bagi Jasmin, berada di sisi Reyan seperti menemukan tempat beristirahat setelah berlari terlalu lama. Bahunya yang menjadi sandaran membuat tubuhnya perlahan rileks, seolah semua beban yang menekan bisa dibagi.“Aku kadang mikir,” suara Jasmin keluar lirih, “kalau aja aku nggak pernah ketemu kamu, hidupku mungkin tetap sama. Datar, kosong, dan… dingin.”Reyan menoleh sedikit, matanya mengamati wajah Jasmin yang masih menempel di bahunya. “Kalau aku nggak ketemu kamu, mungkin hidupku juga cuma jalan terus tanpa arah. Jadi, kayaknya kita memang harus ketemu.”Jasmin menghela napas tipis, senyumnya muncul samar. “Kedengarannya cheesy.”“Memang,” Reyan mengakui sambil tersenyum tipis. “Tapi nggak semua hal harus rasional, Jas. Kadang… yang konyol justru bikin kita tetap waras.”Jasmin mengangkat kepalanya perlahan, menatapnya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. “Kamu serius?”Reyan mengang
Ruangan itu seolah menyimpan napasnya sendiri. Lampu redup memantulkan cahaya ke dinding, menciptakan bayangan samar di wajah Jasmin dan Reyan. Mereka masih berada di posisi yang sama seperti sebelumnya—dekat, tapi tetap menyisakan sedikit jarak yang membuat udara di antaranya terasa tegang.Jasmin mengalihkan pandangan dari jendela, mencoba memusatkan pikirannya pada sesuatu selain detak jantungnya yang terasa terlalu keras. “Kamu selalu punya jawaban, ya?” katanya, setengah menggoda, setengah serius.Reyan mengangkat alis. “Maksudnya?”“Setiap kali aku bingung atau nggak yakin, kamu selalu tahu harus ngomong apa,” Jasmin mengangkat bahu. “Kayak… kamu udah siap dengan semua kemungkinan yang bakal aku tanyain.”Reyan tersenyum tipis. “Bukan karena aku tahu semua jawaban, Jas. Tapi karena aku benar-benar dengerin kamu.”Jasmin ingin membalas, tapi bibirnya hanya bergerak tanpa suara. Ia tidak terbiasa dengan seseorang yang benar-benar memp
Keheningan di antara mereka bukan lagi seperti dinding. Justru terasa seperti selimut tipis yang melindungi dari dinginnya dunia luar. Jasmin masih bersandar di bahu Reyan, membiarkan aroma samar cologne-nya bercampur dengan napas hangat yang berhembus pelan.“Nyaman?” suara Reyan memecah diam, nadanya lembut tapi penuh perhatian.“Lumayan,” jawab Jasmin, mencoba terdengar biasa saja. “Mungkin aku bisa terbiasa kalau begini terus.”“Bagus,” Reyan menoleh sedikit ke arahnya, tersenyum tipis. “Karena aku nggak keberatan kalau harus begini setiap hari.”Jasmin pura-pura tidak menggubris, meski hatinya berdetak lebih cepat. Ia tahu, semakin lama ia membiarkan dirinya berada sedekat ini, semakin sulit untuk menjauh. Tapi tubuhnya seolah mengkhianati logika.Reyan memiringkan kepalanya, mengamati wajah Jasmin dari jarak begitu dekat. “Kamu kelihatan lelah.”“Aku memang lelah,” jawab Jasmin singkat. “Tapi bukan cuma fisik.”Rey
Keheningan yang tersisa di antara mereka tidak lagi terasa seperti jarak. Rasanya justru seperti ruang yang aman, di mana setiap kata bisa muncul tanpa tergesa. Jasmin masih membiarkan tangan Reyan berada di pipinya. Sentuhan itu membuat pikirannya campur aduk, tapi anehnya, ia tidak ingin melepaskannya.“Rey,” panggilnya pelan.“Hmm?” Reyan menatapnya dengan sorot lembut.“Apa kamu nggak capek?”“Capek karena apa?”“Karena harus terus meyakinkan aku,” suara Jasmin nyaris seperti gumaman. “Karena harus terus ada buat aku, bahkan saat aku mungkin nggak layak.”Reyan tersenyum tipis. “Kalau aku merasa capek, itu cuma berarti aku butuh istirahat, bukan berarti aku mau berhenti.”Jasmin mengalihkan pandangan, tapi genggaman tangannya justru semakin erat. “Aku takut kalau suatu hari kamu berhenti. Semua orang berhenti pada akhirnya.”Reyan menunduk sedikit, memastikan matanya sejajar dengan Jasmin. “Kalau aku berhent
Ruang itu masih menyimpan sisa kehangatan percakapan sebelumnya. Jasmin belum melepaskan genggaman tangan Reyan, meski jemarinya sempat bergetar halus. Ada sesuatu yang membuatnya enggan mencabut diri dari kontak sederhana itu—entah karena takut kehilangan lagi atau karena baru sadar betapa ia merindukan sentuhan ini.Reyan duduk sedikit lebih dekat. Ia tak terburu-buru bicara, hanya membiarkan keheningan bekerja seperti obat. Sorot matanya tak pernah lepas dari wajah Jasmin, seakan sedang menghafal setiap garisnya untuk berjaga-jaga jika suatu saat harus mengingatnya tanpa bisa melihat.“Aku masih nggak tahu,” suara Jasmin akhirnya memecah hening, “apa aku benar-benar butuh kamu… atau aku cuma takut sendirian.”Reyan mengernyit pelan. “Kalau kamu cuma takut sendirian, kamu nggak akan berani marah sama aku. Kamu nggak akan nyuruh aku pergi waktu kamu merasa disakiti. Orang yang cuma takut sendirian akan menerima apa saja, bahkan yang menyakitinya, asalkan
Suara hujan yang jatuh di luar jendela membuat ruang itu terasa seperti dunia yang terkurung dalam kaca. Jasmin duduk di ujung sofa, kedua lututnya ditekuk, memeluk bantal. Cahaya temaram dari lampu di sudut ruangan membuat bayangan wajahnya tampak lebih lembut, tapi matanya masih menyimpan sisa badai.Reyan duduk di seberang, tubuhnya sedikit condong ke depan, siku bertumpu pada lutut. Ia menatap Jasmin tanpa berkedip, seolah khawatir jika ia memalingkan wajahnya barang sedetik saja, gadis itu akan kembali menghilang.“Kamu nggak nyaman kalau aku di sini?” suara Reyan memecah keheningan.Jasmin mengangkat kepalanya, pandangan singkat itu menusuk. “Kalau aku nggak nyaman, aku sudah menyuruhmu pergi.”Reyan tersenyum tipis, meski senyum itu tak sampai ke matanya. “Kamu selalu punya cara membuatku merasa seperti orang asing dan rumah pada saat yang sama.”“Lucu sekali,” gumam Jasmin sambil memeluk bantal lebih erat. “Itu juga yang aku rasak