“Apa kau yakin ini bukan kesalahan?”
Jasmin tak menatap ibunya saat bertanya. Nada suaranya tenang, nyaris datar, tapi tajam seperti ujung pecahan kaca. Ia masih menatap keluar jendela mobil yang kini melewati halaman luas dengan pohon-pohon tua yang rapi, terlalu rapi, seperti hidup di bawah aturan. “Sayang, kita sudah bicara tentang ini,” jawab Livia pelan. “Tidak. Kau bicara. Aku diam.” Dan itu memang kenyataan. Jasmin tak pernah menyetujui pernikahan ibunya dengan pria yang bahkan belum genap enam bulan mereka kenal. Tapi ia juga tak punya ruang untuk menolak. Keputusan sudah dibuat, undangan sudah disebar, dan satu-satunya yang bisa ia lakukan hanyalah ikut… atau keluar dari hidup ibunya. Mobil berhenti. Di hadapan mereka berdiri mansion bergaya Victoria berwarna putih pucat, tinggi dan sepi, seperti bangunan dalam lukisan kuno yang tidak pernah diinginkan siapa pun untuk ditinggali. Jasmin turun tanpa berkata apa-apa. Tumit sepatunya menyentuh kerikil kecil yang ditata terlalu sempurna di jalan masuk. Ia memandangi tangga batu besar, pilar marmer, dan pintu utama yang terbuka otomatis sebelum ia menyentuhnya. Rumah ini bahkan terlalu mewah untuk disentuh. “Selamat datang.” Suara pria bariton menyambut mereka. Frederick D’Amore. Tinggi, berwibawa, dengan senyum yang terlihat seperti bagian dari presentasi perusahaan. Bukan sambutan dari seorang ayah tiri. “Jasmin,” katanya, menatapnya dalam. “Aku harap kau merasa nyaman di sini.” Jasmin menahan tawanya. “Aku akan berusaha.” Mereka melangkah masuk ke lorong utama. Dinding putih, lantai marmer, chandelier menggantung seperti ingin menjatuhkan dirinya dari langit-langit tinggi. Suara langkah mereka bergema, seolah setiap gerakan diawasi. Livia tersenyum gugup. “Rumah ini indah, ya?” “Indah bukan berarti hangat, Bu,” balas Jasmin. Seketika langkahnya terhenti. Di ujung lorong, seorang pria berdiri menyandar santai di dinding, satu tangan di saku, wajahnya setengah tertutup bayangan. Tapi sorot matanya jelas. Tegas. Dingin. Reyan. “Reyan,” panggil Frederick. “Kau ingat, ini Jasmin.” Reyan hanya menatap. Tak satu pun kata keluar dari mulutnya. Tak satu pun gerakan selain alisnya yang sedikit naik, lalu turun kembali. Ia berbalik dan naik ke lantai atas, langkahnya senyap seperti rumah ini. Jasmin mendesah. “Kau yakin aku tak bisa tinggal di hotel saja?” Kamarnya berada di sayap timur. Lorong yang membawanya ke sana terlalu sunyi. Pelayan wanita bernama Marta hanya bicara seperlunya, menunjukkan tombol panggil dan letak kamar mandi, lalu pergi. Begitu pintu tertutup, Jasmin berdiri sendiri di dalam kamar berwarna putih-abu. Tirai panjang menyapu lantai. Ranjang besar seperti hotel mewah. Tak ada jejak kehidupan. Hanya kesempurnaan yang terlalu rapi untuk disebut rumah. Ia berjalan ke jendela, membuka tirai. Di luar, taman mawar yang ditata sempurna terlihat seperti taman pemakaman yang indah. Jasmin menatap kosong. Ia merasa seperti sedang dipindahkan ke dunia yang bukan miliknya—bukan dari kehidupannya yang lama. Pintu kamar tiba-tiba diketuk sekali. Jasmin membuka. Reyan berdiri di ambang pintu, tanpa senyum, tanpa sopan santun. “Kamar ini dulunya milik nenekku,” katanya tanpa memperkenalkan diri, tanpa permisi. “Dan sekarang?” “Sekarang… dipakai gadis yang tidak seharusnya ada di sini.” Jasmin menaikkan dagu. “Sayangnya, aku tak minta izin untuk dilahirkan.” Reyan menatapnya tajam. Tapi dia tidak membalas. Hanya diam beberapa detik, lalu berbalik dan pergi, meninggalkan udara dingin yang terasa menggantung di ambang pintu. Dan Jasmin tahu malam itu: Ini bukan rumahnya. Dan Reyan D’Amore bukan kakak, bukan keluarga, dan sangat mungkin—musuh yang paling rumit yang akan pernah ia hadapi. Tapi yang lebih parah dari dibenci… adalah dilihat tanpa pernah benar-benar dianggap. Dan itu yang Reyan lakukan padanya sejak pertama kali menatap.Suara kota menyambut mereka begitu pintu apartemen terbuka.Bising, ramai, dan tak peduli.Jasmin mengenakan hoodie besar milik Adele dan celana jeans longgar, wajahnya polos tanpa riasan, seperti mencoba menghapus identitas gadis yang kemarin masih berdiri di taman Von Thalheim bersama Reyan.“Aku bahkan lupa cara jadi orang biasa,” gumamnya sambil menyilangkan tangan di dada.Adele menatapnya sambil menahan tawa. “Selamat datang di kehidupan. Tidak ada piano klasik, tidak ada kristal, dan tidak ada… Reyan.”Nama itu membuat dada Jasmin terhenti sejenak. Tapi ia tidak menunduk. Tidak lagi.“Jangan ucapkan namanya kalau kau tak siap menangkapku saat aku jatuh,” ucapnya setengah bercanda.Adele mengangkat tangannya seolah bersumpah. “Aku akan selalu di bawah kalau kau jatuh.”Jasmin tertawa lirih. “Itu terdengar salah.”“Memang, tapi jujur.”Mereka berjalan menyusuri jalan kecil menuju kedai kop
“Apa menurutmu… aku lemah?” bisik Jasmin.Adele, yang baru saja meletakkan sisa teh ke meja kecil di samping ranjang, menoleh pelan.“Tidak. Justru karena kau kuat… makanya kau berani pergi.”Jasmin menarik lututnya ke dada. Matanya masih kosong, tapi tubuhnya terlihat lebih tenang. Seolah setelah menangis cukup lama, hatinya pasrah pada luka itu.“Aku mencintainya,” katanya sekali lagi. “Tapi aku tidak ingin dia mencintaiku sambil membenci hidupnya sendiri.”Adele tak menjawab. Ia tahu, tidak ada kalimat apa pun yang bisa menyembuhkan luka sebesar itu dalam satu malam.Mereka terdiam. Dan di dalam keheningan itu, suara ponsel Jasmin bergetar di meja.Nama Reyan muncul di layar.Jasmin menatapnya lama. Jemarinya bergerak perlahan, nyaris menyentuh tombol terima, tapi…Ia membiarkannya berdering sampai mati.Adele menatapnya. “Kau yakin?”“Kalau aku dengar suaranya sekarang…” suara Jasm
Reyan tak menjawab.Ia hanya berdiri di sana, mematung, bahkan saat tangan Jasmin perlahan-lahan melepas sentuhannya.“Aku harus pergi,” bisik Jasmin sekali lagi.Ia menunggu sejenak. Tapi Reyan tetap diam. Entah karena marah, kecewa, atau terlalu hancur untuk berkata apa-apa.Maka Jasmin melangkah mundur. Dua langkah. Tiga.Baru setelah punggungnya menjauh sejauh lima langkah, suara itu terdengar.“Jasmin…”Ia berhenti.“Kalau kau berubah pikiran…” Reyan menelan ludah, menahan suara yang nyaris pecah. “Kau tahu di mana harus menemukan aku.”Jasmin tak menoleh.Karena kalau ia menoleh, ia tahu tak akan sanggup pergi.Di luar villa, langit mulai meredup. Tapi tidak ada matahari tenggelam, tidak ada senja yang indah. Hanya langit kelabu yang terasa hampa. Sama seperti dadanya.Jasmin menuruni tangga villa dengan langkah yang tak lagi bisa dipertahankan. Ia hampir berlari me
“Kalau begitu, aku harus pergi,” ucap Adele sambil menepuk lututnya pelan. Jasmin menoleh cepat. “Pergi ke mana?” “Masuk. Aku tidak akan datang sejauh ini hanya untuk duduk di luar.” Jasmin menatapnya penuh tanya. “Adele, kau tahu ini bukan tempatmu.” “Dan sejak kapan itu menghentikanku?” Ia tersenyum tajam. “Aku hanya ingin melihat bagaimana ekspresi wanita-wanita kaya itu kalau tahu siapa sebenarnya yang sedang mereka jaga-jaga.” Sebelum Jasmin bisa menariknya, Adele sudah melangkah lebih dulu menuju pintu masuk villa. Jasmin berdiri, hendak menyusul, tapi langkahnya tertahan oleh suara yang terlalu familiar. “Dia temanmu?” Jasmin membeku. Livia. Wanita itu berdiri hanya beberapa langkah dari tempatnya berdiri. Gaunnya masih sempurna, sikapnya tetap elegan. Tapi nada suaranya… dingin. “Dia terlihat seperti seseorang yang tidak suka basa-basi,” lanjut Livia, pelan. “Atau… mungkin hanya seseorang yang tidak tahu batas.” Jasmin menegakkan tubuh. “Adele hanya peduli padaku. T
Suara tumit menghentak pelan dari kejauhan. Keduanya refleks melepaskan tangan. Elena muncul dari balik lorong taman. Senyumnya manis, tapi matanya tajam. “Lucu sekali melihat kalian di sini,” ucapnya ringan. “Seperti adegan drama klasik… dua orang yang tidak bisa bersama, tapi tak bisa saling meninggalkan.” “Apakah kau mengikuti kami?” tanya Reyan, datar. “Tidak,” jawab Elena sambil mengangkat alis. “Aku hanya sedang berjalan. Tapi mata bisa melihat lebih banyak daripada yang seharusnya.” Ia berhenti tepat di depan mereka. “Jadi… apakah sekarang aku harus diam? Atau kalian ingin aku menyebarkannya saja sekalian ke meja makan?” Jasmin menegang. Tapi Reyan melangkah setengah ke depan, berdiri di antara Elena dan Jasmin. “Kau bisa lakukan apa pun yang kau mau,” katanya datar. “Tapi kali ini, aku tak akan tunduk pada permainanmu.” Elena terkekeh kecil. “Permainan? Aku tidak bermain, Reyan. Aku hanya menonton.” “Dan kalau kau menghancurkan seseorang hanya karena kau tidak mendapa
“Aku harus kembali sebelum Marta bangun.” Suara Jasmin pecah di pelukan Reyan, masih dalam dekapan yang terlalu hangat untuk ditinggalkan. Reyan tak langsung melepasnya. Tangannya justru mengerat, seolah waktu bisa ia genggam. “Kalau kau keluar sekarang… dan seseorang melihatmu…” “Aku tahu.” Jasmin mengangguk pelan. “Tapi lebih buruk kalau kita pura-pura tak pernah ada.” Ia melepaskan diri. Berdiri. Membenarkan bajunya tanpa menatap Reyan lagi. Langkahnya pelan saat membuka pintu kamar Reyan. Tapi tepat saat ia melangkah keluar—mata mereka bertemu dengan seseorang. Livia. Diam. Datar. Tak ada ekspresi di wajahnya. Tapi tatapan itu—tajam. Seolah ia sudah melihat cukup banyak, tapi memilih tidak mengatakan apa-apa. “Selamat pagi,” ucap Livia dengan tenang, cangkir teh masih di tangannya. Jasmin membeku. “Pagi, Mama…” Livia hanya mengangguk, lalu berjalan melewati tanpa menoleh lagi. Tidak ada amarah. Dan itulah yang paling menakutkan. Di meja makan, suasana canggung tidak b