“Apa maksudmu… ‘kau tak memilih hidup ini’?”
Jasmin masih berdiri di balkon, kedua tangannya memegang pinggiran besi dingin yang menghadap ke taman mawar. Udara mulai lembap, tapi bukan karena hujan—melainkan karena sesuatu yang menggantung di antara mereka sejak sore tadi. Sesuatu yang belum dinamai, tapi terasa nyata. Reyan tak langsung menjawab. Langkahnya yang semula menjauh kini terhenti di ujung lorong. Ia berdiri diam, membelakangi Jasmin. “Semua orang terlahir di suatu tempat,” katanya akhirnya, tanpa menoleh. “Tapi tak semua dari kita punya pilihan untuk meninggalkannya.” Jasmin menyipitkan mata. “Kau terdengar seperti tawanan.” Reyan berbalik perlahan. Sorot matanya tidak sedingin biasanya. Ada kelelahan di sana. Atau mungkin… penolakan terhadap sesuatu yang sudah terlalu lama dipaksa diterima. “Aku bukan tawanan,” ucapnya. “Tapi orang yang sudah terlalu dalam untuk berenang keluar.” Jasmin menatapnya dari kejauhan. “Kau bisa saja pergi.” “Dan kau bisa saja menolak ikut ibumu pindah ke sini.” Jawaban itu membuat dada Jasmin sedikit mengencang. Ia tahu maksudnya bukan serangan, tapi tetap terasa menyakitkan. Karena memang benar. Ia menunduk, lalu berkata pelan, “Aku tidak pergi karena aku tidak punya tempat lain. Tapi sejujurnya… rumah ini juga tak terasa seperti tempat yang layak aku tinggali.” Reyan mendekat beberapa langkah. Mereka kini hanya terpisah beberapa meter, dengan cahaya senja yang menggantung di antara tubuh mereka seperti bayangan yang enggan hilang. “Karena kau belum terbiasa,” katanya. “Atau karena tempat ini memang tidak dirancang untuk orang seperti aku.” Reyan mengangkat alis. “Orang seperti apa?” “Yang tahu cara merasa.” ⸻ Hening merambat. Tapi kali ini, tidak menggigit. Lebih seperti ruang kosong yang dibiarkan bernapas. “Kau ingin aku berkata apa, Jasmin?” tanya Reyan akhirnya. Jasmin menatapnya lama. “Aku tidak ingin kau berkata apa-apa. Tapi mungkin… berhenti menganggapku sebagai ancaman akan cukup.” Reyan menyeringai tipis. “Kau bukan ancaman.” “Kau tidak memperlakukanku seperti seseorang yang aman.” “Kau bukan. Kau mengacaukan sesuatu yang selama ini sudah rapi.” “Apa itu salahku?” “Tidak. Tapi bukan berarti aku tahu bagaimana memperbaikinya.” ⸻ Perlahan, Reyan menyandarkan bahu ke dinding balkon. Pandangannya tidak lagi tajam. Tapi penuh sesuatu yang tak pernah ia ucapkan. Dan Jasmin, untuk sesaat, tidak bisa mengalihkan matanya dari pria itu. “Mereka bilang kita keluarga sekarang,” ucap Jasmin akhirnya. “Tapi kenapa aku merasa lebih seperti tamu yang dikurung dalam istana kaca?” “Karena istana ini memang tidak pernah didesain untuk menjadi rumah.” Kata-kata itu menampar pelan. Tapi lebih dari itu… membuka celah kecil. Luka. Atau mungkin rahasia. “Aku tidak suka kau menyentuh sesuatu yang bahkan belum sempat kubicarakan,” bisik Jasmin. “Aku juga tidak suka kau membuatku bicara tentang hal-hal yang seharusnya tetap terkubur.” Mereka diam. Tapi tak ada yang pergi. Tak ada yang mengalihkan pandangan. Dan dalam diam itu, ada sesuatu yang bergerak. Bukan tubuh mereka, tapi cara mereka saling melihat. Tidak frontal. Tidak manis. Tapi seperti dua orang asing yang perlahan sadar bahwa musuh terbesarnya… mungkin adalah daya tarik yang tak bisa mereka tolak. ** Suara lonceng kecil dari ruang bawah terdengar. Marta, pelayan tua, memanggil untuk memberitahukan bahwa makan malam akan segera disajikan. Reyan menoleh ke arah suara itu. Jasmin ikut menatap ke dalam lorong. “Jangan terlambat,” katanya. “Karena apa?” “Karena mereka akan mulai bertanya-tanya… kenapa kita selalu ada di ruangan yang sama.” ** Kata-katanya ringan. Tapi dada Jasmin terasa berat. Mungkin karena itu peringatan. Atau mungkin… karena ia tahu Reyan benar. Mereka memang selalu berakhir di tempat yang sama. Dan cepat atau lambat, seseorang akan menyadari bahwa kedekatan itu… bukan kebetulan.Hening yang menelan ruangan kembali terasa setelah suara langkah Frederick benar-benar hilang dari lorong. Jasmin masih duduk di ujung ranjang, jemarinya saling bertaut canggung, seolah tubuhnya belum bisa pulih dari ketegangan tadi.Reyan tidak langsung bicara. Ia berjalan ke jendela, membuka tirai sedikit, memastikan tak ada siapa pun yang berkeliaran di luar. Baru setelah itu ia menoleh, menatap Jasmin yang tampak rapuh tapi berusaha keras menutupi ketakutannya.“Kamu gemetar,” ucap Reyan akhirnya.Jasmin buru-buru menepis, meski jelas tangannya masih bergetar. “Nggak. Aku cuma… kaget.”Reyan mendekat, berlutut di depannya, sehingga pandangan mereka sejajar. Ia meraih jemari Jasmin yang dingin lalu menggenggam erat, menyalurkan kehangatan dari telapak tangannya. “Kalau kamu terus pura-pura, aku yang bakal gila. Kamu boleh takut, Jas. Kamu boleh gemetar. Itu nggak bikin kamu lemah.”Mata Jasmin bergetar. Ada sesuatu dalam nada Reyan yan
Baik, aku akan tulis Bab 131 dengan panjang ±2.000 kata, tidak kurang, tetap fokus pada satu suasana, emosi yang intim, dan transisi yang halus tanpa penanda waktu eksplisit.⸻Bab 131Ketukan pelan di pintu membuat Jasmin dan Reyan sama-sama terdiam. Suara itu tidak keras, tapi cukup untuk menggeser udara di ruangan yang semula hangat menjadi tegang.Mata Jasmin melebar, tubuhnya refleks menegang di pelukan Reyan. Ia segera menarik diri sedikit, menatap ke arah pintu seolah bisa menembus kayu tebal itu.“Siapa?” suaranya nyaris berbisik, penuh panik yang ia coba tekan.Reyan menempelkan jarinya ke bibirnya, memberi isyarat agar Jasmin diam. Tatapannya tenang, berbeda jauh dari jantung Jasmin yang berdetak tidak karuan. Pria itu lalu beranjak, berjalan pelan ke arah pintu.“Reyan?” suara dari balik pintu terdengar. Frederick.Jasmin langsung merasa seluruh darahnya membeku. Napasnya tercekat, matanya mencari-car
Jasmin terbangun lebih dulu. Cahaya lembut yang menyusup lewat jendela membuat matanya sedikit menyipit. Tubuhnya masih berada dalam dekapan Reyan, hangat dan kokoh, seolah pria itu sengaja tidak memberi celah agar ia bisa pergi.Ia menatap wajah Reyan yang masih terlelap. Wajah itu begitu tenang, berbeda jauh dari ekspresi tegas yang selalu ia tampilkan di depan orang lain. Ada garis lembut di bibirnya, alisnya tidak mengernyit, dan dadanya naik turun teratur.Tanpa sadar, Jasmin mengulurkan jemari, menyusuri garis rahang Reyan perlahan. Sentuhan itu membuat pria itu bergumam kecil, tapi tidak membuka mata. Jasmin tersenyum samar, merasa aneh sekaligus damai.“Kalau kamu tahu betapa menakutkannya aku kehilanganmu, mungkin kamu nggak akan tidur segampang ini,” bisiknya lirih.Ia mendekat, menempelkan bibirnya di dahi Reyan, sebuah ciuman yang nyaris tidak terdengar. Baru saja ia hendak menarik diri, tangan Reyan bergerak cepat, menahan pinggangnya
Reyan masih memeluk Jasmin erat, seolah tubuhnya adalah satu-satunya benteng yang bisa melindunginya dari segala hal. Kehangatan itu menempel di kulit mereka, bercampur dengan sisa napas yang belum sepenuhnya teratur. Jasmin menggeliat kecil, mencari posisi lebih nyaman, lalu menyelipkan wajahnya di lekuk leher Reyan.“Kalau aku bisa, aku mau tetap di sini,” gumam Jasmin pelan. “Nggak keluar, nggak ketemu siapa-siapa. Hanya kamu.”Reyan mengusap rambutnya, merasakan setiap helai yang jatuh lembut di jemarinya. “Aku juga maunya gitu. Tapi kita nggak bisa terus sembunyi.”Jasmin mendongak sedikit, menatapnya dengan mata yang masih basah. “Aku nggak peduli sama mereka. Yang aku peduli cuma kamu.”Reyan menghela napas, senyumnya tipis tapi tegas. “Aku juga. Tapi dunia nggak akan pernah diam. Mereka akan terus cari cara untuk nunjukin kalau kita salah. Dan kalau itu terjadi, aku nggak mau kamu yang paling terluka.”“Kenapa harus aku yang selal
Jasmin terbaring di dada Reyan, telinganya menempel tepat di atas detak jantungnya. Irama itu konstan, menenangkan, seakan jadi pengingat bahwa ia benar-benar hidup, bukan mimpi yang bisa lenyap sewaktu-waktu.“Kalau aku bisa berhenti di momen ini, aku nggak mau ke mana-mana lagi,” bisik Jasmin, hampir tak terdengar.Reyan menyusuri rambutnya dengan jemari pelan, setiap gerakan penuh kesabaran. “Kalau aku bisa, aku juga akan kunci momen ini. Biar cuma ada kita berdua, nggak ada dunia luar yang ikut campur.”Jasmin menengadah, menatap wajah Reyan dari jarak yang terlalu dekat. Bayangan bulu matanya jatuh di pipi, senyum tipisnya terlihat rapuh tapi indah. “Kamu sadar nggak, kita kayak orang gila? Kita tahu hubungan ini rumit, salah menurut mereka, tapi kita tetap jalan terus.”Reyan mengangkat alis, menatapnya dalam. “Kalau itu gila, berarti aku rela jadi orang paling gila di dunia. Karena aku nggak bisa berhenti.”Jasmin terdiam, lalu ter
Jasmin terbaring di atas ranjang dengan hela napas yang belum sepenuhnya stabil. Rambutnya berantakan, menempel di kening yang basah oleh keringat. Reyan masih berada di sampingnya, tubuhnya menunduk, jemarinya menyusuri garis wajah Jasmin dengan perlahan, seolah setiap inci kulitnya adalah peta yang tak pernah bosan ia baca.“Kamu sadar nggak,” suara Reyan terdengar rendah, serak karena habis berulang kali menyebut namanya, “setiap kali aku lihat kamu kayak gini, aku selalu ngerasa… ketakutan.”Jasmin membuka mata, menatapnya dengan bingung. “Takut?”Reyan mengangguk. “Takut kehilanganmu. Takut kalau semua ini cuma mimpi yang bisa runtuh kapan aja.”Jasmin tersenyum samar. Tubuhnya masih lemah, tapi ia mengangkat tangan, menyentuh rahang Reyan. “Kamu nggak mimpi. Aku nyata.”Reyan menunduk lebih dekat, mencium bibirnya pelan, bukan seperti ciuman yang barusan mereka bagi dengan penuh gairah, melainkan sentuhan lembut yang lebih menyerupai doa. Jasmin merespons dengan menutup mata, me