Langkah Jasmin terdengar pelan di atas lantai kayu lorong panjang itu. Rumah sudah nyaris sepi. Lampu-lampu gantung menyala lembut, menumpahkan cahaya kekuningan seperti sedang membungkus malam agar tidak terlalu dingin.
Pikirannya masih tertinggal di meja makan. Tatapan Livia yang seperti curiga. Komentar Frederick yang terlalu diplomatis. Dan Reyan… Pria itu berbicara sedikit, tapi setiap katanya terasa seperti pisau perak yang tajam dan dingin. Jasmin menapaki anak tangga menuju lantai dua. Tapi baru beberapa langkah di lorong sayap barat, ia mendengar suara dari balik jendela yang sedikit terbuka. Bukan suara… lebih seperti desahan pelan. Angin. Atau seseorang yang sedang menahan sesuatu. Ia menoleh. Jendela menghadap taman belakang. Di sana, berdiri satu sosok — jas hitam, postur tinggi, rambut acak, dan… terlalu akrab. Reyan. “Udara malam bisa membuatmu tersesat,” kata Jasmin sambil menyandarkan tubuh di ambang jendela. Reyan tidak menoleh. “Kadang tersesat lebih tenang daripada tahu pasti ke mana kau akan dibawa.” Ia mengangkat rokok ke bibirnya, menyalakan dengan korek tua. Asap tipis mengepul di udara. Jasmin menatapnya diam-diam. Pemandangan Reyan malam-malam begini terlalu mudah melemahkan logika. Ia tidak tahu sejak kapan pria itu bisa mengisi ruang tanpa benar-benar hadir, tapi itulah yang terjadi. “Aku tak tahu kau merokok,” katanya pelan. “Aku tak tahu kau suka berdiri di dekat bahaya,” balas Reyan tanpa menoleh. “Mungkin karena aku tak tahu mana yang lebih berbahaya: kau atau pikiranku tentangmu.” Itu membuat Reyan diam. Tapi hanya sejenak. “Apa yang kau pikirkan tentangku, Jasmin?” Jasmin tertawa kecil. “Kau ingin jawaban jujur atau yang bisa membuat kita tetap saling menjauh?” “Kau tak pernah menjauh.” “Aku mencoba.” “Kau gagal.” Akhirnya, Reyan menoleh. Tatapan mereka bertemu dalam gelap. Tidak ada cahaya selain dari bulan dan lampu jendela. Tapi mata mereka saling menelanjangi. “Kenapa kau tidak pernah benar-benar marah padaku?” tanya Jasmin. Reyan menarik napas dalam-dalam dari rokoknya. “Karena kau bukan ancaman.” “Tapi kau takut padaku.” “Tidak,” bisiknya. “Aku takut pada hal-hal yang membuatku ingin melanggar aturan yang kupatuhi seumur hidup.” ** Diam. Lagi-lagi diam. Tapi kali ini, jantung Jasmin berdetak lebih cepat dari sebelumnya. “Lalu kenapa kau masih di sini?” bisik Jasmin, lebih ke dirinya sendiri. Reyan mematikan rokoknya. Melemparkannya ke tanah. Lalu perlahan naik kembali ke jendela. Tubuhnya berdiri persis di depan Jasmin, hanya dibatasi satu bingkai kayu lebar. “Karena aku ingin tahu seberapa jauh kau bisa bertahan sebelum kau hancur.” Jasmin menatapnya. “Atau seberapa jauh kau akan menarikku sebelum kau jatuh.” “Aku tidak jatuh.” “Kau sudah jatuh. Kau hanya terlalu arogan untuk mengakuinya.” ** Angin malam menyelusup di antara mereka. Tapi tidak cukup dingin untuk mendinginkan ketegangan yang terus meningkat. Reyan bergerak mendekat satu langkah. Jasmin tidak mundur. Bahkan tidak bernapas. “Kau tahu apa yang paling menyebalkan dari semua ini?” tanya Reyan. “Apa?” “Kau membuatku ingin lebih… dari yang seharusnya.” Jasmin menelan ludah. Matanya menyelam ke matanya. Tapi lidahnya terlalu kaku untuk menjawab. “Aku ingin membencimu,” lanjut Reyan. “Tapi kau terlalu nyata. Terlalu hidup.” Ia mengangkat tangannya — nyaris menyentuh dagu Jasmin — tapi menghentikan gerakan itu di udara. Ia menariknya kembali, seperti menahan badai dari meledak. “Masuklah. Sebelum aku lupa siapa aku.” Jasmin tetap berdiri. “Kau lupa siapa kau… atau siapa aku?” “Keduanya.” ** Jasmin melangkah masuk ke kamarnya. Tapi malam itu, bukan hanya tubuhnya yang terbawa ke dalam. Reyan… ikut bersarang di pikirannya, di lehernya, di napas yang tak bisa dia stabilkan. Dan itu—lebih berbahaya dari ciuman mana pun.Hening yang menelan ruangan kembali terasa setelah suara langkah Frederick benar-benar hilang dari lorong. Jasmin masih duduk di ujung ranjang, jemarinya saling bertaut canggung, seolah tubuhnya belum bisa pulih dari ketegangan tadi.Reyan tidak langsung bicara. Ia berjalan ke jendela, membuka tirai sedikit, memastikan tak ada siapa pun yang berkeliaran di luar. Baru setelah itu ia menoleh, menatap Jasmin yang tampak rapuh tapi berusaha keras menutupi ketakutannya.“Kamu gemetar,” ucap Reyan akhirnya.Jasmin buru-buru menepis, meski jelas tangannya masih bergetar. “Nggak. Aku cuma… kaget.”Reyan mendekat, berlutut di depannya, sehingga pandangan mereka sejajar. Ia meraih jemari Jasmin yang dingin lalu menggenggam erat, menyalurkan kehangatan dari telapak tangannya. “Kalau kamu terus pura-pura, aku yang bakal gila. Kamu boleh takut, Jas. Kamu boleh gemetar. Itu nggak bikin kamu lemah.”Mata Jasmin bergetar. Ada sesuatu dalam nada Reyan yan
Baik, aku akan tulis Bab 131 dengan panjang ±2.000 kata, tidak kurang, tetap fokus pada satu suasana, emosi yang intim, dan transisi yang halus tanpa penanda waktu eksplisit.⸻Bab 131Ketukan pelan di pintu membuat Jasmin dan Reyan sama-sama terdiam. Suara itu tidak keras, tapi cukup untuk menggeser udara di ruangan yang semula hangat menjadi tegang.Mata Jasmin melebar, tubuhnya refleks menegang di pelukan Reyan. Ia segera menarik diri sedikit, menatap ke arah pintu seolah bisa menembus kayu tebal itu.“Siapa?” suaranya nyaris berbisik, penuh panik yang ia coba tekan.Reyan menempelkan jarinya ke bibirnya, memberi isyarat agar Jasmin diam. Tatapannya tenang, berbeda jauh dari jantung Jasmin yang berdetak tidak karuan. Pria itu lalu beranjak, berjalan pelan ke arah pintu.“Reyan?” suara dari balik pintu terdengar. Frederick.Jasmin langsung merasa seluruh darahnya membeku. Napasnya tercekat, matanya mencari-car
Jasmin terbangun lebih dulu. Cahaya lembut yang menyusup lewat jendela membuat matanya sedikit menyipit. Tubuhnya masih berada dalam dekapan Reyan, hangat dan kokoh, seolah pria itu sengaja tidak memberi celah agar ia bisa pergi.Ia menatap wajah Reyan yang masih terlelap. Wajah itu begitu tenang, berbeda jauh dari ekspresi tegas yang selalu ia tampilkan di depan orang lain. Ada garis lembut di bibirnya, alisnya tidak mengernyit, dan dadanya naik turun teratur.Tanpa sadar, Jasmin mengulurkan jemari, menyusuri garis rahang Reyan perlahan. Sentuhan itu membuat pria itu bergumam kecil, tapi tidak membuka mata. Jasmin tersenyum samar, merasa aneh sekaligus damai.“Kalau kamu tahu betapa menakutkannya aku kehilanganmu, mungkin kamu nggak akan tidur segampang ini,” bisiknya lirih.Ia mendekat, menempelkan bibirnya di dahi Reyan, sebuah ciuman yang nyaris tidak terdengar. Baru saja ia hendak menarik diri, tangan Reyan bergerak cepat, menahan pinggangnya
Reyan masih memeluk Jasmin erat, seolah tubuhnya adalah satu-satunya benteng yang bisa melindunginya dari segala hal. Kehangatan itu menempel di kulit mereka, bercampur dengan sisa napas yang belum sepenuhnya teratur. Jasmin menggeliat kecil, mencari posisi lebih nyaman, lalu menyelipkan wajahnya di lekuk leher Reyan.“Kalau aku bisa, aku mau tetap di sini,” gumam Jasmin pelan. “Nggak keluar, nggak ketemu siapa-siapa. Hanya kamu.”Reyan mengusap rambutnya, merasakan setiap helai yang jatuh lembut di jemarinya. “Aku juga maunya gitu. Tapi kita nggak bisa terus sembunyi.”Jasmin mendongak sedikit, menatapnya dengan mata yang masih basah. “Aku nggak peduli sama mereka. Yang aku peduli cuma kamu.”Reyan menghela napas, senyumnya tipis tapi tegas. “Aku juga. Tapi dunia nggak akan pernah diam. Mereka akan terus cari cara untuk nunjukin kalau kita salah. Dan kalau itu terjadi, aku nggak mau kamu yang paling terluka.”“Kenapa harus aku yang selal
Jasmin terbaring di dada Reyan, telinganya menempel tepat di atas detak jantungnya. Irama itu konstan, menenangkan, seakan jadi pengingat bahwa ia benar-benar hidup, bukan mimpi yang bisa lenyap sewaktu-waktu.“Kalau aku bisa berhenti di momen ini, aku nggak mau ke mana-mana lagi,” bisik Jasmin, hampir tak terdengar.Reyan menyusuri rambutnya dengan jemari pelan, setiap gerakan penuh kesabaran. “Kalau aku bisa, aku juga akan kunci momen ini. Biar cuma ada kita berdua, nggak ada dunia luar yang ikut campur.”Jasmin menengadah, menatap wajah Reyan dari jarak yang terlalu dekat. Bayangan bulu matanya jatuh di pipi, senyum tipisnya terlihat rapuh tapi indah. “Kamu sadar nggak, kita kayak orang gila? Kita tahu hubungan ini rumit, salah menurut mereka, tapi kita tetap jalan terus.”Reyan mengangkat alis, menatapnya dalam. “Kalau itu gila, berarti aku rela jadi orang paling gila di dunia. Karena aku nggak bisa berhenti.”Jasmin terdiam, lalu ter
Jasmin terbaring di atas ranjang dengan hela napas yang belum sepenuhnya stabil. Rambutnya berantakan, menempel di kening yang basah oleh keringat. Reyan masih berada di sampingnya, tubuhnya menunduk, jemarinya menyusuri garis wajah Jasmin dengan perlahan, seolah setiap inci kulitnya adalah peta yang tak pernah bosan ia baca.“Kamu sadar nggak,” suara Reyan terdengar rendah, serak karena habis berulang kali menyebut namanya, “setiap kali aku lihat kamu kayak gini, aku selalu ngerasa… ketakutan.”Jasmin membuka mata, menatapnya dengan bingung. “Takut?”Reyan mengangguk. “Takut kehilanganmu. Takut kalau semua ini cuma mimpi yang bisa runtuh kapan aja.”Jasmin tersenyum samar. Tubuhnya masih lemah, tapi ia mengangkat tangan, menyentuh rahang Reyan. “Kamu nggak mimpi. Aku nyata.”Reyan menunduk lebih dekat, mencium bibirnya pelan, bukan seperti ciuman yang barusan mereka bagi dengan penuh gairah, melainkan sentuhan lembut yang lebih menyerupai doa. Jasmin merespons dengan menutup mata, me