Share

TCM 12

Ana pergi ke dapur, ia ingin menyeduh kopi untuk Zidan agar selepas mandi, pria itu bisa menikmati kopi yang bisa membuat tubuhnya kembali segar.

Ana membawa secangkir kopi yang baru ia seduh menuju kamar mereka, hingga tanpa sengaja Ana menabrak Mikaila, atau lebih tepatnya, Mikaila yang sengaja menabrak lengan Ana, membuat kopi yang berada di cangkir tumpah dan menyiram kulit Ana.

“Aghh!!” Ana memekik dan tanpa sadar melepaskan cangkir yang ia pegang, membuat benda itu jatuh ke lantai serta menciptakan suara yang nyaring menggema di seluruh ruangan.

“Hei! Jalan pakai mata! Memang kamu pikir ini rumahmu, asal jalan nggak lihat-lihat! Bajuku jadi terkena cipratan kopi, 'kan!” umpat Mikaila menatap benci Ana dengan tangan mengibaskan bagian bawah gaunnya yang terkena noda kopi.

Ana terdiam, ia merasakan panas di kulit yang terkena kopi. Zidan dan Alisya yang mendengar suara pecah pun langsung keluar, mereka melihat Ana yang menunduk dengan satu tangan memegangi tangan satunya.

Pembantu Zidan yang sedang menyiapkan makan malam juga terkejut, ia ikut menghampiri untuk membersihkan pecahan cangkir yang berserakah di lantai.

“Ada apa ini?” tanya Zidan langsung mendekat.

“Ya ampun, tangan kak Ana merah,” ucap Alisya panik, ia mengamati tangan kakak iparnya.

Mikaila mendecih, ia memicingkan mata ke arah Ana, gadis itu benar-benar tidak menyukai Ana.

“Salah sendiri jalan tidak pakai mata, dia nyenggol aku. Kalau sekarang tangannya kena tumpahan kopi bukan salah aku, dong!” kilah Mikaila.

Zidan menatap tajam pada adiknya, ia tahu jika Mikaila pasti sengaja karena gadis itu tidak menyukai Ana. Zidan merangkul Ana, kemudian mengajak istrinya itu masuk kamar.

Mikaila menatap sinis dan iri, rasa tidak sukanya semakin menggunung karena sikap Zidan yang begitu perhatian kepada Ana.

Alisya sadar jika Mikaila tidak menyukai Ana sejak pertama kali, gadis itu menghela napas kasar karena tidak menyangka jika Mikaila akan berbuat seperti itu.

“Aku tahu Kakak sengaja, 'kan! Kenapa Kakak sangat tidak suka dengan kak Ana? Dia baik juga nggak berbuat salah, lalu kenapa Kakak membuat masalah untuknya?” tanya Alisya mencecar Mikaila.

Mikaila menatap Alisya, ia lantas maju satu langkah hingga kedua kakak beradik itu berdiri berhadapan.

“Kamu anak kecil tahu apa? Jangan mencampuri urusanku, jangan pula menasehati 'ku! Dasar anak pembawa musibah!” Mikaila berjalan seraya menyenggol lengan Alisya, gadis itu pergi menuju kamarnya.

Alisya terdiam, kata pembawa musibah sungguh membuatnya merasa sakit hati. Jika bisa, ia pun tidak ingin jadi penyebab meninggalnya sang ibu.

_

_

Zidan mendudukkan Ana di tepian tempat tidur, ia mencari salep luka bakar dari kotak obat, lantas duduk di samping Ana dan mulai mengoleskan salep di permukaan kulit Ana yang memerah.

“Mikaila memang begitu, lain kali hindari saja dia. Tidak perlu mengurus atau menggubris setiap perkataan dan tindakannya. Ok!” ujar Zidan menatap Ana yang hanya diam.

Zidan kembali mengoleskan salep itu sampai merata di seluruh permukaan yang memerah.

“Sudah, jangan kena air dulu,” ucap Zidan.

“Terima kasih,” balas Ana dengan ekspresi datar.

Zidan mengulas senyum, ia mengulurkan tangan kemudian menyentuh dan mengusap sisi wajah Ana lembut.

“Apa perlu aku bawa makan malam ke kamar?” tanya Zidan kemudian.

“Tidak usah, kita makan bersama yang lain saja,” jawab Ana.

Zidan hanya mengangguk, ia lantas keluar dari kamar bersama Ana. Mereka makan malam bersama, hanya Mikaila yang tidak ada karena Alisya berkata jika kakaknya itu pergi setelah kejadian tadi.

-

-

Pernikahan Ana dan Zidan sudah genap dua bulan. Ana terus menjalani kehidupannya sebagai seorang istri dan ibu rumah tangga, mencoba sebisa mungkin melakukan yang terbaik meski dirinya merasa berat menjalaninya.

Zidan memang perhatian dan selalu bersikap hangat, tapi Ana merasa terabaikan saat setiap pulang yang ditanyakan pertama kali oleh suaminya adalah sang ayah dan bukannya dirinya.

Sore itu Ana duduk di tepian ranjang setelah mandi, ia menatap benda pipih yang tergeletak di atas nakas. Ana meraihnya lalu melihat daftar nama yang tertera di memori ponsel.

Ana menatap satu nama, yaitu Arga. Ia terlihat begitu merindukan pemuda itu, sudah dua bulan ini ia tidak ke mana-mana dan tentu saja ia tidak tahu bagaimana kabar Arga karena pemuda itu juga tidak menghubung dirinya, dengan tangan gemetar Ana menekan tombol dial di layar ponsel, ia sangat ingin mendengar suara pemuda itu.

Namun, sepertinya Tuhan menginginkan dirinya untuk melupakan Arga. Nomor Arga tidak dapat dihubungi, hanya mesin penjawab pesan yang terdengar ketika ia mendial nomor itu.

Ana menaruh ponselnya lagi, ia mengguyar kasar rambut depan ke belakang. Ana mendesah frustasi, kehilangan kekasih sekarang suaminya tampak tak acuh. Apa yang sebenarnya Ana inginkan sekarang? Dia pun tidak tahu

“Apa kita benar-benar harus saling melupakan?” tanyanya pada diri sendiri.

Ia kemudian merebahkan tubuhnya, Ana menatap langit-langit kamarnya seraya mendesah kasar lagi. Wanita itu tertawa sendiri, menertawakan nasib yang seakan sedang mempermainkannya, menertawakan kenapa hidupnya serumit ini, harus menikah dengan pemuda yang tidak ia cintai dan tidak mempedulikan dirinya.

Ana nampak membelakangi Zidan saat mereka sudah berbaring di atas ranjang untuk pergi tidur. Perlahan Ia memberanikan diri untuk berbalik dan menanyakan sesuatu yang membuatnya masih sedikit ragu untuk menerima suaminya, yaitu perasaan sesungguhnya dari Zidan ke dirinya.

“Mas, bisakah mas Zidan jujur kenapa mas mau menikahi 'ku meskipun kita belum terlalu mengenal satu sama lain?”

Zidan pun menoleh, Ia menatap istrinya dengan sorot mata teduh. Namun, jawaban yang keluar dari mulutnya membuat Ana sangat kecewa.

“Aku ingin ada yang menjaga ayah dan adik-adik 'ku.”

"Mas Zidan, apa mas menjadikan 'ku pembantu?" Ana bertanya-tanya dalam hati.

_

_

_

Ana terlihat tidak bersemangat setelah mendengar jawaban dari Zidan malam itu. Hatinya begitu sakit karena ia merasa dimanfaatkan dengan berkedok sebuah pernikahan untuk mengikat. Ia yang sejak awal tidak pernah mencintai Zidan kini semakin jauh dari harapan bisa mencintai dan menerima pria itu. Meski mengurus keluarga sudah menjadi kewajibannya, tapi jawaban Zidan yang sama sekali terasa tidak menghargai dirinya sebagai seorang istri membuat Ana semakin menyesali pernikahan itu.

-

Zidan pergi ke kantor seperti biasanya, sekarang pria itu merasa semakin tenang dengan adanya Ana di rumah. Zidan tidak harus menghubungi rumah seperti dulu setelah ada Ana, karena ia percaya jika istrinya itu akan mengurus keadaan rumah dan ayah juga adiknya dengan baik.

Sore itu Zidan hendak pulang dan sedang berjalan menuju parkiran mobil, hingga langkahnya terhenti ketika melihat sesosok gadis yang ia kenali.

“Mas Zidan!” tegur gadis itu.

Itu adalah mantan kekasih Zidan, pemuda itu putus dengan gadis itu sudah sekitar dua tahun yang lalu karena mantan kekasihnya itu menolak bersamanya dengan alasan tidak bisa mengurus keluarga Zidan meski mereka sudah berhubungan hampir tiga tahun lamanya.

“Kenapa kamu ke sini?” tanya Zidan dengan nada sedikit ketus.

“Kangen saja, Mas! Kita sudah lama tidak bertemu,” jawab gadis itu dengan nada centil.

Zidan menghela napas kasar, tapi sedetik kemudian ia menjelaskan statusnya sekarang. “Aku sudah menikah, jadi jangan bicara kangen padaku, nggak pantas!”

Zidan langsung masuk ke mobil kemudian meninggalkan gadis itu yang masih berdiri termangu menatap mobilnya yang sudah melaju meninggalkan pelataran parkir perusahaan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status